dimana H S= curah hujan yang mewakili DAS
i keragaman komponen utama ke-i
H = curah hujan stasiun ke-m yang nilai rotated factor loadingnya berkorelasi tinggi dengan faktor ke-i
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF)
Data curah hujan yang diukur oleh stasiun-stasiun pengamatan biasanya memiliki korelasi. Salah satu tujuan analisis EOF pada pengamatan ini adalah untuk menghilangkan korelasi antar stasiun pengamatan sehingga didapatkan keragaman data asli semaksimal mungkin dengan komponen utama sedikit mungkin. Komponen utama adalah hasil transformasi analisis EOF dengan nilai keragaman tertentu.
Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data normalisasi. Menurut Kutzbach (1967), penggunaan normalisasi data agar setiap peubah pada masing-masing titik memiliki kepentingan yang sama dalam merepresentasikan keseluruhan data.
13 Analisis Tahunan
Terdapat banyak kriteria dalam pemilihan jumlah komponen utama yang akan diikutsertakan ke dalam analisis EOF, akan tetapi dalam penelitian ini banyaknya komponen utama yang digunakan dilihat dari persentase varian kumulatif. Menurut Johnson (2007) komponen utama hanya diikutsertakan jika mempunyai proporsi varian kumulatif lebih dari 80%. Berdasarkan Gambar 3, banyaknya komponen utama yang memiliki varian kumulatif lebih dari 80% yaitu enam komponen utama yang mewakili varian curah hujan total sebesar 83%.
Curah hujan bulanan rata-rata tinggi pada bagian tengah DAS sedangkan bagian hulu dan hilir ujung DAS curah hujannya rendah. Standar deviasi curah hujan bulanan menunjukkan curah hujan tinggi pada daerah Ragas Hilir, dan beberapa daerah di bagian tengah DAS yaitu stasiun Toge, Ciminyak Cilaki, dan Gardu Tanjak. Menurut Lyons (1982) daerah dengan variabilitas yang besar seharusnya mendominasi dalam analisis EOF dan merupakan kontributor penting kelebihan atau kekurangan curah hujan. Kedua pola curah hujan rata-rata dan standar deviasi bulanan dapat dilihat pada Gambar 4.
Komponen utama pertama data tahunan menjelaskan varian data sebesar 49% dari varian total dan nilai semua eigenvector menunjukkan nilai positif (Gambar 5(a)) yang berarti terjadi penyimpangan positif curah hujan. Pola pada komponen utama pertama ini mirip dengan pola standar deviasi curah hujan bulanan (Gambar 4). Oleh karena itu, pola komponen utama pertama menggambarkan pola curah hujan bulanan DAS Ciujung-Cidurian. Komponen utama pertama menjelaskan bahwa curah hujan tinggi terdapat pada daerah Ragas Hilir dan sebagian DAS Ciujung Hulu.
14
Secara umum, eigenvector mendeskripsikan hubungan daerah-daerah yang memiliki variabilitas curah hujan yang besar. Daerah dengan curah hujan varian besar dapat dibedakan dengan daerah yang memiliki varian curah hujan kecil. Eigenvector dan nilai komponen utama (koefisien eigenvector) dapat bernilai positif ataupun negatif. Nilai positif menunjukkan curah hujan di atas rata-rata sedangkan nilai negatif berarti curah hujan di bawah rata-rata.
(a) (b) (c)
Gambar 5 Distribusi eigenvector komponen utama (a) pertama, (b) kedua, dan (c) ketiga (a) (b)
Gambar 4 Pola distribusi nilai (a) curah hujan bulanan rata-rata (mm) (b) standar deviasi bulanan (mm)
15 Pola temporal dari masing-masing koefisien eigenvector tahunan dijelaskan oleh time series koefisien eigenvector tersebut (Gambar 6). Koefisien eigenvector pertama menunjukkan nilai variasi musiman selama tahun amatan. Pada musim penghujan sekitar bulan Desember-Januari-Februari koefisien eigenvector menunjukkan nilai positif yang besar, sedangkan pada musim kering yaitu sekitar bulan Juli-Agustus-September nilainya besar tetapi menunjukkan tanda negatif. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh sistem monsun Asia dan Australia. Musim basah terjadi ketika angin Timur Laut menguat di Laut Cina Selatan. Di ekuator angin Timur Laut ini dibelokkan oleh gaya coriolis. Angin tersebut berubah arah yang bergerak dari arah Barat Laut ke wilayah Pulau Jawa termasuk DAS Ciujung-Cidurian. Dalam perjalanannya, angin muson Barat Laut yang melewati lautan membawa massa uap air dan menurunkan hujan di Indonesia. Berbeda halnya pada saat musim kering, angin Timur Laut melemah dan didominasi oleh angin Tenggara. Angin ini berasal dari Australia bagian Utara yang wilayahnya berupa gurun sehingga membawa massa udara yang kering ketika sampai di Indonesia.
Komponen utama kedua menyatakan varian curah hujan sebesar 10% dan keragaman tinggi terdapat pada daerah aliran sungai bagian hulu. Pada Gambar 5(b) terlihat eigenvector pada bagian hulu dan tengah bernilai positif sedangkan pada bagian hilir eigenvector menunjukkan nilai negatif. Dillihat dari gambar, nilai eigenvector makin tinggi ke arah Tenggara sehingga dapat dikatakan bahwa eigenvector kedua dipengaruhi oleh angin muson Tenggara. Pola time series koefisien eigenvector kedua menunjukkan nilai yang tidak terlalu besar. Akan tetapi koefisien eigenvector kedua tidak menunjukkan pola musiman yang jelas. Nilai positif yang lebih besar selama periode tahun amatan terjadi pada tahun 1998-2004 sedangkan tahun 2005-2008 koefisien eigenvector lebih banyak menunjukkan nilai negatif. Hal ini berarti terjadi variabilitas interannual curah hujan DAS Ciujung-Cidurian. Penelitian ini hanya mengkaji pengaruh ENSO sebagai salah satu fenomena yang mempengaruhi variabilitas interannual curah hujan. Untuk melihat pengaruh ENSO, dilakukan analisis korelasi antara data SOI dengan koefisien eigenvector kedua. Hasil korelasinya adalah -0.007 yang berarti bahwa komponen utama kedua tidak berkaitan dengan fenomena ENSO.
Berbeda dengan pola eigenvector pada komponen utama ketiga, varian tinggi terletak pada DAS Ciujung Hulu yang sebagian besar merupakan wilayah pegunungan. Dengan kata lain, hujan yang terjadi merupakan hujan orografik. Komponen utama ketiga menjelaskan keragaman curah hujan DAS Ciujung-Cidurian sebesar 8% dari keragaman total. Berdasarkan pola time series, nilai koefisien eigenvector lebih kecil dibanding dua koefisien eigenvector sebelumnya. Sama dengan pola koefisien eigenvector kedua, koefisien eigenvector ketiga tidak memiliki variasi musiman yang jelas. Oleh karena itu, diduga ada kaitan kejadian ENSO yang menyebabkan variabilitas interannual. Namun, nilai korelasi antara SOI dengan koefisien eigenvector ketiga menghasilkan korelasi yang sangat lemah yaitu sebesar 0.111. Dengan demikian, tidak ada kaitan antara kejadian ENSO dengan pola curah hujan komponen utama ketiga.
16
Analisis Musiman
Analisis tahunan yang dibahas sebelumnya menggambarkan variasi curah hujan selama setahun dan variabilitas interannual. Akan tetapi, setiap musim di Indonesia memiliki variasi curah hujan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu
Gambar 6 Time series koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, eigenvector-3 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 1998 1998 1999 2000 2000 2001 2002 2002 2003 2004 2004 2005 2006 2006 2007 2008 2008 K oe fisi en E igenvektor -1 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 1998 1998 1999 2000 2000 2001 2002 2002 2003 2004 2004 2005 2006 2006 2007 2008 2008 K oe fisi en E igenvektor -2 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 1998 1998 1999 2000 2000 2001 2002 2002 2003 2004 2004 2005 2006 2006 2007 2008 2008 K oe fisi en E igenvektor -3
17 dilakukan analisis musiman dengan membagi data menjadi empat periode yaitu musim hujan, musim kemarau, dan peralihan dari kedua musim.
Gambar 8 dan Gambar 9 memperlihatkan curah hujan rata-rata dan standar deviasi tiap periode seluruh stasiun. Curah hujan rata-rata pada periode DJF memiliki pola yang sama dengan pola standar deviasi curah hujan bulanan yaitu tinggi pada daerah Ragas Hilir dan sebagian DAS Ciujung Hulu. Pola tersebut berbeda dengan pola curah hujan rata-rata pada periode MAM, JJA, dan SON. Pada periode MAM, JJA, dan SON nilai tertinggi terdapat pada stasiun Sampang Peundeuy, Gardu Tanjak, dan Ciminyak Cilaki. Curah hujan rata-rata dan standar deviasi setiap periode di stasiun Sampang Peundeuy, Gardu Tanjak, dan Ciminyak Cilaki relatif lebih seragam dibanding wilayah lain.
Varian kumulatif yang dijelaskan oleh komponen utama tiap periode menunjukkan bahwa komponen utama keenam mampu menjelaskan varian curah hujan dari varian total. Hal ini dilihat dari varian kumulatif yang sudah mencapai 80% pada komponen utama keenam (Gambar 7)
Pola distribusi masing-masing eigenvector pada setiap periode dapat dilihat pada Gambar 10-12. Pada eigenvector pertama, curah hujan tinggi di daerah Ragas Hilir pada periode DJF. Faktor yang diduga berpengaruh adalah adanya angin muson Barat Laut yang bertiup dari Laut Cina Selatan dengan membawa massa uap air yang hangat. Periode MAM diduga adanya pengaruh dari angin Timur dan angin Barat. Bulan Maret, April, dan Mei merupakan periode transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Pada bulan-bulan ini, angin yang bertiup mulai tejadi perubahan arah tiupan angin dengan pola yang berubah-ubah hingga memasuki bulan Mei pengaruh angin muson Tenggara mulai terasa. Angin muson Tenggara menguat pada periode JJJA yang menyebabkan curah hujan menurun akibat massa udara kering yang dibawa oleh angin dari Australia bagian Utara. Secara umum, pola eigenvector pertama pada periode musiman menggambarkan sirkulasi monsun yang terjadi di Indonesia.
18
(a) (b) (c) (d) Gambar 8 Distribusi nilai curah hujan rata-rata masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
19
(b) (b) (c) (d) Gambar 9 Distribusi nilai standar deviasi curah hujan masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
20
(c) (b) (c) (d)
Gambar 10 Distribusi nilai eigenvector pertama masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
21
(d) (b) (c) (d)
Gambar 11 Distribusi nilai eigenvector kedua masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
22
(e) (b) (c) (d)
Gambar 12 Distribusi nilai eigenvector ketiga masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
23 Pola eigenvector kedua pada setiap periode dapat dilihat pada Gambar 11 . Umumnya curah hujan paling tinggi terdapat pada daerah hulu dan tengah DAS. Akan tetapi berbeda pada musim DJF, curah hujan tinggi pada daerah Ragas Hilir. Pengaruh angin muson Barat Laut masih terasa pada periode tersebut. Secara umum, wilayah dengan varian curah hujan tinggi adalah daerah selatan DAS. Eigenvector ketiga didominasi oleh hujan orografik kecuali pada periode DJF varian curah hujan tinggi di daerah Barat Laut dan Timur Laut. Adapun ringkasan hasil analisis tahunan dan musiman disajikan dalam Tabel 3.
Time series dari masing-masing koefisien eigenvector pada setiap periode menunjukkan adanya variasi interannual (Lampiran). Di bawah ini adalah nilai korelasi antara SOI dengan masing-masing koefisien eigenvector tiap periode.
Tabel 4 Nilai korelasi antara koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, dan eigenvector-3 dengan SOI
SOI DJF MAM JJA SON
DJF EOF-1 0.217 - - - EOF-2 -0.555* - - - EOF-3 0.156 - - - MAM EOF-1 - -0.467* - - EOF-2 - -0.096 - - EOF-3 - 0.021 - - JJA EOF-1 - - 0.413* - EOF-2 - - -0.173 - EOF-3 - - -0.071 - SON EOF-1 - - - 0.32** EOF-2 - - - -0.588* EOF-3 - - - 0.108
*Korelasi signifikan pada taraf nyata 5% **Korelasi signifikan pada taraf nyata 10%
Tabel 3 Hasil analisis tahunan dan musiman EOF, varian masing-masing EOF dan wilayah yang memiliki varian curah hujan tinggi
Tahunan DJF MAM JJA SON
EOF-1 Barat Laut (49%)
Barat Laut (35%)
Timur dan Barat (28%) Tenggara (42%) Timur dan Barat Laut (37%) EOF-2 Tenggara (10%) Barat Laut (16%)
Selatan dan Barat (17%) Timur Laut dan Selatan (14%) Selatan (16%) EOF-3 Pengunungan (8%) Barat Laut dan Timur Laut(10%) Pengunungan (15%) Pengunungan (9%) Pengunungan (11%)
24
Pada Tabel 4, hasil analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan SOI pada periode MAM dan JJA untuk EOF-1 serta DJF dan SON untuk EOF-2. Nilai korelasi pada periode tersebut signifikan pada taraf nyata 5% sedangkan pada periode SON untuk EOF-1 koefisien eigenvector signifikan pada taraf nyata 10% dengan nilai korelasi 0.32. Signifikansi hubungan antara koefisien eigenvector dan SOI menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara kejadian ENSO dengan curah hujan. Dengan begitu, kejadian ENSO dapat dijelaskan dengan menggunakan koefisien dari EOF1 pada periode MAM, JJA, SON dan koefisien EOF2 pada periode DJF dan SON. Periode MAM pada EOF-1 serta periode DJF dan SON pada EOF2 menunjukkan hubungan negatif. Hubungan negatif ini menjelaskan ketika SOI mengalami peningkatan (positif) maka koefisien eigenvector mengalami penurunan. Pada periode JJA dan SON untuk EOF-1 bernilai positif yang berarti pada saat SOI turun (negatif) maka koefisien eigenvector akan turun pula. EOF-1 dipengaruhi oleh sistem monsun maka pada periode JJA dan SON di Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan. Penurunan curah hujan akan lebih banyak ketika memasuki musim El Nino (SOI negatif).
Analisis Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF)
Interpretasi komponen utama dilakukan melalui korelasi antara data curah hujan asal dengan komponen utama yang disebut factor loading. Untuk membuat interpretasi lebih mudah dilakukan rotasi. Rotasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotasi varimax. Rotated factor loading menghasilkan factor loading yang sangat besar dan sisanya factor loading yang sangat kecil serta tidak ada korelasi yang nilainya intermediat. Hasil rotated factor loading ditunjukkan pada Lampiran 2.
Pada faktor 1 nilai korelasi yang tinggi terdapat pada dua stasiun yaitu Ragas Hilir dan Jongjing, sedangkan faktor 2 hingga faktor 14 korelasi tinggi hanya ada pada satu stasiun. Korelasi dianggap tinggi jika nilainya sama dengan atau lebih dari 0.75. Berdasarkan hasil ini, stasiun-stasiun yang korelasinya kecil dengan semua faktor dibuang karena dianggap tidak berpengaruh terhadap keragaman curah hujan DAS Ciujung-Cidurian. Total stasiun yang dibuang adalah lima stasiun. Kemudian ketujuh stasiun tersebut dilakukan analisis EOF kembali. Hasil dari rotated factor loading dengan lima belas stasiun dijelaskan dalam Tabel 5.
Kontribusi curah hujan masing-masing stasiun yang mewakili tiap faktor akan menentukan nilai curah hujan seluruh DAS. Pengambilan jumlah faktor dilakukan dengan melihat persentase ragam yang telah mencapai 80% yaitu pada faktor 11. Faktor 1 diwakili oleh stasiun Ragas Hilir dan Jongjing. Oleh karena itu dilakukan pembagian nilai rotated factor loading dengan cara sebagai berikut.
Ragas hilir 0.892
0.892 0.777 0.134 0.072
Jongjing 0.777
25
Tabel 5 Rotated factor loading lima belas stasiun
Variable Factor1 Factor2 Factor3 Factor4 Factor5 Factor6 Factor7 Factor8 Factor9 Factor10 Factor11 Factor12 Factor13 Factor14 Factor15 Bojong Manik 0.139 0.084 0.035 0.118 -0.92 -0.146 0.141 0.057 0.049 -0.163 -0.141 -0.083 0.103 0.043 0.011 Ciminyak Cilaki 0.08 0.102 0.935 0.112 -0.035 -0.16 -0.005 0.118 0.115 -0.135 -0.103 -0.068 0.059 0.08 0.005 Ragas Hilir 0.892 0.114 0.067 0.114 -0.09 -0.08 0.086 0.185 0.102 -0.127 -0.094 -0.107 0.143 0.151 -0.168 Babadan 0.381 0.116 0.089 0.062 -0.159 -0.204 0.011 0.133 0.128 -0.104 -0.243 -0.068 0.781 0.208 0.02 Jongjing 0.777 0.271 0.069 0.158 -0.147 -0.065 0.014 0.16 0.114 -0.115 -0.066 -0.118 0.216 0.159 0.354 Petir 0.228 0.907 0.11 0.006 -0.087 -0.131 0.055 0.114 0.147 -0.065 -0.11 -0.11 0.082 0.124 0.015 Pipitan 0.378 0.206 0.139 0.106 -0.067 -0.11 0.049 0.119 0.24 -0.14 -0.186 -0.121 0.231 0.756 0.018 Ciboleger 0.058 0.046 -0.004 0.086 -0.119 -0.035 0.974 0.036 0.064 -0.077 -0.08 -0.073 0.01 0.027 0 Gn. Tunggal 0.144 0.153 0.156 0.167 -0.21 -0.186 0.139 0.144 0.114 -0.21 -0.8 -0.106 0.227 0.159 0.007 Gardu Tanjak 0.282 0.135 0.152 0.091 -0.068 -0.127 0.049 0.853 0.112 -0.181 -0.122 -0.202 0.109 0.089 0.014 Pasir Ona 0.19 0.15 0.097 0.169 -0.117 -0.239 0.122 0.239 0.224 -0.184 -0.102 -0.807 0.065 0.102 0.012 Sampang Peundeuy 0.196 0.079 0.185 0.103 -0.216 -0.085 0.117 0.192 0.156 -0.836 -0.185 -0.167 0.09 0.109 0.011 Cisalak 0.099 0.141 0.19 0.079 -0.164 -0.881 0.044 0.116 0.148 -0.075 -0.143 -0.185 0.147 0.076 0.006 Toge 0.156 0.008 0.112 0.935 -0.114 -0.068 0.096 0.073 0.14 -0.078 -0.109 -0.113 0.044 0.063 0.011 Ranca Sumur 0.17 0.187 0.158 0.196 -0.063 -0.174 0.098 0.12 0.831 -0.158 -0.104 -0.206 0.112 0.182 0.011 Ragam 2.0054 1.1099 1.0876 1.0817 1.0809 1.0562 1.0519 0.9983 0.9705 0.9613 0.8981 0.8938 0.8631 0.7858 0.1554 % Ragam 0.134 0.074 0.073 0.072 0.072 0.07 0.07 0.067 0.065 0.064 0.06 0.06 0.058 0.052 0.01 Kumulatif 0.134 0.208 0.281 0.353 0.425 0.495 0.565 0.632 0.697 0.761 0.821 0.881 0.939 0.991 1.001 25
26
Adapun curah hujan DAS Ciujung-Cidurian dirumuskan sebagai berikut
H S 0.072 HRagas Hilir 0.062 HJongjing 0.074 HPetir 0.073 H iminyak ilaki
0.067 HGardu Tanjak 0.065 HRanca Sumur 0.064 HSampang Peundeuy 0.06 HGn.Tunggal
Berdasarkan persamaan di atas, curah hujan DAS Ciujung-Cidurian tahun 1998-2008 ditentukan oleh sekitar 7% curah hujan stasiun Ragas Hilir, Petir, Ciminyak Cilaki, Toge, Bojong Manik, Cisalak, dan Ciboleger serta sekitar 6% curah hujan stasiun Jongjing, Gardu Tanjak, Ranca Sumur, Sampang Peundeuy, dan Gn. Tunggal.
Nilai curah hujan yang diperoleh merupakan gambaran nilai curah hujan yang mendominasi varian curah hujan pada DAS Ciujung-Cidurian. Nilai curah hujan persamaan ini bukan merupakan curah hujan wilayah. Curah hujan persamaan ini menjelaskan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keragaman curah hujan yang dinyatakan dengan persentase masing-masing faktor.
Pola curah hujan DAS Ciujung-Cidurian sebagian besar dipengaruhi oleh monsun dari varian curah hujan total. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13, pola curah hujan rata-rata bulanan DAS Ciujung-Cidurian mengikuti pola curah hujan monsunal. Curah hujan tinggi pada bulan Januari-Februari sedangkan pada bulan Juli-September curah hujan rendah. Selain dipengaruhi monsoon, pola curah hujan DAS Ciujung-Cidurian ini juga dipengaruhi oleh topografi daerah yaitu daerah pegunungan.
Gambar 13 Nilai curah hujan persamaan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian 0 50 100 150 200 250 300
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
C
ur
ah Huja
n
27