• Tidak ada hasil yang ditemukan

warna, TSS, kekeruhan, dan analisis logam berat. Analisis logam berat berupa kadar krom (Cr), kadar perak (Ag), kadar merkuri (Hg), dan kadar besi (Fe) menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) (APHA 2012). Metode analisis parameter pencemar limbah cair dapat dilihat pada Lampiran 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Limbah COD

Limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah hasil analisis COD yang berasal dari laboratorium. Limbah cair COD secara visual dapat dilihat bahwa berwarna kuning bening. Limbah yang ditaruh dalam wadah penampungan ini masih tinggi derajat keasamannya sekitar 10 hingga 12. Limbah COD telah mengalami proses penetralan dengan menambahkan NaOH namun cukup sulit dilakukan diakibatkan banyak mengandung kalium dikromat (K2Cr2O7), asam sulfat pekat (H2SO4), raksa sulfat (HgSO4), perak sulfat (Ag2SO4), ferosulfat (FeSO4.7H2O), dan fero alumunium sulfat (Fe(NH4)2(SO4).6H2O) (Suprihatin dan Indrasti 2010). Limbah cair sisa analisis COD ini memiliki toksisitas tinggi sehingga belum dapat dibuang secara langsung ke lingkungan perlu penanganan khusus terlebih dahulu. Berikut penampakan limbah COD laboratorium disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Penampakan limbah COD laboratorium

Karakteristik awal limbah cair sebelum dilakukan proses elektrokoagulasi dianggap sebagai karakteristik limbah cair pada tegangan 0 V. Hasil pengukuran terhadap limbah cair sisa analisis COD laboratorium dapat diketahui nilai masing– masing parameter pada limbah tersebut, meliputi warna, kekeruhan, pH, TSS, kadar krom (Cr), kadar besi (Fe), kadar merkuri (Hg), dan kadar perak (Ag). Berikut hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.

 

Tabel 1 Karakteristik limbah COD laboratorium

Parameter Hasil penelitian Baku mutu (Kepmen LH No. 51 Tahun 1995) Warna (PtCo) 112 - TSS (mg/L) 0 0 Kekeruhan (FTU) 28 - pH 9.565 6 - 9 Kadar krom (mg/L) 3.07 0.5 Kadar merkuri (mg/L) 7.56 0.002 Kadar besi (mg/L) 0.14 5 Kadar perak (mg/L) 0.027 -

Baku mutu limbah cair ini mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995. Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa limbah COD tersebut hanya pada parameter total suspended solid (TSS) dan kadar besi yang masih dibatas baku mutu limbah cair kelas 1. Batas parameter TSS yang tertera adalah sebesar 200 mg/L sedangkan dapat dilihat bahwa tidak ditemukan TSS dalam limbah COD tersebut. Parameter kadar besi didapatkan hasil sebesar 0.14 mg/L masih di bawah batas maksimum baku mutu kadar besi, yakni sebesar 5 mg/L.

Berdasarkan parameter lain, limbah ini belum sesuai dengan baku mutu yang telah ditentukan. Parameter pH diketahui nilai yang didapatkan sebesar 9.565 hanya melewati sedikit baku mutu limbah cair yang memiliki rentang antara 6 hingga 9. Parameter kadar krom dan kadar merkuri hasil yang didapat tidak sesuai dengan baku mutu limbah cair yang telah ditentukan. Nilai kadar krom sebesar 3.07 mg/L sedangkan baku mutu hanya 0.5 mg/L. Kadar merkuri nilai yang didapat mencapai 7.56 mg/L sangat jauh melewati baku mutu yang hanya 0.002 mg/L. Parameter warna, kekeruhan, dan kadar perak (Ag) tidak menjadi parameter yang disyaratkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 1995. Standar baku mutu limbah cair industri berdasarkan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Elektrokoagulasi

Elektrokoagulasi merupakan suatu proses koagulasi dengan menggunakan arus listrik searah melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala dekomposisi elektrolit yang salah satu elektrodanya merupakan alumunium ataupun besi. Proses ini terjadi reaksi reduksi logam-logam akan direduksi dan diendapkan di kutub negatif, sedangkan elektroda positif (Fe) akan teroksidasi menjadi Fe(OH)2 yang berfungsi sebagai koagulan. Berikut penampakan elektroda positif (merah) yang menjadi koagulan disajikan pada Gambar 3.

 

Gambar 3 Penampakan elektroda positif (merah)

Menurut Nasution (2012), anoda berfungsi sebagai koagulan dalam proses koagulasi-koagulasi yang terjadi di dalam sel tersebut. Reaksi katodik terjadi pada katoda dengan membentuk gelembung-gelembung gas hidrogen yang berfungsi menaikkan flok-flok tersuspensi yang tidak dapat mengendap di dalam sel. Proses elektrokoagulasi ini menghasilkan gelembung-gelembung gas maka kotoran-kotoran yang terbentuk di dalam air akan terangkat ke atas permukaan air. Flok-flok yang terbentuk ternyata mempunyai ukuran relatif kecil sehingga Flok-flok tersebut lama-kelamaan akan bertambah besar ukurannya (Sunardi 2007). Perubahan limbah COD selama proses elektrokoagulasi disajikan pada Gambar 4 di bawah ini.

(a) Sebelum elektrokoagulasi (b) Setelah elektrokoagulasi

(c) Setelah sedimentasi selama 2 hari (d) Flok mengapung dan mengendap Gambar 4 Perubahan limbah COD selama proses elektrokoagulasi

 

Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dilihat bahwa (a) kondisi awal limbah COD masih berwarna kuning bening. Gambar 4 (b) setelah proses elektrokoagulasi dilakukan, warna limbah berubah menjadi coklat pekat akibat arus listrik memaksa ion yang ada pada elektroda besi keluar dan menjadi koagulan sehingga dapat mengikat bahan pencemar limbah. Gambar 4 (c) dilakukan proses sedimentasi, yakni proses pengendapan partikel atau flok yang terbentuk setelah proses elektrokoagulasi. Gambar 4 (d) merupakan penampakan limbah COD yang berubah menjadi jernih akibat bahan terlarut dalam limbah cair membentuk flok mengendap dan mengapung yang merupakan bahan pencemar. Pengendapan flok Fe(OH)2 terjadi karena adanya pertumbuhan massa flok sehingga berat jenis flok menjadi besar dan akhirnya mengendap. Gas hidrogen dari katoda membantu flok Fe(OH)2 dalam larutan yang terangkat ke permukaan (Yulianto et al. 2009).

Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap pH

Parameter pH atau disebut kadar keasaman mengindikasikan kebasaan dari suatu larutan. Semakin banyak ion OH- dan gas hidrogen yang dihasilkan melalui reaksi reduksi molekul air (H2O) pada katoda maka nilai pH atau kebasaan dari limbah cair yang diolah akan semakin meningkat (Ni’am et al. 2007). Menurut Abdel dan Husein (1993) bahwa nilai pH sekitar katoda semakin tinggi selama proses elektrolisis berlangsung. Berikut Gambar 5 menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai pH limbah COD.

Gambar 5 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai pH limbah COD

Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai pH limbah COD. Semakin lama waktu kontak elektrokoagulasi dan semakin besar tegangan yang diberikan maka nilai pH limbah COD semakin naik. Data hasil penelitian nilai pH limbah cair pada berbagai variasi pelakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai pH awal limbah COD saat karakterisasi sebesar 9.56, kemudian setelah dilakukan proses elektrokoagulasi, nilai pH meningkat menjadi 10.77 pada tegangan 12 V dengan waktu kontak 4 jam. Menurut Ni’am et al. (2007), peningkatan nilai pH yang terjadi disebabkan karena pada proses elektrokoagulasi terjadi akumulasi

  9 9.5 10 10.5 11 0 1 2 3 4 5 pH

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 12 V

 

OH-. Hal ini menunjukkan bahwa proses elektrokoagulasi yang diterapkan pada limbah COD berdampak pada pH yang semakin meningkat sehingga belum memenuhi baku mutu limbah cair Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 sebesar 6 hingga 9.

Kenaikan pH akan memudahkan pembentukan ion hidroksi dan menaikkan konduktivitas larutan, sehingga interaksi antar koagulan dan polutan akan semakin meningkat. Ion hidroksi akan bereaksi dengan polutan logam berat menjadi senyawa logam hidroksida yang tidak larut dan mudah teradsorbsi oleh koagulan (Mukimin 2006). Peningkatan pH menyebabkan terjadinya penurunan kandungan polutan pada limbah. Hal ini disebabkan oleh efek ion-ion hidroksida (OH-), semakin meningkat jumlah ion hidroksida maka energi yang dibutuhkan untuk pembentukan gas hidrogen atau oksigen semakin rendah sehingga gelembung hidrogen atau oksigen tersebut banyak terbentuk. Meningkatnya jumlah gelembung udara akan meningkat pula kinerja flotasi.

Menurut Nasution (2012), kenaikan tegangan listrik pada bejana elektrokoagulasi akan membawa kenaikan nilai arus listrik sehingga akan meningkatkan daya kerja dalam bejana tersebut. Kenaikan pH ini menandakan bahwa adanya reaksi yang terjadi di dalam bejana terutama di katoda. Katoda pada proses elektrolisis menghasilkan ion OH- yang akan menaikkan nilai pH. Nilai pH larutan juga mempengaruhi kondisi spesies pada larutan dan kelarutan dari produk yang dibentuk. pH larutan mempengaruhi keseluruhan efisiensi dan efektifitas dari elektrokoagulasi.

Abdel dan Hussein (1993) menambahkan semakin tinggi pH sekitar katoda maka semakin besar pengurangan turbiditas atau kekeruhan air. pH memiliki pengaruh yang besar terhadap pengendapan logam. Pengendapan logam berat yang tereduksi membutuhkan waktu relatif lama karena padatan tersuspensi logam berat yang tereduksi sangat sulit untuk diendapkan dengan waktu yang singkat. Tiap logam memiliki pH spesifik saat kelarutannya minimum, sehingga dapat mengendap secara maksimal (Jamhari 2009).

Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus). Padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga akan semakin tinggi tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Samosir 2009). Kekeruhan atau turbiditas air disebabkan oleh kontaminan biologis, senyawa makromolekul, senyawa anorganik tak larut dan partikel tersuspensi atau koloid (oksida alumunium, besi, dan silika) (Holisaturrahmah dan Suprapto 2013).

Salah satu karakteristik limbah yang menjadi nilai penting bagi limbah sebelum dibuang ke lingkungan adalah kekeruhan. Kekeruhan atau turbidity digunakan untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang biasanya bahan organik dan anorganik. Semakin pekat atau keruh suatu limbah cair yang dibuang ke lingkungan maka kualitas limbah dan keamanannya terhadap lingkungan semakin buruk. Proses

 

elektrokoagulasi selain berpengaruh terhadap penurunan nilai TSS, juga berpengaruh terhadap nilai kekeruhan dari limbah yang digunakan (Gameissa et al. 2012). Berikut pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kekeruhan dan efisiensi penyisihan kekeruhan limbah COD disajikan pada Gambar 6.

(a)

(b)

Gambar 6 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kekeruhan (a) dan efisiensi penyisihan kekeruhan limbah COD (b) Berdasarkan Gambar 6 (a) menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kekeruhan limbah COD. Grafik dapat terlihat bahwa data yang dihasilkan bersifat fluktuatif. Nilai kekeruhan terjadi penurunan kemudian meningkat kembali dapat disebabkan elektroda telah jenuh dan medan magnet yang terjadi sudah sangat kecil maka proses elektrokoagulasi sudah minimum. Menurut Susetyaningsih et al. (2008), dapat diduga sebagian besar kekeruhan akibat flok Fe(OH)2 yang akhirnya mengendap pada bejana. Nilai kekeruhan limbah COD awal saat karakteristik diketahui sebesar 28 FTU. Nilai kekeruhan mengalami penurunan tertinggi setelah dilakukan proses elektrokoagulasi sebesar 3 FTU. Penurunan ini terjadi pada tegangan 12 V dengan

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 1 2 3 4 5 Ke k er u ha n (F T U )

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 12 V ‐60 ‐40 ‐20 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 P er u ba ha n k ek er u ha n (% )

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 12 V

 

waktu kontak 2 jam. Efisiensi saat tegangan dan waktu kontak tersebut sebesar 89.28% terlihat pada Gambar 6 (b). Data hasil pengujian nilai kekeruhan limbah COD pada berbagai variasi perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap TSS

Total Suspended Solid (TSS) adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 mikrometer atau lebih besar dari ukuran koloid (Isnani 2010). Parameter TSS merupakan faktor penting untuk pengolahan dan sebagai standar acuan keberhasilan sistem pengolahan. TSS mudah dikenali dalam mengukur kualitas suatu air karena secara fisik dapat dilihat, jika suatu limbah cair mengandung TSS tinggi maka dapat langsung disimpulkan bahwa limbah berkualitas jelek dan berpotensi merusak ekosistem khususnya di aquatik. Analisis kandungan padatan tersuspensi (TSS) adalah penting dalam keperluan mengatur atau menentukan proses pengolahan limbah baik secara biologi maupun fisika dan salah satu syarat kunci untuk perizinan pembuangan limbah cair ke lingkungan.

Sumber polutan TSS adalah bahan-bahan kimia baik organik maupun anorganik yang membentuk suspensi pada limbah cair tersebut. Sumber TSS juga berasal dari logam-logam yang membentuk senyawa komplek baik dengan ligan hidroksida atau anion-anion lain yang senyawa ini tersuspensi di dalam larutan limbah baik karena sifat ukuran molekul senyawanya maupun sifat kepolaran yang dimiliki (Mukimin 2006). Proses penurunan TSS dapat diketahui karena TSS adalah polutan yang berada dalam bentuk tersuspensi. Suatu material berbentuk solid apabila materi tersuspensi dengan ukuran tertentu. Material solid ini dapat dengan mudah teradsorbsi ke dalam koagulan Fe(OH)2 atau teradsorbsi ke dalam gelembung udara. Hasil adsorbsi akan terpisahkan ke atas (terflotasi) sehingga terjadi penurunan konsentrasi TSS di dalam limbah cair.

Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa data yang dihasilkan bersifat fluktuatif. Hal ini dapat disebabkan pada limbah COD terdapat ion-ion logam lainnya sehingga ion logam-logam tersebut direduksi menjadi logamnya yang membentuk flok-flok halus melayang sehingga meningkatkan nilai TSS pada limbah COD (Gameissa 2012). Tegangan 12 V terjadi peningkatan nilai TSS yang awalnya tidak ada menjadi terdapat padatan tersuspensi pada waktu kontak 3 jam dan meningkat saat 4 jam. Meningkatnya konsentrasi TSS disebabkan karena banyaknya flok yang terbentuk dan terflotasi ke atas. Flok-flok tersebut ikut terbawa pada saat pengukuran. Selama proses elektrokoagulasi, jika tegangan yang diberikan semakin besar, maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk pengendapan karena flok yang terbentuk akan semakin banyak. Peningkatan konsentrasi TSS seiring dengan meningkatnya voltase yang diberikan. Hal ini sangat berhubungan dengan besarnya kuat arus dan tegangan listrik yang diberikan pada saat proses elektrokoagulasi berlangsung. Berikut Gambar 7 menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai TSS limbah COD.

 

Gambar 7 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai TSS limbah COD

Semakin besar kuat arus dan tegangan yang diberikan semakin banyak pula dihasilkan flok-flok yang dapat mengikat kontaminan pada limbah. Flok flok yang dihasilkan sebagian dapat mengendap dan sebagian lagi ada yang terflotasi ke atas permukaan (Wardhani 2012). Berdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui bahwa nilai TSS limbah COD baik sebelum maupun setelah proses elektrokoagulasi masih memenuhi baku mutu limbah cair Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 kelas 1 yakni sebesar 200 mg/L. Data hasil pengujian nilai TSS limbah COD pada berbagai variasi perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Warna

Warna limbah cair dapat dibedakan menjadi dua, yaitu warna sejati dan warna semu. Warna yang disebabkan oleh warna organik yang mudah larut, beberapa ion logam ini disebut warna sejati. Air yang mengandung kekeruhan atau adanya bahan tersuspensi oleh penyebab warna sejati maka warna tersebut dikatakan warna semu karena adanya bahan-bahan tersuspensi termasuk koloid. Wati (2008) menyatakan warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi dan mangan, humus, plankton, tanaman air, dan buangan industri. Menurut Darmawan et al. (2006), konstanta adsorbsi zat warna merupakan fungsi kesebandingan dari voltase yang diberikan, dengan kata lain laju adsorbsi zat warna sebanding dengan voltase elektrolisis besi. Proses dekolorisasi dapat terjadi karena koagulasi zat warna yang terdapat dalam limbah cair oleh koloid besi hidroksida yang dilepaskan selama elektrokoagulasi.

Proses koagulasi disebabkan oleh adanya perbedaan muatan pada kedua partikel tersebut (zat warna dan besi hidroksida). Semakin besar tegangan yang diberikan maka semakin besar pula arus yang mengalir pada larutan. Hal ini menyebabkan semakin cepat terjadi reaksi pembentukan hidroksida koagulan dan

0 2 4 6 8 10 12 14 0 1 2 3 4 5 TS S (m g /L )

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 

 

reaksi dekolorisasi yang terjadi (Darmawan et al. 2006). Warna merupakan salah satu parameter dalam pengolahan limbah. Warna pada limbah laboratorium berasal dari kandungan logam-logam yang terdapat di dalamnya (Rohaeti et al. 2010). Berikut pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai warna dan efisiensi penyisihan warna limbah COD disajikan pada Gambar 8.

(a)

(b)

Gambar 8 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap nilai warna (a) dan efisiensi penyisihan warna limbah COD (b)

Berdasarkan grafik terlihat bahwa tegangan 6 dan 9 V data yang dihasilkan bersifat fluktuatif. Hal ini dikarenakan kemampuan kedua tegangan tersebut kurang untuk menurunkan parameter pencemar. Jarak antar elektroda dan

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 1 2 3 4 5 W arn a (Pt C o )

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 12 V ‐80 ‐60 ‐40 ‐20 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 Pe ru b ah an w arn a (%)

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 12 V

 

pengaruh medan magnet juga dapat menjadi penyebab naik turunnya nilai warna. Menurut Purwaningsih (2008), salah satu kekurangan proses elektrokoagulasi adalah luas sempitnya bidang kontak elektroda dan jarak antar elektroda. Penelitian ini tidak memperhatikan kedua faktor tersebut sehingga dapat menjadi penyebab data yang diperoleh terjadi peningkatan dan penurunan.

Proses elektrokoagulasi yang menggunakan plat besi ini terjadi peningkatan nilai warna pada tegangan 12 V saat waktu 3 jam disebabkan akibat proses pengkaratan. Pengkaratan merupakan peristiwa logam bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan tertentu di dalam air hingga logam tersebut habis bereaksi. Limbah cair yang mengandung asam, misalnya asam lemah akan mempengaruhi terjadinya proses pengkaratan namun teori baru menunjukkan bahwa pengkaratan dapat terjadi dengan cepat tanpa adanya asam askorbat atau asam-asam lemah lainnya, salah satunya adalah dengan peristiwa elektrokimia (Winarno et al. 1973 dalam Gameissa 2012).

Warna limbah setelah perlakuan elektrokoagulasi secara visual sangat berbeda dengan kondisi limbah awal, yaitu lebih jernih. Hasil analisis warna juga menunjukkan nilai di bawah warna limbah awal. Warna awal limbah yaitu kuning bening dengan nilai sebesar 112 PtCo dapat dilihat pada Gambar 8 (a) berasal dari kromium yang tidak mengendap. Penurunan warna tertinggi terjadi setelah proses elektrokoagulasi pada tegangan 12 V dengan waktu 2 jam sebesar 13 PtCo. Efisiensi saat tegangan dan waktu kontak tersebut sebesar 88.39% terlihat pada Gambar 8 (b).

Menurut Nasution (2012), perubahan warna dari coklat gelap menjadi jernih terjadi karena pengotor telah dihilangkan dalam proses elektrokoagulasi. Pengotor ini yang menjadi penyebab adanya warna coklat gelap pada limbah. Pengotor tersebut hilang dengan dua cara, yaitu pengotor yang lebih berat terbawa ke dasar bejana (proses koagulasi) dan pengotor lebih ringan akan mengapung ke atas bejana (proses pengapungan). Data hasil pengujian nilai warna limbah COD pada berbagai variasi perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 6.

Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Krom

Logam Cr adalah bahan kimia yang bersifat persisten, bioakumulatif, dan toksik (Persistent, Bioaccumulative, and Toxic (PBT)) yang tinggi serta tidak mampu terurai di dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Kestabilan diakumulasikan akan mempengaruhi toksisitasnya terhadap manusia secara berurutan, mulai dari tingkat toksisitas terendah, yakni Cr (0), Cr (III), dan Cr (VI). Cr (VI) pada umumnya 1 000 kali lipat lebih toksik dibandingkan Cr (VI), tidak bersifat iritatif, serta tidak korosif. Senyawa Cr (III) lebih toksik pada ikan dan binatang air lainnya dibandingkan Cr (VI) (Jamhari 2009).

Limbah logam berat Cr (VI) yang merupakan salah satu jenis limbah berbahaya, dapat berasal dari industri cat, pelapisan logam (electroplating), dan penyamakan kulit (leather tanning). Krom terdapat di alam dalam dua bentuk oksida, yaitu Cr (VI) atau chromium hexavalent dan Cr (III) atau chromium trivalent. Cr (VI) mudah larut dalam air dan membentuk divalent oxyanion, yaitu kromat (CrO42-) dan dikromat (Cr2O72-). Tingkat toksisitas Cr (VI) sangat tinggi sehingga bersifat racun terhadap semua organisme untuk konsentrasi > 0.05 ppm. Cr (VI) bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia.

 

Toksisitas Cr (III) jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Cr (VI), yaitu sekitar 1/100 kalinya, sehingga untuk mengolah limbah krom, Cr (VI) harus direduksi terlebih dahulu menjadi Cr (III). Cr (III) mudah diendapkan atau diabsorbsi oleh senyawa-senyawa organik dan anorganik pada pH netral atau alkalin (Darmono 1995 dan Widowati et al. 2008 dalam Jamhari 2009). Berikut pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kadar krom dan efisiensi penyisihan krom limbah COD disajikan pada Gambar 9.

(a)

(b)

Gambar 9 Pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kadar krom (a) dan efisiensi penyisihan krom limbah COD (b)

Nilai kadar krom limbah COD awal saat di karakterisasi sebesar 3.07 mg/L. Grafik menunjukkan bahwa tegangan 6 terjadi peningkatan kadar krom saat waktu kontak 1 jam, kemudian turun lalu meningkat kembali diakibatkan kemampuan elektroda akan berkurang apabila reaksi antara elektroda dan limbah telah jenuh

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 0 1 2 3 4 5 K adar kr o m ( m g/L )

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 12 V ‐40 ‐20 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 P er u ba ha n k ro m ( % )

Waktu kontak (jam)

6 V 9 V 12 V

 

seiring berjalannya waktu, sehingga akan mempengaruhi presentase penurunan kadar kromiumnya (Harmami et al. 2014). Kromium yang telah diendapkan kemudian terlarut kembali sehingga konsentrasi kromium dalam larutan sedikit meningkat. Simajuntak et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan kembali absorbansi mengindikasikan terjadinya destabilisasi flok sehingga polutan yang sebelumnya telah terkoagulasi terlarut kembali ke dalam limbah.

Penurunan kadar krom terjadi setelah proses elektrokoagulasi dilakukan dengan nilai tertinggi sebesar 0.075 mg/L. Penurunan ini terjadi pada tegangan 9 V dengan waktu kontak 2 jam. Hal ini menunjukkan setelah elektrokoagulasi, nilai kadar krom pada limbah COD telah memenuhi baku mutu limbah Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 kelas 1 sebesar 0.5 mg/L. Efisiensi saat tegangan dan waktu kontak tersebut sebesar 97.55% terlihat pada Gambar 9 (b). Data hasil pengujian kadar krom limbah COD pada berbagai variasi perlakuan elektrokoagulasi dapat dilihat pada Lampiran 7.

Pengaruh Elektrokoagulasi terhadap Besi

Logam besi teroksidasi dalam air berwarna kecoklatan dan tidak larut mengakibatkan penggunaan air menjadi terbatas. Kandungan besi yang ada di dalam buangan limbah industri berasal dari korosi pipa-pipa air mineral logam sebagai hasil reaksi elektrokimia yang terjadi pada perubahan air yang mengandung padatan larut mempunyai sifat menghantarkan dan ini mempercepat terjadinya korosi (Wati 2008). Gambar 10 (a) menunjukkan pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak elektrokoagulasi terhadap kadar besi limbah COD. Sutanto et al. (2012) menyatakan proses elektrokoagulasi dapat menurunkan kadar besi dan kekeruhan dalam limbah. Semakin lama penggunaan waktu proses atau arus yang digunakan semakin tinggi, maka kadar besi dan kekeruhan limbah cair semakin turun.

Berdasarkan Gambar 10 (a) terlihat bahwa grafik yang dihasilkan bersifat fluktuatif. Hal ini dapat disebabkan pada semua permukaan plat elektroda tertutup oleh flok yang terbentuk, sehingga sudah berkurang kemampuannya untuk menarik ion-ion dalam limbah. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan besarnya medan magnet. Medan magnet diantara plat elektroda ketika masih cukup besar menyebabkan sistem ionik dari logam-logam yang ada dominan saling berkompetisi untuk menempel pada plat elektroda dan proses oksidasi pada plat anoda juga masih besar. Kekeruhan selain diakibatkan adanya kotoran karena sebagian besar kekeruhan diduga diakibatkan oleh flok Fe(OH)2 yang akhirnya mengendap pada bejana sedimentasi (Susetyaningsih et al. 2008).

Kadar besi limbah COD awal saat karakteristik diketahui sebesar 0.14 mg/L. Data hasil pengujian kadar besi limbah COD pada berbagai variasi

Dokumen terkait