• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Perkebunan dan Teknik Budidaya Cengkeh

Perkebunan cengkeh di wilayah Kabupaten Kediri yang secara umum memiliki kondisi lingkungan, iklim, dan teknik budidaya yang hampir sama. Kondisi umum dan teknik budidaya perkebunan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kondisi dan cara budidaya tiga perkebunan cengkeh di wilayah Kabupaten Kediri Informasi perkebunan Perkebunan Pertanaman Rakyat Swasta (Sumber Sari Petung) PDP Margomulyo

Dataran lokasi Tinggi Tinggi Tinggi

Ketinggian (m dpl) 677-715 700 715

Luas (ha) - 200 27.5

Varietas cengkeh Siputih, Zanzibar Zanzibar Zanzibar Umur tanaman

mayoritas (tahun)

>15 >15 >15

Cara tanam Tumpangsari Monokultur Tumpangsari Jarak tanam (m) 5 x 6, 7 x 7 7 x 7 7 x 7

Kondisi lahan Kurang terawat Terawat Terawat, kurang terawat

Keberadaan gulma Sedang Sedikit Banyak

Pengendalian gulma Manual Manual Manual

Sistem budidaya yang digunakan di perkebunan cengkeh di tiga perkebunan tidak jauh beda. Bibit cengkeh diperoleh dari perkebunan/petani lain (salah satunya adalah PDP Panglungan Jombang). Setelah bibit berumur 1–2 tahun, bibit dipindahkan ke kebun. Lubang tanam sudah disiapkan minimal satu bulan sebelum bibit siap dipindahkan dengan menambahkan pupuk kandang yang sudah matang. Hadiwijaya (1981) menjelaskan bahwa penggunaan pupuk kandang yang belum matang pada bibit yang baru ditanam/dipindahkan menyebabkan kematian dengan gejala layu, akar membusuk yang disebakan oleh cendawan Phytophthora

dan Pythium yang berasal dari pupuk kandang. Jarak antar lubang tanam yang satu dengan yang lain adalah 7 x 7 m (SSP dan PDP Margomulyo umur tanaman muda, dan tua serta sebagian besar dari PR). Ukuran ini sesuai dengan hasil Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri menunjukkan bahwa ukuran lubang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pada periode tumbuh 1-2 tahun (Rosman 1988). Lokasi umur tanaman muda di tiga perkebunan menggunakan rumput kering dan alang-alang sebagai mulsa penutup. Hal ini perlu dilakukan agar keadaan tanah tetap lembab atau mencegah penguapan air yang berlebihan, terutama pada musim kemarau (Muhammad 19972). Beberapa

7 titik lokasi tanaman umur muda di PDP Margomulyo juga menggunakan sisa tanaman nanas sebagai mulsa penutup.

Pemupukan dilakukan pada pertanaman cengkeh untuk perawatan. Pemupukan dilakukan setelah panen karena setiap kali terjadi pengurangan cadangan hara dalam tanah. Selain itu, pemberian pupuk juga dilakukan pada awal dan akhir musim hujan. Dengan pemupukan diusahakan agar yang telah terambil dari tanah dapat tergantikan (Hadiwijaya 1981). Aplikasi pemupukan di tiga perkebunan berdasarkan hasil wawancara disajikan pada tabel 2. Dosis pemberian pupuk meningkat seiring bertambahnya umur tanaman cengkeh. Pemberian dolomit bertujuan untuk meningkatkan pH tanah karena menurut analisis laboratorium Universitas Brawijaya tahun 2013 kondisi tanah di SSP bersifat asam dengan pH 4–5.5. Diduga salah satu penyebab keasaman tanah akibat penggunaan pupuk cair amina yang merupakan limbah dari pabrik penyedap rasa. Tabel 2 Aplikasi pemupukan di tiga perkebunan berdasarkan hasil wawancara Jenis pupuk

Perkebunan Pertanaman

Rakyat

Swasta (Sumber

Sari Petung) PDP Margomulyo Pupuk

kandang

Dosis

(kg/pohon) ±7 10 7

Frekuensi Awal dan akhir musim hujan

Awal dan akhir musim hujan

Mulai berbunga dan setelah panen NPK

Dosis

(kg/pohon) ±2 2 2.5

Frekuensi

2 kali (awal dan akhir musim hujan)

2 kali (awal dan akhir musim hujan) 2 kali (mulai berbunga dan setelah panen) Pupuk lain Jenis

pupuk - Dolomit Urea

Dosis

(kg/pohon) - 1 1

Frekuensi -

2 kali (awal dan akhir musim hujan)

2 kali (awal dan akhir musim hujan) Hama Cengkeh di Kabupaten Kediri

Hama merupakan salah satu pembatas produksi cengkeh. Hama menyerang tanaman cengkeh mulai dari pembibitan sampai tanaman produktif di lapangan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan beberapa hama yang menyerang tanaman cengkeh di Kabupaten Kediri yaitu,

1. Penggerek batang Nothopeus sp. (Coleoptera : Cerambycidae) 2. Penggerek ranting Coptocercus sp. (Coleoptera : Cerambycidae) 3. Kutu tempurung Coccus sp. (Hemiptera : Coccidae)

8

Penggerek batang

Serangan penggerek batang Nothopeus sp. mulai meningkat pada tanaman berumur dewasa dan umumnya setelah tanaman berbunga. Gejala serangan hama penggerek ini sangat mudah dikenali yaitu keluarnya cairan beserta kayu gerekan dari lubang gerek yang menyerupai serbuk gergaji pada kulit batang utama pohon cengkeh. Jika batang yang terserang Nothopeus sp. ini dibelah akan terlihat bekas gerekan yang tidak teratur (Gambar 1).

Larva dari penggerek batang (Gambar 2) merupakan stadia yang paling berbahaya. Larva berbentuk langsing berwarna putih pucat dengan panjang tubuh 2.5–3 cm. Ruas pertama toraks menebal dan berwarna coklat muda. Lama stadia larva antara 130–350 hari (Rojak 2008). Jumlah gerekan aktif per pohon 1 sampai 49 lubang gerekan yang berukuran 3–5 mm (Indriati 2011). Menurut Hadiwijaya (1981) serangan penggerek ini bersifat merusak bagian kulit serta kayu sehingga translokasi air dan hara menjadi terganggu. Selain itu, serangan hama ini dapat secara drastis menurunkan produksi bahkan menyebabkan kematian tanaman.

Terdapat dua spesies hama penggerek batang Nothopeus sp. yaitu N. hemipterus dan N. fasciatipennis. Gejala serangan hama ini hampir sama, perbedaan terlihat dari bekas gerekan di batang cengkeh yang terserang. N. fasciatipennis lebih berbahaya karena arah lubang gerekan yang melingkari batang, sedangkan N. hemipterus arah gerekannya sejajar batang (Rojak 2008). Hama ini selain menyerang tanaman cengkeh, juga menyerang tanaman lain yaitu

Gambar 2 Larva penggerek batang Nothopeus sp. c

b a

Gambar 1 Gejala serangan penggerek batang, (a) lubang gerek di permukaan batang, (b) penampang membujur batang, (c) penampang melintang batang

9 jambu bol (Eugenia malaccensis), salam (Eugenia polyantha), dan juwet (Eugenia cumini) (Rahayu 2011).

Uji laboratorium dilakukan untuk melihat cendawan yang terdapat pada larva penggerek batang Nothopeus sp. meliputi alat mulut, usus dan kulit luar penggerek. Hasil identifikasi cendawan ditemukan Paecilomyces sp. dan

Acremonium sp. (Gambar 3).

Paecilomyces sp. memiliki bentuk mirip Penicillium sp. yang berwarna hijau atau biru, sedangkan Paecilomyces sp. berwarna emas atau kecoklatan.

Paecilomyces sp. dikenal sebagai nematofagus dengan cara menjerat larva, merusak telur dan menjadi endoparasit di dalam tubuh cacing (Ahmad 2011). Muin (1998) menjelaskan bahwa Paecilomyces sp. efektif sebagai agens pengendali yang potensial terhadap nematoda parasit tumbuhan. Sedangkan,

Acremonium sp. telah lama dikenal sebagai salah satu penyebab infeksi mycetoma di negara-negara beriklim tropis. Fincher et al (1991) dalam Guarro (1997) menjelaskan infeksi yang disebabkan oleh Acremonium sp. sangat kompleks, namun beberapa spesies berfungsi sebagai antifungal. Acremonium sp. dapat ditemukan di dalam tanah, sisa tanaman dan akar jamur. Lebih lanjut de Hoog dan Guarro (1995) dalam Guarro (1997) menyatakan bahwa cendawan ini dapat menyebabkan infeksi pada vertebrata.

Pengendalian penggerek batang cengkeh dilakukan dengan cara mencari dan memusnahkan telur yang ditemukan pada batang serta menutup lubang- lubang gerekan dengan menggunakan pasak dari bambu sehingga serangga dewasa yang menetas tidak dapat keluar dan akhirnya mati (Kalshoven 1981). Pengendalian secara mekanis tersebut juga dilakukan oleh ketiga perkebunan dengan menambahkan kapas yang telah dicelupkan kedalam insektisida kimia (pengendalian kimia) sebelum ditutup menggunakan pasak kayu. Selain pengendalian secara mekanis dan kimiawi, SSP, PDP Margomulyo dan sebagian petani pemilik kebun cengkeh juga melakukan pembersihan/sanitasi kebun yang merupakan salah satu upaya pengendalian hama terpadu. Menurut Indriati (2011) sanitasi areal pertanaman cengkeh perlu dilakukan karena cengkeh akan tumbuh dengan baik apabila cukup air dan mendapat sinar matahari langsung. Penggunaan agens hayati/pengendalian biologi seperti dengan menyuntikkan suspensi jamur patogen Beauveria bassiana pada lubang gerekan (Indriati 2011) masih belum Gambar 3 Cendawan hasil isolasi larva penggerek batang (a) Paecilomyces sp.,

(b) Acremonium sp.,

10

dilakukan oleh PDP Margomulyo dan PR, sedangkan SSP masih dalam masa uji coba.

Penggerek ranting

Serangan penggerek ranting pertama kali ditemukan oleh Leefmas pada tahun 1925 di Sonder, Sulawesi Utara (Disjenbun 1976, Soetopo 1988) dan tidak lama kemudian ditemukan serangga yang sama di Pulau Jawa (Manuwoto 1976

dalam Soetopo 1988). Serangan hama ini dirasa kurang penting secara ekonomis, sehingga perhatian terhadap hama ini masih sangat kurang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa serangan hama ini bersifat sekunder yaitu bila keadaan tanaman cengkeh lemah atau buruk nya kodisi tanaman.

Gejala yang ditemukan dilapangan adalah berupa lubang gerekan yang berdiameter ± 1.8 mm dipermukaan ranting. Bila ranting ini dibelah, tampak liang gerekan larva di tengah-tengah ranting dan mengarah ke atas (Gambar 4). Menurut Harni (2011) ranting yang terserang hama ini akan kering dan mudah patah, sehingga tanaman tampak meranggas.

Larva pengggerek berwarna kuning kecoklatan dengan bagian alat mulut berwarna coklat tua. Panjang larva berkisar antara 0.8-1.3 cm. Bentuk larva seperti family Cerambycidae lain yaitu ramping kebelakang (Gambar 4c). Lebih lanjut, Kalshoven (1981) dan Direktorat Jendral Perkebunan (1976) menjelaskan bahwa pada bagian alat mulut yaitu labrum dan mandibel berwarna coklat tua. Bagian pronotum terdapat penebalan seperti perisai yang juga berwarna coklat yang diduga berfungsi untuk membuat lubang gerek.

Serangan penggerek ranting yang disebabkan kondisi tanaman yang kurang baik, maka pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan dan perbaikan kondisi tanaman dengan berbagai cara seperti pemupukan, penyemprotan dengan insektisida sistemik juga dapat dilakukan dengan bijaksana. Kutu tempurung

Kutu tempurung banyak ditemukan pada tanaman umur muda, pada daun atau ranting yang masih berwarna hijau. Pada daun, kutu berada di bagian permukaan bawah daun, terutama pada pertulangan daun. Kutu ini merupakan perusak pucuk yang dapat menyebabkan gugurnya daun dan menggaggu proses respirasi serta asimilasi pada tanaman (Soetopo 1988). Akibat dari tusukan dan penghisapan oleh kutu pada tanaman, warna hijau dari bagian tanaman akan berubah menjadi kuning.

Gambar 4 Gejala penggerek ranting; (a) lubang gerek dipermukaan ranting; (b) lubang gerek di tengah-tengah ranting, (c) larva penggerek ranting

b c

11 Kerusakan secara tidak langsung adalah timbulnya embun jelaga pada permukaan tanaman yang terserang kutu. Kutu tempurung mengeluarkan embun madu dari badannya yang menjadi media pertumbuhan cendawan embun jelaga. Cendawan ini menutupi daerah respirasi dan asimilasi di permukaan daun yang akhirnya melemahkan tanaman. Selain cendawan embun jelaga, asosiasi embun madu lain adalah semut yang sedikit mengganggu saat pemetikan. Kutu berbentuk pipih lonjong engan panjang 4-5 mm, berwarna hijau (Poole 2005) (Gambar 5). Serangga ini melindungi telurnya dengan menggunakan tempurung sehingga sulit dikendalikan dengan pestisida kontak.

Berdasarkan analisa statistik serangan penggerek batang dan ranting berbeda nyata setiap umur tanam cengkeh. Serangan penggerek batang dan ranting meningkat seiring bertambahnya umur tanaman (Tabel 3). Namun, hal ini tidak berlaku pada serangan kutu tempurung yang hanya menyerang cengkeh umur tanaman muda. Serangan penggerek meningkat seiring bertambahnya umur tanaman karena tempat hidup dari penggerek juga semakin luas (volume batang utama yang semakin besar dan jumlah ranting yang semakin banyak). Sedangkan, kutu tempurung merupakan hama yang merusak pucuk tanaman cengkeh, dan sesuai dengan ekologi kutu tempurung yang hanya ditemukan pada tanaman umur muda, pada pengamatan lapang juga tidak ditemukan serangan kutu tempurung pada umur tanaman dewasa dan tua.

Tabel 3 Serangan hama cengkeh pada tingkat umur tanaman di Kabupaten Kediri

Hama Tanaman terserang (%)

Muda Dewasa Tua

Penggerek batang 4.67±2.00 c 58.00±4.00 b 100±0.00 a Penggerek ranting 38.67±4.00 c 63.33±4.00 b 92±2.00 a Kutu tempurung 8.00±2.00 a 0.00±0.00 b 0.00±0.00 b

a

Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada α = 0.05.

Pada umur tanaman muda, serangan penggerek batang lebih rendah jika dibanding dengan serangan penggerek ranting. Hal ini disebabkan pada umur tanaman muda, batang utama cengkeh umumnya berdiameter ± 1.5 cm dan memiliki tinggi rata-rata 200 cm. Selain itu, rendahnya serangan penggerek batang juga disebabkan oleh perilaku penggerek batang yang cenderung melakukan serangan pada batang bagian tengah dan atas tanaman yang telah berumur lebih dari enam tahun (Soetopo 1988). Sumber lain menyebutkan telur

12

dan lubang gerekan pada batang umumnya dijumpai pada ketinggian 0.3 hingga 5 meter dari permukaan tanah (Indriati 2011).

Selain umur tanaman, lokasi pengamatan juga berpengaruh terhadap serangan hama pada tanaman cengkeh (Tabel 4). Hama yang ditemukan dari ketiga lokasi perkebunan sama yaitu penggerek batang, penggerek ranting, dan kutu tempurung.

Tabel 4 Serangan hama di tiga perkebunan di Kabupaten Kediri Hama dan penyakit

Tanaman terserang (%) Swasta (SSP) Pertanaman Rakyat PDP Margomulyo Penggerek batang 60.00±4.00 a 40.00±4.00 b 62.67±4.00 a Penggerek ranting 57.33±4.00 b 54.67±4.00 b 82.00±3.00 a Kutu tempurung 2.67±1.00 a 2.67±1.00 a 2.67±1.00 a a

Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada α = 0.05.

Serangan penggerek batang berbeda nyata antara SSP dan PDP Margomulyo dengan PR. Hal ini disebabkan adanya perbedaan jumlah pohon yang berumur lebih dari 15 tahun antara SSP, PDP Margomulyo, dan PR. Selain itu, kondisi pertanaman rakyat yang memiliki lokasi berjauahan memiliki tingkat persebaran hama yang lebih rendah dibanding SSP dan PDP Margomulyo. Serangan kutu tempurung tidak berbeda nyata diantara tiga perkebunan karena kutu tempurung hanya menyerang di pertanaman muda.

Penyakit Cengkeh di Kabupaten Kediri

Penyakit merupakan salah satu masalah lain selain serangan hama yang dapat mematikan tanaman cengkeh secara luas dalam waktu yang relatif singkat. Pengamatan dilapang menunjukkan beberapa penyakit menyerang tanaman cengkeh di Kabupaten Kediri meskipun tidak menimbulkan kematian pohon cengkeh dalam jumlah besar. Penyakit yang ditemukan di lapang adalah :

1. Karat merah 2. Cacar daun 3. Embun jelaga

4. Mati ranting/mati pucuk Karat merah

Karat merah atau yang disebut ganggang daun merupakan penyakit yang ditemukan pada semua stadia umur dan perkebunan. Intensitas hujan dan kelembaban yang tinggi mendukung perkembangan dari penyakit ini. Keadaan tanaman yang kurang nutrisi, drainase tanah yang kurang atau terlalu basah, kurang pemeliharaan, terlalu gelap atau terlalu terik menyebabkan timbulnya serangan ganggang hijau ini. Penyebaran patogen ini melalui percikan air hujan dan bantuan angin (Hadiwijaya 1981, Nelson 2008). Selain menyerang cengkeh,

Cephaleuros sp. sering menyerang tanaman tropis lain seperti teh, lada, kopi, kelapa sawit, alpukat, jambu, kelapa, kakao dan beberapa kultivar jeruk.

13 Gejala serangan dari karat merah berupa bercak-bercak merah berbentuk bulat tidak beraturan berukuran 1-3 mm dan tidak dibatasi oleh tulang daun. Koloni menembus jaringan daun sehingga membentuk spora di permukaan bawah daun (Gambar 6). Menurut Asman (1988), pada serangan berat daun bisa gugur tetapi tidak mematikan pohon.

Pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi serangan penyakit ini adalah dengan pemupukan yang seimbang, mengatur tanaman peneduh/naungan, sehingga tanaman tidak terlalu teduh/terlalu banyak menerima sinar matahari saat dipersemaian. Selain itu, pemangkasan tanaman disekitar tanaman cengkeh juga berfungsi untuk mengurangi kelembaban dan meningkatkan penguapan daun setelah hujan (Nelson 2008).

Mati ranting/mati pucuk

Penyakit mati ranting (dieback)/mati pucuk merupakan penyakit yang paling merugikan saat ini. Direktorat Jendral Perkebunan Jawa Timur 2013 mencatat pada akhir bulan September 2013 seluas 400 ha tanaman cengkeh di Kabupaten Malang terserang penyakit ini (Ditjenbun 2013). Pengamatan dilapang menunjukkan serangan mati ranting/pucuk di Kabupaten Kediri masih tergolong rendah. Namun, perlu dilakukan pengendalian agar serangan tidak meluas dan akhirnya menimbulkan kerugian yang lebih besar. Hadiwijaya (1981) menyebutkan penyakit mati ranting/pucuk cenderung menyerang tanaman cengkeh yang telah menghasilkan dan berumur belasan tahun.

Gejala yang terlihat di lapangan dimulai dari pucuk tanaman muda bagian atas tanaman berwarna kecoklatan, bentuk pucuk menjadi lebih pipih, daun sekitar pucuk menjadi kering dan akhirnya mati. Tanaman dewasa yang terserang akan menunjukkan gejala mati yang dimulai dari bagian atas tanaman, daun–daun gugur secara mendadak dan terlihat garis–garis kecoklatan pada bagian batang pohon (Lindawati 2013). Nutman dan Roberts (1971) menambahkan, sebelum daun gugur dalam satu cabang, daun akan berubah warna menjadi kuning kemerahan kemudian layu. Ketika ditemukan pohon cengkeh yang menunjukkan gejala tersebut ditekan menggunakan tang dan dimasukkan ke dalam air, tidak Gambar 6 Gejala serangan Cephaleuros sp. (a) permukaan atas daun; (b)

permukaan bawah daun; (c) mikroskopis

b c

14

ditemukan masa bakteri (ooze).

Penyebab mati ranting/mati pucuk disebabkan oleh bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC) yang diidentifikasi sebagai Pseudomonas syzygii. Penyakit ini ditularkan oleh serangga vektor Hindola striata dan Hindola fulva. Gejala serangan BPKC sangat mudah dikenali dilapang yaitu gugur mulai dari pohon bagian atas. Diawali pucuk daun menguning, kemudian kering dan gugur. Gejala penyakit BPKC dibedakan menjadi mati cepat/mati layu dan mati lambat. Gejala mati cepat terjadi selama beberapa minggu atau bulan, sedangkan mati lambat terjadi secara bertahap dan menyebabkan tanaman mati setelah 3 sampai 6 tahun setelah gejala awal timbul. Selain itu, batang yang terserang gejala mati cepat mengeluarkan masa bakteri (ooze) jika ditekan dengan kuat, sedangkan mati lambat tidak mengeluarkan masa bakteri (Semangun 1988).

Beberapa sumber menyebutkan tanaman cengkeh yang terserang mati ranting /mati pucuk dapat pulih kembali jika keadaan fisik tanah dapat diperbaiki. Penyebabnya adalah akar busuk yang mengakibatkan pengambilan hara pada sebagian tanaman terganggu. Perbaikan drainase lahan, pemupukan yang sempurna, penggemburan tanah, penyuntikan (infus) dengan antibiotik oksitetra siklin (OTC) atau streptomisin dan penicilin juga dapat dilakukan sebagai langkah pengendalian. Pengendalian yang paling efektif adalah dengan memotong/membakar tanaman yang sudah tidak dapat dipertahankan agar tidak menjadi sumber inokulum bagi tanaman lain (Asman 1988, Lindiawati 2013).

Gambar 7 Gejala mati ranting/pucuk, (a) umur tanaman muda (5 tahun), (b) umur tanaman tua (25 tahun), (c) daun tetap melekat pada cabang, (d) luka dan (e) garis keabuan pada batang dekat akar

e d

15 Uji laboratorium dilakukan untuk mengetahui penyebab mati ranting/pucuk yang menyerang di Kabupaten Kediri. Ditemukan cendawan yang diperoleh dari hasil isolasi pada media PDA (Tabel 5 dan Gambar 8).

Tabel 5 Cendawan yang berasosiasi dengan penyakit mati ranting/pucuk Cendawan yang ditemukan Tanaman yang diisolasi

Bergejala Tidak bergejala

Ascomycota. - v

Pestalotia sp. v -

Botryodiplodia sp. - v

Beltraniela sp. v -

Colletotrichum sp. v -

Ascomycetes merupakan salah satu kelas yang menghasilkan spora seksual yang disebut askospora. Memiliki askus berbentuk labu dan memiliki lubang untuk keluarnya spora. Pestalotia sp. adalah penyebab hawar daun pada tanaman palmae. Serangan awal pada daun terdapat bercak kecil berwarna kuning, coklat atau hitam yang berkembang melebar menjadi abu-abu dengan tepian lingkaran berwarna hitam (Elliott 2005). Selain menyerang daun, Pestalotia sp. juga menyerang buah pada tanaman lain. Hadiwijaya (1981) menjelaskan bahwa cendawan Pestalotia sp. dapat menyerang daun cengkeh yang telah terserang bercak daun Cylindrocladium sp. dan hidup sebagai patogen sekunder pada bagian tengah bercak daun. Botryodiplodia sp. merupakan cendawan penyebab hawar pada ranting salah satunya pada tanaman jeruk. Menurut Semangun (1988), cendawan ini juga menyebabkan kerugian yang cukup tinggi jika menginfeksi komoditas penghasil buah seperti jambu biji karena menyerang sejak di pertanaman hingga di penyimpanan. Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit

d

a b c

f e

Gambar 8 Cendawan hasil isolasi (a,b) Ascomycetes, (c) Pestalotia sp., (d)

16

antraknos pada beberapa komoditas. Penyebaran dari cendawan ini oleh percikan air dan serangga (Semangun 1988).

Cacar daun cengkeh

Cacar daun cengkeh merupakan salah satu penyakit yang dapat menurunkan produksi cengkeh di lapangan. Kerusakan diakibatkan oleh cendawan yang mengurangi kemampuan daun untuk melakukan fotosintesis sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal dan dapat menyebabkan gejala abnormal (Glinke-Blanco et al 2002, Baldas et al 2008 dalam Su 2012). Selain menyerang daun juga dapat menyerang ranting, bunga dan buah tanaman baik yang berada di pembibitan maupun di lapangan. Pengamatan lapang di Kabupaten Kediri, cacar daun hanya menyerang daun cengkeh. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan

Phyllosticta sp. disebut cacar daun karena pada permukaan daun yang terserang timbul bercak-bercak yang menggelembung seperti terkena api. Bentuk cacar tampak lebih jelas pada daun muda atau daun yang terserang sejak umur muda (Asman 1988).

Gejala yang timbul pada daun muda berwarna kemerahan, terdapat bagian daun yang melepuh (bercak-bercak seperti kulit terkena api) dan pada bagian tengah biasanya terdapat titik-titik hitam yang merupakan spora dari cendawan. Bagian tepi daun yang terserang menjadi bergelombang dan pada serangan berat daun cengkeh akan mengkriting dan akhirnya gugur (Gambar 9).

Menurut Asman (1988) patogen ini merupakan parasit lemah sehingga serangan akan lebih menonjol pada bagian tanaman yang lemah karena berada pada bagian tumbuh yang kurang menguntungkan seperti rendahnya aliran panas, karbon dan uap air, kelembaban yang relatif tinggi, dan kurangnya cahaya. Keadaan demikian terdapat pada tajuk tanaman bagian bawah. Selain itu penyebaran inokulum oleh air hujan dari tajuk bagian atas dan dari daun-daun yang gugur karena infeksi.

Embun jelaga

Embun jelaga biasanya muncul pada tanaman yang kurang terawat dan menyebabkan kerugian tidak langsung. Embun jelaga merupakan cendawan

a c

b

Gambar 9 Gejala cacar daun cengkeh; (a) daun muda; (b) serangan berat daun menjadi keriting dan bergelombang; (c) spora cendawan berupa titik hitam

17 saprofit dan termasuk dalam family Capnodiaceae. Gejala yang terlihat di lapangan sangat mudah dikenali, berupa selaput berwarna hitam yang menutupi permukaan atas daun (Gambar 10). Selaput hitam yang menutupi merupakan miselium dari cendawan Capnodium sp. cendawan ini mudah mengelupas jika digosok menggunakan tangan dan mudah diterbangkan angin jika sudah kering. Miselium yang menutupi permukaan atas daun menyebabkan terhambatnya proses asimilasi tanaman. Cendawan tidak hanya terdapat pada daun, tetapi juga pada ranting dan buah.

Pengendalian embun jelaga bergantung pada pengendalian kutu tempurung karena embun jelaga hidup dari cairan yang dikeluarkan oleh kutu tempurung. Pengendalian kutu tempurung akan iut mengendalian embun jelaga karena media tumbuh untuk embun jelaga tidak tersedia.

Penghitungan kejadian penyakit yang menyerang tanaman cengkeh tersaji dalam Tabel 6. Kejadian penyakit karat merah dan cacar daun meningkat pesat saat umur tanaman dewasa. Hal ini disebabkan pola sanitasi yang kurang tepat yaitu daun gugur akibat serangan karat merah dan cacar daun dikumpukan

Dokumen terkait