• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Individu

Subjek pada penelitian ini adalah wanita usia dewasa yang menjadi guru di SMP Negeri 15 Bogor. Usia subjek berkisar antara 31-57 tahun. Tahapan dewasa dibagi menjadi dewasa muda dan dewasa lanjut. Dewasa adalah titik seseorang memiliki pertanggungjawaban atas dirinya sendiri dan memiliki kesanggupan untuk menentukan tujuan serta menentukan pilihan. Tahapan dewasa dibagi menjadi dewasa muda dan dewasa lanjut. Dewasa muda dimana terjadi peralihan antara usia remaja yaitu antara usia 18- 30 tahun. Sedangkan dewasa lanjut usia 30-60 tahun pada umumnya memiliki sikap-sikap tertentu akibat pengaruh yang membentuk pola hidup dewasanya. Dewasa lanjut cenderung dapat menentukan sendiri apa yang harus dia lakukan tanpa dapat terpengaruh pada lingkungan

11

sekitar (Gunarsa S & Gunarsa S 2008). Karakteristik subjek meliputi usia dan pendapatan selama satu bulan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan usia dan pendapatan subjek

Karakteristik N % 31-35 3 8.6 36-40 6 17.1 41-45 3 8.6 46-50 12 34.3 51-57 11 31.4

Usia (tahun) rata-rata±SD 47±7

Pendapatan (Rp) rata-rata±SD 3.785.714±425.056

Total 35 100

Subjek dalam penelitian ini sebagian besar masuk kedalam kategori dewasa lanjut dengan usia rata-rata 47±7 tahun. Subjek sebagian besar masuk ke dalam usia 46-50 tahun dan 51-57 tahun berturut-turut sebanyak 34.3% dan 31.4%. Pada masa dewasa lanjut biasanya akan mengalami penurunan pendengaran, penglihatan, dan daya akomodasi juga mengalami penurunan. Masalah kesehatan utama adalah penyakit kardiovaskular,kanker dan kenaikan berat badan. kegemukan adalah masalah utama pada masa dewasa lanjut (Gunarsa S & Gunarsa S 2008). Menurut Erem et al. (2004) usia adalah salah satu faktor resiko obesitas yang sulit untuk diubah. Seiring dengan bertambahnya usia, prevalensi obesitas terus mengalami peningkatan.

Pendapatan rata-rata subjek Rp. 3.785.714 ± Rp. 425.056 dengan kisaran Rp 3.500.000 – Rp4.200.000. Pendapatan rumah tangga besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar dan pola hidup juga menjadi berubah (Soekirman 2000). Pendapatan mempengaruhi status gizi, hal ini terkait dengan daya beli terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Braithwaite et al. 2009).

Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga

Karakteristik N % Pendidikan Perguruan tinggi 35 100 Besar Keluarga Kecil (≤4) 20 57.1 Sedang (5-6) 14 40.0 Besar (≥7) 1 2.9 Total 35 100

Menurut sebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan seluruh subjek (100%) memiliki tingkat pendidikan yang baik yaitu sampai tingkat perguruan tinggi. Menurut Panagiotakos et al. (2004) Tingkat pengetahuan gizi dan persepsi individu akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, semakin baik pendidikan seseorang maka semakin baik pengetahuan gizinya.

Rata-rata besar keluarga subjek adalah keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤4 dan besar keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga

5-6 dengan persentase berturut-turut sebanyak 57.1% dan 40%. Menurut Sanjur (1982), besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu. Hal ini dapat disebabkan karena besarnya anggota keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan individu. Besarnya keluarga dapat mempengaruhi belanja pangan. Pendapatan perkapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.

Status Gizi

Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumber daya manusia dan kualitas hidup. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan pengunaan zat gizi (Riyadi 2003). Status gizi seseorang merefleksikan seberapa jauh kebutuhan fisiologis akan nutrisi telah dapat dipenuhi. Bila zat gizi dikonsumsi dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan metabolisme, maka perkembangan yang baik, menjaga kesehatan, mendukung aktivitas fisik, dan membantu mencegah terjadinya penyakit. Sebaliknya bila zat gizi dikonsumsi dalam jumlah terlalu banyak atau sedikit, maka tubuh akan beradaptasi untuk mencapai keadaan homeostatik sehingga fungsi fisiologis tetap terjaga. Bila keadaan kelebihan atau kekurangan ini berlangsung lama akan berakibat pada terjadinya gangguan pada fungsi tubuh dan timbulnya penyakit (Khomsan 2002). Status gizi dalam penelitian ini ditentukan dengan pengukuran indeks massa tubuh (IMT). Sebaran subjek berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan status gizi

IMT N % Normal ( 18.5-22.9) 9 25.7 Overweight ( 23-24.9) 3 8.6 Obes I (25-30.0) 17 48.6 Obes II ( > 30.0) 6 17.1 Total 35 100.0

Status Gizi rata-rata±SD 26.7±3.81

Status gizi rata-rata subjek adalah 26.7±3.81 (Obes I). Status gizi subjek sebagian besar adalah gizi lebih dengan jumlah subjek dengan status gizi Obes I sebanyak 48.6%, kemudian ditempat kedua dan ketiga status gizi subjek terbanyak adalah status gizi normal dan obes II, berturut-turut sebesar 25.7% dan 17.1%. Pada masa dewasa tubuh tidak hanya dalam keadaan puncak dari kemampuan fisik tetapi juga mulai mengalami penurunan fungsi pada dewasa akhir. Bagi sebagian orang puncak dari kemampuan fisik dicapai pada usia di bawah 30 tahun. Pada masa dewasa lanjut (40-60 tahun) tubuh mulai mengalami penurunan kesehatan. Penyakit degeneratif dan obesitas merupakan masalah utama yang sering terjadi pada masa dewasa lanjut (UNS 2013).

Menurut Diana et al. (2013), Status perkawinan merupakan prediktor kuat kejadian kegemukan dan adipositas sentral pada perempuan. Perempuan yang sudah menikah berisiko hampir tiga kali lebih tinggi untuk mengalami kegemukan dibandingkan perempuan yang belum atau tidak menikah (OR=2.712; 95%; CI:2.559-2.875). Menurut Bove&Sobal (2011) dalam Diana et al. (2013),

13

perempuan yang sudah menikah cenderung kurang peduli dengan bertambahnya berat badan atau menjadi gemuk, berbeda halnya ketika sebelum menikah, perempuan menjaga berat badannya agar lebih mudah mendapatkan pasangan.

Persepsi Body image (BSQ)

Body image merupakan perasaan, pencitraan, perilaku seseorang yang berhubungan dengan tubuhnya. Pengidentifikasian adanya gangguan body image

dapat dilakukan secara persepsi, subyektif dan perilaku (Heinberg et al 1996).

Body image mengacu pada perasaan positif atau negatif dan persepsi diri mengenai bentuk tubuh. Persepsi body image berbeda satu dengan yang lainnya bergantung tingkat kematangan, perubahan yang terjadi menurut waktu, situasi dan pengalaman seseorang (Mandleco 2004).

Menurut Thompson et all (1999) menyatakan bahwa body image adalah evaluasi terhadap ukuran tubuh seseorang, berat ataupun aspek tubuh lainnya yang mengarah kepada penampilan fisik, dimana evaluasi ini dibagi menjadi komponen persepsi, yang secara umum mengarah kepada keakuratan dalam mempersepsikan ukuran (perkiraan terhadap ukuran tubuh), komponen subyektif yang mengarah kepada kepuasaan, perhatian, evaluasi kognitif dan kecemasan serta komponen perilaku, yang memfokuskan kepada penghindaran individu terhadap situasi yang mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap penampilan fisiknya sendiri.

Dalam penelitian ini pengukuran body image dinilai melalui metode Body Shape Questionnaire (BSQ) yang dikembangkan oleh Cooper et al 1987. BSQ memiliki total skor penilaian antara 34 hingga 204. Semakin tinggi nilai total skor pada BSQ menunjukkan adanya persepsi tubuh yang semakin buruk. Sebaran subjek berdasarkan skor BSQ persepsi body image dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan Persepsi body image (BSQ)

Kategori BSQ N % Positif 15 42.9 Negatif Ringan 12 34.3 Negatif Sedang 6 17.1 Negatif Berat 2 5.7 Total 35 100.0 Skor BSQ rata-rata±SD 84.77±28.23

Skor BSQ rata-rata subjek adalah 84.77±28.2 masuk kedalam kategori negatif ringan yang menunjukan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh aktual yang dimiliki oleh subjek. Persentase tertinggi pada skor BSQ subjek masuk kedalam kategori persepsi bentuk tubuh positif dan negatif ringan sebesar 42.9% dan 34.3%.

Menurut Schieman et al. (2007) pada dewasa terutama wanita, mereka memiliki persepsi yang salah terhadap bentuk tubuhnya. Wanita dengan status gizi lebih merasa bentuk tubuhnya adalah ideal dikarenakan oleh faktor lingkungan. Pada penelitiannya dengan subjek laki-laki dan wanita dewasa juga menunjukan bahwa wanita cenderung overestimate atau underestimate dalam menilai bentuk tubuhnya dibandingkan dengan laki-laki dewasa.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuhdan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2006).

Aktivitas fisik diketahui melalui kombinasi metode dua hari recall. Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang dilakukan subyek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari. WHO 2001 menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variabel penting dalam penghitungan kebutuhan energi. Berdasarkan WHO (2001), besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik

Kategori aktivitas fisik N %

Kategori aktivitas fisik

Sangat ringan 1 2.9

Ringan 31 88.6

Sedang 3 8.6

Total 35 100.0

PAL rata-rata±SD 1.56±0.09

Rata-rata tingkat aktivitas fisik atau PAL subjek adalah 1.56±0.09 tergolong dalam kategori ringan. Sebagian besar aktivitas fisik subjek termasuk dalam kategori ringan (88.6%) dan sedang (8.6%), Aktivitas fisik subjek sebagian besar tergolong dalam aktivitas ringan (sedentary). Berdasarkan data recall

aktivitas fisik 2 kali selama 24 jam, sebagian besar aktivitas subjek selain mengajar yaitu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sedangkan untuk waktu senggang dihabiskan untuk bersantai seperti menonton televisi dan sebagian besar subjek jarang berolahraga. Menurut Wirakusumah (2003) gaya hidup dengan aktivitas fisik rendah akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Obesitas disebabkan karena pola makan dan aktivitas fisik yang tergolong aktivitas fisik ringan sehingga energi yang dikeluarkan tidak sesuai dengan asupan pangan. Jika hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak di bawah kulit yang akhirnya terjadi obesitas.

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Lemak

Lemak merupakan salah satu komponen makanan multi fungsi yang sangat penting untuk kehidupan. Fungsi lemak dalam tubuh antara lain sebagai sumber energi, bagian dari membran sel, mediator aktivitas biologis antar sel, isolator dalam menjaga keseimbangan suhu tubuh, pelindung organ-organ tubuh, serta pelarut vitamin A, D, E, dan K. Lemak dalam tubuh juga berperan sebagai sumber energi utama pada saat melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang dalam

15

waktu lama. Penambahan lemak dalam makanan memberikan efek rasa lezat dan tekstur makanan menjadi lembut dan gurih (FAO 2008).

Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, kacang kedelai, jagung, dan sebagainya), mentega, margarin, dan lemak hewan (lemak daging dan ayam). Sumber lemak lain adalah kacang-kacangan, biji-bijian, daging dan ayam gemuk, krim, susu, keju dan kuning telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak atau minyak. Sayur dan buah (kecuali apokat) sangat sedikit mengandung lemak (Almatsier 2011).

Proporsi konsumsi energi dari lemak saat ini sekitar 20% dari total konsumsi energi. Kontribusi energi dari lemak sebaiknya tidak melebihi 30% dan perlu upaya untuk memperbaiki komposisi asam lemak yang yang lebih baik agar sejalan dengan upaya pencegahan penyakit kronik degeneratif sedini mungkin melalui pengaturan komposisi lemak/minyak yang dikonsumsi (WNPG 2004).

Frekuensi konsumsi dilakukan dengan menggunakan metode semi kuantitatif Food Frequency Questionnaire (FFQ). Data food frequency terdiri dari frekuensi dan berat konsumsi pangan sumber lemak. Rata-rata konsumsi pangan sumber lemak subjek dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Rata-rata konsumsi pangan sumber lemak subjek

Jenis pangan Frekuensi (kali/minggu) rata-rata±SD

Jumlah (gram/minggu) rata-rata±SD telur ayam 3.41±3.31 190.53±185.48 telur bebek 0.30±0.11 16.80±6.26 telur puyuh 0.92±0.98 44.59±53.90 daging merah 1.25±1.36 70.00±76.08 Susu 4.47±2.45 62.61±34.33 Keju 1.12±0.81 20.86±15.04 Jeroan 0.61±0.42 28.52±19.69

minyak kelapa sawit 8.00±2.49 78.40±26.51

Santan 1.22±0.84 56.92±39.32 gorengan (bakwan dll) 5.00±2.82 493.33±280.29 kue manis 4.09±4.27 379.84±397.53 Biskuit 3.06±2.54 114.33±94.76 Ikan 4.24±3.76 395.29±351.15 Ayam 3.73±1.94 417.60±217.03 Alpukat 0.75±0.86 91.00±104.04 kacang tanah 1.35±1.67 57.77±62.38 kacang kedelai 1.63±1.94 45.50±54.45 Margarin 3.23±2.76 52.33±50.74 Tempe 6.31±3.22 294.67±150.48 Tahu 6.24±3.31 232.78±123.67 Baso 1.98±0.65 740.44±242.56 Soto 1.25±0.50 291.67±116.67 mie ayam 1.91±0.53 445.45±112.82

Frekuensi konsumsi pangan sumber lemak tertinggi yaitu minyak kelapa sawit dengan frekuensi rata-rata perminggu sebesar 8.00±2.49. tempe dan tahu merupakan pangan nabati yang paling sering dikonsumsi dengan rata-rata berturut-turut sebesar 6.31±3.22 dan 6.24±3.31. Selain itu konsumsi gorengan juga cukup tinggi dengan frekuensi rata-rata sebesar 5.00±2.82. Lauk hewani yang paling sering dikonsumsi oleh sampel adalah ikan dan ayam berturut-turut sebesar 4.24±3.76 dan 3.73±1.94. Pangan yang paling sering di konsumsi oleh subjek adalah tahu dan tempe yang dijadikan sebagai makanan pendamping yang harus

selalu ada menemani lauk hewani. Selain itu gorengan juga merupakan pangan yang paling sering dikonsumsi saat makan utama atau selingan subjek. Lemak yang terdiri dari kolesterol, trigliserida, LDL dan HDL bagi wanita dewasa memiliki hubungan dengan terjadinya premenopause dan kegemukan. Wanita yang memasuki tahap menopause cenderung akan mudah mengalami kegemukan dikarenakan sedikitnya hormone esterogen yang di bentuk oleh tubuh sehingga tidak dapat menekan kerja enzim yang memproduksi lemak (Derby, Crawford, Pasternak et al 2009).

Tingkat Kecukupan Zat Gizi (TKG)

Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Sedioetama 1996 dalam Suryono 2007).

Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi (Sedioetama 1996 dalam Suryono 2007).

Konsumsi pangan subjek diperoleh dengan menggunakan metode Food record selama 7 hari, dan food recall 24 jam selama 2 kali pada saat hari kerja dan libur. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi individu dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi oleh individu dengan angka kecukupan zat gizi sesuai umur subjek yang ditentukan oleh umur dan jenis kelamin subjek. Untuk menghitung estimasi kecukupan zat gizi subjek menggunakan AKG 2013 berdasarkan umur dan jenis kelamin subjek.

Asupan Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup. Menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada di dalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya. Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (2001) adalah konsumsi energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila dia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai

17

dengan kesehatan jangka panjang dan yang memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi (Almatsier 2009).

Setelah dilakukan Uji beda T test pada recall dan record subjek didapatkan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05) antara konsumsi harian subjek sehingga dirata-ratakan antara konsumsi subjek berdasarkan recall dan record. Rata-rata konsumsi energi subjek adalah 1868±312 kkal perhari dengan tingkat kecukupan

91.6±16.2%. sebaran subjek berdasarkan kecukupan kebutuhan energi dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi

Tingkat konsumsi Energi N %

Defisit berat (<70%) 3 8.6 Defisit sedang (70-79%) 2 5.7 Defisit ringan (80-89%) 11 31.4 Normal (90-119%) 18 51.4 Lebih (≥120%) 1 2.9 Jumlah 35 100

TKG energi (kkal) rata-rata±SD 91.6±16.2

Berdasarkan tabel sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi rata-rata subjek memiliki tingkat konsumsi normal dan defisit ringan dengan persentase sebesar 51.4% dan 31.4%. dan kategori tingkat konsumsi energi terendah yaitu konsumsi lebih (2.9%). Dilihat dari data konsumsi subjek, konsumsi pangan cukup beragam dengan rata-rata 3 kali makan utama dan 2-3 kali selingan setiap harinya.

Asupan Protein

Protein merupakan kebutuhan penting dalam tubuh kita untuk membentuk tubuh kita maka protein yang berada dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh. Salah satu fungsi protein sebagai pembentukan antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Dalam keadaan kekurangan protein kemampuan tubuh untuk menghalangi pengaruh toksik bahan-bahan racun ini berkurang sehingga seseorang yang mengalami kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan-bahan racun dan obat-obatan. Selain itu, menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi (Almatsier 2009).

Hasil uji beda t test yang dilakukan pada recall dan record konsumsi menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0.05) antara recall dan record

konsumsi pangan sehingga hasil dirata-ratakan. Rata-rata konsumsi protein subjek adalah 68.4±12.9 gram perhari dengan tingkat kecukupan 121.0±21.7%. Sebaran subjek berdasarkan kecukupan kebutuhan protein dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein

Tingkat konsumsi Energi N %

Defisit sedang (70-79%) 2 5.7 Defisit ringan (80-89%) 1 2.9 Normal (90-119%) 15 42.9 Lebih (≥120%) 17 48.6 Jumlah 35 100 TKG protein (g) rata-rata±SD 121.0±21.7

Berdasarkan tabel sebaran subjek terbanyak yang dimiliki subjek berdasarkan kecukupan protein adalah lebih dan normal dengan persentase berturut-turut sebesar 48.6% dan 42.9%. dan kategori tingkat konsumsi protein terendah yaitu defisit berat, sedang dan defisit ringan dengan presentase sama yaitu 2.9%. dilihat berdasarkan kuisioner konsumsi pangan subjek dapat dilihat konsumsi protein berlebih disebabkan karena subjek mengkonsumsi sumber protein baik nabati maupun hewani seperti tempe, tahu, ikan, telur, daging sapi dan ayam.

Asupan Lemak

Fungsi lemak dan minyak dalam makanan adalah membantu penyerapan vitamin A, D, E, K, menambah energi dan melezatkan makanan. Lemak dikelompokkan menjadi 3 menurut tingkat pencernaanya asam lemak jenuh yang sulit dicerna, asam lemak tidak jenuh tunggal yang mudah dicerna, dan asam lemak tidak jenuh ganda yang paling mudah dicerna (Depkes 2002). Hasil Uji beda t t-test p menunjukan recall konsumsi dan record konsumsi lemak tidak berbeda nyata (p>0.05). Rata-rata konsumsi lemak subjek subjek adalah 70.3±20.5 gram dan 60.6±19.3 gram perhari dengan tingkat kecukupan 30.9±9.7% dan 26.7±8.4%. Sebaran subjek berdasarkan kecukupan lemak dapat dilihat pada tabel 13.

Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan Tingkat Kecukupan Lemak

Tingkat konsumsi Lemak N %

Kurang (<20%) 4 11.4

Normal (20-30%) 16 45.7

Lebih (>30%) 15 42.9

Jumlah 35 100

TKG Lemak (g) rata-rata±SD 65.7±16.5

Berdasarkan tabel sebaran subjek terbanyak yang dimiliki subjek berdasarkan kecukupan lemak adalah normal dan lebih dengan persentase berturut-turut pada sebesar 45.7% dan 42.9%. Jika dilihat pada kuisioner konsumsi pangan subjek hal tersebut disebabkan karena rata-rata kebiasaan makan subjek selalu mengkonsumsi gorengan disetiap waktu makan. Menurut penelitian Widiardani et al (2011) menunjukkan konsumsi lemak yang tidak baik melebihi anjuran persentase lemak yang dianjurkan dalam sehari memiliki resiko 2.58 kali lebih besar terhadap kejadian sindroma metabolik, dibandingkan dengan konsumsi lemak yang sesuai anjuran. Prevalensi sindroma metabolik meningkat dengan bertambahnya usia sekitar 10% pada penduduk usia 20 tahun dan mencapai 40% pada usia 60 tahun. Selain itu, resiko penyakit ini lebih besar terjadi pada wanita, yang berarti peluangnya lebih besar terjadi pada wanita dewasa.

Asupan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan zat gizi utama sumber energi bagi tubuh. Dalam 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori. Terpenuhinya kebutuhan tubuh akan karbohidrat menentukan jumlah energi yang tersedia bagi tubuh setiap hari (Almatsier 2006). Setelah dilakukan Uji t-test pada recall dan record konsumsi

19

karbohidrat subjek didapatkan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05), sehingga dirata-ratakan antara konsumsi subjek berdasarkan recall dan record. Rata-rata konsumsi karbohidrat subjek adalah 238.9±40.3 gram perhari dengan tingkat kecukupan 77.3±13.7%. sebaran subjek berdasarkan kecukupan kebutuhan karbohidrat dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan Tingkat Kecukupan Karbohidrat

Tingkat konsumsi Energi N %

Kurang (<60%%) 32 91.4

Normal (60-70%) 3 8.6

Jumlah 35 100

TKG karbohidrat (g) rata-rata±SD 77.3±13.7

Berdasarkan tabel sebaran subjek terbanyak yang dimiliki subjek berdasarkan kecukupan karbohidrat pada adalah kurang dan normal dengan persentase berturut-turut pada sebesar 91.4% dan 8.4%. Persentase tingkat kecukupan karbohidrat subjek sebagian besat defisit (kurang) dilihat dari kuisioner konsumsi pangan subjek hal itu dapat disebabkan karena subjek cenderung sedikit mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat terutama nasi. Para subjek mengurangi konsumsi nasi dikarenakan mereka beranggapan bahwa nasi lah sumber utama yang dapat menyebabkan kegemukan.

Asupan Kolesterol, Saturated fatty Acid (Saturated FA), Mono Unsaturated fatty Acid (MUFA), dan Poli Unsaturated fatty Acid (PUFA)

Asupan kolesterol, saturated fatty acid (saturated FA), mono unsaturated fatty acid (MUFA), dan poly unsaturated fatty acid (PUFA) subjek dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Asupan kolesterol, saturated fatty acid (saturated FA), mono unsaturated fatty acid (MUFA), dan poly unsaturated fatty acid (PUFA) subjek

Asupan Zat Gizi Konsumsi yang dianjurkan Konsumsi rata-rata±SD

Kolesterol (mg) <300 337.6±128.5

Saturated FA (g) <17.7 - 20 41.9±.13.4

MUFA (g) 17.7 – 20 22.3±6.9

PUFA (g) 15.9-18 21.3±8.4

Kebutuhan lemak perhari dikelompokan menjadi asupan Saturated FA

<10%, PUFA sebanyak 6-10%, trans FA <1% dan asupan MUFA by difference

(WHO 2003). Menurut AKG 2013 angka kecukupan lemak subjek <30% adalah 53 dan 60 gram per hari. Sehingga asupan Saturated FA yang dianjurkan adalah sebanyak 17.7 sampai 20 gram, PUFA maksimal sebesar 17.7 sampai 20 gram,

trans FA < 1.7 dan 2 gram serta MUFA by difference yaitu sisa antara penjumlahan Saturated FA, PUFA dan trans FA yaitu sebesar 15.9 sampai 18 gram perhari.

Dari rata-rata konsumsi lemak subjek asupan pangan sumber Saturated FA subjek berlebih yaitu 41.9±.13.4 g/hari. Asam lemak jenuh (Saturated FA)

Setiap penurunan 1% kalori dan asam lemak jenuh pada diet akan menurunkan kolesterol darah hampir 3 mg/dl (Soeharto 2004). Asam lemak jenuh (Saturated FA) dalam diet bekerjasama dengan kolesterol yang berada dalam diet dan mengurangi aktivitas reseptor LDL di lever, sehingga kolesterol total dan kolesterol LDL dalam darah naik, karena itu konsumsi asam lemak jenuh harus

Dokumen terkait