• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan Kualitas Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) var Kristal dengan Pengaturan Leaf Fruit Ratio

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Leaf Fruit Ratio

Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah pengamatan leaf fruit ratio dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa leaf fruit ratio

berpengaruh tidak nyata terhadap seluruh kualitas eksternal buah, Asam Total Tertitrasi (ATT) dan Rasio PTT/ATT. Leaf fruit ratio berpengaruh nyata pada kandungan Padatan terlarut Total (PTT) dan Vitamin C buah.

Tabel 3 Rekapitulasi hasil sidik ragam pada peubah pengamatan leaf fruit ratio Peubah Pengamatan Analisis sidik ragam KK (%)

Kualitas eksternal Pekembangan buah Minggu ke-0 tn 3.68 Minggu ke-1 tn 5.41 Minggu ke-2 tn 6.34 Minggu ke-3 tn 10.67 Minggu ke-4 tn 9.64 Minggu ke-5 tn 7.38 Minggu ke-6 tn 5.21 Minggu ke-7 tn 1.32 Minggu ke-8 tn 3.02

Minggu ke-9 (panen) tn 1.95

Bobot Buah tn 7.80 Kemulusan tn 20.52 Kelunakan tn 13.35 Kecerahan (L) tn 4.60 Hue tn 1.77 Chroma tn 2.40 Kualitas internal PTT * 7.83 ATT tn 17.42 Rasio PTT:ATT tn 15.46 Vitamin C * 7.79

Keterangan : KK = koefisien keragaman; * = berbeda nyata menurut analisis sidik ragam pada taraf 0.05; tn = tidak nyata

Kualitas Eksternal Jambu Kristal dengan Pengaturan Leaf Fruit Ratio Tabel 4 menunjukkan bahwa leaf fruit ratio tidak berengaruh terhadap perkembangan diameter melintang buah selama di pohon hingga panen. Terdapat

17 kecenderungan perkembangan diameter melintang yang lebih besar pada leaf fruit ratio 60:1 dibandingkan perlakuan leaf fruit ratio lainnya pada 2-9 MSP. Leaf fruit ratio 60:1 diduga memiliki kapasitas source tertinggi karena jumlah daun yang lebih banyak memberikan ketersediaan karbohidrat yang lebih banyak untuk perkembangan buah. Jullien et al. (2001) menyatakan bahwa laju pengisian buah pisang meningkat dengan adanya peningkatan leaf fruit ratio.

Tabel 4 Perkembangan diameter melintang jambu kristal

Perlakuan Minggu Setelah Pemberongsongan (MSP)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 (panen) ---mm--- 15 : 1 30.23 33.57 37.12 46.29 55.97 63.56 68.85 75.76 80.57 85.06 30 : 1 30.10 33.38 39.25 46.54 56.56 63.32 68.99 75.50 81.13 85.62 45 : 1 30.06 33.83 38.53 46.65 55.55 63.45 71.65 76.01 81.18 86.48 60 : 1 30.95 33.64 39.91 46.87 55.98 64.08 72.16 77.12 83.36 87.81

Tabel 5 menunjukkan bahwa leaf fruit ratio tidak berpengaruh nyata terhadap bobot buah, kemulusan, kelunakan, dan warna buah. Bobot buah pada saat panen terbesar diperoleh dari perlakuan leaf fruit ratio 60:1 dan terendah diperoleh dari perlakuan 15:1. Adanya pertambahan jumlah daun melalui pengaturan leaf fruit ratio diikuti dengan peningkatan diameter melintang dan bobot buah pada saat panen. Jumlah daun yang lebih banyak mendukung ketersediaan asimilat yang lebih banyak untuk perkembangan ukuran buah buah. Jumlah daun yang cukup merupakan suatu hal yang penting diperhatikan untuk mendapatkan ukuran buah yang diinginkan dan sesuai standar pasar Koike et al.

2003 dan Cheng et al. (2007). Beban tanaman yang rendah dapat dicapai dengan meningkatkan leaf fruit ratio yang umumnya mengarah pada pembesaran ukuran buah, hal ini sejalan dengan Choi et al. (2011) yang menyatakan bahwa bobot per buah meningkat disertai dengan peningkatan leaf fruit ratio untuk mengurangi kompetisi pengambilan asimilat antar buah. Sebelumnya Urban et al. (2004) melaporkan bahwa pengaturan jumlah daun untuk mendukung setiap buah secara langsung mempengaruhi ukuran dan aktivitas source juga kebutuhan sink.

Tabel 5 Pengaruh leaf fruit ratio terhadap kualitas eksternal buah saat panen

Perlakuan Bobot buah Kemulusan (%) Kelunakan Warna

(mm 50 g-1 5 detik -1) L * Hue (°h) C *

15 : 1 250.00 73.32 18.66 54.23 97.78 31.69

30 : 1 267.33 83.34 18.46 52.85 98.00 30.86

45 : 1 273.58 72.92 17.01 53.56 96.25 32.01

60 : 1 284.50 71.28 17.85 54.46 96.68 31.45

Kemulusan buah secara umum lebih dipengaruhi oleh serangan hama penyakit maupun kerusakan mekanis saat pemanenan buah. Kemulusan buah tidak berbeda nyata diduga karena seluruh buah memperoleh perlakuan pemberongsongan yang sama sehingga dapat terhindar dari serangan hama dan penyakit. Kelunakan buah dan warna buah yang ditunjukkan dari nilai kecerahan atau lightness (L*), derajat hue (◦h) dan chroma (C*) seluruhnya tidak dipengaruhi oleh leaf fruit ratio. Jambu kristal yang dipanen pada satu waktu

18

yaitu 9 MSP diduga memiliki stadia kematangan yang tidak jauh berbeda sehingga menghasilkan kelunakan dan perkembangan warna yang hampir sama. Hasil pengamatan warna buah didapatkan derajat hue pada nilai (9 . 5˚-9 . ˚) sehingga berdasarkan McGuire (1992) nilai hue pada interval 90˚-180˚ menunjukkan warna buah yang hijau kekuningan. Adanya perubahan warna merupakan salah satu indikasi pematangan buah, buah yang matang warna kulitnnya akan berubah menjadi kekuningan dan tekstur buahnya melunak (Satuhu 1994).

Kualitas Internal Jambu Kristal dengan Pengaturan Leaf Fruit Ratio Tabel 6 menunjukkan bahwa leaf fruit ratio berpengaruh terhadap kandungan Padatan Terlarut Total (PTT) buah dan Vitamin C.

Tabel 6 Pengaruh leaf fruit ratio terhadap kualitas internal buah saat panen

Perlakuan PTT (˚ Brix) ATT (%) Rasio PTT/ATT Vitamin C (mg/100g)

15 : 1 8.83 a 0.54 16.31 151.48 a

30 : 1 7.17 b 0.47 15.25 132.10 b

45 : 1 7.99 ab 0.50 15.98 118.02 b

60 : 1 7.71 b 0.46 16.76 133.64 b

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Leaf fruit ratio 15:1 menghasilkan buah dengan kandungan PTT tertinggi

namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 45:1. Perbedaan kandungan PTT diduga disebabkan karena ukuran buah pada perlakuan 15:1 yang memiliki diameter terkecil sehingga proses akumulasi pengisian PTT menjadi lebih singkat, dibandingkan buah dengan ukuran yang lebih besar.

Leaf fruit ratio tidak nyata berpengaruh terhadap kandungan ATT dan

Rasio PTT/ATT buah. Kandungan ATT yang rendah dan Rasio PTT/ATT yang tinggi pada perlakuan 60:1 diduga menghasilkan rasa buah yang paling enak. Ryugo (1988) melaporkan bahwa rasio PTT/ATT merupakan kriteria penting untuk pemanenan anggur dan jeruk dan dapat dijadikan sebagai indikator kesukaan konsumen.

Kandungan vitamin C buah tertinggi diperoleh dari perlakuan leaf fruit

ratio 15:1. Jambu kristal dengan ukuran kecil memiliki perbandingan antara kulit

buah dan daging buah yang lebih besar dibandingkan dengan buah yang besar. Bagian kulit buah diduga memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan pada daging buah sehingga kandungan Vitamin C yang dihasilkan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan Batchelder dan Overholser (1936) pada Apel dan Bashir dan Abu-Goukh (2003) pada jambu biji.

Uji Organoleptik Leaf Fruit Ratio

Hasil uji organoleptik buah jambu kristal pada empat perlakuan leaf fruit

ratio tidak dilakukan pengolahan data. Tabel 7 menunjukkan tingkat kesukaan

terhadap warna, tekstur, aroma, dan rasa buah. Tingkat kesukaan tertinggi pada warna buah terdapat pada perlakuan 45:1 dengan skor 5.33 dan terendah diperoleh

19 dari perlakuan 15:1 dan 60:1 dengan skor 4.00. Pada tekstur buah tingkat kesukaan tertinggi diperoleh dari dua perlakuan yaitu 45:1 dan 60:1 dengan skor 5.00 dan skor terendah diperoleh dari perlakuan 15:1 sebesar 4.00. Tingkat kesukaan tertinggi pada aroma buah dari tiga perlakuan diperoleh skor yang sama yaitu sebesar 5.00 dan terendah didapat dari perlakuan 15:1 dengan skor 4.00. Pada rasa buah tingkat kesukaan tertinggi terdapat pada perlakuan 30:1 dan 60:1 dengan skor sebesar 5.33 dan terendah dari perlakuan 15:1. Tingkat kesukaan rata-rata tinggi diperoleh dari perlakuan 45:1 dengan skor 5.00 dan perlakuan 15:1 mendapat skor terendah yaitu sebesar 4.25.

Tabel 7 Pengaruh leaf fruit ratio terhadap uji organoleptik warna, tekstur, aroma dan rasa

Perlakuan Warna Tekstur Aroma Rasa Rata-rata

15 : 1 4.00 4.00 4.50 4.50 4.25

30 : 1 4.33 4.67 5.00 5.33 4.83

45 : 1 5.33 5.00 5.00 4.67 5.00

60 : 1 4.00 5.00 5.00 5.33 4.83

Percobaan 2

Perbaikan Kualitas Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) var Kristal dengan Berbagai Warna dan Bahan Pemberongsong

Kondisi Iklim Mikro dalam Pemberongsong Buah

Pengukuran kondisi iklim mikro yang dilakukan meliputi suhu dan kelembaban di dalam pemberongsong. Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan suhu dan kelembaban relatif akibat pemberongsongan. Ada indikasi pemberongsongan meningkatkan suhu dan menurunkan kelembaban relatif, kecuali pada plastik hijau yang menyebabkan kelembaban relatif yang sama dengan tanpa pemberongsong. Pemberongsongan dengan sponnet dan plastik meningkatkan suhu yang lebih tinggi dan kelembaban relatif yang lebih rendah dibandingkan pemberongsong plastik. Pemberongsongan sponnet dan plastik merah dan sponnet dan plastik biru menghasilkan suhu tertinggi.

Warna dan bahan pemberongsong yang berbeda mempengaruhi penyerapan transmisi cahaya yang diteruskan kedalam buah. Hal ini sesuai dengan Zhang et al. (2015) yang menyatakan bahwa perbedaan warna pemberongsong menghasilkan kualitas cahaya dan panjang gelombang yang berbeda sehingga pertumbuhan dan perkembangan buah akan berbeda karena adanya perubahan kondisi cahaya. Pemberongsongan dari warna pemberongsong dengan panjang gelombang yang tinggi akan menghasilkan transmisi cahaya yang lebih besar sehingga meningkatkan suhu yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan Son dan Lee (2008) yang menyatakan bahwa semakin besar panjang gelombang suatu cahaya dari pemberongsong maka akan disertai dengan peningkatan transmisi cahaya yang diteruskan ke buah (transmisi cahaya pemberongsong bening>kuning>biru).

20

Tabel 8 Kondisi lingkungan mikro dalam pemberongsong buah

Perlakuan Suhu (˚C) Kelembaban (%)

Plastik Merah 31.4 59

Plastik Kuning 30.4 60

Plastik Hijau 30.1 63

Plastik Biru 30.6 60

Sponnet dan plastik merah 32.6 59

Sponnet dan plastik kuning 30.8 60

Sponnet dan plastik hijau 30.7 58

Sponnet dan plastik biru 32.6 54

Sponnet dan plastik bening 31.1 58

Tanpa pemberongsong 29.8 63

Pemberongsong sponnet dan plastik menghasilkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan pemberongsong plastik. Penggunaan sponnet sebagai bahan pemberongsong juga membantu menjaga suhu yang dihasilkan dari penyerapan transmisi cahaya agar tidak dipantulkan kembali keluar pemberongsong. Pemberongsongan sponnet dan plastik merah menghasilkan suhu tertinggi karena warna merah merupakan warna dengan panjang gelombang yang tinggi sehingga mampu meneruskan transmisi cahaya yang tinggi. Zoratti et al. (2014) transmisi cahaya untuk kegiatan biologis berada pada spektrum 300-800 nm termasuk sinar UV (di bawah 400 nm), panjang gelombang cahaya biru 400-495 nm, hijau 495-570 nm, kuning 495-570-590 nm, dan merah 590-710 nm.

Adanya peningkatan transmisi cahaya dari warna pemberongsong akan diikuti oleh peningkatan suhu yang dihasilkan. Yang et al. (2009) menyatakan bahwa jenis pemberongsong dengan suhu dan transmisi cahaya yang tinggi menyebabkan iklim mikro yang mampu meningkatkan laju perkembangan buah, ukuran dan bobot buah. Hal yang berbeda didapatkan dari pemberongsongan

sponnet dan plastik biru yang juga menghasilkan suhu tinggi seperti pada

pemberongsong sponnet dan plastik merah walaupun berada pada panjang gelombang rendah. Kekuatan sink dihasilkan dari peningkatan suhu yang dicapai. Hal ini sejalan dengan Kalsum (2015) menyatakan bahwa urutan kekuatan sink

pada pemberongsong buah pamelo berdasarkan peningkatan suhu yang dicapai adalah merah>bening>biru>kuning.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pemberongsongan Buah

Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah pengamatan pemberongsongan buah dapat dilihat pada Tabel 9 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberongsongan buah berpengaruh nyata terhadap perkembangan diameter melintang pada 5,6, dan 7 MSP, kemulusan, kelunakan dan chroma buah. Pemberongsongan berpengaruh sangat nyata terhadap diameter meintang pada 8 dan 9 MSP (saat panen), bobot buah dan kecerahan (L) warna kulit buah. Pemberongsongan buah tidak nyata terhadap perkembangan diameter melintang pada 0-4 MSP, nilai derajat hue buah, dan juga seluruh komponen kualitas internal buah (PTT, ATT, Rasio PTT/ATT) dan kandungan Vitamin C buah.

21 Tabel 9 Rekapitulasi hasil sidik ragam pada peubah pengamatan

pemberongsongan buah

Peubah Pengamatan Analisis sidik ragam KK (%)

Kualitas eksternal

Perkembangan diameter melintang

Minggu ke-0 tn 8.31 Minggu ke-1 tn 12.66 Minggu ke-2 tn 13.36 Minggu ke-3 tn 13.73 Minggu ke-4 tn 12.61 Minggu ke-5 * 9.26 Minggu ke-6 * 7.73 Minggu ke-7 * 5.00 Minggu ke-8 ** 3.89

Minggu ke-9 (panen) ** 2.16

Bobot Buah ** 9.33 Kemulusan * 20.25 Kelunakan * 21.39 Kecerahan (L) ** 3.14 Hue tn 1.90 Chroma * 3.26 Kualitas internal PTT tn 8.41 ATT tn 11.71 Rasio PTT:ATT tn 12.08 Vitamin C tn 12.20

Keterangan : KK = koefisien keragaman; ** = berbeda sangat nyata menurut analisis sidik ragam pada taraf 0.01; * = berbeda nyata menurut analisis sidik ragam pada taraf 0.05; tn = tidak nyata

Kualitas Eksternal Jambu Kristal dengan Pemberongsongan Buah Pengamatan perkembangan ukuran jambu kristal selama di pohon dan saat panen diindikasikan dari perkembangan diameter melintang buah (Tabel 10). Pemberongsongan buah nyata meningkatkan diameter melintang buah selama di pohon pada 5,6,7, dan 8 MSP. Pemberongsongan meningkatkan diameter melintang buah saat panen (9 MSP). Diameter melintang yang terbesar pada 5 dan 6 MSP diperoleh dari pemberongsongan sponnet dan plastik bening, sedangkan pada 7, 8 dan 9 MSP diameter melintang buah terbesar diperoleh dari pemberongsongan dengan sponnet dan plastik merah.

Peningkatan diameter melintang buah akibat pemberongsongan diduga terkait dengan peningkatan suhu akibat pemberongsongan (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan pernyataan Lechaudel dan Joas (2007) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan suhu akan meningkatkan kekuatan sink, seperti translokasi asimilat dan laju perkembangan buah. Sebelumnya Shiesh dan Yang (2006) juga melaporkan bahwa pemberongsongan mampu meningkatkan suhu buah dalam

22

pemberongsong dan mendorong perkembangan buah sehingga dihasilkan buah yang berukuran lebih besar.

Tabel 10 Perkembangan diameter melintang jambu kristal selama pemberongsongan di pohon sampai saat panen

Perlakuan Minggu Setelah Pemberongsongan (MSP)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 (panen)

---mm--- Plastik Merah 33.15 36.91 41.80 48.63 57.29 64.34ab 72.02a 78.04ab 79.81bc 88.34 bc Plastik Kuning 31.12 33.89 36.92 43.11 49.57 57.57bc 66.72ab 73.68bc 81.18abc 86.09 c Plastik Hijau 32.37 35.73 39.18 45.37 52.38 60.99ab 68.93a 76.61ab 82.87abc 85.93 c Plastik Biru 32.47 35.64 38.43 43.22 51.54 62.24ab 71.45a 75.78ab 83.28abc 87.58 c Sponnet dengan plastik merah 33.02 36.59 41.51 48.03 56.44 62.72ab 70.65a 80.62a 87.16a 92.30 a Sponnet dengan plastik kuning 30.53 36.02 40.34 45.89 51.91 60.81ab 68.99a 75.96ab 82.83abc 88.33 bc Sponnet dengan plastik hijau 29.75 35.22 41.07 45.43 53.66 61.48ab 71.07a 77.18ab 83.93ab 86.28 c Sponnet dengan plastik biru 31.3 34.32 39.05 43.94 52.69 61.95ab 69.14a 75.86ab 83.22abc 92.00 a Sponnet dengan plastik bening 31.03 36.73 40.72 50.07 57.87 66.73a 73.74a 79.31ab 84.70ab 90.30 ab Tanpa pemberongsong 31.97 36.20 37.76 39.56 45.70 52.42c 60.61b 69.96c 77.33c 82.91 d

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Tabel 11 menunjukkan bahwa pemberongsongan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot buah dan kecerahan warna buah serta nyata terhadap kemulusan, kelunakan dan nilai chroma buah serta tidak nyata terhadap derajat hue warna buah.

Tabel 11 Pengaruh pemberongsongan terhadap kualitas eksternal buah saat panen

Perlakuan Bobot (g)

Kemulusan Kelunakan Warna

(%) (mm 50 g-1 5 detik -1) L* Hue (˚h) C* Plastik Merah 274.90 bc 63.3 bc 15.92 ab 52.73 a 94.40 31.40 a

Plastik Kuning 266.30 c 73.7 ab 16.68 ab 54.66 a 97.18 31.57 a

Plastik Hijau 255.60 bc 71.8 ab 12.35 bc 52.82 a 96.43 31.15 a

Plastik Biru 280.70 abc 62.1 bc 16.74 ab 54.29 a 97.47 31.81 a

Sponnet dan plastik merah 316.40 a 85.0 a 16.26 ab 52.23 a 95.78 31.09 a

Sponnet dan plastik kuning 270.87 bc 85.8 a 17.53 a 53.38 a 97.92 31.31 a

Sponnet dan plastik hijau 261.54 bc 77.3 ab 17.19 ab 54.09 a 96.38 31.52 a

Sponnet dan plastik biru 314.40 a 80.0 ab 17.07 ab 54.46 a 96.61 31.36 a

Sponnet dan plastik bening 291.80 ab 75.0 ab 18.00 a 53.22 a 97.21 31.65 a

Tanpa pemberongsong 252.11 c 46.4 c 9.16 c 49.15 b 97.55 29.26 b

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Pemberongsongan sponnet dan plastik menghasilkan ukuran buah yang lebih besar dibandingkan pemberongsong plastik saja. Bobot buah saat panen terbesar diperoleh dari perlakuan sponnet dan plastik merah namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan sponnet dan plastik biru. Suhu pemberongsongan sponnet

dan plastik merah dan sponnet dan plastik biru adalah 3 . ˚C (suhu tertinggi) menggambarkan kekuatan sink yang besar yang memungkinkan penambahan

23 ukuran jambu kristal yang lebih tinggi sehingga diperoleh bobot buah terbesar saat panen masing-masing 316.40 g dan 314.40 g. Pemberongsongan dengan plastik merah menghasilkan bobot buah yang paling tinggi, hal ini sesuai dengan penelitian Noorbaiti et al. (2013) pada jambu biji dan Kalsum (2015) pada jeruk pamelo. Adanya penggunaan sponnet sebagai bahan pemberongsong diduga membantu menjaga suhu yang dihasilkan dari penyerapan transmisi cahaya sehingga tidak dipantulkan kembali keluar pemberongsong.

Peningkatan bobot buah yang dihasilkan cenderung dipengaruhi oleh suhu dan tidak dipengaruhi oleh kelembaban relatif di dalam pemberongsong. Hal ini berbeda dengan Zhou et al. (2012) yang melaporkan bahwa kelembaban yang tinggi di dalam pemberongsong menurunkan kekuatan sink dan laju transpirasi buah sehingga aliran larutan dan asimilat ke dalam buah mengalami penurunan. Buah dengan tingkat kemulusan terbesar diperoleh dari pemberongsongan

sponnet dan plastik kuning sebesar 85.8% namun tidak berbeda nyata dengan

pemberongsongan sponnet dan plastik merah yang mencapai 85.0%. Buah tanpa pemberongsong merupakan buah dengan kondisi kemulusan terendah dan hanya menghasilkan kemulusan sebesar 46.4%. Pemberongsongan sponnet dan plastik mampu menjaga kemulusan buah lebih baik dibandingkan pemberongsongan dengan plastik. Jambu kristal yang bersentuhan langsung dengan pemberongsong plastik dapat berkurang kemulusannya akibat terbakarnya kulit buah. Hal ini sejalan dengan Muchui et al. (2010) yang melaporkan bahwa terdapat bagian seperti terbakar pada ujung buah pisang yang diberongsong menggunakan plastik polietilena biru akibat suhu terlalu panas. Sponnet berfungsi melindungi buah dari sentuhan langsung dengan bahan plastik yang dapat meningkatkan resiko penurunan kemulusan buah berupa terbakarnya kulit buah akibat peningkatan suhu.

Kelunakan buah seluruhnya meningkat dengan adanya pemberongsongan. Buah terlunak diperoleh dari pemberongsongan sponnet dan plastik bening tetapi tidak berbeda nyata dengan pemberongsongan sponnet dan plastik kuning. Pemberongsongan sponnet dan plastik seluruhnya menghasilkan buah yang lebih lunak dibandingkan dengan pemberongsongan dengan plastik. Buah tanpa pemberongsong menjadi buah terkeras karena memiliki perkembangan buah yang lambat dengan nilai kelunakan sebesar 9.16 mm 50g-1 5 detik-1. Suhu yang lebih tinggi pada pemberongsongan sponnet dan plastik diduga mendorong proses pemasakan buah yang lebih cepat sehingga buah menjadi lebih lunak. Menurut Jain et al. (2003) pada jambu biji penyusun dari karbohidrat dinding sel seperti selulosa, lignin dan pati menurun selama pemasakan buah. Singh (2011) melaporkan bahwa saat pemasakan buah kandungan pektin juga berubah menjadi pektin terlarut sehingga dinding sel buah menjadi lunak.

Dibandingkan faktor lainnya warna buah merupakan faktor terpenting dalam menentukan penerimaan konsumen dan diukur dalam nilai kecerahan (L), derajat hue dan chroma. Pemberongsongan buah berpengaruh sangat nyata pada kecerahan warna dan nyata pada nilai chroma jambu kristal. Seluruh perlakuan pemberongsongan menghasilkan nilai kecerahan kulit buah yang lebih baik dibandingkan buah tanpa pemberongsong. Moon et al. (2015) juga melaporkan bahwa kecerahan warna kulit jeruk mandarin ‘Shiranuhi’ meningkat dengan adanya pemberongsongan buah.

24

Berdasarkan kuadran warna (McGuire 99 ) ˚= merah-ungu, 9 ˚=kuning, ˚=hijau, dan 7 ˚= biru semakin rendah nilai derajat hue menunjukkan bahwa buah berwarna semakin kuning dan nilai chroma menggambarkan intensitas warna atau kemurnian nilai dari derajat hue. Nilai derajat hue buah menggambarkan warna buah yang terlihat yaitu hijau kekuningan (9 . ˚-97.9 ˚). Pada jambu biji selama pemasakan buah, kandungan klorofil buah menurun dan karotenoid buah meningkat yang mengakibatkan perubahan warna buah dari hijau menjadi kuning (Jain et al. 2003). Rendahnya nilai kecerahan buah (L) dan chroma pada perlakuan tanpa pemberongsong menggambarkan tampilan jambu kristal yang berwarna lebih gelap dan kusam. Singh (2011) melaporkan bahwa adanya perubahan warna kulit buah dari hijau gelap menjadi hijau cerah diikuti pencapaian ukuran buah yang diinginkan pada jambu biji dapat digunakan sebagai standar pemanenan yang tepat.

Kualitas Internal Jambu Kristal dengan Pemberongsongan Buah Tabel 12 menunjukkan pemberongsongan tidak nyata berpengaruh terhadap seluruh komponen kualitas internal yang diamati, antara lain : Padatan Terlarut Total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT), Rasio PTT/ATT dan kandungan Vitamin C buah. Kandungan PTT menunjukkan tingkat kemanisan pada buah. Kandungan PTT tertinggi, ATT terendah dan Rasio PTT/ATT buah tertinggi diperoleh dari pemberongsongan dengan plastik merah. Pemberongsongan yang diduga memiliki kekuatan sink tertinggi yaitu pemberongsongan sponnet dan plastik merah serta sponnet dan plastik biru tidak menghasilkan kandungan PTT tertinggi dan ATT terendah. Hal ini sejalan dengan Gandin et al. (2011) bahwa akumulasi padatan terlarut dan pematangan sel pada

sink yang berkapasitas lebih besar akan membutuhkan waktu yang lebih lama

daripada sink yang berkapasitas lebih kecil.

Pemberongsongan buah seluruhnya meningkatkan kandungan PTT dan Rasio PTT/ATT serta menurunkan kandungan ATT buah. Buah tanpa pemberongsong memiliki kandungan PTT rendah, ATT yang tinggi, Rasio PTT/ATT yang rendah dan Vitamin C yang rendah. Hal ini diduga karena pengaruh stadia perkembangan buah yang terjadi. Buah tanpa pemberongsong berada pada stadia awal pematangan buah yang perkembangannya dipengaruhi dari kekuatan sink. Menurut Pantastico et al. (1986) hasil analisis kadar ATT buah menunjukkan pola hiperbolik, yaitu peningkatan selama pematangan buah dan mencapai maksimum pada tahap akhir pematangan buah kemudian menurun pada saat memasuki fase pemasakan buah. Wills (1989) juga menyatakan bahwa penurunan kadar ATT seiring dengan peningkatan umur buah yang digunakan sebagai substrat dalam respirasi buah selama proses pemasakan buah.

Kandungan vitamin C jambu kristal tidak dipengaruhi oleh pemberongsongan buah, hal ini sejalan dengan Noorbaiti et al. (2013) yang melaporkan bahwa kandungan Vitamin C jambu biji tidak dipengaruhi oleh warna pemberongsong.

25 Tabel 12 Pengaruh pemberongsongan terhadap kualitas internal buah saat panen

Perlakuan PTT ATT Rasio Vitamin C

(˚ Brix) (%) PTT/ATT (mg/100g)

Plastik Merah 7.76 0.35 22.27 130.67

Plastik Kuning 7.32 0.36 20.33 131.84

Plastik Hijau 7.15 0.40 17.88 124.20

Plastik Biru 7.36 0.36 20.44 133.30

Sponnet dan plastik merah 7.48 0.38 19.68 131.33

Sponnet dan plastik kuning 7.42 0.38 19.53 139.82

Sponnet dan plastik hijau 7.41 0.37 20.03 130.85

Sponnet dan plastik biru 7.63 0.38 20.08 133.26

Sponnet dan plastik bening 7.71 0.36 21.42 146.18

Tanpa pemberongsong 6.80 0.51 13.33 121.30

Bashir dan Abu-Goukh (2003) melaporkan bahwa kandungan vitamin C jambu biji mencapai nilai maksimal pada tahap matang hijau dan menurun dengan cepat seiring pemasakan buah. Hal ini sesuai dengan Pantastico et al. (1986) yang menyatakan bahwa kandungan vitamin C pada buah biasanya sesuai dengan perkembangan buah, saat buah muda kandungan vitamin C sangat rendah sedangkan saat ukuran buah mencapai maksimum kadar vitamin C juga maksimum, dan ketika buah menuju pematangan kadar vitamin C menurun akibat proses perombakkan asam di dalam buah.

Uji Organoleptik Pemberongsongan Buah

Hasil uji organoleptik pada pemberongsongan buah tidak dilakukan pengolahan data. Tabel 13 menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa buah. Tingkat kesukaan tertinggi pada warna buah terdapat pada perlakuan sponnet dan plastik bening dengan skor 4.25 dan skor terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberongsong. Hal ini sesuai sesuai hasil uji laboratorium yang menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa pemberongsongan diperoleh nilai kecerahan (L) dan chroma yang rendah sehingga warna buah tampak lebih gelap dan kusam.

Pada aroma buah tingkat kesukaan tertinggi terdapat pada perlakuan plastik biru dan sponnet dan plastik hijau dengan skor 4.25 dan skor terendah diperoleh dari perlakuan tanpa pemberongsong sebesar 3.00. Tingkat kesukaan tertinggi pada tekstur terdapat pada perlakuan plastik biru dan sponnet dan plastik hijau dengan skor 4.50 serta terendah pada perlakuan sponnet dan plastik biru. Pada rasa buah tingkat kesukaan tertinggi terdapat pada perlakuan sponnet dan plastik merah dengan skor 5.00 dan perlakuan tanpa pemberongsong mendapatkan skor terendah sebesar 2.50. Rata-rata dari keseluruhan tingkat kesukaan, skor tertinggi

Dokumen terkait