Berdasarkan deskripsi kegiatan magang, manual yang disusun (dalam bentuk draf manual) pada tugas magang ini adalah draf manual pre-requisite HACCP dan draf manual halal untuk PKIS Sekar Tanjung. Tahap pertama dari serangkaian tahap penyusunan yang harus dilalui adalah menetapkan konsep penyusunan manual. Suatu konsep penyusunan manual berupa gambaran besar mengenai draf manual yang akan disusun. Konsep inilah yang menjadi dasar dalam melaksanakan tahap selanjutnya pada proses penyusunan manual.
A. Menetapkan Konsep Penyusunan Manual
Prinsip dalam menetapkan konsep penyusunan manual adalah menetapkan konsep sistem untuk selanjutnya diterapkan pada konsep manual. Konsep sistem berkaitan dengan sistem manajemen yang digunakan organisasi, penerapan sistem inilah yang nantinya akan menjadi isi manual. Perbedaan sistem dengan sendirinya akan menghasilkan manual dengan isi yang berbeda pula. Sedangkan konsep manual berkaitan dengan jenis manual. Suatu manual dengan sistem manajemen yang berbeda dapat memiliki jenis manual yang sama.
Konsep sistem ditetapkan berdasarkan kemampuan sistem manajemen tersebut untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Sedangkan konsep manual ditetapkan berdasarkan aspek dokumentasi (dalam bentuk pedoman tertulis/manual) dari sistem manajemen yang telah ditetapkan pada konsep sistem.
Suatu manual akan memberi manfaat maksimal bagi organisasi jika manual tersebut sesuai dengan kebutuhan organisasi yang akan menggunakan manual (PKIS Sekar Tanjung). Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber Bapak Fuad selaku Sect. Head PPIC sekaligus koordinator halal internal dan Bapak Manan selaku Sect. Head QA/QC sekaligus ketua tim HACCP PKIS Sekar Tanjung, diketahui bahwa saat ini PKIS Sekar Tanjung membutuhkan manual halal dan
manual pre-requisite HACCP untuk mendukung proyek sertifikasi halal dan sertifikasi HACCP PKIS Sekar Tanjung.
Berdasarkan hasil obeservasi lapang, PKIS Sekar Tanjung telah menerapkan persyaratan dasar (pre-requisite) HACCP dan halal, tetapi sistem yang selama ini berjalan belum mengacu pada persyaratan standar tertentu sehingga sulit dinilai efektivitasnya. Padahal sistem manajemen yang akan diaudit dalam proses sertifikasi merupakan sistem manajemen yang mengacu pada persyaratan standar tertentu.
Olehkarena itu PKIS Sekar Tanjung harus menetapkan suatu sistem yang dapat mengakomodasi kepentingan PKIS Sekar Tanjung dalam mendapatkan sertifikat sekaligus dapat direalisasikan dengan sumberdaya yang dimiliki PKIS Sekar Tanjung. Sesuai dengan kebutuhan PKIS Sekar Tanjung akan manual halal dan manual pre-requisite HACCP, maka penelusuran Informasi mengenai sistem manajemen difokuskan pada kedua sistem manajemen tersebut.
Berdasarkan hasil studi literatur didapat informasi bahwa LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia telah mengumumkan kewajiban pemberlakuan Sistem Jaminan Halal (SJH) pada Jurnal Halal No. 55/X/2005 dengan ketentuan : “Semua perusahaan bersertifikat halal MUI ataupun dalam proses sertifikasi diwajibkan untuk mempunyai dan menerapkan Sistem Jaminan Halal mulai bulan Juni 2005.”
Menurut LPPOM MUI (2005), Sistem Jaminan Halal mengelaborasikan dan mengintegrasikan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha, dan prinsip-prinsip manajemen pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal.
LPPOM MUI (2005) juga menambahkan bahwa prinsip SJH pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap tahap. Setiap tahap tersebut harus selalu dikendalikan sehingga masuknya bahan haram maupun najis kedalam produk tidak
sampai terjadi. Olehkarena itu aspek GMP juga termasuk aspek yang dinilai dalam audit halal. Adapun Sistem Jaminan Halal sebagai sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sistem Jaminan Halal pada rangkaian produksi (LPPOM MUI, 2005)
Berdasarkan pengumuman pemberlakuan wajib SJH diatas, maka sebagai industri yang berdomisili di Indonesia, PKIS Sekar Tanjung wajib melaksanakan SJH. Adanya pengumuman ini ditindaklanjuti dengan menetapkan SJH sebagai konsep sistem yang akan digunakan dalam menyusun manual halal untuk PKIS Sekar Tanjung.
Setelah konsep sistem untuk manual halal ditetapkan, maka konsep sistem berikutnya yang harus ditetapkan adalah sistem untuk manual persyaratan dasar (pre-requisite) HACCP. Menurut Thaheer (2005), persyaratan dasar (pre-requisite) sistem HACCP berisi petunjuk praktis manajemen yang baik, disesuaikan dengan tahap pada generasi pertanian. Beberapa petunjuk praktis manajemen yang baik dikenal dengan istilah tipikal seperti : (1) Good Farming Practices pada usaha pertanian, (2) Good Handling Practices pada kegiatan pasca panen, (3) Good Hygienic Practices pada semua penanganan bahan pangan, (4) Good Manufacturing Practices, (5) Good Distribution Practices pada kegiatan distribusi, (6) Good Retailing Practices bagi pengeceran barang, (7) Good Catering Practices sebagai petunjuk bagi konsumen.
Semua sistem manajemen yang baik tersebut bagi industri pangan harus dipadukan dengan Good Hygienic Practices. Good Hygienic Practices dikenal juga dengan istilah Standard Sanitation Operating
Konsep Syariah Etika Bisnis • Kebijakan halal • Perencanaan halal • Pelatihan • Implementasi dan Pelaksanaan • Audit internal • Evaluasi • Tindakan koreksi • Proses sertifikasi Sertifikat halal
Procedure (SSOP). Prasojo (2005) menggambarkan persyaratan dasar HACCP dalam bentuk piramida. Piramida keamanan pangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Piramida kemanan pangan (Prasojo, 2005)
PKIS Sekar Tanjung merupakan suatu industri manufaktur yang memproduksi susu UHT. Olehkarena itu konsep sistem yang digunakan pada penyusunan manual pre-requisite HACCP adalah gabungan konsep GMP dan SSOP. Penerapan GMP dan SSOP inilah yang akan menjiwai keseluruhan isi dari manual pre-requisite HACCP.
Setelah konsep sistem ditetapkan, maka perlu dipikirkan pendokumentasiannya dalam bentuk konsep manual. Waller et al. (1994) telah mengingatkan bahwa tidak ada metode yang pasti benar atau pasti salah untuk menyusun manual selama dapat mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini dipertegas oleh Sulistyo et al.(2005) yang mengatakan bahwa setiap badan usaha dapat mengkreasikan sendiri bentuk dan format prosedur serta instruksi kerja sesuai kebutuhan badan usaha. Adanya suatu rencana (konsep) yang jelas sangat potensial dalam mendukung keberhasilan meskipun tidak mengikuti metode yang lazim.
Mengingat kentalnya unsur subyektivitas pada penetapan konsep manual, maka diperlukan informasi lain sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun manual. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah subyektivitas yang tidak berdasar dan cenderung merugikan. Sumber informasi yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan konsep manual adalah hasil dari studi literatur. Waller et al. (1994) membagi manual manajemen mutu menjadi 3 tingkat (level). Ketiga tingkat manual tersebut digambarkan dalam bentuk piramida dokumentasi sistem manajemen
GMP SSOP HACCP
mutu. Piramida dokumentasi sistem manajemen mutu dapat dilihat pada Gambar 4.
Level 2
Gambar 4. Piramida dokumentasi sistem manajemen mutu (Waller et al., 1994)
Manual manajemen mutu digunakan sebagai istilah yang umum, berisi dokumentasi untuk kedua tingkat pertama dari sistem manajemen mutu dan sebuah pedoman untuk referensi kerja. Bagian pertama dari manual manajemen mutu disebut manual kebijakan mutu. Ini mencakup seluruh kebijakan mutu dan rencana yang datang dari pucuk pimpinan organisasi (Waller et al., 1994).
Bagian kedua dari manual manajemen mutu disebut manual prosedur mutu karena mencakup semua prosedur yang dikembangkan dan diterapkan di tingkat madya dari organisasi. Sebagai tambahan pada manual manajemen mutu, hampir semua sistem manajemen mutu melibatkan bahan referensi, yang terdiri dari semua dokumen bagi seluruh orang di organisasi yang harus melaksanakan tugasnya. Referensi ini bukan hanya untuk tingkat ketiga dari organisasi, walaupun sebagian besar ditujukan kesana (Waller et al., 1994).
Waller et al. juga (1994) membagi target pembaca manual menjadi empat yaitu target pembaca internal, target pembaca eksternal 1, target pembaca eksternal 2, dan target pembaca eksternal 3. Sedangkan gaya
Referensi tempat kerja Manual Kebijakan Level 1
Level 3
manual kebijakan mutu dibagi berdasarkan pengetahuan teknis manajemen, yaitu (1) manajer mutu (2) penilai (3) manajer dan (4) klien.
Target pembaca internal untuk tingkat 1 manual kebijakan mutu adalah pembaca kebijakan mutu yang terdiri dari para manajer dan semua staff. Bab ini akan bertindak sebagai pedoman referensi bagi kebijakan organisasi dan sebagai pengingat pada standar manajemen yang harus dipenuhi (Waller et al, 1994).
Target pembaca eksternal 1 adalah penilai sistem manajemen mutu. Dari manual manajemen mutu tersebut penilai eksternal akan membuat pertimbangan awal mengenai kesiapan untuk proses sertifikasi. Penilai sudah mengetahui persyaratan manajemen mutu, yang mereka perlu pelajari dari bab kebijakan adalah bagaimana organisasi menafsirkan persyaratan standar (Waller et al, 1994).
Target pembaca eksternal 2 adalah klien dan pelanggan. Semakin penting atau semakin ingin tahu klien atau pelanggan maka mereka semakin tertarik untuk membaca bab kebijakan mutu. Manajemen mutu juga mencakup seleksi dan manajemen pemasok (target pembaca eksternal 3). Ini adalah bagian dari proses aliansi pemasok strategis. Pemasok mempunyai kepentingan langsung dalam manual kebijakan mutu karena akan mempengaruhi bisnisnya (Waller et al, 1994).
Suatu analisis mengenai keempat target pembaca menunjukkan bahwa terdapat beberapa kegiatan bersama dari pengetahuan dan keahlian. Manajer ahli mengenai bagaimana organisasi mereka bekerja, namun mereka tidak harus tahu manajemen mutu. Penilai ahli dalam manajemen mutu namun hanya tahu sedikit mengenai organisasi. Klien dan pelanggan umumnya tidak ahli pada keduanya namun ingin mengetahui manual kebijakan mutu (Waller et al, 1994).
Seperti halnya manual kebijakan mutu, manual prosedur mutu juga mempunyai dua target pembaca, internal dan eksternal. Namun karena manual prosedur terutama mengenai prosedur internal target pembaca utamanya sebagian besar juga internal. Target pembaca internal utama untuk manual prosedur mutu adalah manajemen madya, yaitu mereka yang
bekerja pada lapisan kedua dari organisasi. Mereka adalah orang – orang yang bertanggung jawab untuk mengembangkan prosedur dan memastikan bahwa prosedur tersebut diikuti (Waller et al, 1994).
Bagi manual prosedur mutu, ada target pembaca eksternal , yaitu penilai eksternal yang akan berkepentingan dengan isinya. Mereka ingin memeriksa bahwa semua proses manajemen yang relevan telah diwakili. Gaya manual prosedur mutu harus pantas untuk manajemen madya, yang akan paling banyak memanfaatkannya. Karena manajer madya dalam suatu organisasi akan membentuk grup karyawan yang sejenis dan dapat diidentifikasi, yang akrab dengan masalah prosedural organisasi, atau sebagai pendatang baru yang akan menjadi seperti itu. Adapun bagian yang harus diuraikan pada bab ini mencakup (1) proses manajemen dalam organisasi (2) prosedur yang harus diikuti untuk membuat prosedur tersebut bekerja secara halus dan seragam (Waller et al, 1994).
Konsep manual yang disusun untuk kedua manual (manual pre- requisite HACCP dan manual halal) adalah konsep yang sama yaitu konsep manual manajemen mutu. Penggunaan konsep yang sama pada kedua manual dilakukan dengan pertimbangan untuk memberi kemudahan jika kedua manual tersebut akan dikembangkan menjadi manual mutu terintegrasi. Tentunya dengan penambahan beberapa sistem mutu yang lain, misalnya HACCP, proses bisnis dan aspek manajemen perusahaan.
Adapun penggunaan manual manajemen mutu sebagai konsep manual dilatarbelakangi kebutuhan PKIS Sekar Tanjung akan suatu manual yang dapat dijadikan acuan bagi auditor pada proses sertifikasi. Auditor akan mengaudit ketiga tingkat sistem manajemen mutu. Selain itu, penyusunan manual halal dan manual pre-requisite HACCP juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keempat target pembaca seperti yang telah dikemukakan diatas. Olehkarena itu diperlukan manual yang merupakan gabungan dari ketiga tingkat sistem manajemen mutu.
Mengenai masalah penggabungan dokumen ini, Thaheer (2005) telah menyebutkan beberapa manfaat penggabungan sistem dokumentasi dari beberapa sistem manajemen. Beberapa manfaat tersebut diantaranya :
(1) penggunaan personal didalam pengendalian sistem menjadi relatif sedikit, (2) menghindari tumpang-tindih pekerjaan yang tidak perlu, terutama pada fungsi pengendalian sistem manajemen dan administrasi, (3) mengurangi frekuensi audit, (4) menyederhanakan kerumitan pengelolaan dokumen, (5) menyederhanakan pengendalian distribusi dokumen, dan (6) menghemat biaya pengelolaan.
Kedua konsep yang telah ditetapkan (konsep sistem dan konsep manual) akan menjadi pertimbangan pada tahap penyusunan manual selanjutnya. Langkah penyusunan tersebut terdiri dari beberapa tahap yang membentuk kesatuan metode penyusunan manual. Metode penyusunan manual yang berhasil disusun berdasarkan konsep yang telah ditetapkan dapat dilihat pada bab IV.
B. Menetapkan Acuan Penyusunan Manual
Konsep sistem yang telah ditetapkan harus dipadankan dengan persyaratan standar/regulasi tertentu sehingga sistem dapat dinilai efektifitasnya. Standar atau persyaratan yang dapat dijadikan acuan tentu saja standar yang dikeluarkan oleh lembaga yang diakui. Olehkarena itu diperlukan informasi mengenai persyaratan standar/regulasi yang berlaku untuk suatu sistem mutu dan pihak yang mengeluarkannya. Informasi mengenai persyaratan standar/regulasi pada penyusunan draf manual pre- requisite HACCP dan draf manual halal diperoleh melalui studi literatur. Cara ini dinilai paling efisien karena dalam satu sumber pustaka/literatur dapat diperoleh informasi mengenai beberapa persyaratan standar sekaligus .
Menurut Muhandri et al. (2005), standar dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Berdasarkan lingkungan penerapannya standar terdiri dari 4 jenis, yaitu standar internasional, standar regional, standar nasional, dan standar perusahaan. Berdasarkan cara penerapannya standar dibagi atas 2 jenis, yaitu standar wajib atau mandatory standard dan standar sukarela atau voluntary standard. Berdasarkan aspek standarisasi standar dibagi atas 3 jenis, yaitu standar terminologi, standar sampling, dan standar uji.
Berdasarkan kategori subyek standar dibagi atas 5 jenis, yaitu standar produk, standar bahan mentah, standar proses, standar kemasan, dan standar label. Pemilihan persyaratan standar yang akan diacu pada akhirnya akan sangat bergantung pada kebutuhan dan kemampuan perusahaan/industri yang akan menerapkan standar tersebut.
Pada penyusunan draf manual halal untuk PKIS Sekar Tanjung konsep sistem yang telah ditetapkan adalah Sistem Jaminan Halal. Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sistem yang disusun dan dilaksanakan oleh perusahaan pemegang sertifikat halal yang dimaksudkan untuk memperoleh dan sekaligus menjamin kelangsungan produksi halal secara konsisten. Pada perkembangannya SJH diterjemahkan dengan cara yang berbeda antar produsen maupun praktisi masalah kehalalan. Perbedaan ini muncul akibat ketiadaan suatu pedoman yang jelas yang dapat dijadikan standar dalam menerapkan sistem tersebut.
Menurut Hardigaluh seperti dikutip oleh Firdaus (2004), SJH yang ada di PT Nestle meliputi : (1) adanya database bahan baku, (2) mengetahui titik kritis keharaman bahan baku, (3) adanya database hasil produk, (4) adanya internal auditor halal, (5) adanya kebijakan pembelian, (6) pelatihan karyawan tentang halal dan (7) metode analisis kimia. Sedangkan menurut Apriyantono seperti dikutip oleh Firdaus (2004), setidaknya ada lima komponen dalam SJH, yaitu : (1) standarisasi manajemen halal dan sistem halal, (2) standarisasi audit sistem halal, (3) Haram Analysis Critical Control Point, (4) guideline halal, dan (5) adanya database halal.
Olehkarena itu LPPOM MUI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit halal eksternal berinisiatif untuk menerbitkan buku panduan dengan judul “Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal” pada tahun 2005. Berdasarkan panduan tersebut, SJH mencakup 5 komponen, yaitu (1) kebijakan halal, (2) perencanaan, (3) pelaksanaan, (4) Evaluasi, dan (5) tindakan. Untuk menjamin pelaksanaan kebijakan halal perusahaan secara konsisten perlu ada perencanaan tertulis dalam bentuk pedoman (manual) Sistem Jaminan Halal.
Menurut LPPOM MUI (2005), manual SJH mencakup tujuan dan ruang lingkup sistem jaminan halal, struktur organisasi manajemen halal, panduan halal, acuan teknis, sistem administrasi, dan sistem dokumentasi. Sedangkan panduan halal (halal guideline) dibagi lagi menjadi pengertian halal haram, ketentuan halal haram berkaitan dengan makanan dan minuman, fatwa MUI tentang pedoman fatwa produk halal, identifikasi titik kritis, pedoman halal haram bahan yang digunakan, pedoman perusahaan dalam melaksanakan produksi halal. Olehkarena persyaratan cara berproduksi halal telah dideskripsikan dengan jelas dalam Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal. Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal dari LPPOM MUI dijadikan acuan dalam menyusun manual halal untuk PKIS Sekar Tanjung.
Pada penyusunan draf manual pre-requisite HACCP konsep sistem yang telah ditetapkan adalah GMP dan SSOP. Seperti halnya SJH, GMP dan SSOP juga memiliki banyak standar. Penelusuran informasi melalui studi literatur menghasilkan daftar beberapa persyaratan standar yang dapat dipertimbangkan untuk menjadi acuan untuk persyaratan dasar HACCP. Beberapa standar GMP dikeluarkan pemerintah masing-masing negara, seperti aturan GMP untuk Amerika Serikat, Australia, New Zealand.
US-FDA mempublikasikan standar GMP pada tahun 1997 yang dirumuskan bersama para koalisi dari asosiasi industri perdagangan – The Council for Responsible Nutrition (CRN), National Nutrition Food Association, dan Consumer Health Care Products Association (CHPA). Selain itu, peraturan mengenai GMP dalam bentuk paktek yang higienis (codes of hygienic practices) dikembangkan oleh organisasi internasional seperti Food Hygiene Committee of The Food and Agriculture Organization, World Health Organization (WHO), dan Codex Alimentarius Commission (Thaheer, 2005).
Standar SSOP juga dikeluarkan oleh pemerintah masing-masing negara. Salahsatu yang cukup populer dan banyak dijadikan bahasan pada berbagai seminar dan pelatihan mengenai sistem jaminan keamanan
pangan adalah standar SSOP yang dikeluarkan oleh US-FDA (Amerika Serikat).
US-FDA mengelompokkan prinsip-prinsip sanitasi untuk diterapkan dalam SSOP menjadi 8 kunci sanitasi, yaitu :
1. Keamanan air
Keamanan suplai air yang kontak dengan produk pangan dan yang kontak langsung dengan permukaan peralatan harus dijaga secara konsisten dan efisien, terutama air yang digunakan untuk produksi pangan atau es. SSOP untuk keamanan air mencakup petugas dan prosedur standar yang digunakan untuk menjamin keamanan air. Didalamnya terdapat tahapan-tahapan perlakuan untuk air yang diterapkan agar diperoleh air dengan kualitas tertentu.
2. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan.
Tujuan kunci kedua dari prinsip sanitasi ini adalah memberikan jaminan bahwa permukaan yang kontak dengan pangan didesain untuk memfasilitasi proses sanitasi, serta dibersihkan secara rutin.
3. Pencegahan kontaminasi silang
Pencegahan kontaminasi silang merupakan proesdur untuk mencegah kontaminasi silang dari benda yang tidak saniter ke makanan, bahan pengemas makanan, permukaan yang kontak dengan makanan, termasuk piranti pekerja. Pabrik yang baik dirancang untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Menjaga fasilitas pencuci tangan
Menjaga fasilitas kebersihan adalah prosedur yang mengatur tata cara perawatan fasilitas kebersihan seperti fasilitas cuci tangan,, fasilitas sanitasi tangan, dan fasilitas toilet. Tujuan SSOP ini adalah untuk mendukung program kebersihan pekerja dalam rangka mencegah penyebaran cemaran ke area pengolahan atau ke produk.
5. Pencegahan adulterasi
Pencegahan adulterasi adalah prosedur untuk menjamin pangan, kemasan pangan, dan permukaan yang kontak dengan dengan makanan
terlindung dari berbagai cemaran mikrobiologi, kimia, dan fisik termasuk pelumas, bahan bakar, pestisida, senyawa pembersih, sanitaiser, kondensat, dan cipratan dari lantai. Makanan teradulterasi adalah makanan mengandung senyawa beracun yang mungkin membahayakan kesehatan atau makanan telah dipersiapkan, dikemas, atau disimpan, pada kondisi tidak saniter, sehingga mungkin tercemar kotoran dan menjadi berbahaya bagi kesehatan.
6. Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksik yang benar Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan senyawa kimia/toksik dengan benar adalah prosedur untuk menjamin bahwa pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan senyawa kimia/toksik telah cukup untuk melindungi produk dari kontaminasi. Pemantauan dilakukan untuk menjamin bahwa senyawa-senyawa toksik telah dilabel dengan tepat, disimpan dengan tepat, dan digunakan dengan tepat.
7. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi
Pengawasan kondisi kesehatan personil adalah prosedur untuk mengelola pekerja yang didiagnosa dengan penyakit atau gejala penyakit, luka yang mungkin menjadi sumber cemaran mikroba. Tujuan utama pengendalian kesehatan pekerja adalah untuk mengendalikan kondisi yang dapat mengakibatkan kontaminasi mikrobiologi terhadap makanan, pengemas makanan, atau permukaan yang kontak dengan makanan.
8. Menghilangkan hama dari unit pengolahan
Menghilangkan hama dari unit pengolahan adalah prosedur untuk mencegah dan mempertahankan agar tidak ada hama di fasilitas pengolahan. Pemantauan harus meyakinkan bahwa hama tidak dapat masuk ke area penting dan menjamin bahwa seluruh prosedur diikuti agar hama dapat dicegah.
Mengenai persyaratan dasar HACCP di Indonesia, Thaheer (2005) menyebutkan bahwa didalam SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis serta Pedoman Penerapannya,
persyaratan dasar sistem HACCP tidak dideskripsikan secara jelas sehingga berbagai acuan persyaratan dasar dapat saja diakomodasikan.
Beberapa instansi teknis di Indonesia menerjemahkan persyaratan dasar (pre-requisite) menjadi program pembinaan, misalnya Cara Pengolahan Makanan yang Baik (CPMB) yang pernah dipopulerkan oleh Departemen Kesehatan PerMenkes Nomor 23/MenKes/Per/I/1978 yang hingga kini masih digunakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, atau Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP) yang pernah dikeluarkan oleh Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian, dan sampai saat ini masih dipergunakan oleh Dirjen Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Setelah mempertimbangkan berbagai persyaratan standar/regulasi diatas maka diputuskan untuk menggunakan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 23/MenKes/SK/I/1978 tentang Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) sebagai acuan penyusunan draf manual pre-requisite HACCP untuk PKIS Sekar Tanjung adalah CPMB yang berlaku secara nasional sangat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan PKIS Sekar Tanjung sebagai badan usaha berskala nasional. Lagipula dalam CPMB sudah dimasukkan aspek-aspek GMP dan SSOP dalam butir persyaratannya. Meskipun demikian, untuk menegaskan kedudukan SSOP sebagai implementasi dari GMP maka standar SSOP dari US-FDA juga dijadikan acuan.
C. Menetapkan Kerangka Manual
Konsep manual manajemen mutu yang terdiri dari 3 tingkat (level) diwujudkan dalam kerangka manual yang terdiri dari 3 bab utama. Ketiga bab tersebut yaitu : kebijakan (bab 1), prosedur (bab 2), dan referensi (bab 3). Demi menegaskan sifat hierarkis manual sebagai buku pedoman, maka digunakanlah kata “level” pada manual untuk menggantikan kata “bab” yang biasa digunakan dalam buku-buku pada umumnya. Sebenarnya, sebelum bab 1 (kebijakan), manual memiliki beberapa bagian seperti halaman depan (cover), daftar isi, lembar pengesahan dan pengendalian
manual, serta lembar pengenalan manual. Bagian tersebut merupakan bagian yang harus ada dalam manual yang utuh namun tidak termasuk