• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas

Kalus yang digunakan berasal dari kultur protoplas dan telah berumur 4 – 5 tahun sejak inisiasi. Viabilitas kalus dipelihara dengan melakukan subkultur setiap empat minggu ke media MW (Morel dan Wetmore) tanpa zat pengatur tumbuh yang merupakan media optimal untuk pembentukan kalus embriogenik pada tanaman jeruk siam (Husni et al. 2010). Pengamatan empat minggu setelah ditanam dalam media tersebut, menunjukkan kalus masih mempunyai kemampuan proliferasi atau pertumbuhan dengan bertambahnya berat kalus dan diameter kalus.

Kalus yang dihasilkan dikategorikan embriogenik, karena mengandung proembrio yang merupakan tahap perkembangan awal dari dua sel sampai delapan sel sebelum terbentuk globular (Feher et al. 2003). Setiap kalus (berat + 0.5 g) memiliki 5 – 10 proembrio, sehingga dalam tiap botol yang berisi lima kalus terdapat sekitar 25 – 50 proembrio. Warna kalus secara umum adalah putih kekuningan dan bersifat friable atau remah (Gambar 6). Rata – rata pertambahan berat kalus setelah empat minggu adalah 1.51 g sedangkan rata – rata pertambahan diameter kalus adalah 0.38 cm. Artinya, bahwa kalus masih mampu tumbuh hampir dua kali lipat dari ukuran awal saat dilakukan subkultur ke media MW (Tabel 2).

Gambar 6 (A) Morfologi kalus pada empat minggu pengkulturan di media MW tanpa zat pengatur tumbuh, (B) Pertambahan diameter kalus, (C) Struktur kalus yang terdiri atas proembrio (tanda panah) secara mikroskopis pada perbesaran 20 kali.

Tabel 2 Pengamatan morfologi dan pertumbuhan kalus empat minggu setelah subkultur (MSK)

Pengamatan 0 MSK 4 MSK

Warna kalus Putih kekuningan Putih kekuningan

Struktur kalus Remah Remah

Berat kalus (g) + 0.5 2.01

Pertambahan berat kalus (g) - 1.51

Diameter kalus (cm) + 0.5 0.88

Pertambahan diameter kalus (cm) - 0.38

Sifat embriogenik kalus terkait dengan asal protoplas yang diisolasi dari kalus embriogenik dari jaringan nuselus jeruk siam. Protoplas yang diisolasi dari kalus embriogenik lebih mudah beregenerasi menjadi tanaman, karena memiliki potensi morfogenik yang tinggi (Fiuk et al. 2007). Protoplas dapat diisolasi dari berbagai jaringan atau organ tanaman, namun hasil isolasi protoplas yang terbaik pada kebanyakan tanaman diperoleh dari kalus embriogenik, seperti pada mawar (Kim et al. 2003), pohon kamfer atau Cinnamomum camphora L. (Du & Bao 2005), jahe (Guo et al. 2007), jeruk manis (Omar & Grosser 2008) dan pisang (Dai et al. 2010). Menurut Grosser dan Gmitter (2011), salah satu donor tetua pada fusi protoplas sebaiknya diisolasi dari kalus embriogenik, agar hasil fusi protoplas memiliki kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman.

Respon Kalus Setelah Iradiasi Sinar Gamma

Perbedaan respon kalus pada berbagai taraf dosis dapat diamati pada minggu keempat setelah iradiasi sinar gamma. Pengamatan terhadap morfologi kalus menunjukkan bahwa struktur kalus pada semua dosis tidak mengalami perubahan, yaitu remah dan terdiri atas proembrio. Pengamatan terhadap warna kalus menunjukkan respon yang beragam. Pada kalus tanpa iradiasi (0 Gray) dan kalus yang diiradiasi pada beberapa dosis rendah (10, 30 dan 40 Gray) serta pada beberapa dosis tinggi (60, 80 dan 100 Gray) tidak menunjukkan perubahan warna (Gambar 7A). Perubahan warna kalus menjadi putih kehijauan terjadi pada dosis

20, 50 dan 90 Gray (Gambar 7B), sedangkan pada dosis 70 Gray, warna kalus berubah menjadi kecoklatan (Gambar 7C). Kalus yang diiradiasi pada dosis 50 Gray, menunjukkan persentase tertinggi untuk perubahan warna menjadi putih kehijauan yaitu 70%. Kalus yang diiradiasi pada dosis 70 Gray menunjukkan 100% berubah menjadi kecoklatan (Gambar 8). Respon yang sama juga ditunjukkan pada iradiasi sinar gamma terhadap kalus nilam, perubahan warna kalus menjadi kecoklatan diikuti oleh penurunan pertumbuhan dan kemampuan regenerasi kalus (Kadir et al. 2007).

Gambar 7 Warna kalus pada empat minggu setelah iradiasi sinar gamma. (A) Putih kekuningan pada dosis 10, 30, 40, 60, 80 dan 100 Gray. (B) Putih kehijauan pada dosis 20, 50 dan 90 Gray.

(C) Kecoklatan pada dosis 70 Gray.

100 100 80 100 100 30 100 100 90 100 20 70 10 100 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er se n ta se w ar n a ka lus (%)

Dosis iradiasi sinar gamma (Gray)

Put ih kekuningan Put ih Kehijauan Kecoklat an

(A) (B) (C)

Gambar 8 Persentase perubahan warna kalus empat minggu setelah iradiasi sinar gamma.

Peningkatan dosis iradiasi pada umumnya diikuti pula oleh peningkatan kerusakan sel yang terpapar iradiasi yang ditunjukkan oleh terjadinya perubahan secara morfologi (van Harten 1998), namun hasil pengamatan pada kalus jeruk siam hasil kultur protoplas tidak menunjukkan respon tersebut. Perubahan warna kalus yang terjadi menunjukkan respon yang acak dan tidak membentuk pola respon tertentu dengan semakin meningkatnya dosis iradiasi. Respon tersebut diduga karena sel – sel kalus yang berasal dari kultur protoplas memiliki potensi untuk beragam secara fisiologis maupun secara genetik sehingga respon antara satu sel dengan sel yang lainnya menjadi beragam pula. Sensitivitas sel atau jaringan tanaman terhadap iradiasi sinar gamma dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu fase perkembangan dan kondisi fisiologis sel, volume inti sel, jumlah dan ukuran kromosom, tingkat ploidi, kadar air serta kadar oksigen sel (Boertjes & van Harten 1988).

Respon pertambahan berat kalus umur empat minggu setelah iradiasi sinar

gamma menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dengan

meningkatnya dosis iradiasi (Gambar 9). Kalus tanpa iradiasi (0 Gray) menunjukkan pertambahan berat tertinggi dibandingkan kalus yang diiradiasi. Semakin tinggi dosis iradiasi, maka semakin sedikit pertambahan berat kalusnya.

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er ta m b ah an b er at ka lus (g)

Dosis iradiasi sinar gamma (Gray) 1.59a 1.27bc 1.42ab 1.07c 0.98c 1.05c 0.50d 0.44d 0.51d 0.49d 0.30d

Gambar 9 Pertambahan berat kalus empat minggu setelah iradiasi sinar gamma. Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Pertambahan berat kalus menunjukkan adanya proliferasi sel – sel kalus setelah iradiasi sinar gamma. Sel-sel kalus yang diiradiasi pada dosis 10 sampai 50 Gray, masih berproliferasi meskipun tidak sebanyak kalus tanpa iradiasi sinar gamma. Pada perlakuan dosis tinggi (60-100 Gray), iradiasi menghambat proliferasi sel-sel kalus meskipun tidak sampai mengakibatkan kematian sel.

Perubahan morfologi dan pertumbuhan kalus setelah iradiasi diduga terkait dengan perubahan reaksi biokimia dan proses fisiologis sel. Iradiasi sinar gamma mengakibatkan terjadinya ionisasi melalui rusaknya ikatan atom pada struktur molekul sehingga molekul melepaskan elektron, berubah muatannya dan menjadi ion yang akan merusak jaringan secara fisik kemudian mengubah atau mempengaruhi reaksi biokimia pada sel sehingga berdampak pula terhadap proses fisiologis sel (Esnault et al. 2010). Kerusakan akibat iradiasi selain diinduksi oleh interaksi langsung antara iradiasi dengan molekul – molekul sel, juga diinduksi oleh interaksi tidak langsung antara iradiasi dengan air pada sel yang mengakibatkan proses radiolisis air dan menghasilkan ROS (Reactive Oxygen Species) sehingga akan meningkatkan radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan reaktif yang menyebabkan kerusakan pada sel (Kim et al. 2011).

Tingkat kerusakan atau sensitivitas tanaman akibat perlakuan iradiasi sinar gamma dapat diketahui melalui dosis radiosensitivitas tanaman. Radiosensitivitas bervariasi tergantung pada spesies dan kultivar tanaman, kondisi fisiologis dan organ tanaman, serta manipulasi dari materi yang diiradiasi sebelum dan sesudah perlakuan mutagenik (Predieri 2001). Radiosensitivitas sel atau jaringan eksplan terhadap iradiasi sinar gamma dapat ditentukan dengan pendekatan Growth Reduction 50 (GR50) yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano 2004).

Pertumbuhan kalus dapat diamati dari pertambahan beratnya, sehingga penurunan berat kalus menggambarkan penghambatan pertumbuhannya (Mba et al. 2010). Analisis terhadap data pertumbuhan kalus dengan menggunakan perangkat lunak Curve Expert 1.4 menghasilkan beberapa model regresi. Pemilihan model regresi terbaik didasarkan pada kecilnya ragam (S) dan besarnya koefisien determinasi (r). Gambar 10 menampilkan model regresi terbaik yaitu

dosis 53.25 Gray dapat digunakan sebagai dosis referensi atau dosis acuan yang mengindikasikan kalus masih dapat recovery setelah diiradiasi dan diharapkan dapat diperoleh banyak keragaman atau mutan.

Gambar 10 Penentuan dosis radiosensitivitas dengan kurva Gaussian Model

berdasarkan persentase pertumbuhan kalus setelah perlakuan iradiasi sinar gamma.

Menurut Boertjes dan van Harten (1988), pada kisaran dosis rendah, kemampuan tanaman untuk bertahan hidup tinggi namun frekuensi mutasi yang terjadi rendah, sedangkan pada kisaran dosis tinggi, frekuensi mutasi tinggi namun kemampuan tanaman untuk bertahan hidup rendah. Mba et al. (2010) juga menyatakan bahwa pada kisaran dosis radiosensitivitas akan dihasilkan frekuensi mutasi yang optimal dengan kerusakan yang minimal, dan dapat diperoleh mutan yang bermanfaat yang dapat langsung digunakan sebagai genotipe harapan yang lebih unggul atau sebagai sumber tetua yang berpotensi menghasilkan genotipe unggul.

Regenerasi Kalus Hasil Iradiasi Sinar Gamma

Hasil yang diharapkan dari perlakuan induksi mutasi adalah diperolehnya mutan yang solid atau utuh dan bersifat stabil. Apabila kalus embriogenik diiradiasi maka peluang untuk mendapatkan mutan solid sangat besar, karena

S = 8.91652112 r = 0.95838149

Dosis Iradiasi Gamma (Gray)

P er s en ta se P er tu m b u h an K a lu s ( % ) 0.0 18.3 36.7 55.0 73.3 91.7 110.0 10.90 27.10 43.30 59.50 75.70 91.90 108.10 50 53.25

embrio somatik berasal dari sel tunggal sehingga diharapkan sel – sel mutan yang terbentuk dapat terekspresi secara fenotipik (Avenido et al. 2009). Kelemahannya ialah embrio somatik biasanya memiliki daya regenerasi yang rendah (Witjaksono

et al. 2009). Menurut Gray (2005), persentase regenerasi embrio somatik menjadi tanaman berkisar antara 0 – 50%, lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase perkecambahan embrio zigotik pada biji yang mencapai 90%. Oleh karena itu, pada penelitian ini juga diamati kemampuan kalus dalam membentuk embrio somatik serta kemampuan perkecambahan embrio somatik.

Pengamatan yang dilakukan empat minggu setelah kalus berada di media MW yang mengandung 0.5 mgL-1 ABA menunjukkan bahwa persentase tertinggi kalus yang membentuk embrio somatik adalah pada dosis 50 Gray (80%) dan diikuti oleh dosis 60 Gray (46%) (Gambar 11).

Gambar 11 Persentase kalus membentuk embrio somatik empat minggu pada media MW ditambah 0.5 mgL-1 ABA.

Tingginya persentase pembentukan embrio somatik pada dosis 50 Gray telah diindikasikan oleh perubahan warna kalus menjadi putih kehijauan pada empat minggu setelah iradiasi. Kalus yang berwarna putih kekuningan pada kisaran dosis rendah (10, 20 dan 30 Gray) juga mampu membentuk embrio somatik, walaupun tidak sebanyak dosis 50 dan 60 Gray. Kalus yang lainnya (40, 70, 80 dan 100 Gray) selama empat minggu di media MW yang mengandung 0.5 mgL-1 ABA masih belum dapat membentuk embrio somatik.

Kalus tanpa iradiasi sinar gamma (0 Gray) dapat menggambarkan kemampuan kalus hasil kultur protoplas dalam pembentukan embrio somatik di media MW dengan penambahan ABA 0.5 mgL-1. Persentase kalus tanpa iradiasi

26 6 2 16 0 80 46 0 0 6 0 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er en ta se pe m b en tuka n E S (%)

sinar gamma yang membentuk embrio somatik adalah 26% (Gambar 10), sedangkan pada pengamatan sebelumnya yaitu pada tahap pertama (proliferasi kalus) sebelum tahap induksi mutasi, persentase kalus membentuk embrio somatik sebesar 43.6%. Kedua data tersebut dapat menunjukkan bahwa kalus awal yang digunakan sebelum perlakuan iradiasi memiliki kondisi fisiologis dan genetik yang sangat beragam. Keragaman yang tinggi tersebut akan mengakibatkan respon yang sangat bervariasi setelah perlakuan iradiasi sinar gamma.

Kalus tanpa iradiasi menunjukkan kemampuan pembentukan embrio somatik lebih rendah bila dibandingkan kalus yang diiradiasi sinar gamma pada dosis 50 dan 60 Gray, namun lebih tinggi bila dibandingkan kalus yang diiradiasi pada dosis 10, 20 dan 30 Gray. Hasil tersebut menunjukkan pola respon yang acak atau random, karena kalus awal sebelum perlakuan telah memiliki kondisi fisiologis dan genetik yang tidak seragam.

Gambar 12 Morfologi kalus serta tahapan pendewasaan embrio somatik empat minggu pada media MW yang ditambah 0.5 mgL-1 ABA. (A) Morfologi kalus yang membentuk embrio somatik, (B) Pengamatan mikroskopis (perbesaran 20 kali) terhadap kalus yang membentuk globular, (C-F) Struktur dari tahap globular sampai kotiledon secara mikroskopis perbesaran 20 kali.

Pembentukan dan pendewasaan embrio somatik dari tahap globular hingga tahap kotiledon disajikan pada Gambar 12. Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap kalus hasil iradiasi sinar gamma menunjukkan bahwa embrio somatik

(A) (B)

tahap globular dan tahap kotiledon lebih mudah ditemukan dibandingkan tahap jantung dan torpedo. Souza et al. (2011) juga lebih mudah mendeteksi embrio tahap globular pada Citrus sinensis L. Osbeck cv. Valencia.

Tahap berikutnya adalah tahap perkecambahan embrio somatik. Pengamatan pada empat minggu setelah embrio somatik disubkultur ke media MW dengan penambahan 0.5 mgL-1 GA3 menunjukkan bahwa 96.8% embrio somatik asal kalus yang diiradiasi pada dosis 60 Gray berkecambah lebih banyak dibandingkan dosis 50 Gray yaitu 75.9%. Embrio somatik asal kalus tanpa iradiasi (0 Gray) mampu berkecambah 100% (Gambar 13). Embrio somatik yang dihasilkan dari kalus yang diiradiasi pada dosis 10, 20, 30 dan 90 Gray belum mampu berkecambah sampai dengan pengamatan minggu keempat.

Gambar 13 Persentase embrio somatik yang berkecambah pada empat minggu setelah ditanam di media MW yang ditambah 0.5 mgL-1 GA3

Embrio somatik yang belum berkecambah diduga telah mengalami perubahan respon terhadap penambahan GA3 yang seharusnya dapat mengarahkan perkembangan embrio somatik untuk perkecambahan. Perubahan tersebut kemungkinan akumulasi dari tiga faktor, yaitu asal kalus dari kultur protoplas, periode kultur kalus yang lama serta perlakuan iradiasi sinar gamma. Ketiga faktor tersebut berpotensi untuk mengakibatkan embrio somatik gagal berkecambah.

Perkecambahan embrio somatik pada media MW dengan penambahan 0.5 mgL-1 GA3 disajikan pada Gambar 14. Kecambah yang dihasilkan kemudian ditumbuhkan pada media MW tanpa zat pengatur tumbuh untuk perkembangan menjadi planlet. 100 0 0 0 0 75.9 96.8 0 0 0 0 0 20 40 60 80 100 120 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er se n ta se pe rke ca m b ah an E S (%)

Gambar 14 Morfologi embrio somatik yang sudah berkecambah serta morfologi kecambah yang terbentuk. (A) Embrio somatik yang sudah berkecambah umur empat minggu setelah penanaman di media MW yang ditambah 0.5 mgL-1 GA3, (B) Kecambah umur empat minggu setelah penanaman di media MW tanpa zat pengatur tumbuh.

Hasil yang diperoleh pada tahap pendewasaan dan perkecambahan embrio somatik dapat menggambarkan beragamnya kemampuan kalus beregenerasi menjadi embrio somatik dan kemampuan embrio somatik untuk berkecambah menjadi planlet. Menurut Nwachukwu et al. (2009) keragaman yang terjadi pada generasi awal (MV1) akibat iradiasi sinar gamma dapat disebabkan oleh akumulasi pengaruh kerusakan fisiologis, mutasi gen dan mutasi kromosom. Kerusakan fisiologis memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan mutasi gen maupun kromosom.

Rekapitulasi hasil dari tahap regenerasi kalus disajikan pada Tabel 3. Total embrio somatik yang dihasilkan dari penanaman selama empat minggu pada media MW yang ditambah 0.5 mgL-1 ABA adalah 151, yang terdiri dari 16 embrio somatik dari kalus tanpa iradiasi dan 135 embrio somatik berasal dari kalus dengan perlakuan berbagai dosis iradiasi sinar gamma. Total embrio somatik yang mampu berkecambah setelah empat minggu ditanam dalam media MW dengan penambahan 0.5 mgL-1 GA3 adalah 109. Jumlah planlet yang dihasilkan pada tahap kedua ini adalah 72 planlet. Pada dosis 0 dan 60 Gray, semua kecambah dapat tumbuh menjadi planlet yang dapat diamati dengan jelas keragaannya sehingga dapat dilakukan karakterisasi morfologi. Pada dosis 50 Gray, hanya 26 kecambah yang dapat tumbuh menjadi planlet sedangkan sisanya memiliki bentuk yang sulit diamati bagian batang, daun dan akarnya sehingga tidak dapat dilakukan karakterisasi morfologi.

Tabel 3 Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap jumlah embrio somatik, jumlah embrio berkecambah serta jumlah planlet

Dosis (Gray)

Jumlah embrio somatik

Jumlah embrio

berkecambah Jumlah planlet

0 16 16 16 10 3 0 0 20 2 0 0 30 10 0 0 40 0 0 0 50 83 63 26 60 31 30 30 70 0 0 0 80 0 0 0 90 6 0 0 100 0 0 0 Total 151 109 (94.8%) 72 (66.1%)

Analisis Keragaman Berdasarkan Karakter Morfologi

Perlakuan iradiasi sinar gamma terhadap kalus telah mengakibatkan terjadinya perubahan pada sel sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan sel kalus untuk beregenerasi menjadi planlet. Tahap regenerasi pada induksi mutasi secara in vitro merupakan suatu tahap yang penting untuk memperoleh planlet yang dapat digunakan sebagai indikasi awal apakah induksi mutasi dapat menghasilkan mutan putatif yang bersifat positif atau negatif.

Keragaman Morfologi Daun

Pengamatan terhadap planlet yang dihasilkan menunjukkan keragaman bentuk daun, tepi daun dan warna daun berdasarkan pada daftar deskripsi jeruk (IPGRI 1999). Daun jeruk siam normal pada pohon yang tumbuh di lapang berbentuk elliptic dengan tepi daun dentate (bergerigi) dan berwarna hijau (Lampiran 2). Hasil pengamatan terhadap morfologi daun pada planlet diperoleh tiga macam bentuk daun yaitu elliptic, lanceolate dan abnormal; dua macam tepi daun yaitu dentate dan entire serta dua macam warna daun yaitu hijau dan hijau muda (Gambar 15).

Gambar 15 Morfologi daun pada planlet.

(A) Bentuk daun elliptic dengan tepi daun dentate. (B) Bentuk daun lanceolate dan tepi daun entire. (C) Bentuk daun abnormal.

Persentase daun berbentuk elliptic semakin menurun dengan

meningkatnya dosis iradiasi, sebaliknya persentase daun berbentuk lanceolate

semakin meningkat dengan meningkatnya dosis iradiasi, bahkan pada dosis 60 Gray, 70% planlet memiliki daun berbentuk lanceolate. Pengamatan terhadap tepi daun juga menunjukkan respon yang sama, pada dosis yang semakin tinggi, lebih banyak ditemukan daun yang tepinya entire (tidak bergerigi). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar planlet yang memiliki bentuk daun elliptic

bertepi daun dentate dan yang memiliki bentuk daun lanceolate dan abnormal bertepi daun entire. Fenomena tersebut dapat menunjukkan bahwa ukuran daun menjadi semakin kecil dengan semakin meningkatnya dosis iradiasi.

Hasil yang sama juga diperoleh pada iradiasi sinar gamma terhadap rough lemon (Citrus jambhiri Lush.) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis, maka ukuran daun semakin tereduksi. Perlakuan iradiasi diduga menginduksi beberapa perubahan pada tingkat gen yaitu dengan berubahnya struktur kimia senyawa atau zat yang terkait dengan pertumbuhan seperti auksin, sitokinin, giberelin, asam absisik dan etilen sehingga mengakibatkan terbentuknya modifikasi dan variasi pada karakter tanaman seperti bentuk daun, tinggi tanaman dan percabangan tanaman (Saini & Gill 2009).

Pengamatan terhadap warna daun menunjukkan sebagian besar planlet yang diperoleh (69.2 – 70%) mempunyai daun berwarna hijau (Tabel 4). Semua daun hanya terdiri atas satu warna saja yaitu hijau atau hijau muda, tidak diperoleh planlet yang daunnya memiliki dua warna atau lebih (belang).

Tabel 4 Persentase variasi morfologi daun pada planlet

Morfologi daun Dosis iradiasi sinar gamma

0 Gray 50 Gray 60 Gray

Bentuk daun : --- % --- Elliptic 50.0 34.6 10.0 Lanceolate 25.0 50.0 70.0 Abnormal 25.0 15.4 20.0 Tepi daun : --- % --- Dentate (bergerigi) 50.0 34.6 10.0

Entire (tidak bergerigi) 50.0 65.4 90.0

Warna daun : --- % ---

Hijau 75.0 69.2 70.0

Hijau muda 25.0 30.8 30.0

Keragaman bentuk, tepi dan warna daun juga ditemukan pada planlet asal kalus tanpa iradiasi. Bentuk daun abnormal yang cekung di bagian tengah helaiannya seperti sendok, lebih banyak ditemukan pada planlet asal kalus tanpa iradiasi (25%). Keragaman morfologi planlet diduga karena kalus yang digunakan berasal dari kultur protoplas. Menurut Kawata dan Oono (1998), keragaman lebih sering dijumpai pada kultur protoplas bila dibandingkan teknik in vitro yang lainnya. Veilleuex et al. (2005) menjelaskan bahwa variasi yang sering terjadi antara lain perubahan morfologi daun. Periode kultur yang lama (4 – 5 tahun) pada tahap kalus juga diduga dapat mengakibatkan terjadinya keragaman morfologi (Brar & Jain 1998).

Keragaman Karakter Kuantitatif Planlet

Baihaki (1999) menyatakan bahwa adanya variasi dari suatu populasi dapat dilihat dari nilai rata-rata, ragam dan standar deviasi. Pengamatan dan pengukuran terhadap empat karakter kuantitatif disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh pada empat karakter kuantitatif yang diamati secara in vitro, maka perlakuan iradiasi sinar gamma pada dosis 50 Gray memperlihatkan pertumbuhan planlet yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain (0 dan 60 Gray). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh yang terjadi akibat iradiasi sinar gamma dapat bersifat positif atau negatif, tergantung pada taraf dosis yang diaplikasikan.

Tabel 5 Kisaran, nilai rata-rata, ragam dan standar deviasi dari karakter kuantitatif planlet yang dihasilkan

No Karakter Dosis

(Gray) Kisaran Rataan Standar deviasi Ragam

1. Tinggi tunas 0 0.7 – 2.8 1.83 0.64 0.40 (cm) 50 1.1 – 3.0 2.05 0.48 0.23 60 0.3 – 3.8 2.00 0.90 0.81 2. Jumlah cabang 0 0 – 4 0.94 1.39 1.93 50 0 – 3 1.04 0.96 0.92 60 0 – 3 0.67 0.99 0.99 3. Jumlah daun 0 1 – 8 3.75 1.85 3.40 50 2 – 8 4.12 1.58 2.51 60 2 – 6 3.20 1.13 1.27 4. Jumlah akar 0 0 – 2 0.38 0.72 0.52 50 0 – 2 0.23 0.59 0.34 60 0 – 1 0.13 0.35 0.12

Pengamatan tinggi planlet hasil iradiasi kalus menunjukkan terjadi peningkatan ragam dibandingkan planlet asal kalus tanpa iradiasi (0 Gray). Kisaran tinggi planlet 60 Gray (0.3 – 3.8 cm) lebih luas dibandingkan 0 Gray (0.7 – 2.8 cm) dan 50 Gray (1.1 – 3.0 cm). Jumlah cabang, daun dan akar pada planlet hasil iradiasi kalus lebih sedikit dibandingkan tanpa iradiasi (0 Gray), karena pertumbuhan daun dan akar pada planlet asal kalus iradiasi tidak secepat dan sebanyak planlet asal kalus tanpa iradiasi. Salah satu pengaruh perlakuan iradiasi adalah berkurangnya jumlah auksin bebas dalam tanaman, yang dapat menyebabkan kerusakan seluler pada jaringan meristem, sehingga pertumbuhan menjadi terhambat (Fauza et al. 2005).

Keragaman Ukuran dan Kerapatan Stomata

Stomata merupakan lubang pada epidermis daun yang dibatasi oleh dua sel penjaga yang di dalamnya terdapat butiran kloroplas (Gambar 16). Pada umumnya tanaman memiliki banyak stomata pada permukaan bawah daun (Beck 2010). Daun tanaman jeruk bersifat hipostomatik, artinya stomata hanya ditemukan pada epidermis bawah daun dengan tipe anomositik, yaitu sel penjaga dan sel epidermis yang berdekatan tidak membentuk suatu pola tertentu (Obiremi & Oladele 2001).

Gambar 16 Tipe dan struktur stomata pada daun planlet jeruk siam.

(A) Pengamatan mikroskopik perbesaran 100 kali; (B) Diagram stomata tipe anomositik (Beck 2010); (C) Pengamatan mikroskop perbesaran 400 kali: (1) lubang stomata, (2) sel penjaga, (3) butiran kloroplas, (4) sel epidermis, (p) panjang stomata, (L) lebar stomata. Tabel 6 Pengamatan terhadap ukuran stomata planlet

No Karakter Dosis

(Gray) Kisaran Rataan

1. Panjang stomata (µm) 0 19.08 – 20.34 19.31 + 0.47 50 14.63 – 27.53 20.61 + 3.13 60 17.27 – 28.21 20.06 + 2.90 2. Lebar stomata (µm) 0 16.21 – 18.59 17.04 + 0.83 50 12.47 – 21.92 16.28 + 2.29 60 11.07 – 19.64 15.76 + 1.76 3. Kerapatan stomata 0 246.28 – 580.89 420.06 +79.63 (per mm2) 50 275.16 – 657.32 539.74 + 103.13 60 244.59 – 509.55 420.89 + 72.85

Pengamatan terhadap ukuran stomata juga menunjukkan adanya keragaman (Tabel 6). Panjang stomata pada planlet hasil iradiasi kalus memiliki kisaran yang lebih luas (14.64 – 28.21 µ m) bila dibandingkan kontrol (19.08 – 20.34 µm). Hasil yang sama juga diperoleh pada pengamatan lebar stomata, planlet hasil iradiasi kalus memiliki kisaran yang lebih luas (11.07 – 21.92 µ m) dibandingkan kontrol (16.21 – 18.59 µm). Ukuran stomata pada kebanyakan tanaman dapat digunakan sebagai ciri khas dari suatu spesies, terkait juga dengan tingkat ploidi dari tanaman tersebut, seperti pada pisang (Damayanti 2007), berbagai jenis pohon di hutan Sulawesi (Russo et al. 2010), tanaman garut (Sukamto et al. 2010) dan grapefruit (Usman et al. 2012).

Pengamatan terhadap kerapatan stomata menunjukkan bahwa planlet akal kalus yang diiradiasi pada dosis 50 Gray memiliki kerapatan stomata tertinggi dibandingkan dosis yang lain dengan kisaran yang luas antara 275.16 – 657.32 per

1 2 3 4 p L (A) (B) (C)

mm2 (Tabel 4). Kerapatan stomata terkait dengan genotipe dan kondisi lingkungan. Genotipe yang memiliki tingkat ploidi besar akan memiliki kerapatan stomata yang rendah karena ukuran stomatanya lebih besar (Beck 2010). Kerapatan stomata daun jeruk di lapang umumnya adalah 400 – 700 per mm2 (Spiegel-Roy & Goldschmidt 1996). Kerapatan stomata pada daun in vitro dua kali lebih banyak dibandingkan daun yang tumbuh ex vitro, selain itu stomata yang terbuka juga lebih banyak ditemukan pada daun invitro (Saez et al. 2012).

Tingkat Keragaman Morfologi Planlet Asal Kalus Tanpa Iradiasi

Dokumen terkait