• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan kualitas buah jeruk lokal seperti jeruk siam Pontianak merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing buah lokal menghadapi melimpahnya buah impor akibat tidak berlakunya lagi pembatasan impor buah oleh pemerintah. Kriteria buah jeruk yang digemari konsumen untuk dikonsumsi segar adalah buahnya tidak berbiji (seedless), mudah dikupas dan memiliki warna kulit yang menarik (Ladaniya 2008). Jeruk siam Pontianak merupakan salah satu jenis jeruk komersial yang paling populer di Indonesia. Jeruk ini memiliki keunggulan dari rasanya yang manis dan kulitnya yang tipis sehingga mudah dikupas, namun buahnya masih memiliki warna kulit yang kurang menarik serta jumlah biji per buah yang relatif banyak (15 – 20 biji). Oleh karena itu, diperlukan suatu program pemuliaan tanaman untuk dapat meningkatkan kualitas buah jeruk siam Pontianak.

Langkah awal dalam program pemuliaan adalah tersedianya keragaman genetik yang luas sehingga akan mengarah pada program pemuliaan yang lebih efisien. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu introduksi, eksplorasi, persilangan atau hibridisasi, induksi mutasi dan rekayasa genetik. Keragaman genetik dapat pula terjadi karena teknik kultur jaringan yang disebut variasi somaklonal. Kawata dan Oono (1998) menyatakan bahwa keragaman genetik lebih sering terjadi pada kultur protoplas dibandingkan teknik kultur in vitro yang lain. Pada penelitian ini digunakan kalus embriogenik yang berasal dari kultur protoplas dan telah berumur 4 – 5 tahun sejak inisiasi, sehingga diharapkan memiliki potensi yang lebih tinggi untuk terjadi keragaman. Kombinasi penggunaan mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma selama periode kultur jaringan juga dapat lebih meningkatkan keragaman genetik (Predieri 2001). Keragaman genetik yang dihasilkan dapat diseleksi untuk beberapa tujuan, seperti ketahanan terhadap penyakit, cekaman abiotik, perbaikan warna kulit buah,

seedless dan lain-lain.

Peluang keberhasilan peningkatan keragaman genetik jeruk siam Pontianak melalui variasi somaklonal pada kalus embriogenik hasil kultur protoplas sangat tinggi, karena sistem regenerasi jeruk siam melalui

embriogenesis somatik telah berhasil dilakukan oleh Husni et al. (2010) sehingga telah diperoleh media yang optimal untuk pendewasaan dan perkecambahan embrio somatik. Penggunaan kalus embriogenik yang mengandung banyak proembrio berpotensi besar untuk menghasilkan mutan solid karena proembrio berasal dari sel tunggal sehingga dapat menghindari terbentuknya kimera.

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi

Pada penelitian ini, periode kalus yang lama yaitu 4 – 5 tahun sejak inisiasi serta subkultur berulang selama periode tersebut tidak mengurangi kemampuan proliferasi sel – sel kalus embriogenik. Pengamatan selama empat minggu di media MW (Morel dan Wetmore) menunjukkan kalus masih mampu tumbuh hampir dua kali lipat dari ukuran awal saat dilakukan subkultur. Warna dan struktur kalus tidak mengalami perubahan yaitu berwarna putih kekuningan dan memiliki struktur remah. Penelitian sebelumnya oleh Husni (2010) pada jeruk siam Pontianak dan jeruk siam Simadu menunjukkan bahwa media MW merupakan media yang paling optimum dalam pembentukan kalus embriogenik.

Sifat embriogenik yang dimiliki oleh kalus hasil kultur protoplas tersebut terkait dengan asal protoplas yang diisolasi dari kalus embriogenik juga. Pada tanaman mangga cv. Kensington Pride, protoplas yang diisolasi dari kalus embriogenik memiliki kemampuan regenerasi yang lebih besar dibandingkan protoplas yang berasal dari daun (Rezazadeh et al. 2011).

Kalus embriogenik yang digunakan telah memiliki potensi untuk beragam sebelum diberi perlakuan iradiasi sinar gamma. Keragaman tersebut diduga berasal dari akumulasi beberapa faktor, yaitu penggunaan kultur protoplas, periode kalus yang lama serta subkultur berulang pada periode tersebut. Tujuan perlakuan iradiasi sinar gamma adalah untuk lebih meningkatkan keragaman yang telah ada sebelumnya. Menurut Kawata dan Oono (1998), sebagian besar keragaman atau variasi somaklonal yang terjadi adalah akibat dari penataan ulang DNA.

Induksi mutasi melalui iradiasi sinar gamma terhadap kalus embriogenik asal protoplas mempengaruhi pertumbuhan kalus. Peningkatan dosis iradiasi diikuti dengan menurunnya pertambahan berat kalus atau peningkatan dosis

iradiasi akan menghambat pertumbuhan kalus. Perlakuan iradiasi diduga menghambat pembelahan sel, seperti pengamatan pada akar Allium cepa L. yang menunjukkan terjadi penghambatan pembelahan sel atau mitosis setelah perlakuan iradiasi sinar gamma. Penghambatan terhadap mitosis tersebut mengakibatkan kromosom menjadi abnormal (Datta et al. 2011). Respon yang sama juga ditunjukkan oleh kalus embriogenik tebu (Saccharum officinarum L.) yang

mengalami browning dan pertumbuhannya terhambat seiring dengan

meningkatnya dosis iradiasi sinar gamma (Patade et al. 2008).

Tingkat kerusakan atau sensitivitas tanaman akibat perlakuan iradiasi sinar gamma dapat diketahui dengan menentukan dosis radiosensitivitas melalui pendekatan Growth Reduction 50 (GR50) yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano 2004). Kisaran dosis radiosensitivitas GR50 yang diperoleh dari analisis dengan perangkat lunak Curve Expert 1.4 adalah 53.25 Gray, sehingga pada kisaran dosis antara 50 – 60 Gray dapat digunakan sebagai acuan untuk induksi mutasi pada penelitian jeruk jenis yang lainnya dengan menggunakan interval dosis yang lebih sempit.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh iradiasi sinar gamma mengakibatkan perubahan sel secara fisiologis dan genetik, sehingga juga mempengaruhi perkembangan sel – sel kalus ke tahap berikutnya yaitu regenerasi kalus menjadi planlet. Kemampuan kalus membentuk embrio somatik tertinggi ditunjukkan oleh kalus yang diiradiasi pada dosis 50 Gray (80%). Kemampuan tersebut telah diindikasikan oleh perubahan warna kalus menjadi putih kehijauan empat minggu setelah iradiasi sinar gamma. Kalus yang diiradiasi pada dosis 60 Gray menunjukkan 46% kalus membentuk embrio somatik, walaupun pada empat minggu setelah iradiasi tidak terjadi perubahan warna kalus. Kalus pada dosis yang lebih rendah dari 50 Gray dan dosis yang lebih tinggi dari 60 Gray memiliki kemampuan membentuk embrio somatik yang lebih rendah.

Kompetensi embriogenik sel somatik pada kultur in vitro dipengaruhi oleh faktor internal sel seperti genotipe, tahap perkembangan sel serta kandungan hormon endogen. Faktor internal tersebut akan berinteraksi juga dengan faktor ekstenal yaitu kondisi kultur seperti konsentrasi zat pengatur tumbuh eksogen,

tekanan osmotik, pH media, kandungan asam amino dan konsentrasi hara makro dan mikro (Namasivayam 2007). Mutagen baik fisik maupun kimia termasuk faktor eksternal yang dapat mempengaruhi proses morfogenetik kultur in vitro. Perlakuan mutagen mengakibatkan sel mengalami cekaman atau stress. Kondisi cekaman tersebut dapat mengubah sel somatik menjadi sel yang memiliki kompetensi embriogenik. Perlakuan iradiasi sinar gamma terhadap Medicago sativa L. memperlihatkan bahwa interaksi antara iradiasi dan faktor internal eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan embriogenik sel (El-Fiki et al.

2005).

Embrio somatik asal kalus yang diiradiasi pada dosis 50 Gray hanya 75.9% yang berkecambah, sedangkan pada dosis 60 Gray, 96.8% embrio somatiknya mampu berkecambah. Respon yang beragam ini kemungkinan terkait dengan kondisi awal kalus yang sudah beragam, sehingga kemampuan embrio somatik untuk berkecambah juga menjadi beragam. Semua embrio yang berasal dari kalus tanpa iradiasi mampu berkecambah, sedangkan embrio asal kalus yang diberikan perlakuan iradiasi tidak semuanya mampu berkecambah. Pada kalus asal protoplas ini, diduga perlakuan iradiasi dapat mengurangi kemampuan embrio untuk berkecambah. Penelitian pada Citrus reticulata dan Citrus grandis

juga menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma mengakibatkan penghambatan perkecambahan, pertumbuhan tunas dan akar (Somsri et al. 2009).

Regenerasi kalus embriogenik menjadi planlet menghasilkan 72 planlet yang terdiri atas 16 planlet asal kalus tanpa iradiasi, 26 planlet asal kalus yang diiradiasi pada dosis 50 Gray dan 30 planlet asal kalus yang diiradiasi pada dosis 60 Gray. Kalus yang diiradiasi pada dosis yang lainnya tidak berhasil beregenerasi menjadi planlet, walaupun mampu membentuk embrio somatik, namun tidak mampu berkecambah. Tahap regenerasi secara in vitro setelah perlakuan induksi mutasi merupakan tahap yang sangat penting, karena dapat digunakan sebagai indikasi awal bahwa induksi mutasi telah mengakibatkan perubahan pada sel atau jaringan.

Evaluasi Keragaman Secara Morfologi dan Molekuler

Evaluasi terhadap perubahan yang terjadi perlu dilakukan sehingga dapat diketahui mutan putatif yang diperoleh menguntungkan atau merugikan. Evaluasi terhadap 72 planlet dilakukan secara morfologi dengan mengamati bentuk, warna dan tepi daun, ukuran dan kerapatan stomata serta karakter kuantitatif planlet (tinggi planlet, jumlah cabang, jumlah daun dan jumlah akar). Hasil pengamatan terhadap parameter tersebut menunjukkan terjadi perubahan secara morfologi. Perubahan morfologi tunas dan daun merupakan respon yang sering ditemukan pada tanaman hasil perlakuan iradiasi sinar gamma seperti pada planlet manggis (Qosim et al. 2007), planlet nenas klon harapan koleksi PKBT IPB (Suminar et al.

2009) serta planlet pisang cv. Ampyang (Indrayanti et al. 2011).

Salah satu akibat perlakuan iradiasi adalah berkurangnya jumlah auksin bebas dalam tanaman, sehingga pertumbuhan menjadi terhambat. Berkurangnya auksin pada jaringan tanaman yang diiradiasi, disebabkan oleh penghambatan sistem enzim yang terlibat dalam proses perubahan indolacetaldehyde menjadi

indolacetic acid (IAA). Hambatan tersebut akan mengurangi stimulasi sintesis auksin (Fauza et al. 2005).

Evaluasi keragaman secara morfologi dengan menggunakan analisis gerombol dengan metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic Average) menunjukkan bahwa planlet asal kalus tanpa iradiasi memiliki keragaman sebesar 40%. Perlakuan iradiasi sinar gamma dapat meningkatkan keragaman walaupun sedikit, yaitu 7% pada dosis 50 Gray, dan 6% pada dosis 60 Gray. Menurut Boertjes dan van Harten (1988), perubahan yang terjadi secara morfologi, fisiologi maupun genetik akibat iradiasi sinar gamma dipengaruhi oleh volume inti (semakin besar volume intinya, maka semakin sensitif), jumlah kromosom (tanaman dengan jumlah kromosom sedikit yang ukuran kromosomnya besar akan lebih sensitif daripada tanaman dengan jumlah kromosom banyak yang ukuran kromosomnya kecil) serta tingkat ploidi (semakin rendah tingkat ploidinya, semakin kurang sensitif). Jeruk memiliki jumlah kromosom yang banyak yaitu 18 dengan ukuran yang kecil, yaitu antara 1.0 – 4.0 µ m (Jaskani et al. 2007), faktor tersebut kemungkinan mengakibatkan perlakuan

iradiasi sinar gamma yang diberikan hanya menghasilkan perubahan atau keragaman yang sedikit yaitu 6 – 7%.

Berdasarkan evaluasi atau karakterisasi secara morfologi terhadap 72 planlet, maka dipilih 10 planlet yang secara morfologi berbeda dan memiliki pertumbuhan yang tidak terhambat sehingga berpotensi menjadi mutan putatif. Hasil analisis keragaman menunjukkan kesepuluh planlet tersebut memiliki keragaman sebesar 30%, terdiri atas 2 planlet asal kalus tanpa iradiasi (P-2 dan P- 8), 4 planlet asal kalus yang diiradiasi pada dosis 50 Gray (50-4, 50-6, 50-15 dan 50-24) serta 4 planlet asal kalus yang diiradiasi pada dosis 60 Gray (60-8, 60-10, 60-11 dan 60-23).

Dendogram hasil analisis pengelompokan terhadap kesepuluh planlet menunjukkan bahwa planlet – planlet tersebut menyebar pada kelompok yang berbeda. Planlet – planlet yang berasal dari dosis iradiasi yang sama tidak selalu berada pada kelompok yang sama, sebaliknya planlet – planlet yang berasal dari dosis iradiasi yang berbeda dapat berada pada kelompok yang sama. Penyebaran planlet – planlet tersebut menunjukkan bahwa respon terhadap perlakuan iradiasi sinar gamma bersifat individual. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis yang sama dapat menghasilkan respon yang berbeda, selain itu juga populasi awal dari sel – sel kalus yang digunakan sudah memiliki potensi beragam karena adanya variasi somaklonal dari kultur protoplas, periode kalus yang lama serta subkultur berulang. Pada tanaman manggis, perlakuan iradiasi sinar gamma terhadap kalus nodular yang berasal dari daun juga menunjukkan respon yang bersifat individual, yaitu pada dosis yang sama, respon yang dihasilkan berbeda (Qosim et al. 2007).

Hasil evaluasi keragaman secara molekuler dengan penanda ISSR, diperoleh tiga primer yang bersifat polimorfik dari delapan primer yang diuji. Jumlah pita yang dihasilkan adalah 17 pita dengan ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi berkisar antara 500 – 2500 bp, dan menghasilkan pita polimorfik sebanyak sembilan pita (52.94%). Perbandingan antara planlet hasil regenerasi dengan tunas hasil perkecambahan biji secara in vitro atau wild type, menunjukkan bahwa semua planlet berbeda dengan tunas dari biji. Perbedaan profil pita DNA hasil amplifikasi tersebut merupakan hasil dari substitusi basa,

delesi basa atau insersi basa dari mutan (Hoang et al. 2009). Hal ini mengakibatkan adanya pita baru atau pita yang hilang yang disebabkan oleh kerusakan DNA (Atienzar et al. 2000).

Analisis gerombol dengan metode UPGMA antara tunas wild type dengan 10 planlet hasil regenerasi menunjukkan keragaman sebasar 22%. Semua planlet berada pada kelompok yang terpisah dari tunas wild type. Berdasarkan pola pita DNA dan analisis pengelompokan, maka ketiga primer ISSR (ISSR-1, ISSR-2 dan ISSR-4) dapat memberikan gambaran keragaman genetik pada 10 planlet yang dipilih yang berpotensi untuk menjadi mutan putatif.

Penyambungan Secara In Vitro dan Ex Vitro

Penyambungan sudah umum dilakukan oleh petani jeruk dengan tujuan meningkatkan kualitas dan produksi buah serta ketahanan terhadap penyakit. Penyambungan merupakan suatu teknik untuk mendapatkan bibit yang bermutu dengan cara menggabungkan sifat unggul yang dimiliki batang atas dengan sifat unggul yang terdapat pada batang bawah. Pada batang atas diharapkan dapat tumbuh tajuk yang memiliki kemampuan produksi buah yang tinggi dengan kualitas yang baik, sedangkan batang bawah diharapkan dapat menjadi penyokong yang kuat untuk pertumbuhan batang atas.

Penyambungan dapat dilakukan secara in vitro dan ex vitro, masing – masing teknik memiliki keunggulan. Penyambungan secara in vitro memiliki keuntungan yaitu kecocokan (compatibility) sambungan dapat dideteksi lebih dini dan lebih cepat. Penyambungan antara batang atas dan batang bawah dapat terjadi kecocokan (compatibility) atau ketidakcocokan (incompatibility). Sifat kecocokan pada tanaman sambungan sangat penting, karena akan mempengaruhi proses pertumbuhan selanjutnya. Keuntungan dari penyambungan secara ex vitro adalah mempercepat dan mengurangi tahapan in vitro seperti induksi perakaran,

hardening dan aklimatisasi karena planlet sebagai batang atas tidak perlu memiliki akar (Ollitrault 1990). Sebagian besar planlet yang dihasilkan (84.72%) tidak secara langsung membentuk akar pada saat perkecambahan, sehingga penggunaan metode penyambungan baik secara in vitro maupun ex vitro dapat mempercepat pertumbuhan planlet tanpa induksi akar.

Penyambungan secara in vitro menunjukkan persentase tumbuh antara 75.0 – 83.3% sedangkan persentase pertumbuhan pada penyambungan secara ex vitro berkisar antara 66.7 – 87.5%. Rata – rata persentase hidup untuk penyambungan secara in vitro adalah 77.76%, sedangkan secara ex vitro adalah 76.40%. Berdasarkan data tersebut, maka penyambungan secara in vitro maupun secara ex vitro tidak berbeda nyata respon pertumbuhannya. Penyambungan secara ex vitro lebih efisien daripada secara in vitro, karena tanaman hasil penyambungan sudah beradaptasi dengan lingkungan ex vitro dari awal penyambungan. Tanaman hasil penyambungan secara in vitro memerlukan tahap adaptasi dari kondisi in vitro ke kondisi ex vitro.

Tingkat keberhasilan penyambungan antara lain dipengaruhi oleh ketepatan penyambungan antara batang atas dan batang bawah sehingga jaringan kambium dan jaringan vaskular antara kedua batang dapat menempel dengan sempurna dan terhindar dari proses oksidasi yang dapat mengakibatkan pengeringan jaringan pada daerah pertautan (Devy et al. 2011).

Keseluruhan hasil penelitian induksi keragaman genetik jeruk siam Pontianak melalui iradiasi sinar gamma dapat digunakan sebagai sumber acuan baru dalam rangka peningkatan kualitas buah lokal secara umum dan peningkatan kualitas buah jeruk siam khususnya. Keragaman populasi planlet yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar dalam proses seleksi untuk tujuan peningkatan kualitas buah maupun ketahanan terhadap cekaman biotik atau abiotik. Kisaran dosis radiosensitivitas yang diperoleh dapat menjadi referensi dalam penelitian – penelitian selanjutnya untuk induksi mutasi melalui iradiasi sinar gamma pada jeruk siam maupun jeruk jenis yang lainnya. Evaluasi atau karakterisasi secara morfologi dan molekuler terhadap planlet yang dihasilkan dapat memberikan informasi awal dalam pendeteksian keragaman fenotipe dan genotipe. Evaluasi tersebut masih perlu dilanjutkan sampai tahap pertumbuhan tanaman di lapang. Demikian pula metode penyambungan secara in vitro maupun

Dokumen terkait