• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Sirkulasi dan Distribusi Suhu dan Salinitas Permukaan

Karakteristik perairan Laut Timor dipengaruhi oleh variasi musiman serta pola sirkulasi skala besar berupa arus lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo merupakan suatu fenomena pergerakkan massa air dingin dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Wilayah Laut Timor terletak pada selatan ekuator dimana terjadi pergerakan angin muson barat laut pada musim barat (Desember – Februari) dan angin muson tenggara pada musim timur (Juni – Agustus) yang berubah secara periodik tiap tahunnya. Kejadian ini menyebabkan terjadinya perubahan musiman pada beberapa parameter seperti arus, suhu, salinitas dan densitas secara musiman.

Rata-rata pola gerak arus permukaan di Laut Timor relatif konstan dilihat secara annual maupun seasonal. Pada tahun 2009 (Gambar 5a dan 6a) dan tahun 2010 (Gambar 5b dan 6b) angin muson yang terjadi sepanjang tahun di Laut Timor membalikkan arah dan menggerakkan massa air (Transport ekman) ke arah tertentu. Selain itu terdapat gerak arus permukaan bercabang dari barat Australia menuju Laut Timor akibat divergensi antar cabang. Pergerakkan arus pada 2/3 wilayah Laut Timor dipengaruhi paparan sahul dengan topografi relatif lebih dangkal dibandingkan sekitarnya. Pada muson transisi I (Maret – Mei) pola gerak arus dari arah barat Australia mulai melemah seiring dengan masuknya pergerakan angin dari arah Timur, adanya gerak Arlindo dari Laut Banda menuju Laut Sawu, serta dorongan arus dari Laut Banda dan Laut Arafuru pada pesisir pulau Timor bagian selatan semakin kuat. Arlindo yang bergerak dari Laut Timor dan Laut Sawu kemudian bertemu dan membawa massa air yang lebih besar menuju Samudera Hindia.

Pergerakkan Arlindo bercabang terlihat pada Laut Sawu akibat eksistensi pulau Sawu, sehingga terjadi pelemahan kecepatan disekitar pulau. Di sisi barat terjadi perputaran arus ke arah timur akibat adanya pulau Sumba. Musim timur yang terjadi pada Juni – Agustus dipengaruhi gerak angin muson tenggara, sehingga semakin memperkuat gerak arus menuju wilayah barat laut. Masukkan arus yang kuat dari Laut Banda di sisi utara dan selatan pulau Timor dengan kecepatan mencapai 1m/s, sedangkan pada sisi selatan Laut Timor terjadi pola arus memutar berlawanan arah jarum jam. Hal ini dikarenakan pengaruh gaya spiral ekman yang menggerakkan arus ke arah kiri (bagian selatan ekuator) dari arah datangnya angin.

Transport Arlindo pada wilayah Celah Timor secara intensif bergerak ke arah Samudera Hindia. Kecepatan arus di Celah Timor sangat kuat dan melemah pada wilayah paparan (Gambar 5a, 5b, 6a, dan 6b). Gerak Arlindo yang bercabang ke arah barat dari Laut Flores kemudian menuju Laut Banda akibat eksistensi pulau Timor menambah masukan air dan kecepatan arus yang berada di Laut Timor pada musim timur. Menurut Wrytki (1987) aliran tertinggi dari Arlindo ditemukan pada saat muson tenggara (musim timur) pada bulan Juni hingga Agustus. Aliran terendah terjadi pada Desember hingga Februari, hal ini berkaitan dengan pola pergerakan Arlindo yang bergerak dari timur (Samudera Pasifik) ke arah barat (Samudera Hindia).

13

Gambar 5 Pola arus permukaan dan sebaran suhu permukaan laut rata-rata 2009 (a) dan 2010 (b), standar deviasi 2009 (c) dan 2010 (d)

A

B

14

Gambar 6 Pola arus permukaan dan sebaran salinitas rata-rata 2009 (a) dan 2010 (b), standar deviasi 2009 (c) dan 2010 (d)

B

A

15 Intensitas Arlindo yang dipengaruhi angin muson barat laut dan angin muson timur terus menggerakkan arus di selatan pulau Timor ke arah barat menuju Samudera Hindia. Gerak arus seperti ini terus berlangsung saat memasuki musim timur (Juni) dan pada bulan Agustus intensitas Arlindo terus menguat (Gambar 5a, 5b,6a, dan 6b). Arus dari Laut Sawu dan Laut Timor kemudian bertemu dan diteruskan menuju Samudera Hindia, dengan kecepatan arus dari Laut Timor mencapai 0,3m/s dan dari Arafuru mencapai 0,8m/s (Rizal et al. 2009). Memasuki musim peralihan II (September – November) kecepatan Arlindo permukaan menguat di bulan September namun terjadi penurunan kecepatan di bulan berikutnya. Hal ini dipengaruhi dorongan angin musim barat yang bergerak berlawanan dari wilayah barat menuju timur. Adanya pergerakkan arus yang masuk dari Samudera Hindia menuju Celah Timor akibat pergerakkan angin muson barat yang meningkatkan transportasi Ekman ke arah utara.

Eksistensi Ashmore reef pada bagian selatan pulau Rote mengakibatkan pembelokkan arus ke arah selatan kemudian terdorong menuju Samudera Hindia. Adanya penghalang dari karang ashmore melemahkan pergerakkan arus disekitarnya (Gambar 5a, 5b, 6a, dan 6b). Resirkulasi arus permukaan dan angin mempengaruhi intesitas sebaran suhu permukaan laut dan salinitas perairan. Suhu permukaan Laut Timor pada tahun 2010 cenderung lebih rendah dibandingkan pada tahun 2009 dengan kisaran rata-rata < 29°C, sedangkan salinitas cederung tinggi dengan kisaran rata-rata 34psu – 35psu. Pada musim barat radiasi matahari lebih tinggi pada Bumi Bagian Selatan (BBS) dibandingkan musim timur sehingga menyebabkan suhu perairan Laut Timor meningkat. Pranowo (2012) menyatakan adanya aliran utama percampuran antara arus dari Laut Arafura dan Laut Banda yang disebut Arlindo atau Indonesian Through-flow. Eksistensi Arlindo yang membawa massa air dingin dari Laut Banda dan Laut Arafura bercabang menuju Laut Timor mempengaruhi sebaran suhu permukaan laut yang cenderung rendah.

Fenomena upwelling di sepanjang tahun yang memiliki varibilitas musiman yang menunjukkan derajat suhu yang lebih rendah dibandingkan sekitarnya. Dalam perata-rataan tahunan, kondisi suhu permukaan laut pada tahun 2010 cenderung lebih rendah sebesar 28,4°C dengan salinitas sebesar 34,7psu dibandingkan pada tahun 2009 sebesar 29°C dengan salinitas sebesar 34,6psu. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh dari fenomerna ENSO. Pada saat El Nino cenderung suhu lebih rendah, dan salinitas lebih tinggi. Hal ini dapat diungkapkan akibat adanya kekosongan masa air di wilayah Indonesia timur yang menyebabkan upwelling dengan suhu yang rendah dan menaikkan massa air dengan salinitas tinggi ke permukaan. Kondisi suhu permukaan pada Celah Timor cenderung lebih rendah dibandingkan pada wilayah paparan sedangkan salinitas permukaan perairan pada wilayah Laut Timor cenderung lebih tinggi pada wilayah Celah Timor. Transport Arlindo membawa massa air bersalinitas tinggi dari bagian dalam perairan Indonesia sepanjang musim. Puncak salinitas tertinggi terjadi pada musim Timur (Juni-Agustus) dengan karakteristik suhu yang rendah pada kurun waktu 2009-2010.

Perbedaan salinitas yang tinggi pada saat musim timur dan musim barat terkait dengan fenomena upwelling (Musim Timur) dan downwelling (Musim Barat) yang terjadi di wilayah Laut Timor. Selain itu perubahan struktur salinitas musiman di Laut Timor dipengaruhi perubahan angin muson. Pada saat musim

16

barat bertiup muson barat laut yang ditandai dengan salinitas rendah, sedangkan pada musim timur terjadi pergerakan muson tenggara dengan karakteristik salinitas tinggi dengan perairan yang kaya nutrien

.

Selain itu salinitas maksimum dipengaruhi masukan air bersalinitas tinggi dari Selat Makassar dan perairan Indonesia bagian tengah (Atmadipoera et al. 2009). Hasil spasial standar deviasi arus dan suhu permukaan Laut Timor pada 2009-2010 tertinggi terjadi pada wilayah sekitar pantai barat Australia dan Pulau Sumba dengan nilai deviasi mencapai 2, sedangkan pada wilayah Laut Timor pada kedua tahun tersebut sebesar 1. Pada tahun 2010 (Gambar 6c dan 6d) terjadi peningkatan standar deviasi ke wilayah yang lebih luas dan mengarah ke Samudera Hindia. Secara umum dapat dikatakan bahwa suhu permukaan laut di wilayah sekitar Laut Timor cenderung fluktuatif pada kedua tahun tersebut (Gambar 5c dan 5d).

Variabilitas Samudrawi Laut Timor

Gambaran variabilitas komponen arus ditunjukkan pada Gambar 7 melalui persamaan energi kinetik dari data arus zonal dan meridional. Energi kinetik pada wilayah Laut Timor mencapai 380 joule (Gambar 7a). Hal ini menunjukkan adanya pergerakkan Arlindo dengan intensitas yang tinggi pada wilayah Laut Timor dan Selat Ombai. Pada wilayah lain seperti utara Australia cenderung rendah. Hal ini disebabkan arus yang bergerak diwilayah tersebut tidak sebanding dengan intensitas Arlindo. Arus lintas Indonesia bergerak dari arah timur (Pasifik) menuju barat (Hindia), pengaruh musim jelas mempengaruhi intensitas Arlindo yang ditunjukkan pada hasil time series energi kinetik arus. Variabilitas arus pada wilayah Laut Timor cenderung tinggi saat terjadinya peralihan ke musim timur (Gambar 7b).

(a) (b)

Gambar 7 Variabilitas Spasial (a) dalam joule dan temporal (b) arus permukaan Pergerakkan angin muson tenggara membawa massa air Arlindo dengan pergerakkan yang cepat melewati Laut Timor. Pada bentuk spasial terlihat komponen arus zonal lebih dominan pengaruhnya dibandingkan komponen meridional (Gambar 7a). Hal ini dikarenakan pergerakan arus yang kontinu bergerak dari timur menuju barat.

17 Variabilitas spasial dan temporal dari suhu permukaan laut hasil olahan EOF, menunjukkan kisaran nilai dari -30 hingga 1,7 (Gambar 8a). Pada mode-1 pola spasial cenderung lebih homogen pada wilayah Laut Timor dan cenderung fluktuatif pada wilayah Selat Ombai dan sekitar pesisir Pulau Timor dan Pulau Rote. Hasil analisis temporal pada mode-1 (Gambar 8b) memperlihatkan adanya siklus musiman (seasonal) dan hal ini diduga akibat pengaruh musiman dari pergantian angin muson barat dan muson timur.

Dari hasil analisis temporal (Gambar 8b) dengan mode-1 didapatkan nilai eigen untuk explained variance sebesar 99% dan hal ini menunjukkan mode-1 memiliki variasi yang paling mewakili dan berpengaruh pada wilayah pengamatan. Berdasarkan pada pola spasial (Gambar 8a), nilai yang cenderung mendekati positif menunjukkan bahwa perairan tersebut bersifat homogen. Pada permukaan suhu cenderung berfluktuatif akibat pengaruh angin, pengadukan massa air, dan serta pergerakan Arlindo. Pada wilayah selatan Laut Timor (paparan benua Australia), nilai variabilitas spasial lebih bernilai negatif (heterogen) hal ini terkait kedalaman perairan yang lebih dangkal dibandingkan sekitarnya yang mempengaruhi perubahan suhu.

(a) (b)

Gambar 8 Variabilitas Spasial (a) dan temporal (b) Suhu Permukaan Laut (T) pada mode 1 EOF (tanpa satuan)

Gambar 9 menunjukkan hasil analisis salinitas EOF awal spasial dan temporal. Mode-1 memperlihatkan rentang nilai variabilitas tinggi dari -35,4 hingga -32,4. Pada Laut Timor hingga mendekati Pantai Barat Australia cenderung memiliki nilai negatif yang jauh lebih rendah disbanding sekitarnya. Berdasarkan bentuk temporal analisis EOF awal mode-1 (Gambar 9b) menunjukkan nilai eigen tertinggi untuk explained variance sebesar 100% yang artinya variasi tersebut telah sepenuhnya mewakili hasil analisis. Pola yang terbentuk menunjukkan siklus musiman (Gambar 9b), pengaruh peralihan menuju musim timur cederung meningkatkan variabilitas salinitas permukaan perairan pada wilayah pengamatan. Sedangkan memasuki musim barat terjadi penurunan yang cukup signifikan, amplitudo yang ditampilkan pada mode-1 bernilai negatif (Gambar 9b). Variabilitas spasial (Gambar 9a) menunjukkan anomali negatif (lebih tawar) pada wilayah selatan Laut Timor, sedangkan pada wilayah pesisir

18

Pulaut Timor, Pulau Rote serta Selat Ombai memiliki nilai anomali positif. Adanya masukan massa air dari wilayah Laut Banda yang terbawa oleh Arlindo mempengaruhi varibilitas salinitas permukaan di wilayah Laut Timor.

(a) (b)

Gambar 9 Variabilitas Spasial (a) dan temporal (b) Salinitas (S) pada mode 1 EOF (tanpa satuan)

Pola Trajektori Massa Air dalam Periode Tumpahan Minyak Montara (September - November 2009)

Simulasi model trajektori massa air didapatkan melalui analisis trajektori Ariane pada wilayah pengamatan di sekitar anjungan minyak Montara dan Pulau Rote. Lagrangian partikel dalam model ini tidak menggambarkan difusi horizontal atau percampuran secara vertikal namun merepresentasikan adveksi horizontal serta keterkaitan massa air terhadap penyebaran tumpahan minyak di Laut Timor akibat anjungan minyak Montara. Titik awal pergerakan massa air diambil dalam kuadran 5x5 pada 123°48’BT-124°16’BT dan 12°6’LS-12°3’LS sebanyak 25 titik. Pergerakkan massa air pada suatu permukaan berkaitan dengan arus permukaan pada wilayah yang diamati.

Gerakan massa air laut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja terhadap permukaan kolom dan dasar air laut yang kemudian menghasilkan vektor yang memiliki besaran kecepatan dan arah. Sirkulasi Laut Timor dan trajektori partikel mensimulasikan variasi arus dan komponen pada massa air seperti suhu dan salinitas. Berdasarkan model trajektori partikel, selang partikel rilis setiap 10 hari dimulai dari tanggal 15 September hingga 14 November yang menunjukkan profil secara horizontal pada kedalaman 1m. Pengambilan titik awal berdasarkan lokasi anjungan minyak Montara sehingga model trajektori dapat digunakan untuk menganalisa pola pergerakan tumpahan minyak pada wilayah Laut Timor yang diakibatkan oleh Anjungan minyak Montara selama 72 hari (ASA 2009). Pada Gambar 10a (15 September 2009) terlihat 25 titik awal partikel bergerak mengikuti pola gerak arus permukaan ke arah barat. Sifat minyak yang diam akan cederung mengikuti pola gerak arus yang diumpamakan sebagai partikel yang dirilis dalam model.

19 Pergerakan partikel terjadi dalam 1 hari (86400 detik) (Gambar 11a) dengan umur partikel sebesar 10 yang menunjukkan bahwa terjadi pergerakan partikel pada beberapa titik, namun terdapat pula titik lain yang tidak mengalami pergerakan dengan waktu tempuh sebesar 0. Hal ini dipengaruhi perbedaan kecepatan arus pada tiap titik pengamatan. Massa air mendapat pengaruh dari perubahan musim. Musim peralihan pada wilayah Laut Timor mempengaruhi fluks bahang dan fluks garam yang tersimpan pada air laut. Suhu massa air pada titik trajektori (Gambar 12a) hari pertama berkisar pada 28,2°C – 28,4°C dengan salinitas (Gambar 13a) sebesar 34,5psu. Suhu yang tinggi dan salinitas rendah cenderung mempengaruhi densitas potensial menjadi lebih rendah (Kawamura et al. 2007). Adapun suhu yang tinggi menjadi indikasi yang mempengaruhi penguapan dari tumpahan minyak akibat radiasi matahari yang cukup besar. Pada 25 september 2009 (Gambar 10b) terlihat pola gerak arus ke arah selatan dan partikel bergerak mengikuti arah yang sama. Hal serupa diungkapkan Destila (2009) dengan menggunakan pendekatan angin sebagai penggerak. Berdasarkan titik trajektori, gerak massa air pada hari pengamatan ke-10 mengalami perubahan suhu (Gambar 12b) dengan kisaran 27,5°C hingga 28,4°C dan salinitas (Gambar 13b) sebesar 34,5psu – 34,7psu.

Berdasarkan waktu tempuh partikel yang terlihat pada gambar 11b, dalam rentang waktu rilis 10 hari, partikel telah bergerak sejauh 0,5° ke arah selatan. Distribusi angin dari arah timur menuju barat membangkitkan arus ke arah yang serupa. Pada bulan September – November dipengaruhi oleh musim peralihan dari musim timur ke musim barat. Terdapat pergerakkan ke arah timur dan berbelok ke arah barat akibat pengaruh dorongan arus ke arah timur dari pantai barat Australia kemudian terdorong oleh Arlindo menuju Samudera Hindia. Dorongan Arlindo yang kuat menggerakkan massa air ke arah barat secara continuous hal ini terkait dengan pengaruh musim timur dimana terjadi pergerakan angin muson tenggara. Gerak partikel pada 5 Oktober 2009 (Gambar 10c) cenderung masih mengikuti pola arus, namun terdapat pergerakkan ke arah barat akibat adanya dorongan arus dari pesisir barat Australia. Begitupun pergerakkan partikel yang ditunjukkan 10 hari kemudian sebelumnya, adapun gerak partikel pada hari ke 20 berada sejauh 0,5° dari posisi semula.

Terkait dengan tumpahan minyak Montara, pergerakkan minyak menyebar cukup cepat mengikuti arus permukaan, seperti hasil pengamatan ASA (2009). Komponen fisik massa air pada titik trajektori dengan rata-rata suhu (Gambar 12c) sebesar 28°C, sedangkan salinitas (Gambar 13c) cenderung meningkat saat menjauhi titik awal trajektori. Pola gerak partikel yang ditunjukkan pada gambar 10d (15 Oktober) memperlihatkan gerak partikel serupa menuju ke arah barat sedangkan pada 25 Oktober (Gambar 10e) menujukkan perubahan gerak kea rah timur hal ini disebabkan oleh adanya dorongan arus ke arah timur laut akibat perubahan gerak angin yang mendorong arus ke arah berlawanan. Berdasarkan titik trajektori, gerak massa air pada hari pengamatan ke-30 dan ke-40 mengalami perubahan suhu (Gambar 12d dan 12e) dengan kisaran 27,8°C hingga 28,5°C dan salinitas menurun dari waktu rilis sebelumnya (Gambar 13d dan 13e) sebesar 34psu.

20

Gambar 10 Pola trajektori partikel pada 15 September (a), 25 September (b), 5 Oktober (c), 15 Oktober (d), 25 Oktober (e), 4 November (f), dan 14 November (g) pada kedalaman 1 meter. Kotak hitam merupakan titik awal pergerakan partikel (sebanyak 25 titik)

a b

c d

e f

21

Gambar 11 Pola trajektori partikel berdasarkan waktu pergerakan partikel pada 15 September (a), 25 September (b), 5 Oktober (c), 15 Oktober (d), 25 Oktober (e), 4 November (f), dan 14 November (g) pada kedalaman 1 meter. Kotak hitam merupakan titik awal pergerakan partikel (sebanyak 25 titik)

a b

c d

e f

22

Model trajektori pada hari rilis ke 50 (Gambar 10f) pada 4 November 2009 memperlihatkan kompleksitas arus pada Laut Timor menggerakkan partikel mendekati Pulau Rote hingga pada koordinat 11,5° LS dan 123,5°BT (Gambar 10f). Dorongan Arlindo yang kuat dari Selat Ombai dan pada pesisir Pulau Rote dan Pulau Timor menggerakkan partikel menjauhi titik awal (Gambar 11f). Gerak massa air pada hari pengamatan ke-50 mengalami perubahan suhu (Gambar 12f) dengan kisaran 27°C hingga 28,6°C dan salinitas (Gambar 13f) sebesar 34,5psu – 35psu. Suhu yang cederung lebih rendah dipengaruhi masukkan massa air dari Selat Ombai pada waktu pengamatan.

Pola trajektori partikel pengamatan terakhir pada 14 November 2009 (hari ke-60) selanjutnya menunjukkan pergerakkan yang jauh hingga melewati batas grid dari model (Gambar 10g) sedangkan suhu (Gambar 12g) pada titik trajektori terjauh (mendekati Samudera Hindia) mengalami penurunan mencapai 26,6°C dan salinitas cenderung smeningkat mencapai 34,6 (Gambar 13g). Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh masukkan massa air dari perairan Selat Ombai dan pengaruh barat Samudera Hindia. Arlindo yang kuat dari pesisir pulau Timor dan Selat Ombai memberikan dorongan yang kuat terhadap partikel untuk bergerak menuju Samudera Hindia menjauhi Pulau Rote dan Laut Timor. Partikel cenderung bergerak mendekati Pulau Timor dan Pulau Rote namun tidak ada yang sampai pada kedua wilayah tersebut. Hal ini disebabkan oleh dorongan yang kuat dari Arlindo menggerakkan massa air menjauh dari Pulau Timor dan Pulau Rote. Partikel massa air cederung mengikuti dorongan arus yang kebih kuat. Pola trajektori pada hari ke-60 tidak menggambarkan langsung pola tumpahan minyak Montara, namun hal ini dapat mengindikasikan bahwa tumpahan minyak tidak sampai ke wilayah Pulau Timor dan Pulau Rote serta tidak memasuki perairan Indonesia lainnya seperti Laut Sawu. Adanya pengaruh transport Arlindo yang kuat pada pesisir Pulau Timor yang mendorong partikel minyak menjauh dan bergerak ke arah laut lepas (Samudera Hindia). Hal ini memilki kesamaan dengan hasil analisis trajektori tumpahan minyak Tim FPIK IPB tahun 2010 (Gambar 14) menggunakan Ariane yang memperlihatkan pergerakaan objek ke arah barat menuju Samudera Hindia. Menurut ASA (2009) melalui pengamatan citra satelit, tumpahan minyak tidak memasuki perairan Laut Timor sejak 19 November 2009. Salinitas (Gambar 13g) cederung lebih rendah namun konstan pada sebagian titik trajektori sebesar 34,5psu. Arlindo dari pesisir pulau Timor dan Selat Ombai memberikan dorongan yang kuat terhadap partikel untuk bergerak menuju Samudera Hindia menjauhi Pulau Rote dan Laut Timor. Partikel cenderung bergerak mendekati Pulau Timor dan Pulau Rote namun tidak ada yang sampai pada kedua wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan dorongan yang kuat dari Arlindo menggerakkan massa air menjauh dari Pulau Timor dan Pulau Rote.

23

Gambar 12 Pola suhu trajektori partikel pada 15 September (a), 25 September (b), 5 Oktober (c), 15 Oktober (d), 25 Oktober (e), 4 November (f), dan 14 November (g) pada kedalaman 1 meter. Kotak hitam merupakan titik awal pergerakan partikel (sebanyak 25 titik)

a b

c d

e f

24

Gambar 13 Pola salinitas trajektori partikel pada 15 September (a), 25 September (b), 5 Oktober (c), 15 Oktober (d), 25 Oktober (e), 4 November (f), dan 14 November (g) pada kedalaman 1 meter. Kotak hitam merupakan titik awal pergerakan partikel (sebanyak 25 titik)

a b

c d

e f

25

Gambar 14 Hasil analisis trajektori tumpahan minyak Montara Tim FPIK IPB. Analisis pada 15 September 2009 dengan titik awal trajektori berada pada lokasi Anjungan minyak Montara

Dokumen terkait