• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Senyawa Volatil

Hasil analisis senyawa volatil dengan GC-MS pada Tabel 5, menunjukkan bahwa berdasarkan nilai LRI-nya terdapat 22 senyawa volatil dalam ekstrak kayu putih dan 17 senyawa volatil dalam ekstrak peppermint yang terdeteksi. Ekstrak kayu putih teridentifikasi mengandung senyawa utama berturut-turut: 1,8-sineol (47,61%), α-terpineol (10,76%), α-karyofilen (7,91%), -terpinen (5,78%),

terpinyl asetat (4,09%), α-pinen (3,90%), p-cymene (3,75%), dan terpinolen (3,52%). Sedangkan ekstrak peppermint teridentifikasi mengandung senyawa volatil utama berturut-turut: mentol (32,53%), menton (15,60%), isomenton (11,87%), metil salisilat (10,86%), D-limonen (10,07%), -pinen (3,77%), dan α -pinen (3,09%).

Senyawa volatil dari ekstrak kayu putih yang digunakan dalam penelitian ini menegaskan hasil penelitian sebelumnya oleh Muchtaridi et al. (2004) yang melaporkan bahwa senyawa volatil utama yang terdapat dalam minyak kayu putih adalah 1,8-sineol (22,45%), α-terpineol (12,45%), dan E-karyofilena (6,9%). Hasil analisis senyawa volatil terhadap ekstrak peppermint dalam penelitian ini menegaskan hasil penelitian Leung, (1980) bahwa senyawa volatil utama dalam minyak peppermint adalah mentol (29-48%) dan menton (20-31%).

Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa terdapat 14 senyawa volatil pada CC1 dan 18 senyawa volatil terdapat pada CC2. Senyawa volatil yang masih terdapat pada pada CC1 adalah 1,8-sineol (39,26%), α-terpineol (19,63%), dan

α-karyofilen (17,90%). Senyawa volatil pada CC2 adalah mentol (23,47%),

α-terpineol (17,57%), 1,8-sineol (14,94%), α-karyofilen (13,46%), menton (7,80%), dan isomenton (7,65%).

Model uji CC1 hanya menggunakan ekstrak kayu putih sebagai komponen flavor sehingga senyawa volatil utama yang terdapat di dalamnya tidak berbeda dari ekstrak kayu putih yaitu 1,8-sineol dan α-terpineol. Model uji CC2 yang menggunakan ekstrak kayu putih dan peppermint sebagai komponen flavor, mengandung senyawa volatil utama berupa mentol dan α-terpineol. Senyawa volatil 1,8-sineol yang merupakan senyawa volatil utama dari ekstrak kayu putih, mendominasi komposisi senyawa volatil dalam CC1 dan persentase rasionya cukup besar dalam CC2. Namun, aktivitas antimikroba dari 1,8-sineol dilaporkan sangat lemah oleh Inouye et al. (2001), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

α-terpineol pada minyak kayu putih memiliki aktivitas antimikroba yang lebih kuat daripada 1,8-sineol.

Tabel 5 Senyawa volatil (dalam rasio) dari ekstrak kayu putih, ekstrak peppermint, cajuput candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2) yang terdeteksi

No. Nama senyawa Ekstrak kayu putih (EKP) Ekstrak peppermint (EP) CC1 CC2 LRI eks LRI ref * rasio senyawa (%) ** LRI eks LRI ref * rasio senyawa (%) ** rasio senyawa (%) rasio senyawa (%) 1 α-thujene 930 930(a) 0,79 - - - - -

2 α-pinene 940 937(a) 3,90 940 939(e) 3,09 1,24 -

3 sabinene - - - 979 973(e) 1,19 - -

4 -pinene 985 979(a) 2,00 985 980(e) 3,77 0,56 0,20

5 Myrcene 990 993(a) 0,82 990 991(e) 1,45 - -

6 α-Phellandrene 1009 1005(a) 0,34 - - - - -

7 p-cymene 1033 1028(a) 3,75 1029 1026(e) 0,37 1,66 0,71

8 D-limonene - - - 1036 1030(e) 10,07 - 3,38

9 1,8-sineole 1045 1035(a) 47,61 1040 1031(e) 0,85 39,26 14,94

10 -terpinene 1065 1062(a) 5,78 - - - 2,86 0,89 11 terpinolene 1094 1091(a) 3,52 - - - 2,67 1,17 12 linalool 1098 1101(a) 0,49 - - - 0,68 0,60 13 isopulegol - - - 1158 1145(a) 2,42 - 1,11 14 mentone - - - 1167 1154(e) 15,60 - 7,80 15 lavandulol - - - 1171 1166(b) 0,33 - - 16 isomentone - - - 1177 1164(b) 11,87 - 7,65 17 terpinen-4-ol 1188 1185(a) 1,89 - - - 2,60 - 18 mentol - - - 1189 1173(e) 32,53 - 23,47 19 neo-isomentol - - - 1198 1199(b) 1,22 - 0,89 20 α-terpineol 1202 1196(a) 10,76 - - - 19,63 17,57 21 methyl salicylate - - - 1208 1206(c) 10,86 - - 22 pulegone - - - 1253 1243(e) 2,34 - - 23 piperitone - - - 1268 1252(e) 1,67 - -

24 terpinyl acetate 1358 1354(a) 4,09 - - - - -

25 α-copaene 1393 1376(b) 0,66 - - - - - 6 -elemen 1409 1393(c) 0,22 - - - 0,77 0,93 27 -bourbonene - - - 1410 1384(e) 0,36 - - 28 α-caryophyllene 1451 1454(b) 7,91 - - - 17,90 13,46 29 Aromadendrene 1492 1456(a) 0,05 - - - - 0,38 30 α-selinene 1500 1494(b) 0,62 - - - - - 31 Epizonarene 1504 1497(d) 2,32 - - - 6,19 - 32 δ-cadinene 1531 1536(a) 0,94 - - - - - 33 viridiflorol 1631 1612(a) 0,42 - - - 1,17 1,39 34 α-eudesmol 1690 1652(b) 1,12 - - - 2,82 3,43

* LRI eksperimen dari GC MS, kolom DB-5

** LRI referensi pada kolom DB-5 ((a) Southwell dan Russel 2002; (b) Adams 1995; (c) Acree dan Arn 2004; (d) Karioti et al. 2003); (e) Sokovic et al. 2009).

Selain itu, dilaporkan bahwa aktivitas antimikroba α-terpineol pada minyak kayu putih setara dengan mentol pada minyak peppermint. Keberadaan senyawa volatil dalam model uji CC1 dan CC2 diharapkan mampu menghambat aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans dengan menghambat ekspresi enzim pembentuk biofilm, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Gronroos (2000) bahwa senyawa volatil yang dilepaskan oleh minyak atsiri dapat mengganggu sistem pertahanan mikroba dengan cara menghambat kerja enzim di dalam sel.

Tabel 6 Hasil analisis senyawa volatil ekstrak kayu putih (EKP), ekstrak peppermint (EP), cajuput candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa digolongkan berdasarkan hidrokarbon penyusunnya

Golongan Senyawa volatil

EKP EP CC1 CC2 Monoterpen hidrokarbon α-tujen, α-pinen, -pinen, mirsen, α-felandren, p-cymene, -terpinen, terpinolen α-pinen, sabinen, -pinen, mirsen, p-cymene, D-limonen, α-pinen, -pinen, p-cymene, -terpinen, terpinolen -pinen, p-cymene, D-limonen, -terpinen, terpinolen Monoterpen teroksigenasi 1,8-sineol, linalol, terpinen-4-ol, α-terpineol, terpinil asetat 1,8-sineol, isopulegol, menton, lavandulol, isomenton, mentol, neo-isomentol, pulegon, piperiton 1,8-sineol, linalol, terpinen-4-ol, α-terpineol 1,8-sineol, linalol, isopulegol, menton, isomenton, mentol, neo-isomentol, α-terpineol Ester aromatik - metil salisilat - - Seskuiterpen hidrokarbon α-kopaen, -elemen, α-karyofilen, aromadendren, α-selinen, epizonaren, δ-kadinen -bourbonen -elemen, α-karyofilen, epizonaren -elemen, α-karyofilen, aromadendren Seskuiterpen teroksigenasi viridiflorol, α-eudesmol - viridiflorol, α-eudesmol viridiflorol, α-eudesmol

Penggolongan senyawa volatil berdasarkan Adams (1995)

Berdasarkan hidrokarbon penyusun utamanya, senyawa volatil yang teridentifikasi dapat digolongkan atas monoterpen, ester aromatik, dan seskuiterpen, seperti pada Tabel 6. Golongan monoterpen teroksigenasi merupakan kelompok senyawa volatil yang paling banyak teridentifikasi. Senyawa volatil utama pada ekstrak kayu putih, ekstrak peppermint, model uji

CC1, dan model uji CC2 merupakan golongan monoterpen teroksigenasi. Dominasi senyawa volatil dari golongan monoterpen teroksigenasi pada ekstrak kayu putih dan peppermint diduga disebabkan oleh derajat kelarutan monoterpen teroksigenasi dalam pelarut n-heksana lebih tinggi daripada monoterpen hidrokarbon, seperti yang dilaporkan oleh Wartini (2009) bahwa senyawa volatil golongan monoterpen teroksigenasi dari ekstrak flavor daun salam dalam pelarut n-heksana relatif lebih banyak jumlahya daripada monoterpen hidrokarbon.

Berdasarkan Tabel 6, senyawa volatil dari golongan monoterpen teroksigenasi pada model uji CC2 lebih beragam daripada CC1. Dominasi senyawa volatil dari golongan monoterpen teroksigenasi pada model uji CC2 diharapkan dapat memberikan aktivitas antimikroba yang lebih baik daripada model uji CC1, sebab menurut Carson dan Riley (1995) monoterpen teroksigenasi sangat signifikan lebih aktif sebagai antimikroba dibandingkan dengan monoterpen hidrokarbon pada ekstrak Melaleuca alternifolia.

Senyawa volatil 1,8-sineol, α-terpineol, menton, dan mentol tergolong monoterpen teroksigenasi karena memiliki atom oksigen (O) pada struktur bangunnya. Berdasarkan gugus fungsinya, maka 1,8-sineol termasuk monoterpen

eter, menton tergolong monoterpen keton, sedangkan α-terpineol dan mentol merupakan monoterpen alkohol. Aktivitas antimikroba senyawa volatil dari golongan monoterpen alkohol dilaporkan oleh Inouye et al. (2001) tidak lebih tinggi dari golongan terpen aldehid, namun lebih tinggi daripada terpen keton, terpen eter, dan terpen hidrokarbon. Dengan ini, dapat diduga bahwa model uji CC2 yang mengandung senyawa volatil utama dari golongan monoterpen alkohol memiliki aktivitas antimikroba yang tidak lebih baik daripada model uji CC1 yang mengandung senyawa volatil utama dari golongan terpen eter.

Gambar 6 Struktur bangun 1,8-sineol (a), α-terpineol (b), menton (c), mentol (d) Senyawa volatil pada CC1 dan CC2 yang memiliki gugus hidroksil seperti

α-terpineol dan mentol diduga berperan terhadap terganggunya permeabilitas membran, seperti yang dilaporkan oleh Lambert et al. (2001) bahwa senyawa volatil thymol dan carvacrol yang memiliki gugus hidroksil mampu mengganggu permeabilitas sel bakteri. Terganggunya permeabilitas sel bakteri oleh keberadaan senyawa volatil dengan gugus hidroksil dilaporkan Ultee et al. (2000) disebabkan oleh bergabungnya senyawa volatil yang memiliki gugus hidroksil dengan rantai asam lemak kemudian menyebabkan ketidakstabilan membran sel. Senyawa volatil yang memiliki gugus karbonil seperti menton pada model uji CC2, diduga berperan terhadap penghambatan dekarboksilasi asam amino dengan mengikat sisi protein bakteri, seperti yang telah dilaporkan oleh Wendakoon dan Sakaguchi (1995).

(d) (c)

(b) (a)

Gambar 7 Kromatogram senyawa volatil dari ekstrak kayu putih, (kode angka yang digunakan mengacu pada nama senyawa volatil di dalam Tabel 5)

2

Gambar 8 Kromatogram senyawa volatil dari ekstrak peppermint, (kode angka yang digunakan mengacu pada nama senyawa volatil di dalam Tabel 5)

Gambar 9 Kromatogram senyawa volatil dalam cajuput candy non sukrosa atau CC1, (kode angka yang digunakan mengacu pada nama senyawa volatil di dalam Tabel 5)

2

Gambar 10 Kromatogram senyawa volatil dalam cajuputs candy non sukrosa atau CC2, (kode angka yang digunakan mengacu pada nama senyawa volatil di dalam Tabel 5)

Penghambatan Aktivitas Pembentukan Biofilm Penghambatan Viabilitas Massa Biofilm

Penghambatan aktivitas S. mutans dalam pembentukan biofilm ditandai dengan terhambatnya viabilitas massa biofilm oleh S. mutans yang dapat dikonfirmasi dengan terhambatnya ekspresi mRNA gtfB dan gtfC bakteri tersebut selama masa inkubasi 2, 4, dan 6 jam. Semakin banyak massa biofilm yang dibentuk maka semakin tinggi nilai Optical Density (OD) yang ditandai dengan semakin tingginya absorbasi suspensi biofilm (Honda 2005). Besarnya nilai OD hasil pengamatan dalam penelitian ini dapat dirujuk pada Lampiran 17. Pada penelitian ini, pengamatan penghambatan viabilitas massa biofilm berarti mengamati massa biofilm yang menempel pada permukaan multiwell plate saja, tidak termasuk massa biofilm pada fase planktoniknya. Potensi penghambatan pembentukan massa biofilm menunjukkan efektivitas model uji dalam menghambat aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans.

Tabel 7 Persentase penghambatan viabilitas massa biofilm oleh kontrol (K), cajuput candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2)

Masa inkubasi Penghambatan (%)

Kontrol CC1 CC2

4 jam 63,98 48,34 65,64

6 jam 29,14 31,13 44,37

Berdasarkan hasil analisis penghambatan viabilitas massa biofilm pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa penghambatan pembentukan massa biofilm paling optimum adalah hingga masa inkubasi 4 jam. Setelah masa inkubasi 4 jam terlewati, yaitu pada masa inkubasi 6 jam, kemampuan penghambatan viabilitas massa biofilm kurang dari 50%. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan viabilitas massa biofilm optimum oleh CC1 dan CC2 terjadi pada awal fase logaritmik karena massa biofilm yang dihasilkan masih sangat lemah sehingga pelekatan massa biofilm pada permukaan multiwell plate dapat dihambat. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Beckers dan Hoeven (1982) bahwa aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans pada kondisi normal sudah dimulai 2 jam setelah bakteri ditumbuhkan dengan kondisi biofilm pada awal fase log masih sangat lemah. Penghambatan viabilitas massa biofilm menurun pada masa inkubasi 6 jam, diduga hasil ini disebabkan massa biofilm yang dibentuk oleh S. mutans memasuki tahap pematangan sehingga lebih sulit dihambat viabilitasnya, seperti yang dilaporkan oleh Mikx dan Svanberg (1978) bahwa pada akhir fase log, biofilm melekat lebih kuat dan mulai memasuki tahap pematangan.

Menarik untuk dicermati bahwa pada masa inkubasi 4 jam, kemampuan model uji CC1 dalam menghambat viabilitas massa biofilm tidak lebih baik dari K. Namun pada masa inkubasi 6 jam, kemampuan penghambatan viabilitas massa biofilm oleh model uji CC1 lebih baik daripada K. Tidak diketahui dengan jelas penyebab rendahnya aktivitas penghambatan viabilitas massa biofilm oleh CC1

pada masa inkubasi 4 jam. Diduga terjadi kontaminasi pada multiwell plate sampel uji CC1 sehingga terjadi kesalahan pada saat pembacaan nilai OD suspensi biofilm yang menyebabkan persentase penghambatan viabilitas CC1 lebih rendah daripada K pada masa inkubasi 4 jam.

Penghambatan viabilitas massa biofilm oleh model uji CC1 dan CC2 disebabkan berkurangnya daya adhesi atau pelekatan massa biofilm pada permukaan multiwell plate. Hasil ini diduga disebabkan senyawa volatil dalam CC1 dan CC2 mampu merusak ikatan hidrofobik dari protein penyusun sel bakteri seperti yang dilaporkan oleh Ingram (1981). Berkurangnya sifat hidrofobik protein pada S. mutans inilah yang menyebabkan penurunan daya adhesi, seperti yang dilaporkan Yamanaka et al. (2004).

Penghambatan Ekspresi mRNA gtfB

Aktivitas S. mutans dalam pembentukan biofilm pada penelitian ini ditentukan oleh ekspresi mRNA gtfB dan mRNA gtfC. Berdasarkan Gambar 11, hasil analisis level ekspresi mRNA gtfB menggunakan RT-PCR menunjukkan bahwa pada kondisi normal (blanko), mRNA gtfB sudah diekspresikan oleh S. mutans mulai dari awal inkubasi (2 jam), namun ekspresi mRNA gtfB sedikit menurun setelah masa inkubasi 4 jam dan meningkat kembali setelah masa inkubasi 6 jam. Pola ekspresi mRNA gtfB pada blanko ini sejalan dengan pola ekspresi mRNA gtfB yang dilaporkan oleh Fujiwara et al. (2002) bahwa ekspresi mRNA gtfB menurun pada pertengahan fase logaritmik dan meningkat dua kali lipat pada akhir fase logaritmik pada kondisi normal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masa inkubasi yang diterapkan dalam penelitian ini masih mewakili fase logaritmik S. mutans.

Gambar 11 Ekspresi mRNA gtfB oleh S. mutans pada blanko, kontrol (K), cajuput candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2) selama inkubasi 2, 4, dan 6 jam

Masa inkubasi yang diterapkan dalam penelitian ini memang diharapkan masih terjadi selama fase logaritmik S. mutans. Hal ini dikarenakan fase logaritmik merupakan kondisi dimana pertumbuhan bakteri berlangsung paling cepat, massa bakteri meningkat dua kali lipat dengan laju pertumbuhan yang konstan, seperti yang dinyatakan oleh Pelczar dan Chan (2005) sehingga dapat diduga bahwa terhambatnya aktivitas pembentukan biofilm yang diperoleh

1 0,840 1,364 2,097 0,916 1,686 0,86 1,3 0,767 0 0,5 1 1,5 2 2,5

2 jam 4 jam 6 jam

L ev el E k sp resi m R NA g tfB Masa Inkubasi Blanko Kontrol CC1 CC2

memang merupakan akibat dari aktivitas model uji yang diberikan, bukan disebabkan oleh menurunnya aktivitas ataupun jumlah S. mutans secara alami saat berada pada fase stasioner hingga menuju fase kematian karena menurut Pelczar dan Chan (2005), populasi bakteri yang hidup sama dengan yang mati pada fase stasioner dan populasi bakteri yang hidup akan terus menurun setelah melewati fase stasioner.

Penambahan model uji CC1 dan CC2 menyebabkan level ekspresi mRNA gtfB menjadi lebih tinggi daripada blanko pada masa inkubasi 4 jam (Gambar 11). Hasil ini diduga disebabkan oleh berkurangnya nutrisi selama periode inkubasi ini, sehingga terjadi peningkatan ekspresi mRNA gtfB yang menandai terjadinya peningkatan aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans sebagai pertahanan diri, seperti yang dilaporkan Aparna dan Yadav (2008) dalam hasil penelitiannya bahwa aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans semakin meningkat dengan semakin minimnya nutrisi di lingkungan hidupnya sehingga berusaha membentuk biofilm yang lebih kuat dengan memerangkap nutrisi dan mikroba lain di sekitarnya sebagai bentuk pertahanan diri. Selain itu, pada masa inkubasi 4 jam, senyawa volatil yang terdapat dalam model uji CC1 dan CC2 diduga tidak seimbang dengan jumlah S. Mutans hidup yang masih sangat banyak, akibatnya ekspresi mRNA gtfB terpantau tinggi.

Aktivitas penghambatan biofilm yang dapat diamati dengan terhambatnya ekspresi mRNA gtfB oleh model uji CC1 dan CC2 baru terdeteksi setelah inkubasi selama 6 jam. Sifat kelarutan senyawa volatil dalam CC1 dan CC2 yang sangat sulit larut dalam media cair BHI diduga mempengaruhi aktivitas antimikrobanya sehingga membutuhkan waktu inkubasi yang lebih lama untuk dapat menunjukkan aktivitas penghambatan ekspresi mRNA gtfB, seperti yang dilaporkan oleh Inouye et al. (2001) bahwa aktivitas antimikroba senyawa volatil pada media cair sangat dipengaruhi oleh sifat solubilitas, volatilitas, dan kestabilan senyawa volatil tersebut. Dapat diduga bahwa aktivitas pembentukan biofilm dapat dihambat setelah senyawa volatil dalam model uji CC1 dan CC2 dapat berinteraksi dengan membran sel S. mutans sehingga ekspresi mRNA gtfB terhambat, seperti yang dilaporkan oleh Kim et al. (1995) bahwa senyawa antimikroba mampu menginaktivasi enzim RNA polimerase, dan merusak materi genetik sehingga menghambat proses pembentukan asam nukleat yang mengakibatkan terganggunya transfer informasi genetik. Terganggunya transfer informasi genetik oleh senyawa volatil, dalam hal ini adalah terhambatnya ekspresi mRNA gtfB dapat menyebabkan gangguan aktivitas enzim pembentuk biofilm pada S. mutans, seperti yang dilaporkan Kapralek et al. (1982) bahwa senyawa volatil mampu menghambat aktivitas enzim mikroba.

Penghambatan Ekspresi mRNA gtfC

Hasil pengamatan terhadap level ekspresi mRNA gtfC oleh S. mutans pada Gambar 12 menunjukkan bahwa pada kondisi normal (blanko), pola ekspresi mRNA gtfC meningkat hingga masa inkubasi 6 jam. Peningkatan level ekspresi mRNA gtfC pada blanko diduga karena S. mutans berusaha menghasilkan EPS untuk akumulasi bakteri dengan keberadaan nutrien yang mencukupi. Leme et al. (2006), melaporkan bahwa EPS berperan dalam akumulasi bakteri, perubahan biokimia, dan perubahan struktur pada matriks biofilm, sedangkan IPS berperan sebagai sumber energi endogen selama nutrien terbatas.

Gambar 12 Ekspresi mRNA gtfC oleh S. mutans pada blanko, kontrol (K), cajuput candy non sukrosa (CC1), dan cajuputs candy non sukrosa (CC2) selama inkubasi 2, 4, dan 6 jam

Pada Gambar 12, keberadaan model uji CC1 dan CC2 sudah mampu menghambat ekspresi mRNA gtfC mulai dari masa inkubasi 4 jam. Hasil ini diduga berhubungan dengan peran enzim GTFC yang sangat penting pada S. mutans, yaitu untuk menghasilkan polisakarida ekstraseluler (EPS) dan polisakarida intraseluler (IPS) sekaligus (Hanada dan Kuramitsu 1988). Keberadaan senyawa volatil dari CC1 dan CC2 pada media pertumbuhannya diduga menyebabkan S. mutans kesulitan untuk mengekspresikan mRNA gtfC untuk mensekresikan enzim GTFC, seperti yang dilaporkan oleh Moreira et al. (2005) bahwa senyawa volatil dalam minyak atsiri dapat mengganggu sistem enzim mikroba. Terganggunya sistem enzim pada S. mutans diduga menyebabkan bakteri ini kehilangan energi sehingga aktivitas pembentukan biofilm terganggu, seperti yang dilaporkan oleh Kim et al. (1995) terganggunya sistem enzim pada bakteri akan mempengaruhi produksi energi penyusun sel dan sintesis komponen secara struktural sehingga aktivitas enzim tersebut menjadi hilang. Selain itu, terganggunya aktivitas S. mutans mengekspresikan mRNA gtfC untuk membentuk biofilm dapat diduga disebabkan oleh kerusakan sel S. mutans yang mempengaruhi metabolismenya, hal ini didukung oleh hasil penelitian Gemmel dan Lorian (1996) bahwa interaksi senyawa antimikroba dengan bagian sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri tersebut berupa perubahan morfologi sel, kebocoran dinding sel, dan kebocoran membran sel sehingga mempengaruhi metabolisme bakteri tersebut.

Peran GTFC yang membantu dalam menghasilkan EPS dan IPS sangat ditentukan oleh ekspresi mRNA gtfC pada tahap transkripsi (Soemantadiredja, 2005). Terhambatnya ekspresi mRNA gtfC yang dapat menyebabkan terhambatnya enzim GTFC diduga disebabkan oleh kemampuan senyawa volatil yang dikandung oleh model uji CC1 dan CC2 dalam memutus ikatan silang peptidoglikan saat menerobos dinding sel S. mutans, seperti yang telah dilaporkan oleh Ingram, (1981) bahwa senyawa volatil mampu menerobos dinding sel S. mutans dengan memutus ikatan silang peptidoglikan kemudian menginaktivasi enzim yang berperan dalam sintesa peptidoglikan.

1 1,800 1,851 0,960 0,868 0,905 0,720 0,711 0,794 0 0,5 1 1,5 2

2 jam 4 jam 6 jam

L ev el E k sp resi m R NA g tfC Masa inkubasi Blanko Kontrol CC1 CC2

Hubungan Komposisi Senyawa Volatil dengan Penghambatan Aktivitas Pembentukan Biofilm

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa kemampuan model uji CC1 dan CC2 dalam menghambat aktivitas pembentukan biofilm pada masa inkubasi 4 jam dan 6 jam sangat erat kaitannya dengan senyawa volatil. Model uji CC1 dan CC2 yang mengandung senyawa volatil mampu menghambat aktivitas pembentukan biofilm oleh S. mutans, hasil ini ditandai dengan terhambatnya ekspresi mRNA gtfC. Namun, penghambatan aktivitas pembentukan biofilm pada model uji CC2 lebih efektif daripada CC1. Hasil ini diduga disebabkan oleh lebih beragamnya senyawa volatil golongan monoterpen teroksigenasi pada CC2 (Tabel 6), terutama yang berasal dari ekstrak peppermint, seperti yang dilaporkan oleh Carson dan Riley (1995) bahwa monoterpen teroksigenasi sangat signifikan lebih aktif sebagai antimikroba dibandingkan dengan monoterpen hidrokarbon. Kemampuan penghambatan aktivitas pembentukan biofilm pada CC2 yang lebih efektif daripada CC1 dapat pula diduga disebabkan adanya sinergisme antara senyawa volatil yang bersumber dari ekstrak kayu putih dan ekstrak peppermint sehingga dapat meningkatkan aktivitas antimikroba dalam model uji CC2, seperti yang dilaporkan oleh Pelczar et al. (1993) bahwa suatu pangan dapat mengandung beberapa jenis komponen yang mengandung antioksidan dan antimikroba yang saling berinteraksi dan saling memperkuat tingkat efektivitas atau efek sinergis. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menegaskan laporan Inouye et al. (2001) bahwa α-terpineol memiliki aktivitas antimikroba yang lebih baik daripada 1,8-sineol dalam minyak kayu putih dan aktivitas antimikroba senyawa volatil dari golongan terpen alkohol seperti mentol dan α-terpineol lebih baik daripada golongan terpen eter seperti 1,8-sineol.

Pada model uji kontrol (K) yang tidak ditambahkan ekstrak kayu putih ataupun ekstrak peppermint, kemampuan penghambatan aktivitas pembentukan biofilmnya (Gambar 11 dan 12) merupakan yang paling lemah dibandingkan dengan CC1 dan CC2. Model uji K memang menunjukkan penghambatan viabilitas massa biofilm (Tabel 7) yang lebih baik daripada model uji CC1 pada masa inkubasi 4 jam. Namun, hasil ini diduga tidak dapat mewakili kemampuan penghambatan aktivitas pembentukan biofilmnya karena kemampuannya dalam menghambat ekspresi mRNA gtfB dan gtfC (Gambar 11 dan 12) pada masa inkubasi yang sama ternyata lebih lemah daripada model uji CC1.

Pada penelitian ini, penghambatan viabilitas massa biofilm terbaik yang ditunjukkan oleh model uji K, CC1, dan CC2 adalah pada masa inkubasi 4 jam (Tabel 7). Penghambatan viabilitas massa biofilm diduga lebih dipengaruhi oleh kemampuan model uji K, CC1, dan CC2 dalam menghambat ekspresi mRNA gtfC (Gambar 12). Meskipun model uji K, CC1, dan CC2 tidak efektif menghambat ekspresi mRNA gtfB pada masa inkubasi 4 jam (Gambar 11), ketiga model uji ini mampu menghambat ekspresi mRNA gtfC pada masa inkubasi yang sama. Hasil ini dapat diduga dikarenakan ekspresi mRNA gtfB tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan daya adhesi biofilm pada permukaan multiwell plate (viabilitas biofilm), seperti yang dilaporkan oleh Tam et al. (2006) bahwa iodin dapat meningkatkan ekspresi gtfB namun tidak meningkatkan proses adhesi biofilm, sebab ekspresi gtfB berhubungan dengan keberadaan sukrosa. Dengan hasil ini,

dapat dikatakan bahwa penghambatan aktivitas pembentukan biofilm akibat pemberian model uji K, CC1, dan CC2 lebih dipengaruhi oleh terhambatnya ekspresi mRNA gtfC. Hasil penelitian ini menegaskan kembali laporan Ooshima et al. (2001) bahwa GTFC memiliki peran paling besar terhadap pembentukan glukan tidak larut yang menempel kuat pada permukaan gigi (biofilm), bahkan jika GTFB diekspresikan dalam jumlah yang kecil sekalipun.

Model uji CC1 dan CC2 baru dapat menghambat ekspresi mRNA gtfB pada masa inkubasi 6 jam. Hasil ini diduga disebabkan oleh sifat kelarutan senyawa volatil di dalam CC1 dan CC2 yang memang sangat sulit larut dalam media cair BHI. Sifat kelarutan senyawa volatil utama pada CC1, yaitu 1,8-sineol hanya memiliki kelarutan dalam air sebesar 350 mg/L pada suhu 21°C, seperti yang telah didepositkan di HSBD (Hazardous Substances Data Bank) dengan nomor akses 470-82-6. Sifat kelarutan mentol sedikit lebih larut air daripada 1,8-sineol sehingga diduga inilah yang menyebabkan model uji CC2 lebih efektif daripada CC1 dalam menghambat ekspresi mRNA gtfB oleh S. mutans. Senyawa volatil mentol memiliki kelarutan dalam air sebesar 420 mg/L pada suhu 20°C, seperti yang telah didepositkan di IPCS (International Programme on Chemical Safety)

Dokumen terkait