• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kematangan Gonad

Dilihat secara visual berdasarkan hasil pengamatan diameter dan posisi inti (germinal vesicle) telur pada penelitian ini menunjukkan bahwa induk-induk ikan yang digunakan baik ikan mas maupun ikan tawes telah matang gonad. Kematangan telur tersebut juga dapat dilihat dari penampilan telur yang bulat seragam dan tidak menempel satu sama lain.

Diameter Telur

Keberhasilan metode Cangkringan yang ditandai dengan memijahnya ikan tawes karena pengaruh pemijahan ikan mas sangat ditentukan oleh kematangan telur ikan dari masing-masing induk. Rottmann et al. (1991) menyatakan diameter telur, penampilan telur serta posisi inti telur adalah indikator visual perkembangan telur. Berdasarkan hasil pengamatan, diameter telur pada ikan mas berkisar 0,9-1,5 mm (Tabel 2 dan Lampiran 2). Hardjamulia (1979) menyebutkan bahwa diameter telur ikan mas dari 4 strain yang ditemukan di Indonesia sangat bervariasi dari yang paling kecil yakni strain Sinyonya 0,1 mm dan yang terbesar strain Majalaya 0,9-1,6 mm. Sementara itu hasil pengamatan diameter telur pada ikan tawes menunjukkan ukuran diameter telur rata-rata 0,7 mm (Tabel 3).

12

Tabel 2 Ukuran diameter telur ikan mas (mm)

Induk ke Perlakuan

A B C

1 1,3 ± 0,07 1,3 ± 0,09 1,4 ± 0,08

2 1,3 ± 0,09 1,1 ± 0,18 1,3 ± 0,16

3 1,3 ± 0,08 1,4 ± 0,11 1,4 ± 0,08

Tabel 3 Ukuran diameter telur ikan tawes (mm) Induk ke Perlakuan A B C D E 1 0,7 ± 0,03 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,03 2 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,05 0,7 ± 0,05 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,04 3 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,04 0,7 ± 0,04

Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Semakin tinggi tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan menjadi semakin besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al. (1974) bahwa kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan diameter rata-rata telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya. Menurut Effendie (2002) ukuran diameter telur ikan dipengaruhi oleh umur, lingkungan, genetik, nutrisi dan siklus reproduksi.

Posisi Inti Telur

Kucharczyk et al. (2008) menuliskan posisi inti oosit (penandan pematangan oosit) dapat ditentukan dengan menggunakan skala empat tahap yaitu: Tahap (1) posisi inti di tengah, tahap (2) migrasi awal inti, kurang dari setengah dari jari, tahap (3) migrasi akhir inti, lebih dari setengah dari jari-jari, tahap (4) peleburan inti (GVBD). GVBD umumnya digunakan sebagai indikator kematangan oosit dan pada beberapa spesies terjadi karena berkumpulnya butiran kuning telur atau lempengan lipida yang diikuti inti yang mengakibatkan oosit menjadi lebih transparan. Apabila kondisi GVBD telah mencapai 100 persen, maka tidak lama lagi akan terjadi ovulasi (de Vlaming 1983).

Hasil pengamatan posisi inti telur pada penelitian ini dapat dilihat bahwa masing-masing perlakuan didominasi oleh posisi inti telur pada tahap awal migrasi (GVM) (Gambar 7). Ini menandakan induk betina berada pada posisi matang gonad dan siap untuk dipijahkan. Sejalan dengan pernyataan Woynarovich & Horvath (1980) bahwa induk yang siap dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Pergerakan inti sel ini berkaitan dengan pematangan gonad dan kesiapan telur untuk dibuahi. Pendapat ini diperkuat Rottmann et al. (1991) yang menyatakan telur yang telah matang dapat dilihat dari posisi inti telur yang berada di tengah (fase dorman) atau sudah mulai bergerak ke tepi (GVM).

13

Gambar 7 Telur ikan mas dan ikan tawes. Panah hitam putus-putus telur dorman (GV). Panah hitam inti telur mulai bergerak ke tepi (GVM)

Berdasarkan hasil pengamatan diameter dan posisi inti telur pada penelitian ini meskipun ukuran diameter telur beragam, tetapi jika dilihat dari kematangan secara fisiologis yaitu dari posisi inti telur semua induk ikan mas dan ikan tawes yang digunakan pada setiap perlakuan sudah berada pada kondisi siap mijah (Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4).

Tingkah Laku Pemijahan

Tingkah laku pra-pemijahan induk-induk ikan mas hampir sama pada semua perlakuan sesaat setelah ikan dimasukkan ke dalam wadah pemijahan. Induk ikan jantan maupun betina berenang mengelilingi bak dengan arah yang berlawanan satu sama lainnya. Ketika ikan mas berpapasan dengan ikan mas lainnya maka masing-masing ikan akan berbalik arah. Begitu juga pada perlakuan ikan tawes dengan komposisi jantan betina (♂♀) pada saat pra-pemijahan masing-masing ikan berenang mengelilingi bak dengan arah yang berlawanan satu sama lainnya. Lim & Sorensen (2010) menyatakan bahwa ikan betina hanya akan menunjukkan perilaku memijah ketika telur berovulasi.

Pada saat pemijahan ikan dengan komposisi ikan jantan dan betina (♂♂♀) , A, B, dan C, kedua ekor ikan mas jantan selalu berusaha mendekati mas betina dengan berenang mengiringi mas betina dari satu tempat ke tempat lain, tetapi betina tetap pasif bergerak menghindari kedua jantan yang mendekat. Namun ikan mas jantan yang aktif terus mengejar betina dan umumnya berenang di bawah tubuhnya. Seringkali ikan mas jantan yang aktif menghambat jalur betina sehingga betina tidak dapat menghindari jantan. Ikan mas jantan akan menempelkan badannya ke badan ikan mas betina dan terus mengejar ikan mas betina. Aktivitas ini terjadi di bawah kakaban. Menurut Polling et al. (2001) ikan mas jantan bersaing secara aktif untuk mendekati betina.

Kadang-kadang ikan mas akan menyembulkan kepalanya ke permukaan air, hapa ikan mas akan terdengar riuh dengan kecipak air yang disebabkan gerakan induk betina yang dikejar-kejar induk jantan. Selama pemijahan ikan jantan dan betina menyamakan tingkah lakunya untuk mencapai pelepasan gamet yang

1,5 mm

14

serempak (Liley dan Stacey 1983). Kondisi seperti ini biasanya menunjukkan telah terjadi pemijahan pada ikan mas. Kakaban yang dipasang pada hapa ikan akan mulai dipenuhi dengan telur berwarna kuning dan sebagian telur tersebut juga tampak menempel pada hapa dan dinding bak pemijahan. Air pada saat pemijahan ini telihat seperti berminyak, berbusa serta berbau amis (Gambar 8). Sebaliknya pada perlakuan dengan komposisi ikan mas jantan semua (♂♂♂), ikan mas jantan berusaha berenang beriringan dengan ikan jantan lainnya dari satu tempat ke tempat lain.

Gambar 8 Kakaban dipenuhi telur ikan mas

Pada ikan tawes, induk akan mulai aktif ketika ikan mas sudah aktif bergerak. Setelah ikan mas memijah maka ikan tawes semakin agresif. Ikan tawes jantan akan menempelkan badannya ke badan ikan tawes betina lalu bergerak memutar dan terus berusaha mengiringi gerak betina dari satu tempat ke tempat lainnya. Tingkah laku seperti ini biasanya menunjukkan sedang terjadi pemijahan pada ikan tawes. Telur-telur tawes agak susah dikenali dengan segera karena warnanya yang bening dan sifatnya yang melayang di kolom air.

Gambar 9 Ikan mas memakan telur-telur yang menempel pada hapa pembatas

15 Pasca pemijahan, tingkah laku ikan baik mas maupun tawes sama seperti sebelum terjadinya pemijahan. Ikan-ikan tersebut berenang dengan tenang, walaupun terjadi proses kejar mengejar antara ikan jantan dan betina, namun tidak seaktif saat pemijahan sedang berlangsung. Pada periode pascamemijah, ikan mas baik jantan maupun betina terlihat memakan telur yang menempel pada hapa pembatas (Gambar 9). Menurut Haniffa et al. (2007) ikan mas bukanlah induk yang baik, jika tidak segera dipisahkan dengan telurnya maka mereka akan mulai memakan telur-telurnya. Oleh karena itu, ketika kakaban terlihat sudah dipenuhi telur, perlu dipindahkan ke bak penetasan dan diganti dengan kakaban yang baru. Sedangkan pada perlakuan D dengan komposisi ikan mas jantan semua (

Efek Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes

♂♂♂), ikan mas berenang dengan tenang namun tidak seaktif pada fase pemijahan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang bertindak sebagai pengimbas pada pemijahan ikan tawes dengan metode Cangkringan ini adalah ikan mas karena ikan tawes hanya akan memijah jika ada ikan mas yang memijah. Pada penelitian ini ikan tawes tidak memijah mendahului ikan mas. Selama penelitian berlangsung belum pernah terdapat perlakuan dengan ikan tawes yang memijah lebih dulu. Ikan mas dengan kombinasi jantan dan betina (♂♂♀) ataupun jantan

saja (♂♂♂) dapat mengimbas ikan tawes untuk segera memijah.

Lamanya waktu stimulasi yang diperlukan hingga ikan tawes memijah bervariasi dalam tiap perlakuan (Tabel 4). Waktu ovulasi ikan mas berkisar antara 49 menit – 8 jam 46 menit . Jarak antara ikan mas dan ikan tawes memijah yang didapat dari hasil penelitian ini yaitu 3 jam 15 menit sampai dengan yang paling lama 29 jam 38 menit. Perlakuan yang dibantu dengan induksi ovaprim lebih cepat memijah (Lampiran 5). Hal ini sesuai dengan pernyataan Harker (1992) bahwa ovaprim akan bekerja untuk meningkatkan kadar gonadotropin di dalam darah dan selanjutnya menuju gonad sehingga proses ovulasi berjalan cepat. Meningkatnya gonadotropin ini akan merangsang proses praovulasi dan ovulasi ikan mas. Menurut Redding dan Pattino (1993) aktivitas biologis ovaprim menyerupai GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus. Akibat aksi hormon gonadotropin, inti yang mulanya berada di tengah kemudian bergerak ke tepi mendekati mikrofil dan sesaat sebelum ovulasi terjadi, inti melebur (GVBD) tetapi materi genetiknya tidak berubah. GVBD biasanya terjadi karena adanya rangsangan steroid (Nagahama et al. 1983).

Hasil pengamatan jumlah induk ikan tawes yang memijah karena pengaruh imbas dari ikan mas menunjukkan bahwa hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan B (K+) dan D yaitu sebesar 66,7%, kemudian diikuti oleh perlakuan A (K-) dan C memberikan hasil yang sama yaitu 3,33% dan perlakuan E sebesar 0% (Tabel 4).

Perlakuan B memberikan hasil tertinggi, diduga karena penyuntikan ovaprim meningkatkan konsentrasi Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH) pada hipotalamus sehingga memicu sekresi GTH II (LH). Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17α-hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa akan diubah oleh enzim 20β-hidroxysteroid dehidrogenase (20β-HSD) menjadi 17,20β-P yang beraksi sebagai maturation

inducing steroid (MIS) (Zairin 2003; Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid ini

16

ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga menginisiasi pembelahan meiosis spermatogonium dan mengendalikan pematangan spermatozoa serta spermiasi Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

Tabel 4 Status pemijahan ikan, respons ikan tawes, waktu mencapai ovulasi pada ikan mas (WOM), waktu mencapai ovulasi pada ikan tawes (WOT) dan derajat pemijahan (DP) ikan tawes

Perlakuan Ulangan

Pemijahan ikan mas

Pemijahan ikan

tawes WOM WOT

DP ikan tawes

(%) Alami Striping Alami Striping

A (K-) (♀♂♂) 1 + - - - - - 33,3 2 + - - + td 8.29' 3 - - - - B (K+) (♀♂♂) 1 + - - + 8.17' 29.38' 66,7 2 - - - - 3 + - + - 7.16' 7 C (♀♂♂) 1 - - - - 2 - - - 33,3 3 + - + - 49' 4.17' D (♂♂♂) 1 - + 8.46' 29 66,7 2 - - - - 3 + - 4.38' 3.15' E (♂♂♂) 1 - - 0 2 - - - - 3 - -

td Perlakuan tanpa penyuntikan, waktu pencapaian ovulasi tidak terdeteksi

Feromon pada ikan dilepaskan bersamaan dengan urin (Yambe et al. 2006). Selama proses pra pemijahan ikan jantan akan mengeluarkan urin dalam jumlah yang tinggi secara signifikan lebih tinggi dengan adanya pra-ovulasi betina (Almeida et al. 2005). Feromon yang dilepaskan ke air merupakan stimulasi dari ikan mas yang memicu terjadinya pemijahan pada ikan tawes. Isyarat-isyarat feromon ini pada ikan dapat masuk melalui organ penciuman (olfactory bulb), kemudian diteruskan ke sistem syaraf pusat selanjutnya mengaktifkan sumbu hipothalamus-pituitari-gonad (Zielinski dan Hara 2007). Menurut Effendie (2002) kehadiran induk ikan jantan bersama-sama induk ikan betina dapat menyebabkan induk ikan betina mengeluarkan cairan kelenjar neurohiphofisa. Ji

Pada perlakuan C (♂♂♀) dengan penyuntikan hanya pada ikan jantan, terdapat sepasang ikan tawes yang memijah, yaitu pada ulangan ke-3. Pada ulangan pertama dan kedua tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes. Hal ini

ka cairan kelenjar tersebut telah mencapai tingkatan tertentu mengakibatkan pengeluaran telur oleh ikan tersebut.

17 diduga karena feromon dari ikan mas jantan tidak cukup kuat untuk mengimbas ikan tawes, karena ikan mas betina diduga lambat mencapai ovulasi. Begitu juga pada perlakuan A (♂♂♀) tanpa penyuntikan pada ikan mas jantan dan terdapat sepasang ikan tawes yang memijah yaitu pada ulangan kedua, sedangakan ulangan pertama dan ketiga tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes. Hal ini diduga karena keterlambatan ikan mas betina mencapai ovulasi dan keterlambatan spermiasi pada ikan jantan.

Bentuk stimulasi pada penelitian ini selain berupa pemijahan ikan mas dapat juga berupa spermiasi pada ikan mas jantan. Hal ini ditunjukkan oleh perlakuan D dengan kombinasi ikan mas jantan saja (♂♂♂ disuntik) mengimbas sepasang ikan tawes. Hasilnya ikan tawes mengalami ovulasi dan memijah secara alami. Hal ini diduga akibat adanya ikan mas jantan dalam bak pemijahan yang mengeluarkan feromon dan direspons oleh olfactory bulb induk betina dan diteruskan ke sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan terjadinya perkembangan gonad. Hal ini selaras dengan pernyataan Zeilinski dan Hara (2006) bahwa isyarat-isyarat feromon pada ikan dapat masuk melalui organ penciuman (olfactory bulb), kemudian diteruskan ke sistem syaraf pusat selanjutnya mengaktifkan sumbu

hypothalamus-hypophysis-gonad. Derajat pemijahan pada perlakuan B dan D

sama (66,7%), artinya ikan mas dengan komposisi jantan betina (♂♂♀) maupun mas jantan saja (♂♂♂) dapat mengimbas pasangan ikan tawes untuk segera memijah.

Pada perlakuan

Fekunditas, Derajat Pembuahan (FR) dan Derajat Penetasan Telur (HR)

E (♂♂♂) tanpa penyuntikan, ikan mas pada semua ulangan

tidak satu pun memijah. Diduga karena tidak dilakukan penyuntikan pada mas jantan maka proses spermiasi pada ikan jantan sangat lambat. Li et al. (2002); Yun et al. (2002) menyatakan bahwa hanya jantan yang mengalami spermiasi yang dapat melepas feromon. Jika tidak terjadi spermiasi pada ikan jantan maka ikan tawes betina tidak terangsang untuk berovulasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Siefkes et al. (2003) pada ikan lamprey (Petromyzon marinus L.) dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa spermiasi pada jantan mempengaruhi peningkatan perilaku pencarian dan preferensi pada ikan betina untuk berovulasi.

Induk ikan tawes yang dipijahkan mempunyai bobot tubuh antara 0,15-0,78 kg/ekor (Lampiran 6). Dari data perbandingan antara bobot tubuh dan jumlah telur menunjukkan bahwa ikan tawes yang memijah karena imbas pemijahan ikan mas yang disuntik (B, C, dan D) memiliki fekunditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan mas yang tidak disuntik (A dan E) (Tabel 5). Fekunditas tertinggi diperoleh pada perlakuan B dan C masing-masing

Derajat pembuahan pada ikan sangat ditentukan oleh kualitas telur, spermatozoa, media dan penanganan manusia (Woynarovich dan Horvath 1980).

97.662 butir dan 95.280 butir telur. Hal ini diduga karena pengaruh pemberian ovaprim mengakibatkan tingginya konsentrasi gonadotropin pada induk-induk ikan mas pada perlakuan ini sehingga feromon yang dihasilkan cukup kuat untuk merangsang ikan tawes untuk memijah. Feromon sebagai hormon eksternal, membantu meningkatkan konsentrasi gonadotropin internal ikan tawes sehingga peluang telur dalam gonad semakin tinggi untuk diovulasikan.

18

Rata-rata persentase derajat pembuahan selama penelitian yaitu sebesar 72,7%, 81,7% dan 82%. Hal ini menunjukkan kualitas dan jumlah sperma cukup baik untuk membuahi telur. Banyaknya jumlah sperma yang dikeluarkan dari seekor ikan jantan bergantung pula kepada umur, ukuran dan frekuensi ejakulasi. Tingkat pembuahan juga dipengaruhi kondisi kematangan telur yang berkaitan dengan proses vitelogenesis sebelum telur diovulasikan. Agar telur dapat berkembang sempurna, seluruh tahapan proses ini harus berurutan dan teratur (Zairin et al. 2005). Perlakuan A dimana ikan tawes memijah secara striping tidak terdapat telur yang terbuahi hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor kesalahan manusia pada saat penanganan telur.

Tabel 5 Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan telur (HR) pada ikan tawes yang memijah.

Perlakuan Bobot Tubuh Ikan Betina Fekunditas Rata-Rata (Butir) FR (%) HR* (%) A 0,35 32.157 0 0 B 0,78 97.662 82,00 97,17 C 0,60 95.280 72,67 93,59 D 0,64 65.505 81,67 96,75 E 0,25 - - -

*dihitung dari jumlah telur yang terbuahi

Penetasan yang terbaik pada perlakuan B sebesar 97,2% dan terendah pada perlakuan A sebesar 0% karena tidak ada telur yang menetas (Tabel 5). Penetasan dipengaruhi oleh faktor internal berupa kerja hormon dan volume kuning telur serta faktor eksternal berupa suhu, oksigen terlarut dan intensitas cahaya (Affandi dan Tang 2002). Peningkatan suhu, peningkatan intensitas cahaya dan atau penurunan tekanan oksigen diduga dapat meningkatkan jumlah penetasan (Sumantadinata 1981). Faktor yang diduga menyebabkan rendahnya derajat penetasan adalah telur tidak berkembang setelah dibuahi, perubahan kemampuan fisiologis telur saat embriogenesis (Zairin et al. 2005) atau dapat pula disebabkan karena kerusakan telur sampel saat penanganan telur.

Profil Hormon Testosteron dan Estradiol Ikan Mas

Hasil analisis hormon testosteron dan estradiol menunjukkan bahwa konsentrasi testosteron pada ikan mas jantan dan estradiol pada ikan mas betina pada akhir pemijahan sangat menentukan status pemijahan ikan tawes. (Tabel 6 dan Lampiran 7). Konsentrasi testosteron 1,08-6,53 ng mL-1 dapat memberikan pengaruh pemijahan baik secara striping maupun secara alami pada ikan tawes (perlakuan B3, C3, D3, A2, B1, dan D1). Testosteron maupun steroid C19 lainnya diketahui dapat menginduksi GVBD pada konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi testosteron yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng mL-1: perlakuan A1 pada ikan mas betina) atau terlalu tinggi (10,42-15,46 ng mL-1 pada ikan mas jantan: perlakuan A1, E1, E2, E3) tidak memberikan pengaruh pemijahan pada ikan tawes.

19 Tabel 6 Konsentrasi hormon testosteron dan estradiol ikan mas

Status pemijahan tawes Perlakuan Konsentrasi hormon pada betina Konsentrasi hormon pada jantan Estradiol ng mL Testosteron -1 ng mL Testosteron -1 ng mL-1 Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Alami B3 0,34 0,23 3,01 0,17 2,12 1,08 C3 0,76 0,55 >16,80 5,86 2,20 2,92 D3 * * * * 7,01 6,53 Striping A2 1,02 0,72 >16,80 tt tt 5,34 B1 tt 0,37 3,32 1,99 10,19 5,17 D1 * * * * 11,06 4,09 Tidak memijah A1 1,20 tt 0,38 0,69 0,34 10,42 A3 0,62 3,42 tt tt 10,17 7,68 B2 0,28 3,00 tt 3,32 3,40 tt D2 * * * * 4,54 5,45 E1 * * * * 6,26 15,46 E2 * * * * 3,70 14,15 E3 * * * * 5,18 11,95

* Estradiol tidak dianalisis pada ikan jantan, tt: tidak terdeteksi

Konsentrasi hormon estradiol cenderung meningkat dari pemijahan alami ke ikan yang tidak memijah. Pada pemijahan alami dan striping, konsentrasi estradiol berada di bawah 1 ng mL-1 (perlakuan B3, C3, A2, dan B1); sedangkan pada ikan yang tidak memijah didapatkan ikan mas dengan konsentrasi estradiol yang tinggi hingga di atas 1ng mL-1 (Perlakuan A3 dan B2 masing-masing 3,42 ng mL-1 dan 3 ng mL-1

Kualitas Air

).Estradiol yang rendah menunjukkan bahwa konsentrasi C21 terutama 17α,20β-dihidroxy-4-pregnen-3-one (17α,20β-DP) tinggi (Kobayashi et al. 2002) sehingga oosit mengalami GVBD dan berakhir pada ovulasi karena terjadi penurunan aktivitas enzim aromatase P450, sedangkan aktivitas enzim 20β-hidroksisteroid-dehidrogenase (20β-HSD) meningkat (Nagahama dan Yamashita 2008). Hasil penelitian dari Wijayanti et al. (2009) menunjukkan bahwa penurunan estradiol bersamaan dengan peningkatan kadar hormon progesteron.

Kualitas air sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Kualitas air tersebut meliputi suhu, pH dan oksigen terlarut (Cholik et al. 1986). Nilai beberapa parameter kualitas air yang diukur selama penelitian masih pada kisaran optimum bagi ikan mas dan ikan tawes (Tabel 7).

20

Tabel 7 Nilai parameter kualitas air selama penelitian

Parameter Penelitian

DO 6,70-6,90 ppm

pH 6

Suhu 25-27 °C

Oksigen terlarut berkisar antara 6,70-6,90 ppm. Kondisi ini baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Subagyo dan Harjamulia (1992) menyatakan bahwa DO optimum untuk kebutuhan ikan lebih besar dari 6 ppm. Lebih lanjut menurut Zonneveld et al. (1991) dalam budidaya ikan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 5 ppm. Ikan memerlukan oksigen guna pembakaran makanan untuk menghasilkan aktivitas seperti berenang, pertumbuhan dan reproduksi. Derajat keasaman (pH) air dalam bak pemijahan relatif stabil yaitu 6. Kondisi tersebut masih memenuhi kondisi ideal bagi ikan mas dan ikan tawes karena kisaran pH yang sesuai untuk budidaya siprinid berkisar antara 6-9 (Zonneveld et al. 1991). Menurut Susanto (2003) suhu pada budidaya ikan berkisar antara 25-30 °C dengan demikian kisaran suhu air selama penelitian masih dalam kondisi yang layak untuk ikan mas dan ikan tawes yaitu 25-27 °C.

Dokumen terkait