• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian PST terhadap Organ Reproduksi Jantan

Hasil pengamatan respon pemberian PST dalam ransum mencit terhadap organ reproduksi jantan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rataan Jumlah Sperma, dan Panjang Vas deferens serta Bobot, Panjang dan Diameter Testis Mencit Penelitian

Keterangan : superskip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) dan berbeda sangat nyata (p<0,01)

R1 = ransum dengan kandungan PST 0%. R2 = ransum dengan kandungan PST 1,5%. R3 = ransum dengan kandungan PST 3%. R4 = ransum dengan kandungan PST 4,5%. R5 = ransum dengan kandungan PST 6%.

Bobot Testis

Bobot testis mencit yang mendapatkan ransum mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Bobot testis dalam hal ini dapat menggambarkan secara umum massa jaringan yang terdapat dalam testis. Pada penelitian ini diperoleh berat testis dengan rataan 0,24±0,01 gram/ekor. Pemberian PST dalam ransum mencit memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot testis. Perlakuan R3 yang diberi PST 3% memperlihatkan bobot testis yang paling tinggi ( 0,27 ± 0,02 g/ekor) bila dibandingkan dengan perlakuan ransum lainnya. Perlakuan R3 tidak berbeda nyata terhadap R5 (0,26 g/ekor) namun berbeda sangat nyata terhadap R1, R2, R4yang masing-masing 0,24; 0,23 dan 0,23 g/ekor. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian PST memberikan pengaruh yang berarti terhadap perkembangan bobot testis mencit yang selanjutnya dapat mempengaruhi jumlah sperma yang dihasilkan. Dengan demikian pemberian PST diduga mempengaruhi histopatologi testis serta dimungkinkan juga mempengaruhi proses spermatogenesis. Hal ini sesuai dengan

Organ Reproduksi Perlakuan Rataan

R1 R2 R3 R4 R5 Bobot Testis (gram) 0,24B ± 0,01 0,23B ± 0,01 0,27A ± 0,02 0,23B ± 0,01 0,26A ± 0,02 0,246± 0,018 Diameter Testis (cm) 0,49ab ± 0,02 0,52a ± 0,08 0,51a ± 0,05 0,42b± 0,04 0,43b ± 0,04 0,474± 0,046 Jumlah Sperma/ 5 tubuli seminiferi 431A,0± 18,73 367A,67 ± 90,16 570B,33 ± 9,29 414A,33 ± 65,68 334A± 27,51 423,46± 90,590 Panjang Testis (cm) 0,84a ± 0,09 0,76ab ± 0,05 0,72b ± 0,04 0,68b ± 0,08 0,75ab ± 0,05 0,75± 0,059 Panjang Vas Deferens (cm) 2,40 ± 0,34 2,42 ± 0,32 2,34 ± 0,05 2,32 ± 0,26 2,52 ± 0,23 2,4 ± 0,078

pendapat Hartono (1992) yang menyatakan, bahwa perkembangan dan pertumbuhan testis pada masa fetal merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan proses reproduksi pada masa pubertas. Pada tahap ini proses spermatogenesis berjalan seiring dengan perkembangan umur, berat testis, volume testis yang akan menentukan secara tidak langsung kualitas dari sperma. Sehingga dapat diperoleh informasi tentang adanya gangguan dalam proses spermatogenesis dan reproduksi hewan jantan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PST berpengaruh terhadap massa jaringan testis yang berperan dalam proses spermatogenesis pada mencit jantan.

Diameter Testis

Diameter testis mencit yang mendapatkan ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap diameter testis. Pada penelitian ini diperoleh diameter testis dengan rataan 0.49±0.02 cm. Perlakuan R4 yang diberi PST 4,5% memperlihatkan diameter testis yang paling rendah (0,42±0,04 cm) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. R4 (0,42 cm) tidak berbeda nyata dengan R5 (0,43 cm) dan R1 (0,49 cm) tetapi berbeda nyata dengan R2 dan R3 yang masing-masing dengan diamater 0,52 dan 0,51 cm. Dengan demikian pemberian PST pada taraf 4,5% dalam ransum mencit jantan dapat menurunkan diameter testis. Pola penurunan diameter testis dalam penelitian ini dapat dijelaskan berdasarkan grafik pada Gambar 2 berikut

Gambar 4. Hubungan antara Taraf Protein Sel Tunggal (PST) dalam Ransum Mencit dengan Diameter Testis

y = -0,0086x2 + 0,0294x + 0,48 R2 = 0,6888 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0,55 0 1,5 3 4,5 6 % PST dalam Ransum Diameter Testis (cm)

Pola hubungan antara taraf PST dalam ransum dengan diameter testis dapat ditunjukkan dengan persamaan regresi kuadratik, yaitu y = -0,0086x2 + 0,0294x + 0,48 (R2=0,688; p<0,05). Berdasarkan grafik tersebut, setiap kenaikan taraf pemberian PST mula-mula meningkatkan diameter testis, tetapi selanjutnya lebih dari pemberian 3% PST terjadi penurunan diameter testis. Pemberian PST yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya penurunan diameter testis. Hal ini diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan volume testis yang dikenal sebagai atropi testis. Gejala atropi ini diduga disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor nutrisi, hormonal, spermatogonia yang tidak beregenerasi, kerusakan sel parenkim, disfungsi

epididymis dan beberapa zat kimia lainnya. Asam nukleat pada PST diduga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya atropi testis. Meskipun pemberian pada taraf 4,5% PST dalam ransum memperlihatkan gejala yang parah, namun sampai taraf 3% belum terlihat atropi testis.

Jumlah Sperma

Jumlah sperma mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap jumlah sperma. Jumlah sperma merupakan peubah yang paling sensitif dalam menggambarkan keberhasilan proses spermatogenesis, karena merupakan hasil kumulatif dari tiap fase dalam proses tersebut seperti yang dikemukakan oleh Meistrich et al. (1982).

Pemberian PST hingga taraf 1,5% dalam ransum memberikan hasil yang tidak berbeda nyata secara statistika dengan kontrol. Pemberian 3% PST (570,33±9,29 sperma) dalam ransum mencit memberikan hasil yang sangat nyata (p<0,01) paling tinggi dibandingkan dengan taraf lainnya (R1, R2, R4, R5) yang mempunyai nilai spermatozoa yang tidak berbeda nyata dengan nilai masing-masing 431,00; 367,67;414,33; dan 334,00. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh keberadaan zat-zat makanan yang lebih seimbang pada perlakuan yang dapat mendukung terjadinya proses spermatogenesis mencit hingga berlangsung optimal. Asupan nutrisi tersebut akan disalurkan melalui sel-sel Sertoli dalam tubulus seminiferi untuk mendukung proses spermatogenesis.

Pemberian PST pada taraf 4,5% dan 6% menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sperma yang dihasilkan mencit. Hal tersebut diduga berkaitan dengan

terjadinya penurunan diameter testis seperti yang dikemukakan di atas. Mencit yang mendapat PST terlalu banyak diduga mengalami atropi testis sehingga jumlah sperma yang dihasilkan berkurang. Atropi testis dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya zat-zat kimia seperti garam kadmium, etilen oksida, ethanol,

ethane 1,2-dimethanesulphonate (EDS), etilen-dibromida (EBM) dan sebagainya..

Panjang Testis

Panjang testis mencit yang mendapatkan ransum perlakuan mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap panjang testis. Perlakuan R1 (0,84 cm) memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan R3 (0,72 cm) dan R4 (0,68 cm) namun R2 (0,76 cm) dan R5 (0,75 cm) tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Dengan demikian diduga mencit yang mendapatkan PST sebesar 3% dan 4,5% mengalami atropi testis yaitu terjadi penurunan panjang testis. Panjang testis bersama dengan satuan diameter testis dapat menggambarkan luas dan volume jaringan testis tempat sel-sel spermatogonia dan sel-sel pendukung bersama-sama menghasilkan spermatozoa yang dewasa. Dalam penelitian ini terlihat bahwa PST berpengaruh terhadap panjang testis mencit jantan yang ditunjukkan dengan panjang testis antar perlakuan yang berbeda nyata. Pada penelitian ini diperoleh panjang testis dengan rata-rata 0.84 ± 0.09 cm/ekor. Pemberian PST mempengaruhi panjang testis mencit.

Panjang Vas Deferens

Panjang saluran vas deferens mencit yang mendapatkan ransum perlakuan yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST tidak berpengaruh nyata terhadap panjang vas deferens. Hasil ini menunjukkan bahwa PST tidak berpengaruh dalam proses reproduksi mencit jantan. Pemberian PST hingga taraf 6% dalam ransum diduga tidak berpengaruh terhadap produksi metabolit yang berperan dalam proses pematangan sel-sel spermatozoa selama ditransport dan disimpan. Pada penelitian ini diperoleh panjang vas deferens dengan rata-rata 2.40±0.34 cm/ekor. Dengan demikian dugaan atropi testis juga tidak disebabkan oleh panjang vas deferens. Pemberian PST tidak mempengaruhi panjang vas deferens.

Pengaruh Pemberian PST terhadap Organ Reproduksi Betina

Hasil pengamatan respon perlakuan terhadap bobot dan panjang organ reproduksi mencit dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum pemberian PST dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot dan panjang organ reproduksi mencit betina. Meskipun demikian mencit yang mendapat perlakuan R5 tidak mempunyai anak dikarenakan adanya penimbunan lemak. Keadaan ini tidak dapat dilihat dari bobot dan panjang organ reproduksi mencit saja.

Tabel 5. Rataaan Bobot dan Panjang Organ Reproduksi Betina Mencit

Parameter Perlakuan Rataan

R1 R2 R3 R4 R5 Bobot Organ Reproduksi

Total (gram) 0,12± 0,01 0,12± 0,01 0,12± 0,01 0,12± 0,01 0,11± 0,01 0,118± 0,004 Panjang Organ Reproduksi Total (cm) 1,49± 0.01 1,47± 0.02 1,53± 0.01 1,49± 0,04 1,50± 0,03 1,496± 0,021

Bobot Organ Reproduksi Total

Bobot organ reproduksi mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 5. Pemberian PST tidak berpengaruh nyata terhadap bobot organ reproduksi total. Hal ini diduga bahwa PST tidak berpengaruh dalam proses reproduksi mencit betina. Penurunan bobot organ reproduksi diduga disebabkan oleh kualitas ransum yang menurun dengan bertambahnya taraf pemberian PST. Menurut Budiarta (2002), aktivitas ovarium dapat diamati melalui bobot uterus. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh ovarium akan mengontrol aktivitas uterus sehingga bobot uterus dapat dipertahankan dalam bobot yang normal. Bobot uterus mencit yang normal menurut Bamber et al. (1980) berkisar antara 122,8 sampai 148,6 mg/ekor. Pada penelitian ini diperoleh bobot organ reproduksi total dengan rata-rata 0,12±0,01 gram/ekor.

Panjang Organ Reproduksi Total

Panjang organ reproduksi total mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 5. Pemberian PST dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap panjang organ reproduksi total. Pemberian PST hingga 6% dalam ransum tidak mempengaruhi panjang organ reproduksi mencit betina. Panjang organ reproduksi mencit pada umur yang sama diduga dipertahankan secara

relatif tetap sedangkan perubahan pada penambahan PST yang semakin tinggi terjadi pada bobot dan volume organnya. Pada penelitian ini diperoleh panjang organ reproduksi total dengan rata-rata 1,49±0,01 cm.

Histopatologi Testis

Menurut hasil nekropsi dan pengamatan pada sayatan testis dapat dilihat kondisi histopatologi tubulus seminiferi testis mencit perlakuan seperti tampak pada gambar 5 berikut. Secara umum hasil pengamatan terhadap preparat-preparat ini menjelaskan terjadinya proses spermatogenesis yang berbeda-beda diantara masing-masing perlakuan.

Perlakuan R1 menunjukkan penampang melintang dari sebuah pembuluh tubulus seminiferi dari mencit kontrol dalam penelitian ini. Pembuluh tersebut tampak berisi sel-sel spermatogonium ( spermatogonium A dan spermatogonium B) yang sedang berkembang sedang sel-sel yang kurang menonjol warnanya diduga kelak akan berkembang menjadi sel-sel Sertoli. Sel-sel tersebut tampak berbentuk bulatan yang menyebar diantara membran basal tubulus seminiferi. Hal ini menunjukkan bahwa pada mencit kontrol dalam penelitian ini belum terlihat adanya gejala-gejala spermatogenesis. Kondisi ini diduga terkait dengan kondisi nutrisi mencit yang belum cukup mampu mendorong terjadinya hal tersebut.

Pada perlakuan R2 terlihat, bahwa lumen tubuli sudah terisi oleh sel-sel spermatogonium sehingga tidak dapat lagi dibedakan lagi batas lumen tersebut. Spermatogonium dalam preparat ini terlihat berbentuk bulat, inti selnya juga bulat, benang kromatin mengelompok dekat dinding sel inti serta bentuknya lebih besar dibandingkan dengan yang tampak pada Perlakuan R1. Beberapa diantara sel-sel tersebut terlihat merapat serta menunjukkan gejala sedang mengalami pembelahan. Jenis sel spermatogonium yang tampak ini merupakan tipe B seperti dikemukakan oleh Hartono (1992).

Perlakuan R1 Perlakuan R2 Perlakuan R3 Perlakuan R4 Keterangan: a. Sprematogonium A b. Spermatogonium B c. Sel Sertoli d. Sel penunjang e. Sel dasar f. Inti sel g. Spermatozoa. Perlakuan R5

Gambar 5. Histopatologi Testis Mencit

Spermatogonium tipe B inilah yang akan melanjutkan proses spermatogenesis. Dengan demikian pada preparat ini sudah terlihat adanya tanda-tanda berlangsung proses spermatogenesis. Kondisi ini diduga terkait dengan status nutrisi yang diterima oleh mencit dan disalurkan melalui sel Sertoli untuk perkembangan spermatozoa. Dengan pemberian PST hingga taraf 1,5% dalam ransum, preparat tubulus seminiferi telah menunjukkan gejala spermatogenesis.

Pada perlakuan R3 terlihat bahwa sel-sel dalam pembuluh tubuli terbagi atas (a) sel-sel berukuran besar dibagian tepi, (b) sel-sel kecil yang saling rapat satu dengan yang lain dan (c) sel-sel lainnya yang berukuran sedang diantara kedua jenis

sel tersebut. Sel berukuran besar tersebut diduga merupakan sel spermatogonium sebagai sel induk calon spermatozoa yang belum jadi.

Bila pada perlakuan R2 di atas mencit masih menunjukkan awal spermatogenesis dengan migrasi spermatogonium ke lumen, maka pada perlakuan R3 ini spermatogonium tersebut telah menunjukkan pembelahan yang lebih aktif. Pembelahan sel yang terjadi diduga tidak saja berupa pembelahan sel secara mitosis tetapi juga ada yang berupa pembelahan sel meiosis. Pada mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST hingga taraf 3% diduga mengalami proses spermatogenesis yang paling kompleks dibandingkan dengan perlakuan lainnya dilihat dari histopatologi tubulus seminiferinya.

Pada perlakuan R4 terlihat adanya keberadaan sel-sel spermatogonium yang sedang mengalami pembelahan namun intensitasnya sudah lebih rendah dibandingkan dengan yang terlihat pada perlakuan R3. Seluruh preparat yang ada menunjukkan fase spermatogenesis yang masih berada dalam proses pembelahan sel. Pada preparat ini terlihat, bahwa proses pembelahan sel yang sedang terjadi merupakan pembelahan meiosis. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan kutub-kutub pembelahan dan posisi antar sel anak yang saling berdekatan. Dengan demikian pada perlakuan R4 terdapat perkembangan spermatogenesis yang relatif tidak berbeda dengan proses sebelumnya serta termasuk kurang komplek dibandingkan dengan perlakuan R3.

Pada perlakuan R5 terlihat adanya gejala pembelahan mitosis dari spermatogonia menjadi spermatosit primer. Bila dibandingkan dengan kondisi preparat yang lain, preparat ini memiliki kesamaan relatif dengan perlakuan R1, yakni terjadi pembelahan sel secara aktif diantara sel-sel spermatogonium. Hal ini diduga terkait dengan status nutrisi mencit yang mendapatkan 6% PST (R5) dalam ransumnya.

Menurut Rees (1993), dalam satu siklus spermatogenesis seekor tikus membutuhkan waktu sekitar 8,6 hari sedangkan lama proses tersebut memakan waktu hingga 34,5 hari. Waktu tersebut bergantung pada masing-masing fase yang dilaluinya. Pengambilan preparat yang dilakukan pada hari yang sama menunjukkan bahwa tikus memiliki tingkat fase spermatogenesis yang berbeda-beda serta dipengaruhi oleh taraf pemberian PST dalam ransumnya.

Fase spermatogenesis yang paling kompleks terlihat pada perlakuan R3. Hal ini diduga juga sejalan dengan terjadinya penurunan produksi sel-sel sperma dari proses spermatogenesis.

Histopatologi Organ Reproduksi Betina

Menurut hasil nekropsi dan pengamatan pada sayatan ovarium dapat dilihat kondisi histopatologi folikel ovarium mencit perlakuan seperti tampak pada gambar 6 berikut. Pada perlakuan R1 menunjukkan adanya folikel de Graaf yang telah siap mengalami ovulasi. Di dalam folikel ini sudah terlihat adanya inti sel telur, sel telur,

cumulus ooforus, rongga folikel, sel-sel folikel, sel teka internal, dan ekternal. Stigma terlihat cukup jelas, tampak cerah dan sedikit menonjol keluar karena tekanan intrafolikelnya sudah cukup tinggi. Pada fase ini folikel sel telur yang siap untuk diovulasikan dengan jumlah folikel baik sebanyak 4 dan folikel yang rusak sebanyak 2. Hal ini diduga terkait dengan perkembangan hormon reproduksi yang sudah matang pada mencit yang tidak mendapatkan ransum yang mengandung PST. Menurut Hartono (1992), perkembangan folikel banyak dipengaruhi oleh sistem hormon-hormon reproduksi.

Pada perlakuan R2 terlihat adanya penampakan folikel sekunder tepatnya pada stadium akhir. Pada stadium ini oosit primer baru memasuki tahap pemasakan pertama dengan melepas benda kutub yang pertama (oosit sekunder), zona pelusida lebih tebal, sudah terdapat jalinan yang komplek antara mikrovili oosit dan sel granulosa. Ditengah susunan sel granulosa terjadi degenerasi yang diikuti lisis sejumlah sel didalamnya, pada perlakuan R2 ini jumlah folikel yang diovulasikan sebanyak 42 dengan jumlah folikel baik 29 dan jumlah folikel rusak 13. Perkembangan hormon reproduksi pada R2 diduga tidak sebesar pada perlakuan R1. Ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1981), bahwa folikel mencapai pematangannya melalui tingkatan-tingkatan dari folikel primer, sekunder dan tersier yang sedang bertumbuh dan berakhir pada folikel de Graaf yang sudah matang.

Perlakuan R1 Perlakuan R2

Perlakuan R3 Perlakuan R4

Keterangan : a. Sel folikel b. Rongga folikel c. Inti sel oosit d. Cumulus ooforus e. Sel teka interna f. Sel teka interna g. Zona pelusida h. Oosit sekunder i. Oosit primer Perlakuan R5

Gambar 6. Histopatologi Organ Reproduksi Mencit Betina

Folikel pada perlakuan R3 tergolong dalam fase folikel sekunder stadium awal. Pada perlakuan ini jumlah folikel yang telah diovulasikan sebanyak 40 dengan jumlah folikel baik 31 dan folikel rusak sebanyak 9. Oosit primer mulai menimbun kuning telur dan butir lipida sedangkan pada membran plasmanya mulai terbentuk mikrovili yang mengisi rongga diantara oosit dan granulosa. Sel granulosa dan oosit pun menghasilkan protein polisakarida untuk mengisi zona pelusida. Kondisi ini diduga berkaitan dengan hormon reproduksi pada mencit perlakuan. Perlakuan R3 memiliki jumlah folikel yang paling banyak bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Pada perlakuan R4 terlihat adanya golongan folikel yang baru memasuki fase awal (folikel primer) dengan jumlah folikel yang telah diovulasikan sebanyak 14 yang meliputi 13 folikel baik dan 1 folikel rusak. Folikel ini ditandai dengan adanya pembesaran folikel dari fase primordial akibat terjadinya pembesaran diameter sel telur. Posisi folikel ini seakan-akan terdorong agak dalam dibandingkan dengan posisi primordialnya karena adanya pengaruh pertumbuhan folikel dan sel-sel stroma disekitarnya. Fase ini merupakan awal dari siklus reproduksi yang banyak terkait dengan aktivitas hormon-hormon reproduksi seperti gonadotropin (FSH) dalam sel-sel reproduksi. Menurut Hartono (1992), daur reproduksi pada perkembangan folikel banyak dipengaruhi oleh hormon gonadotropin (FSH) yang disekresikan dari hipofisa.

Pada perlakuan R5 terlihat penampakan folikel primordial yang belum mengalami daur reproduksi. Pada perlakuan ini jumlah folikel yang diovulasikan sebanyak 37 dengan jumlah folikel baik sebanyak 29 dan folikel rusak 8. Folikel ini terdiri dari oogonium berbentuk bulat yang dikelilingi oleh sel-sel folikel berbentuk pipih-selapis. Pada fase ini hormon-hormon reproduksi belum aktif.

Secara umum terlihat, bahwa folikel pada mencit yang mendapatkan PST kurang berkembang dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga bahwa PST mempengaruhi aktivitas hormon reproduksi seperti gonadotropin (FSH) sehingga menyebabkan pematangan folikel menurun dan ini berakibat proses reproduksi mencit betina menjadi terganggu.

Dokumen terkait