Interaksi Spasial pada Fenomena Harga Gula di Pulau Sumatera
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok. Semua lapisan masyarakat membutuhkannya sehingga harga gula harus dicapai oleh semua orang dan masih memberikan keuntungan bagi petani. Dengan demikian gula termasuk produk pangan yang diawasi dan diatur oleh pemerintah karena berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan menjadi salah satu indikator pengukuran inflasi. Menurut Maria (2010) harga gula domestik secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga. Tataniaga merupakan pemasaran atau distribusi, yaitu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Biaya tataniaga terbentuk sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Komponen biaya tataniaga terdiri dari semua jenis pengeluaran yang dikorbankan oleh setiap
middleman/lembaga tataniaga (produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, eksportir, importir) atas jasa modalnya dan jasa tenaganya dalam menjalankan aktivitas pemasaran tersebut. Biaya tataniaga yang tinggi akan membuat tataniaga kurang/tidak efisien (Manik 2007 mengacu Ull dan Kohl 1980).
Komoditi pertanian yang menyangkut kepentingan orang banyak, seperti gula, maka kebijaksanaan harga diatur oleh pemerintah, namun pemerintah hanya menetapkan harga dasar (floor price) dan harga atap (ceiling price) untuk menjaga stabilitas harga. Dengan demikian, biaya tataniaga akan tetap ada sebagai konsekuensi logis dari fungsi-fungsi tataniaga meliputi: pembelian, penjualan, transportasi, penyimpanan, pembiayaan, penanggungan resiko, standarisasi, dan informasi pasar. Biaya tataniaga ini menjadi bagian tambahan harga pada barang- barang yang harus ditanggung oleh konsumen (Manik 2007 mengacu Gultom 1996). Besarnya biaya tataniaga berbeda satu sama lain, tergantung pada (1) macam komoditas yang dipasarkan, (2) macam dan peranan lembaga niaga, semakin banyak lembaga niaga maka semakin panjang rantai tataniaga dan semakin besar biaya tataniaganya (3) lokasi/daerah produsen (Manik 2007 mengacu Daniel 2002).
Jika dilihat dari dari bahan baku industri gula, yaitu tebu, menurut BPS (2013), selama periode tahun 2011 sampai tahun 2013 areal perkebunan tebu tersebar di sembilan provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Kontribusi ini menempatkan Pulau Sumatera sebagai pulau penghasil gula terbesar kedua di Indonesia setelah pulau Jawa. Pulau Sumatera juga merupakan pulau terluas ketiga setelah pulau Papua dan Pulau Kalimantan yaitu seluas 443.065 km2, sehingga perbedaan harga antar ibukota provinsi yang disebabkan oleh biaya tataniaga dapat terjadi. Tabel 1 memperlihatkan statistik deskriptif harga gula, dimana antar ibukota memiliki rataan yang cukup berbeda serta nilai minimum dan maksimum yang beragam.
20
Tabel 1 Statistik deskriptif harga gula (Rp/kg) pada 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera periode 2008-2014
Kota Minimum Maksimum Rataan Simpangan
baku Banda Aceh 7000 14000 10719 1867 Medan 6350 13500 10185 1855 Padang 6500 13900 10389 2002 Pekanbaru 6375 14800 10675 2141 Jambi 6000 12900 10032 1969 Palembang 5800 13000 9834 2014 Bengkulu 6200 13000 10012 1953 Bandar Lampung 5900 13000 9990 2073
Diantara delapan provinsi di Pulau Sumatera, Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi produsen gula nasional sedangkan kelima provinsi lainnya bukan merupakan provinsi produsen gula. Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar ibukota provinsi dimungkinkan berasal dari pengaruh kedekatan suatu provinsi dengan provinsi produsen gula, maupun yang disebabkan oleh pengaruh biaya tataniaga. Matriks korelasi harga gula antar ibukota provinsi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tinggi pada harga gula antar ibukota, yaitu lebih dari 0.9 untuk setiap antar pasangan ibukota.
Tabel 2 Matriks korelasi harga gula antar 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera
Banda
Aceh Medan Padang Pekanbaru Jambi Palembang Bengkulu
Bandar Lampung Banda Aceh 1.000 Medan 0.971 1.000 Padang 0.977 0.972 1.000 Pekanbaru 0.953 0.942 0.956 1.000 Jambi 0.975 0.966 0.984 0.957 1.000 Palembang 0.970 0.965 0.981 0.943 0.985 1.000 Bengkulu 0.972 0.967 0.982 0.952 0.987 0.981 1.000 Bandar Lampung 0.976 0.966 0.986 0.958 0.989 0.986 0.985 1.000
Korelasi harga gula antar ibukota provinsi sangat tinggi, namun demikian informasi ini belum cukup membuktikan bahwa terdapat pengaruh interaksi spasial/lokasi antar ibukota tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula antar kedelapan ibukota provinsi tersebut. Indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial untuk menghitung hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan efek ketergantungan
21
spasial. Penggunaan uji ini memerlukan adanya matriks pembobot spasial, pada kasus ini pengujian Indeks Moran menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Hasil pengujian menggunakan Indeks Moran dengan matriks pembobot kebalikan jarak diberikan pada Tabel 3. Nilai peluang = 0.02581 menunjukkan bahwa kesimpulan yang diambil adalah tolak H0 yang berarti terdapat pengaruh ketergantungan spasial pada harga gula di 8 ibukota provinsi. Selain itu nilai I = 0.0589 menandakan bahwa terdapat korelasi spasial positif walaupun nilainya sangat kecil, dengan kecenderungan pola harga gula yang mengelompok yaitu harga gula tinggi, harga gula sedang dan harga gula rendah. Ibukota provinsi dengan interval harga gula 9834 -10129 (rendah) adalah Bengkulu, Jambi, Palembang dan Bandar Lampung, ibukota provinsi dengan interval 10129-10424 (sedang) adalah Medan dan Padang, sedangkan ibukota provinsi dengan interval 10424-10719 (tinggi) adalah Banda Aceh dan Pekanbaru. Kecenderungan harga gula yang mengelompok ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 3 Statistik Indeks Moran
I Nilai harapan (I) Simpangan baku (I) Nilai peluang
0.05891811 -0.1428571 0.09052292 0.02581415
Gambar 3 Pola spasial harga gula yang cenderung mengelompok No Scale
22
Dengan demikian, telah dapat dikatakan bahwa selain berdasarkan teori biaya tataniaga, harga gula di suatu ibukota provinsi dipengaruhi oleh harga gula di ibukota provinsi lainnya, dimana secara statistik dapat dikatakan harga gula di Pulau Sumatera memiliki pengaruh ketergantungan spasial.
Identifikasi Keheterogenan Struktur Data Deret Waktu
Setelah mengetahui bahwa terdapat pengaruh spasial pada data harga gula, maka selanjutnya untuk membangun model deret waktu berdasarkan model
STARIMA dan GSTARIMA, diperlukan informasi mengenai kondisi keheterogenan struktur data deret waktu yang dibangun oleh masing-masing 8 ibukota provinsi tersebut. Hal ini didasarkan pada informasi bahwa model GSTARIMA
dikembangkan dari model STARIMA karena dianggap mampu mengakomodir pengaruh struktur data deret waktu lokasi yang berbeda-beda karena menghasilkan parameter-parameter yang berbeda-beda untuk setiap lokasi. Identifikasi model ARIMA mensyaratkan proses data deret waktu yang stasioner sehingga perlu dilakukan pengecekan terhadap kestasioneran data deret waktu harga gula untuk setiap lokasi.
Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan untuk ke enam kota lainnya tersedia pada Lampiran 1. Plot tersebut memperlihatkan bahwa data belum stasioner terhadap rataan sehingga perlu dilakukan pembedaan (differencing). Misalkan merepresentasikan harga gula untuk setiap ibukota ke-i, dimana i=1,2,..,8 dan pada wakut ke-t, dimana t=1,…,335. Pembedaan orde satu dari dinotasikan sebagai adalah sebagai berikut:
(a) (b)
Gambar 4 Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Banda Aceh (a) dan Kota Medan (b).
Gambar 5 memperlihatkan data yang telah dilakukan pembedaan orde satu untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan, sedangkan untuk ke enam kota lainnya
23
dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil dari penerapan teknik ini menunjukkan bahwa data sudah memenuhi asumsi stasioneritas terhadap rataan, untuk meyakinkan hal ini maka dilakukan uji kestasioneran menggunakan uji formal
Augmented Dickey-Fuller. Hasilnya menunjukkan bahwa setiap data deret waktu di masing-masing lokasi telah stasioner, dengan nilai peluang < alfa (0.05) yang berarti data stasioner, hasil dari uji ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
(a) (b)
Gambar 5 Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu untuk Kota Banda Aceh (a) dan Kota Medan (b)
Pengecekan terhadap kestasioneran ragam, dapat dilakukan menggunakan uji kehomogenan ragam univariat yaitu uji Levene untuk setiap lokasi. Berdasarkan uji Levene pada Lampiran 4 dihasilkan bahwa data harga gula hasil pembedaan satu kali untuk setiap lokasi telah stasioner, sehingga pemodelan sementara untuk mendapatkan struktur data pembangun harga gula di setiap lokasi dapat dilakukan.
Tabel 4 dibawah ini adalah ringkasan dari struktur data deret waktu yang membangun data harga gula di masing-masing ibukota menggunakan teknik eksplorasi dengan melihat skema autocorrelation function (ACF) dan partial autocorrelationfunction (PACF) pada Lampiran 5. Pada kota Jambi dan Bandar Lampung sulit ditentukan model sementaranya secara eksploratif, namun demikian informasi ini dianggap sudah cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa harga gula antar lokasi tidak dibangun oleh stuktur data deret waktu yang sama sehingga dapat dikatakan terdapat pengaruh keheterogenan struktur data pembangun deret waktu pada harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau Sumatera.
Tabel 4 Struktur data pembangun harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau Sumatera
B. Aceh Medan Padang Pekanbaru Bengkulu Jambi Palembang B.Lampung
Struktur data deret waktu IMA (1,2) ARIMA (1,1,1) IMA (1,2) ARIMA (3,1,2) ARIMA (1,1,1) Tidak jelas ARIMA (1,1,1) Tidak jelas
24
Dengan struktur data deret waktu harga gula yang heterogen ini, maka tahap selanjutnya akan dibentuk model STARIMA yang menghasilkan parameter- parameter yang sama untuk setiap lokasi serta model GSTARIMA yang menghasilkan parameter-parameter yang berbeda untuk setiap lokasi. Perbedaan parameter yang dihasilkan inilah yang dianggap akan mampu mengakomodir efek struktur data deret waktu yang berbeda antar lokasi, sekalipun penentuan struktur data deret waktu pada kedua model ini dilakukan secara simultan dengan pendekatan VARIMA. Tahap akhirnya, untuk tujuan peramalan akan dievaluasi model apa yang lebih akurat dalam melakukan peramalan terhadap kondisi data harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau Sumatera.
Pembentukan Model STARIMA dan GSTARIMA untuk Data Harga Gula
Setelah data memenuhi asumsi kestasioneran, selanjutnya untuk tujuan peramalan, maka data dikelompokkan menjadi dua set data, yaitu set data pemodelan (training data set) dan set data uji (test data set). Data yang dimodelkan adalah 300 data awal (Januari 2008 sampai Maret 2014) dan data yang digunakan untuk pengujian ketepatan ramalan adalah 35 data akhir (Maret 2014 sampai Desember 2014). Set data untuk pengujian ini digunakan sebagai nilai aktual yang akan dibandingkan dengan nilai hasil ramalan dari model yang telah dibangun dari 300 data awal.
Identifikasi Model
Setelah set data pemodelan ditentukan maka tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi orde model yang dibangun oleh data harga gula untuk semua lokasi secara simultan. Seperti pada pemodelan deret waktu Box-Jenkins, tahap ini mengidentifikasi model sementara yaitu model dengan karakteristik orde waktu ARI, IMA atau ARIMA, selain itu juga tahap ini menentukan orde spasial yang akan digunakan pada pembentukan model. Orde deret waktu dapat diidentifikasi dengan pendekatan VARIMA menggunakan plot MACF dan
MPACF, sama halnya seperti pada identifikasi orde pada data univariat menggunakan ACF dan PACF. Pada data univariat identifikasi dapat dilakukan dengan panduan apabila plot ACF terpangkas (turun dengan cepat) setelah lag ke-
q maka data dibangun berdasarkan proses MA (moving average) dengan orde q, jika plot PACF terpangkas (turun dengan cepat) setelah lag ke-p maka data dibangun berdasarkan proses AR (autoregressive) dengan orde q, namun jika kedua plot ACF dan PACF terpangkas maka kemungkinan data dibangun dari proses AR dan MA sekaligus. Identifikasi menggunakan MACF dan MPACF juga identik seperti pada ACF dan PACF, cukup akurat namun kurang praktis karena membutuhkan pengalaman yang baik pada pemodelan, karena itu untuk meyakinkan identifikasi struktur data yang membangun data secara simultan dapat dilakukan dengan melihat nilai AICC. Semakin kecil nilai AICC berarti semakin baik model tersebut, dengan mengombinasikan metode pengenalan
25
melalui plot MACF dan MPACF serta nilai AICC diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan praktis.
Gambar 6 dan Gambar 7 memperlihatkan plot MACF dan MPACF dari data, terlihat bahwa pada plot MACF dimulai dari lag ke-1 sudah terlihat banyak tanda (+) yang berarti korelasi positif signfikan secara statistik juga terdapat sedikit tanda (-) yang berarti korelasi negatif signifikan secara statistik, selanjutnya pada lag ke-2 juga masih cukup banyak korelasi yang signifikan baik postif atau negatif, sedangkan pada lag ke-3 sudah mulai didominasi oleh tanda (.) yang berarti tidak signifikan berkorelasi, atau dapat dikatakan mulai terpangkas setelah lag ke-2. Sementara itu dari plot MPACF terlihat tanda (+) dan (-) secara sporadis tersebar di hampir semua lag, namun juga lebih didominasi dengan tanda (.) yang berarti tidak signifikan berkorelasi. Dengan demikian, struktur data deret waktu yang membangun harga gula secara bersamaan dapat dikatakan berasal dari proses MA (2), untuk meyakinkan hal ini dapat dilihat pula pada nilai AICC yang paling kecil pada Tabel 5, proses MA(2) menghasilkan nilai AICC yang paling kecil. Skema MACF dapat memberikan gambaran mengenai hubungan antar peubah, misalnya untuk harga gula di Banda Aceh berdasarkan Gambar 6 dapat dikatakan bahwa harga gula di Banda Aceh berkorelasi dengan harga gula di Banda Aceh sendiri, namun tidak berkorelasi dengan harga gula di Banda Aceh pada pekan sebelumnya. Harga gula di Banda Aceh berkorelasi dengan harga gula pada 1 pekan sebelumnya dari Medan, Pekanbaru dan Bengkulu, serta berkorelasi dengan harga gula pada dua pekan sebelumnya dari Banda Aceh, Medan dan Jambi.
Variable/Lag 0 1 2 3 4 5 6 Banda_aceh ++++++++ .+.++... -+...+.. ...+ .-... ..+.+... ... Medan +++.++++ ..+....+ .-+..+.. ....+... .-... ..+... ... Padang +++.++++ .-.+.... .+...+.. ....+... ... ... ... Pekanbaru +..+.+.. .++.++++ ...-.... ... ....+... ... -..-.... Bengkulu +++.++++ ...+.+.. ...+.+ ... ... ... ... Jambi ++++++++ ++++++++ ...+ ....+... ... ... ..+... Palembang +++.++++ ...+..-. ...+.. ....+..+ ... ... ... Bandar_Lampung +++.++++ ...++.+. ...+.. ... ... ... ..+...
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
26 Variable/Lag 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Banda_aceh .+... -+... ... ... ... ... ... ... ... Medan ..+....+ .-+... ... .-... ..+... ...+. ... ....-... ...+ Padang .-... ..-... ... ..-... .-... ... ....-... ...-.. ... Pekanbaru .+.-...+ ...-.... ...-.... ....+... ...+ ...-.... ... ... +... Bengkulu -..+.... ....-+.+ ... ... ... ....-.+. ..+.-... ... ... Jambi .+.+...+ ... ...+ ... ..-.+... ..+....+ ... ... ...+..+. Palembang ...-. ...-. ....+..+ ... ... ...-. ...-. ...+ ... Bandar_Lampung ...+. ... ...- ...- ...- ..+... ... .+... ...
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 7 Skema fungsi korelasi parsial contoh(MPACF)
Tabel 5 Nilai AICC dari model sementara
Lag MA 0 MA 1 MA 2 MA 3 MA 4 MA 5 AR 0 88.021 87.790 87.636 87.864 88.087 88.283 AR 1 87.837 87.904 87.799 88.043 88.339 88.596 AR 2 87.721 87.834 88.007 88.287 88.713 88.956 AR 3 87.938 88.063 88.297 88.645 88.974 89.199 AR 4 88.182 88.329 88.657 88.997 89.365 89.587 AR 5 88.464 88.560 88.868 89.290 89.614 89.813
Melalui pendekatan VARIMA telah diperoleh struktur yang membangun data deret waktu harga gula adalah proses IMA(1,2), dengan demikian model yang akan dibangun adalah model STIMA dan GSTIMA. Selanjutnya adalah penentukan orde spasial yang digunakan untuk membangun model ditetapkan pada orde 1, karena semakin tinggi orde spasial maka akan semakin sulit dalam menginterpretasikan. Dengan demikian, model yang akan dibentuk adalah sebagai berikut: model STIMA -∑ ∑ - , (30) model GSTIMA -∑ ∑ - dimana,
27
Orde spasial pada model ruang waktu (space time) sangat ditentukan oleh pemilihan matriks pembobot. Pada awalnya model ruang waktu dikembangkan menggunakan matriks pembobot contiguity (kedekatan spasial) dimana dapat ditentukan akan mengambil lag 1, lag 2 dan seterusnya berdasarkan hubungan tetangga terdekat ke-1 untuk lag 1 dan seterusnya. Namun demikian, matriks pembobot juga mengalami perkembangan jenisnya, bukan hanya yang mengandalkan hubungan tetangga pada lag ke-1 dan seterusnya, melainkan juga terdapat matriks pembobot spasial kebalikan jarak, serta matriks pembobot normalisasi korelasi silang.
Pembentukan Matriks Pembobot
Pada penelitian perbandingan ketepatan peramalan antara STIMA dan
GSTIMA ini akan dilihat pula pengaruh aplikasi pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi korelasi silang. Alasan memilih pembobot kebalikan jarak adalah informasi bahwa harga gula tidak lepas dari biaya tataniaga sebagai konsekuensi logis dari fungsi-fungsi tataniaga meliputi: pembelian, penjualan, transportasi, penyimpanan, pembiayaan, penanggungan resiko, standarisasi, dan informasi pasar. Besaran biaya tataniaga ini sangat bergantung pada jenis komoditas, panjang rantai tataniaga serta lokasi/daerah produsen (Manik 2007 mengacu Daniel 2002). Rantai tataniaga ini tidak dapat diidentifikasi dengan akurat, sehingga dengan memperhatikan jarak sesungguhanya antar ibukota diharapkan mampu mengakomodir informasi tentang rantai tataniaga ini. Selain itu mengapa pembandingnya menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang adalah karena fleksibilitas pembobot yang tidak bergantung pada jarak antar lokasi, namun hanya mengandalkan pada hubungan korelasi antar lokasi pada lag waktu tertentu. Pembobot ini cukup bermanfaat digunakan saat berhadapan dengan kasus yang tidak secara langsung secara geografis dapat dilihat pengaruh spasialnya namun sesungguhnya terdapat interaksi spasial secara implisit.
Gambar 8 merupakan hasil dari penghitungan pembobot kebalikan jarak menggunakan rumus (13), sedangkan Gambar 9 dan Gambar 10 merupakan hasil dari pembobot normalisasi korelasi silang berdasarkan rumus (16). Gambar 9 merupakan pembobot pada lag ke-1 sedangkan Gambar 10 merupakan pembobot pada lag ke-2. Hal ini dikarenakan orde dari struktur data deret waktu adalah
MA(2), berarti lag yang bersesuaian adalah lag 1 dan lag 2.
28
Gambar 9 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 1
Gambar 10 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 2
Jika pembobot normalisasi pada Gambar 9 dimisalkan W1 dan pembobot normalisasi pada Gambar 10 adalah W2, maka model STIMA dan GSTIMA yang akan dibangun adalah sebagai berikut:
model STIMA - - - - - - - - (32) model GSTIMA dimana,
29
Hasil Pendugaan Parameter
Model umum STIMA dan GSTIMA yang akan dibangun telah diperoleh selanjutnya adalah menduga parameter-parameter pada masing-masing model menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinier dengan penyelesaian menggunakan algoritma Gauss-Newton. Sintak yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 6. Metode kuadrat terkecil yang digunakan pada hal ini tidak dapat diperlakukan seperti metode kuadrat terkecil pada regresi biasa, hal ini dikarenakan asumsi dasar mengenai kebebasan (independensi) dari unsur galat (nilai sisa) dapat dengan mudah dilanggar, karena peubah-peubah bebas (ruas kanan) dalam persamaan (32) dan (33), biasanya mempunyai hubungan ketergantungan yang sudah ada (built-in). Parameter-parameter yang dihasilkan oleh GSTIMA lebih banyak dari STIMA, sehingga dalam penghitungan parameter
GSTIMA lebih rumit dibandingkan STIMA. Hasil dugaan parameter STIMA
menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak serta menggunakan matriks pembobot normalisasi korelasi silang dapat dilihat pada Tabel 6. Keempat penduga parameter pada model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai dugaan yang cenderung tidak berbeda, hal ini dapat dilihat dari nilai selisih yang kecil yaitu untuk nilai dugaan parameter senilai 0.0225, senilai 0.0154, senilai 0.0017 dan senilai 0.0006. Dengan demikian, Tabel 6 menunjukkan bahwa penggunaan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai dugaan parameter yang cenderung tidak berbeda terhadap pembentukan model
STIMA.
Tabel 6 Penduga parameter model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi korelasi silang
Parameter
KJa NKSb Selisih nilai
dugaan KJ dan NKS
Nilai dugaan Nilai-t Nilai
dugaan Nilai-t -0.2303 -10.38 -0.2078 -9.91 0.0225 0.4743 14.46 0.4897 15.92 0.0154 -0.2393 -10.91 -0.2376 -11.09 0.0017 0.2341 6.97 0.2347 7.32 0.0006 a
Menggunakan pembobot kebalikan jarak b
Menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa selisih antara nilai dugaan parameter model GSTIMA dengan menggunakan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang juga cenderung tidak berbeda. Pada Tabel 8 terlihat bahwa untuk semua lokasi selisih nilai dugaan parameter cenderung kecil. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang cenderung menghasilkan pendugaan parameter yang tidak berbeda pula.
30
Tabel 7 Penduga parameter model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang
Kota Lokasi ke- i ̂ ̂ ̂ ̂ KJa NKSb KJa NKSb KJa NKSb KJa NKSb Banda Aceh 1 -0.135 -0.135 0.349 0.358 -0.284 -0.236 0.225 0.205 Medan 2 -0.220 -0.172 0.422 0.349 -0.259 -0.337 0.273 0.424 Padang 3 -0.245 -0.302 0.499 0.499 -0.135 -0.237 0.104 0.395 Pekanbaru 4 -0.230 -0.220 0.753 0.966 -0.323 -0.309 0.055 -0.111 Bengkulu 5 -0.155 -0.120 0.400 0.424 -0.213 -0.213 0.250 0.262 Jambi 6 0.085 0.051 0.079 0.202 -0.114 -0.209 0.188 0.291 Palembang 7 -0.390 -0.303 0.582 0.441 -0.030 -0.094 0.119 0.333 Bandar Lampung 8 -0.332 -0.236 0.597 0.615 -0.327 -0.244 0.417 0.368 a
Menggunakan pembobot kebalikan jarak b
Menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
Tabel 8 Selisih nilai penduga parameter antara model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang
Kota Lokasi ke- i ̂ ̂ ̂ ̂
Banda Aceh 1 0.000 0.009 0.048 0.020 Medan 2 0.048 0.073 0.078 0.151 Padang 3 0.057 0.000 0.102 0.291 Pekanbaru 4 0.010 0.213 0.014 0.166 Bengkulu 5 0.035 0.024 0.000 0.012 Jambi 6 0.034 0.123 0.095 0.103 Palembang 7 0.087 0.141 0.064 0.214 Bandar Lampung 8 0.096 0.018 0.083 0.049
Berdasarkan nilai dugaan parameter STIMA pada Tabel 6, maka model STIMA untuk lokasi ke-i, dengan i=1,2, … ,8 dan j=1,2, … ,8 adalah sebagai berikut: ∑ 8 ∑ 8 sedangkan berdasarkan Tabel 7, maka model GSTIMA untuk lokasi ke-i, dengan
i=1,2, … ,8 dan j=1,2, … ,8 adalah sebagai berikut:
∑ 8
∑ 8
Sebagai contoh model STIMA untuk lokasi Aceh dengan menggunakan pembobot kebalikan jarak berdasarkan rumus (32) adalah sebagai berikut:
∑ 8
31 ∑ 8 karena - ( - , maka ∑ 8 ∑ 8
Model untuk lokasi Aceh tersebut memberikan informasi bahwa harga gula di Aceh dibangun dari harga gula sebelumnya di Aceh disimbolkan dengan
( - serta dibangun dari model erornya yaitu
( - - ∑8 ( - ( - - ∑8
( - yang berarti bahwa harga gula di Aceh dibentuk oleh akumulasi efek dari berbagai faktor diluar harga gula itu sendiri dengan formulasi seperti pada model tersebut. Berdasarkan pengetahuan tentang biaya tataniaga, harga gula domestik/lokal juga dipengaruhi oleh rendahnya produksi dalam negeri, penentuan harga patokan petani (HPP) yang ditetapkan pemerintah, biaya distribusi, harga gula dipasar internasional, nilai tukar rupiah, tarif impor, struktur pasar serta alih konsumsi industri makanan dan minuman. Sedangkan pengaruh spasial/lokasi dari model ditandai dengan melekatnya matriks pembobot pada vektor eror lokasi.
Pemeriksaan Asumsi Sisaan
Model yang telah terbentuk akan menjadi model yang baik (layak) jika telah memenuhi asumsi sisaan (white noise) yaitu sisaan tidak saling berkorelasi secara multivariat (keacakan sisaan) dan menyebar normal ganda. Makridakis et al.
(1999) menggunakan teknik eksplorasi skema ACF untuk mengetahui keacakan dari nilai sisaan pada pemodelan ARIMA univariat. Secara simultan, pemeriksaan diagnostik terhadap kebebasan sisaan dapat dilakukan secara eksplorasi dengan melihat skema plot MACF dari sisaan. Hasil skema MACF sisaan untuk model
STIMA dan GSTIMA dengan matriks kebalikan jarak serta untuk model STIMA
dan GSTIMA dengan matriks normalisasi korelasi silang secara berurutan ditampilkan oleh Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13 dan Gambar 14. Gambar skema MACF dibawah ini memperlihatkan tanda titik (.) yang sudah lebih dominan serta tanda (+) dan (-) yang berpencar secara sporadis artinya sisaan cenderung tidak saling berkorelasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sisaan telah mendekati terpenuhinya asumsi keacakan sisaan (kebebasan sisaan). Asumsi kebebasan sisaan untuk setiap model yang dibentuk baik dari model
32 Variable/Lag 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B. Aceh1 ...+.... ... ... .-... ..+.+... ... ... ... ... Medan1 ... ..+... ... .-... ..+... ... ... ... ...+ Padang1 .-... ...++. ... .-... ... ... ... ... ... Pekanbaru1 ... ..-..-.. ...+ ....+... ...+ -..-.... ... ... +... Bengkulu1 -..+..-. ...+ ... ... ... ... ... ... ... Jambi1 ...+.... ... ....+..+ ... ....+... ..+... ... ... ...+. Palembang1 .-...--. ...+. ...+ ... ... ... ... ... ... B.Lampung1 ...-.. ... ... ... ....+... ..+... ...-.... .+.-.... ...+
+ is > 2*std error, - is < -2*std error, . is between
Gambar 11 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot kebalikan