• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi

Kabupaten Garut merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat dan juga sebagai salah satu sentra produksi kentang. Secara geografis, Kabupaten

Garut terletak antara 6º56’49” - 7º45’00” LS dan 107º25’8” - 108º7’30” BT. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah sebesar 306 519 Ha (Pemkab Garut 2014). Dalam perkembangannya Kabupaten Garut tumbuh dan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pemekaran dilakukan untuk menanggulangi perubahan dan pertumbuhan tersebut. Karena itu pada tahun 2013 Kabupaten garut memiliki 42 Kecamatan, 21 Kelurahan dan 403 Desa. Perekonomian Kabupaten Garut dari tahun ke tahun mengandalkan pada sektor pertanian. Produk pertanian yang menjadi andalan Kabupaten Garut diantaranya adalah padi, tomat, cabai, jagung, kedelai, kubis dan kentang. Luas lahan kentang di Kabupaten Garut sebesar 7 121 Ha dengan hasil produksi kentang per tahun adalah sebesar 161 073 Ton. Kecamatan yang menjadi sentra produksi kentang terletak di Pasirwangi, Pangatikan, Cigedug, Sukaresmi, Bayongbong, Sukaresmi, Cikajang dan Cisurupan.

Kecamatan Cikajang berada di bagian selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Cikajang memiliki lahan pertanian seluas 12 152 Ha dengan terdiri topografi landai (40.63%), topografi pegunungan (44.31%), dan topografi datar (15.06%). Umumnya jenis tanah di wilayah Kecamatan Cikajang bertekstur lempung berpasir (23.54%) dan tanah liat (73.54%). PH tanah berkisar antara 5.5-6.5. Komoditi kentang menjadi komoditi utama bagi petani di Kecamatan Cikajang. Luas tanam yang digarap adalah 1 235 Ha dengan produktivitas 20 ton/Ha. Produktivitas komoditas hortikultura terutama kentang masih dikatakan rendah, hal tersebut dikarenakan penerapan teknologi yang belum optimal (BP3K Kecamatan Cikajang 2014).

Kecamatan Cisurupan juga berada di wilayah selatan Kebupaten Garut. Kondisi fisik Kecamatan Cikajang terdiri dari topografi landai (41%) dan pegunungan (69%). Umumnya jenis tanah di wilayah Kecamatan Cisurupan adalah lempung berpasir (75%) dan tanah liat (25%). PH tanah berkisar antara 5.2-6.2. Komoditi kentang merupakan komoditi utama bagi petani di Kecamatan Cisurupan setelah komoditi kubis. Komoditi kentang memiliki luas tanam 617 Ha dengan produktivitas 25 ton/Ha (BP3K Kecamatan Cisurupan 2014).

Karakteristik Umum Petani

Petani kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan yang menjadi responden terbagi menjadi kisaran umur antara 21 tahun hingga diatas 50 tahun. Hasil survey menunjukkan bahwa 65% petani responden di Kecamatan Cikajang berusia diatas 41 tahun sementara sebanyak 47.5% petani responden di Kecamatan Cisurupan berusia 31 sampai 40 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa usia produktif petani di Kecamatan Cisurupan lebih baik dibandingan petani responden di Kecamatan Cisurupan. Umur petani adalah salah satu faktor

yang tergolong usia muda memiliki perilaku progresif terhadap inovasi baru sehingga lebih berani menanggung resiko (Soekartawi 2002).

Gambar 1 Persentase tingkatan umur petani responden di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan

Pendidikan merupakan sarana dalam mengembangkan perilaku manusia. Perilaku yang akan menuntun dalam pengambilan sikap untuk menyelesaikan masalah. Petani kentang di Kecamatan Cikajang didominasi oleh petani dengan pendidikan terakhir pada tingkatan SD dengan persentase sebesar 70% dan pada tingkatan SMP maupun SMA masing-masing dengan persentase sebesar 22.5% dan 7.5% (Gambar 2). Persentase pendidikan petani di Kecamatan Cisurupan yang paling tinggi terdapat pada tingkatan SD yaitu dengan persentase sebesar 52.5% sedangkan untuk tingkatan SMP dan SMA masing-masing persentase sebesar 35% dan 10% hanya 1 orang saja yang berpendidikan hingga perguruan tinggi. Petani responden di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan didominasi oleh petani dengan tingkat pendidikan terakhir pada SD hal ini sesuai dengan penelitian Maulia (2012) yang menyebutkan bahwa sebanyak 61.67% petani kentang di Kecamatan Cigedug (Garut) menempuh pendidikan hingga SD.

Alasan petani responden tidak meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah terkendala pada biaya sementara petani responden lainnya mengatakan lebih memilih bekerja langsung di lahan sejak dini dibandingkan bersekolah pada pendidikan formal. Selain itu, alasan lainnya adalah bertani merupakan kegiatan turun temurun yang dilakukan sehingga walaupun bersekolah hingga jenjang pendidikan yang tinggipada akhirnya harus bertani, hanya 5% petani di Kecamatan Cisurupan yang menempuh pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT). 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 21-30 31-40 41-50 >50 Jum la h P et an i Umur Petani

karakteristik petani Cikajang karakteristik petani Cisurupan 15% 20% 37.5% 27.5% 17.5% 47.5% 20% 15%

6

Gambar 2 Persentase pendidikan terakhir petani responden di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan

Pekerjaan utama petani responden di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan adalah bertani. Sebanyak 12.5% petani di Kecamatan Cikajang memiliki pekerjaan lain sebagai pedagang dan sebanyak 5% petani sebagai karyawan swasta. Sementara sebanyak 22.5% petani di Kecamatan Cisurupan memiliki pekerjaan sebagai pedagang dan 10% petani responden yang bekerja pada swasta. Status kepemilikan lahan petani kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan sebagian besar adalah petani pemilik, hanya sebagian kecil lainnya menjadi petani penyewa.

Berdasarkan hasil wawancara sebanyak 67.5% petani responden di Kecamatan Cikajang dan 92.5% petani di Kecamatan Cisurupan telah mengikuti kegiatan SLPHT. Hal tersebut menunjukan, keingintahuan petani di Kecamatan Cisurupan dalam mendapatkan informasi dalam penerapan PHT di lapang lebih tinggi dibandingkan petani di Kecamatan Cikajang. Berdasarkan keanggotaan kelompok tani, petani reponden di Kecamatan Cisurupan (77.5%) lebih tinggi dibandingkan petani di Kecamatan Cikajang (52.5%). Beberapa petani mengatakan alasan tidak mengikuti kegiatan SLPHT maupun keanggotaan kelompok tani adalah tidak tersedianya waktu yang luang. Kegiatan SLPHT di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan yang diselenggarakan oleh petugas pertanian biasanya dilaksanakan di mushola ataupun rumah dari ketua kelompok tani di masing-masing desa.

0 5 10 15 20 25 30 SD SMP SMA PT jum la h P et an i

Pendidikan Terakhir Petani

pendidikan Cikajang pendidikan Cisurupan 70% 22.5% 7.5% 0% 2.5% 10% 35% 52.5%

Tabel 1 Karakteristik umum petani responden

Karakteristik petani Cikajang Cisurupan Jumlah responden Persentase (%) Jumlah responden Persentase (%) Pekerjaan utama* Petani 40 82.5 27 67.5 Pedagang 5 12.5 9 22.5 Swasta 2 5 4 10

Status kepemilikan lahan

Lahan pribadi 34 85 33 82.5 Sewa 6 15 7 17.5 Keikutsertaan kegiatan SLPHT Ya 27 67.5 37 92.5 Tidak 13 32.5 3 7.5 Keanggotaan Gapoktan Ya 21 52.5 31 77.5 Tidak 19 47.5 9 22.5

Pengalaman Usaha Tani

≤10 tahun 11 27.5 16 40

≤20 tahun 18 45 14 35

≤30 tahun 8 20 7 17.5

≥30 tahun 3 7.5 3 7.5

Luas lahan yang digarap

11-20 patok 25 62.5 8 20

21-30 patok 9 22.5 20 50

31-40 patok 3 7.5 8 20

>40 patok 3 7.5 4 10

*Responden memberikan lebih dari satu jawaban

Berdasarkan data Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar pengalaman usaha bertani kentang di Kecamatan Cikajang kurang dari 20 tahun, sedangkan petani responden di Kecamatan Cisurupan kurang dari 10 tahun. Luas lahan yang digarap oleh petani responden sebagian besar di Kecamatan Cikajang berkisar antara 11-20 patok sementara di Kecamatan Cisurupan luas lahan yang digarap oleh petani responden berkisar antara 21-30 patok. Patok merupakan ukuran yang umum digunakan petani di daerah Kabupaten Garut. Satu patok sebanding dengan luas lahan 400 m2 sehingga dalam luasan 1 Ha terdapat 25 patok.

Karakteristik Budidaya dan Pemasaran Produk Pertanian

Varietas kentang yang umum ditanam petani responden di Kabupaten Garut adalah varietas Granola dan Atlantik. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, varietas Granola lebih banyak digunakan oleh petani di Kecamatan Cisurupan dan di Kecamatan Cikajang. Varietas Atlantik banyak ditanam petani di Kecamatan Cikajang (37.5%). Alasan petani menggunakan varietas Atlantik karena harga jual yang stabil dan relatif tinggi (Ashari 2009). Harga jual yang stabil dikarenakan petani yang menggunakan Varietas Atlantik mendapatkan bibit

8

langsung dari perusahaan dengan sistem kontrak yaitu setelah panen petani dapat menjual hasil panen kepada perusahaan tersebut dengan harga yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh pihak perusahaan dengan petani.

Walaupun petani kentang yang menggunakan varietas Atlantik mempunyai keuntungan dengan harga jual yang relatif stabil, tetapi dari segi hasil produksi varietas Granola lebih tinggi dari Atlantik. Data yang tersedia pada BP3K Kecamatan Cikajang dan Cisurupan menunjukan bahwa produktivitas kentang Kecamatan Cisurupan yaitu sebesar 25ton/Ha lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Cikajang yaitu 20 ton/Ha. Hal tersebut berkorelasi positif dengan penggunaan vaietas Atlantik yang digunakan petani di Kecamatan Cikajang yang lebih besar dibandingkan Kecamatan Cisurupan.

Data Tabel 2 menunjukan beberapa alasan petani memilih menggunakan varietas Granola lebih mudah untuk dibudidayakan sebanyak 40% petani di Kecamatan cikajang dan 67.5% petani di Kecamatan Cisurupan. Sebanyak 10% petani di Cikajang dan 20% petani di Cisurupan memilih varietas Granola karena varietas tersebut lebih tahan dari serangan OPT. Selain itu, 12.5% petani di Cikajang dan 10% petani di Cisurupan menganggap bahwa produktivitas Granola lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya. Sementara untuk alasan harga jual yang stabil, petani di Cikajang maupun Cisurupan menganggap bahwa dengan menggunakan varietas Atlantik, para petani akan diberikan jaminan harga jual yang tidak berfluktuasi sehingga dapat meminimalisasi kerugian yang terjadi pasca panen.

Tabel 2 Karakteristik responden dalam budidaya kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan

Budidaya kentang Cikajang Cisurupan

Jumlah responden Persentase (%) Jumlah responden Persentase (%) Varietas yang digunakan

Granola 25 62.5 37 92.5

Atlantik 15 37.5 3 7.5

Alasan menggunakan varietas yang dipilih

Mudah dibudidayakan 16 40 25 62.5

Harga jual stabil 15 37.5 3 7.5

Tahan terhadap OPT 4 10 8 20

Produktivitas tinggi 5 12.5 4 10

Asal bibit

Membibitkan sendiri 24 60 37 92.5

Membeli dari penangkar 1 2.5 0 0

Kontrak dengan perusahaan swasta

15 37.5 3 7.5

Pola tanam

Data menunjukan bahwa sebagian besar petani membibitkan sendiri umbi yang digunakan untuk masa penanaman selanjutnya (Tabel 2). Sebanyak 60% petani di Cikajang dan 92.5% petani di Cisurupan menggunakan umbi dari hasil membibitkan sendiri. Alasan menggunakan bibit dari hasil membibitkan sendiri adalah tidak tersedianya bibit bermutu dan terjangkau bagi petani di tingkat penangkar bibit. Hanya 2.5% petani responden di Cikajang yang membeli bibit dari penangkar. Petani yang menggunakan varietas Atlantik menggunakan bibit yang berasal dari perusahaan yang sudah membuat kontrak sebelumnya.

Pola tanam yang diterapkan di lahan petani di Cikajang adalah sebagian menerapkan pola monokultur yaitu sebesar 57.5%, sedangkan petani yang menerapkan pola tumpangsari sebesar 42.5%. Petani di Cisurupan yang menerapkan pola monokultur adalah sebesar 60% dan pola tumpangsari sebesar 40%. Terdapat keuntungan maupun kerugian dalam pola tanam tumpangsari. Petani Cikajang dan Cisurupan umumnya melakukan tumpangsari dengan tanaman cabai. Pola tanam tumpangsari terdapat keuntungan dari hasil panen yang lain selain kentang, sedangkan pola monokultur yang hanya mendapatkan hasil panen dari kentang saja. Keuntungan dari pola tanam tumpangsari adalah selain diperoleh panen lebih dari sekali dalam satu tahun juga dapat menjaga kesuburan tanah dengan mengembalikan bahan organik yang banyak dan penutupan tanah oleh tajuk tanaman (Suginarti 2004).

Tabel 3 Tindakan petani responden dalam pengolahan tanah dan pemupukan tanaman kentang di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan

Tindakan petani Cikajang Cisurupan Jumlah responden Persentase (%) Jumlah responden Persentase (%) Pengolahan tanah Ya 40 100 40 100 Tidak 0 0 0 0 Melakukan pemupukan Ya 40 100 40 100 Tidak 0 0 0 0

Jenis pupuk yang digunakan Kimia 40 100 40 100 Kandang 40 100 40 100 Intensitas pemupukan 1 kali 1 2.5 4 10 2 kali 39 97.5 36 90

10 7% 50% 35% 8%

(b)

Dijual sendiri (lingkungan sekitar) Dijual ke pengumpul Dijual ke kota perseorangan Dijual ke perusahaan swasta

Tabel 3 menunjukkan bahwa seluruh petani responden pada kedua Kecamatan melakukan pengolahan tanah dan melakukan pemupukan pada lahan pertanian kentang yang diusahakan. Pupuk yang digunakan oleh petani responden adalah pupuk kimia dan pupuk kandang. Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kotoran ayam. Sebagian besar petani responden melakukan pemupukan selama masa tanam umumnya dilakukan sebanyak 2 kali, hanya sebagian kecil yaitu sebanyak 10% petani responden di Kecamatan Cisurupan dan 2.5% petani responden di Kecamatan Cikajang melakukan pemupukan hanya 1 kali dalam satu masa tanam. Perbedaan intensitas pemupukan hanya pada waktu pemupukan, tetapi dosis pemupukan yang digunakan sama yaitu 40 karung kotoran ayam/patok dan 3 Kuintal (perbandingan ZA: SP: KCl sebesar 1:2:1) setiap 3 patok.

Gambar 3 Persentase pola pemasaran petani kentang di Kecamatan Cikajang (a) dan Cisurupan (b)

Hasil panen kentang di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan umumnya dijual pada pengumpul. Berdasarkan gambar 3 terlihat bahwa sebanyak 68% petani di Cikajang dan 58% petani di Cisurupan menjual hasil panen kepada pengumpul. Hal tersebut terkait dengan modal maupun efektivitas biaya transportasi yang harus dikeluarkan. Selain dijual kepada pengumpul, beberapa petani juga menjual hasil panen di lingkungan sekitar misalnya pada pasar terdekat. Tetapi setelah digali lebih dalam informasi penjualan hasil panen kentang tersebut, petani yang menjual hasil panen di pasar terdekat adalah petani yang mendapatkan hasil panen yang tidak sesuai dengan kriteria pasar yaitu hasil panen yang tidak terlalu baik untuk dipasarkan keluar daerah. Petani yang menjual sendiri hasil panennya ke luar kota merupakan petani yang memiliki lahan lebih dari 30 patok. Pemasaran ke luar kota yaitu ke Jakarta, Bogor dan Sukabumi. Berdasarkan gambar 3 persentase petani di Cisurupan yang menjual hasil panennya sendiri ke kota lain lebih tinggi dibandingkan petani di Cikajang.

12%

30% 20% 38%

(a)

Dijual sendiri (lingkungan sekitar) Dijual ke pengumpul Dijual ke kota perseorangan Dijual ke perusahaan swasta

Permasalahan dalam Usaha Tani

Permasalahan umum yang dihadapi oleh petani kentang di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan pada saat survey adalah gangguan hama dan penyakit, cuaca, ketersediaan air, fluktuasi harga jual, bibit bermutu, pupuk, dan biaya produksi pertanian. Sebagian besar petani menyampaikan bahwa, permasalahan utama dalam budidaya kentang adalah gangguan hama dan penyakit. Upaya penanggulangan kehilangan hasil akibat gangguan hama dan penyakit, petani umumnya menggunakan pestisida. Persentase petani di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan dalam penggunaan pestisidadalam pengendalian OPT adalah 100% (Tabel 3). Selain penggunaan pestisida, upaya yang dilakukan untuk mengendalikan OPT adalah perbaikan sistem budidaya, pengairan yang teratur, penggunaan bibit sehat, serta pengamatan OPT di lahan secara teratur. Hal tersebut dipercaya dapat meminimalisasi dampak yang dihasilkan oleh gangguan OPT.

Permasalahan klasik yang terjadi di kedua Kecamatan adalah kurang tersedianya bibit berkualitas yang disediakan oleh Dinas Pertanian maupun penangkar bibit kentang. Karena itu, sebagian besar petani menggunakan bibit dari hasil panen sebelumnya walaupun dapat berdampak pada kualitas hasil panen berikutnya. Petani biasanya memutuskan membeli bibit dari penangkar maupun di Dinas Pertanian setelah hasil panen berikutnya berangsur-angsur menurun secara drastis. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan modal. Biaya produksi kentang setiap tahun semakin meningkat. Di beberapa tempat di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan, pupuk bersubsidi terbatas jumlahnya bahkan pada satu ketika pupuk bersubsidi menjadi langka. Keadaan tersebut membuat petani kentang bermodal rendah harus menekan biaya faktor produksi lain. Permasalahan lain adalah lemahnya daya serap informasi pertanian, rendahnya pengetahuan petani dalam menerapkan teknologi baru, dan rendahnya kepemilikan modal.

Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Petani responden di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan mendapatkan informasi dalam mengendalikan OPT dari berbagai sumber. Sebanyak 45% petani di Kecamatan Cikajang mendapatkan informasi dari kios pertanian, sedangkan sebanyak 37.5% petani di Kecamatan Cisurupan mendapatkan informasi dari petugas pertanian. Berdasarkan data Tabel 1, sebanyak 92.5% petani di Kecamatan Cisurupan telah mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) berbeda dengan petani responden di Kecamatan Cikajang hanya terdapat 67.5% yang telah mengikuti kegiatan SLPHT. Sumber informasi lainnya adalah dari petani lain yang telah mengikuti kegiatan SLPHT sehingga informasi menyebar antar petani. Selain itu, petani kentang dalam mengendalikan OPT di lahan pertanaman banyak mengandalkan intuisi sendiri. Umumnya petani yang mengendalikan OPT dengan inisiatif sendiri termasuk petani yang telah membudidayakan tanaman kentang lebih dari 20 tahun.

12

Gambar 4 Sumber informasi petani dalam mengendalikan OPT

Berdasarkan hasil penelitian, petani responden umumnya telah mengetahui jenis-jenis OPT pada kentang. Pengetahuan petani mengenai OPT di Kecamatan Cikajang maupun Cisurupan cukup merata. Informasi OPT didapatkan dari penyuluh atau petugas pertanian, petugas dari toko pertanian maupun dari petani lain dengan saling bertukar informasi. Sebanyak 75% petani responden di Kecamatan Cikajang dan 90% responden di Kecamatan Cisurupan mengenal nematoda sebagai penyakit kentang. Pengetahuan petani dalam menggolongkan jenis-jenis hama pada tanaman kentang cukup baik. Hal tersebut dapat terlihat dari data Tabel 4 bahwa sebanyak 82.5% petani responden di Kecamatan Cikajang dan 90% petani responden di Kecamatan Cisurupan mengetahui bahwa Orong-orong (Gryllotalpa sp.) merupakan hama kentang yang dapat mengganggu kualitas umbi. Begitupula dengan pengetahuan petani mengenai kutu daun (Myzus persicae) sebagai hama yang mengganggu pertanaman. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4 bahwa sebanyak 77.5% petani di Kecamatan Cikajang dan 85% petani di Kecamatan Cisurupan telah mengetahui informasi mengenai kutu daun tergolong sebagai hama kentang. Secara keseluruhan petani di dua Kecamatan mengetahui bahwa gulma termasuk dalam golongan OPT yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman kentang. Sebanyak 52.5% petani di Kecamatan Cikajang dan 65% petani di Kecamatan Cisurupan telah mengenal musuh alami yang merupakan pengendalian OPT di pertanaman kentang.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Petugas pertanian Petani lain Inisiatif sendiri Kios pertanian

jum la h pe ta n i Sumber informasi Cikajang Cisurupan 10% 15% 30% 45% 37.5% 15% 25% 22.5%

Tabel 4 Pengetahuan responden terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) dan musuh alami di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan

Pertanyaan Cikajang Cisurupan

Jumlah responden Persentase (%) Jumlah responden Persentase (%) Apakah petani responden

mengenal OPT

Ya 40 100 40 100

Tidak 0 0 0 0

Apakah nematoda

tergolong penyakit kentang

Ya 30 75 36 90

Tidak 10 25 4 10

Apakah orong-orong tergolong hama kentang

Ya 33 82.5 36 90

Tidak 7 17.5 4 10

Apakah kutu daun termasuk hama kentang

Ya 31 77.5 34 85

Tidak 9 22.5 6 15

Apakah mengetahui jenis-jenis musuh alami hama tanaman kentang

Ya 21 52.5 26 65

Tidak 19 47.5 14 35

Apakah gulma tergolong OPT

Ya 40 100 40 100

Tidak 0 0 0 0

Berkaitan dengan cara yang dilakukan petani dalam mengendalikan OPT di pertanaman, terdapat persamaan antara petani responden di kedua Kecamatan yaitu seluruhnya petani menggunakan pestisida sintetis. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rauf (1999) yang menyebutkan bahwa seluruh petani responden menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan hama pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) pada kentang. Pengendalian menggunakan pestisida merupakan cara yang dianggap paling efektif untuk mengendalikan hama dan penyakit di pertanaman kentang. Berdasarkan data tabel 5 sebanyak 92.5%.petani di Kecamatan Cikajang umumnya mengambil keputusan tindakan pengendalian dengan pestisida secara terjadwal, sementara petani di Kecamatan Cisurupan sebanyak 72.5% petani melakukan pengendalian secara terjadwal dan 27.5% petani melakukan pengendalian berdasarkan ada atau tidak adanya gejala hama dan penyakit di pertanaman (Tabel 5).

Pengendalian gulma yang dilakukan sebagian besar petani di Cikajang dengan cara mekanis (62.5%), sementara petani di Cisurupan pengendalian gulma

14

dengan cara mekanis maupun kimiawi (47.5%). Petani yang memilih mengendalikan gulma dengan cara mekanis maupun kimiawi beranggapan bahwa tidak cukup pengendalian hanya dilakukan dengan mekanik atau mencabut secara langsung sehingga pengendalian dengan herbisida juga penting dilakukan agar pertumbuhan tanaman kentang menjadi optimal tanpa adanya gangguan dari gulma. Petani yang memutuskan pengendalian gulma hanya dengan cara mekanik menganggap bahwa keberadaan gulma tidak terlalu mengganggu pertumbuhan umbi tanaman kentang karena umbi kentang berada di bawah permukaan tanah. Persentase petani di Cisurupan yang melakukan pengendalian gulma hanya dengan cara mekanik yaitu sebesar 35% (Tabel 5).

Tabel 5 Pengetahuan responden terhadap cara penanggulangan OPT di Kecamatan Cikajang dan Cisurupan

Pertanyaan Cikajang Cisurupan

Jumlah responden Persentase (%) Jumlah responden Persentase (%) Upaya yang dilakukan jika

terdapat hama dan penyakit

Tidak dikendalikan 0 0 0 0

Dikendalikan 40 100 40 100

Pengendalian yang dipilih

Bahan alami 0 0 0 0

Bahan kimia 40 100 40 100

Keputusan dalam tindakan pengendalian

Pengendalian terjadwal 37 92.5 29 72.5 Ada/ tidak adanya gejala 3 7.5 11 27.5

Tingkat serangan 0 0 0 0

Upaya penanggulangan gulma

Mekanis 25 62.5 14 35

Kimiawi 6 15 7 17.5

Mekanis dan Kimiawi 9 22.5 19 47.5 Secara umum petani responden menyatakan bahwa penyakit lodoh (Phytophthora infestans) merupakan penyakit yang sering muncul di pertanaman. Selain lodoh, penyakit lain yang ditemukan dipertanaman adalah layu bakteri dan virus. Hama yang umum menyerang pada pertanaman kentang adalah ulat penggerek umbi (Phthorimaea operculela). Sebanyak 15% petani di Cikajang dan 20% petani di Cisurupan mengatakan hama yang paling banyak menyerang adalah ulat penggerek umbi. Ulat penggerek umbi menyerang bagian umbi maupun daun. Selain ulat penggerek umbi, hama kentang lain yang umum menyerang adalah kutu daun, orong-orong dan Thrips. Saat dilakukan wawancara, di dua Kecamatan tersebut sudah 4 bulan tidak turun hujan, untuk pengairan dilakukan pemompaan dari aliran sungai kemudian ditampung dalam wadah yang besar

Gambar 5 Pengetahuan petani responden terhadap hama dan penyakit pada pertanaman kentang di Kecamatan Cikajang (a) dan Cisurupan (b) Hasil wawancara petani responden menunjukkan sebagian besar petani responden menganggap munculnya hama dan penyakit di kedua Kecamatan disebabkan oleh faktor cuaca, selain karena faktor teknis budidaya dan varietas tanaman yang rentan serta penggunaan pestisida. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Faridzi (2013) yang menyebutkan bahwa lebih dari 50% petani padi di Banten menganggap munculnya hama dan penyakit di lapang disebabkan oleh cuaca. Secara keseluruhan, tingkat pemahaman petani terkait dengan penyebab munculnya hama dan penyakit pada kedua Kecamatan sama kecuali akibat faktor penggunaan pestisida, hanya di Kecamatan Cisurupan petani responden menjawab ada sebesar 3% sementara di Kecamatan Cikajang tidak ada. Hal tersebut berkaitan dengan keanggotaan kelompok tani petani responden maupun keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan. Data persentase petani yang aktif dalam keanggotaan kelompok tani maupun keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan (Tabel 1). Sementara sebanyak 25% petani di Kecamatan Cikajang dan 27% petani di Kecamatan Cisurupan menganggap bahwa munculnya hama dan penyakit akibat teknik budidaya yang tidak tepat, seperti pola tanam yang diterapkan di lahan adalah sepanjang musim penanaman dengan komoditas yang sama berturut-turut.

Gambar 6 Pengetahuan petani responden terhadap penyebab munculnya hama dan penyakit kentang di Kecamatan Cikajang (a) dan Cisurupan (b)

Cuaca 62% Teknik budidaya 25% Varietas rentan 13% Dampak negatif penggunaan pestisida 0%

(a)

Cuaca 50% Teknik budidaya 27% Varietas rentan 20% Dampak negatif penggunaa n pestisida 3%

(b)

Thrips 2% Penggerek umbi 15% Kutu daun 5% Orong-orong 2% Lodoh 37% Layu bakteri 18% Virus 8% 13%

(a)

Thrips 7% Penggerek umbi 20% Kutu daun 15% Orong-orong 0% Lodoh 32% Layu bakteri 13% Virus 5% 8%

(b)

16

Sikap Petani terhadap Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Berdasarkan data hasil penelitian, petani kentang di Kecamatan Cisurupan memiliki sikap yang lebih baik dalam teknik budidaya dibandingkan petani responden di Kecamatan Cikajang hal tersebut dapat dilihat persentasenya pada

Dokumen terkait