• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak

Isolasi daun anggrek yang bergejala busuk lunak dihasilkan 9 isolat bakteri. Hasil uji Gram menunjukkan 4 isolat termasuk bakteri Gram positif dan 5 isolat lainnya termasuk Gram negatif. Seluruh isolat diinokulasi kembali pada tanaman anggrek sehat dengan metode suntik dan pelukaaan dengan carborundum, namun hanya satu isolat yang menghasilkan gejala busuk lunak. Bakteri patogen yang menyebabkan penyakit busuk lunak adalah E. carotovora. Gejala yang dihasilkan berupa hancurnya jaringan tumbuhan akibat adanya akivitas pektolitik, warna daun menjadi pucat, dan gejalanya cepat meluas. Patogen penyebab busuk lunak menyerang jaringan parenkima dan menghancurkan lamela tengah kemudian diikuti oleh kematian sel (Sinaga 2006)

Koloni yang terbentuk dari hasil reisolasi memiliki ciri yang sama dengan koloni hasil isolasi yaitu putih, bulat, mengkilap dan cembung. Isolat tersebut yang kemudian dilakukan identifikasi dan uji patogenisitas.

Gambar 3 Gejala busuk lunak yang disebabkan E. carotovora, (A) gejala yang muncul menggunakan metode suntik, (B) gejala yang muncul menggunakan metode pelukaan dengan carborundum

Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram

Isolat hasil reisolasi yang menunjukkan gejala busuk lunak termasuk kelompok Gram negatif. Hal ini ditandai dengan terbentuknya lendir ketika lup inokulasi diangkat setelah isolat bakteri dicampur dengan KOH 3%. Ciri bakteri Gram negatif yaitu struktur dinding sel tipis, kurang rentan terhadap penisilin, dan

kurang resisten terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan 1986). E. carotovora penyebab busuk lunak memiliki karakteristik sifat Gram negatif.

Uji Anaerobic Growth (Oksidatif/Fermentatif)

Media yang telah diinokulasi dengan bakteri uji mengalami perubahan warna menjadi kuning, baik pada media tanpa parafin oil maupun dengan parafin

oil. Hasil pengujian terebut menunjukkan bahwa bakteri uji bersifat fermentatif.

Bakteri yang bersifat fermentatif dapat beraktivitas dalam keadaan anaerob. Kontrol berupa media uji tanpa inokulasi bakteri tidak mengalami perubahan warna. Uji pertumbuhan pada media anaerobik dilakukan untuk mengetahui bakteri patogen termasuk dalam kelompok Erwinia atau Pseudomonas yang bersifat pektolitik (Charkowski 2006).

Gambar 4 Hasil uji pertumbuhan pada media anaerobik (A) inokulasi bakteri uji pada media tanpa parafin oil, (B) inokulasi bakteri uji pada media dengan parafin oil, (C) kontrol tanpa parafin oil, (D) kontrol dengan

parafin oil. Uji Levan

Koloni bakteri yang tumbuh pada media Levan memiliki ciri berlendir, cembung, dan menyebar. Isolat bakteri ini menunjukkan reaksi positif.

Uji Oksidase

Hasil pengujian oksidase menunjukkan tidak terjadi perubahan warna menjadi ungu pada kertas saring yang telah ditetesi dengan larutan 1%

tetramethyl-p-phenylenediamine dihydrochloride dan digores dengan isolat

bakteri.

Uji Pectolytic activity (pembusukan pada kentang)

Permukaan kentang yang telah digores isolat bakteri uji berwarna kecoklatan kemudian mengalami pelunakan dan berlendir setelah diinkubasi selama 24 jam. Pada perlakuan kontrol, kentang hanya berubah warna menjadi kecoklatan namun tidak mengalami pelunakan.

Gambar 5 Reaksi uji pectolytic activity pada kentang (A) permukaan yang lunak dan berlendir setelah diinokulasi bakteri uji, (B) kontrol

Menurut Mehrotra dan Aggarwal (2005), Erwinia dari kelompok carotovora memiliki aktivitas pektolitik yang tinggi dan dapat menyebabkan busuk lunak pada jaringan tanaman. Walaupun jaringan tersebut bukan dari tanaman yang masih hidup, bakteri E. carotovora tetap dapat berkembang dan mendegradasi jaringan.

Uji Arginine dihydrolase

Isolat bakteri yang ditumbuhkan pada media arginine dihydrolase tidak mengubah warna media. Ini menunjukkan reaksi negatif.

Dari hasil identifikasi dan uji patogenisitas menunjukkan bahwa bakteri uji tersebut merupakan E. carotovora. Bakteri patogen ini menyebabkan busuk lunak pada tanaman anggrek. Isolat bakteri digunakan dalam pengujian lanjutan baik secara in vitro pada media padat maupun in vivo pada tanaman anggrek.

Gambar 6 Pertumbuhan koloni E. carotovora pada media KB

B A

Skrining beberapa isolat Bacillus spp. dan P. fluorescens yang Bersifat Antagonis terhadap E. carotovora secara in vitro

Isolat bakteri Bacillus spp. dan P. fluorescens diuji potensi antagonismenya terhadap E. carotovora yang ditumbuhkan pada media padat NA dan KB. Zona bening yang terbentuk diantara koloni bakteri patogen dan biokontrol menunjukkan adanya sifat antagonis, yang saling menghambat pertumbuhan bakteri yang satu dengan lainnya.

Tabel 1 Pengaruh jenis isolat Bacillus spp. dan P. fluorescens terhadap pembentukan zona hambatan pertumbuhan E. carotovora

Lebar zona hambatan (mm)*)

Perlakuan biokontrol KB NA Kontrol 0 0 B. subtilis PC 31a 0 0 B. subtilis PC 31b 0 0 B. subtilis PC 31c 0 0 B. subtilis PC 31d 0 0 B. subtilis PC 2a 0 0 B. subtilis PC 2b 0 0 B. subtilis B-12 2,5 0 B. cereus B-13 1,5 0 P. fluorescens Pf2 3 1 P. fluorescens Pf4 1 0 P. fluorescens Pf9 2,5 1 P. fluorescens Pf10 2,5 2 P. fluorescens RH4003 0,5 0

*) Nilai rata-rata dari dua ulangan (duplo)

Hasil pengujian menunjukkan tidak semua jenis B. subtilis bersifat antagonis terhadap E. carotovora. Zona hambatan terjadi pada perlakuan B.

subtilis B-12, B. cereus B-13, dan seluruh isolat P. fluorescens. Zona hambatan

yang terbentuk pada media KB lebih relatif lebih besar dibandingkan pada media NA. Perlakuan isolat B. subtilis B-12 (2,5 mm) dan P. fluorescens Pf10 (2,5 mm)

menghasilkan zona hambatan yang paling luas diantara isolat Bacillus spp. dan P.

fluorescens lainnya.

Gambar 7 Zona hambatan yang terbentuk pada media KB (A) B. subtilis B-12 terhadap E. carotovora, (B) P. fluorescens Pf10 terhadap

E. carotovora

Zona hambatan yang terbentuk menunjukkan adanya aktivitas senyawa metabolit yang bersifat antagonis terhadap E. carotovora. Sagala (1998) melaporkan bahwa P. fluorescens yang diisolasi dari akar dan daun kubis dapat menekan perkembangan E. carotovora secara in vitro. Mekanisme penghambatan

B. subtilis terhadap patogen melalui antibiosis. Antibiotik yang bersifat racun

terhadap mikroba lainnya dihasilkan oleh bakteri antagonis ini. Beberapa antibiotik yang dihasilkan oleh B. subtilis yaitu subtilosin yang berupa protein antimikroba, basitrasin yang merupakan polipeptida yang bekerja menghambat pembentkan dinding sel, serta senyawa peptida subtilin (Soesanto 2008).

Isolat bakteri yang menghasilkan zona hambatan terhadap pertumbuhan E.

carotovora kemudian dilakukan pengujian kompatibilitas terhadap isolat

biokontrol lainnya.

Uji Kompatibilitas Antara Bacillus spp. dan P. fluorescens secara in vitro

Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui bakteri biokontrol Bacillus spp. dan P. fluorescens dapat diaplikasikan secara kombinasi atau tidak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan dua jenis bakteri tersebut dalam menekan kemunculan gejala dan perkembangan penyakit busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis.

B A

Tabel 2 Penghambatan pertumbuhan antara isolat biokontrol terhadap isolat biokontrol lainnya

Lebar zona hambatan (mm)a) Biokontrol Bs B-12 Bc B-13 Pf2 Pf4 Pf9 Pf10 PfRH4003 Bsb) B-12 0 3,5 1 0 0,5 0 0 Bc B-13 0 0 0 0 0,5 0 0 Pf2 0 1 0 1 0 1 0,5 Pf4 1 0,25 2,5 0 1 1 0,5 Pf9 0 0 0 0,5 0 1,25 1 Pf10 1,5 0 1,5 0,75 1 0 1 Pf RH4003 0,5 0,5 1,5 1 0,5 1,5 0

a) Nilai rata-rata dari dua ulangan (duplo)

b) Bs = B. subtilis, Bc = B. cereus, Pf = P. fluorescens

Zona hambatan yang terbentuk menunjukkan bahwa terdapat sifat antagonisme antar isolat bakteri. Masing-masing isolat bakteri saling menghambat perkembangan bakteri yang satu dan lainnya. Berdasarkan besar zona hambatan yang diperoleh dari uji antagonisme bakteri biokontrol terhadap E. carotovora, B.

subilis B-12 memiliki zona hambatan terbesar. B. subtilis B-12 bersifat

kompatibel dengan isolat P. fluorescens Pf4, Pf10, dan RH4003. Dari tiap perlakuan antara B. subtilis B-12 dan ketiga isolat P. fluorescens tersebut tidak menghasilkan zona hambatan seperti yang terjadi pada perlakuan B. subtilis dan bakteri lainnya.

Setiap bakteri biokontrol memiliki sifat antagonis terhadap bakteri lainnya, baik dengan bakteri patogen maupun dengan bakteri biokontrol lainnya. B. subtilis menghasilkan enzim protease, amilase, dan kitinase yang dapat mengurai dinding sel patogen (Soesanto 2008).

Karakteristik Isolat Bakteri B. subtilis B-12 dan P. fluorescens Pf10

Berdasarkan uji sifat fisiologi dan biokimia terhadap bakteri B. subtilis B-12 dan P. fluorescens Pf10 yang dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, maka diketahui karakter kedua bakteri tersebut. Karakter

sukrosa, fruktosa, pertumbuhan pada suhu 10oC, dan pertumbuhan pada media NB dengan pH 6,8. Pada pengujian urea, sitrat, glukosa, arabinosa, mannitol, laktosa, indol, sorbitol, mannosa, dan galaktosa menghasilkan reaksi negatif. Reaksi yang sama juga terjadi pada uji pertumbuhan anaerobik serta pertumbuhan pada media dengan suhu 40oC. B. subtilis berbentuk batang dan termasuk dalam kelompok bakteri Gram positif. Bakteri ini dapat membentuk endospora yang memiliki resistensi terhadap panas (Mehrotra dan Aggarwal 2005).

Beberapa parameter uji yang dilakukan pada P. fluorescens Pf10 berbeda dengan uji pada B. subtilis B-12. Hasil reaksi positif ditunjukkan pada pengujian katalase, gelatin, dan pertumbuhan pada MacConkey. Parameter uji yang menghasilkan reaksi negatif yaitu sitrat, glukosa, maltosa, mannitol, laktosa, xylosa, salisin, urease, arginine, ornitine, dan pertumbuhan pada suhu 42oC. P.

fluorescens Pf10 yang ditumbuhkan pada media KB akan menghasilkan

fluoresens bila dilihat dibawah sinar ultraviolet. P. fluorescens bersifat Gram negatif, berbentuk batang, dan motil

Gambar 8 Pertumbuhan B. subtilis B-12 dan P. fluorescens Pf10 pada media KB

Pengaruh Konsentrasi Agens Biokontrol terhadap Kemunculan Gejala dan Diameter Perkembangan Gejala secara in vivo

Berdasarkan uji antagonisme dua jenis bakteri biokontrol terhadap penekanan pertumbuhan E. carotovora secara in vitro pada media padat diketahui bahwa isolat B. subtilis B-12 dan P. fluorescens Pf10 memiliki areal hambatan yang paling luas. Pada uji kompatibilitas secara in vitro, B. subtilis B-12 bersifat

kompatibel dengan P. fluorescens Pf10. Kedua isolat ini kemudian diuji sifat antagonisnya terhadap E. carotovora secara in vivo pada tanaman anggrek sehat. Masing-masing perlakuan biokontrol memiliki perbandingan konsentrasi bertingkat antara B. subtilis B-12 dan P. fluorescens Pf10.

Gambar 9 Pengaruh konsentrasi agens biokontrol terhadap persentase kemunculan gejala

Grafik di atas menunjukkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 18 HSI terhadap persentase kemunculan gejala, terdapat perbedaan nyata pada masing-masing perlakuan. Perlakuan yang menunjukkan penekanan terhadap gejala penyakit busuk lunak yaitu P7 dan P8. Kedua perlakuan ini memiliki persentase kemunculan gejala sebesar 18%. Kemunculan gejala pada kedua perlakuan berhenti setelah 10 HSI. Persentase peluang kemunculan gejala pada perlakuan P1, P2, P3, P4, P5, dan P6 lebih tinggi dibandingkan kontrol. Ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan perbandingan konsentrasi P. fluorescens Pf10 yang tinggi kurang mampu menekan kemunculan gejala pada titik yang diinokulasi.

Pada Gambar (9), terlihat bahwa persentase kemunculan gejala dengan perlakuan perbandingan konsentrasi B. subtilis B-12 lebih tinggi, yaitu perlakuan P7, P8, P9 lebih mampu menekan munculnya gejala busuk lunak pada daun anggrek. B. subtilis telah diketahui bersifat antagonis terhadap patogen, karena menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi protein dari bakteri patogen. Selain itu B. subtilis juga menghasilkan senyawa antibiosis berupa basitrasin yang efektif menghambat pembentukan dinding sel (Soesanto 2008).

Hamdani (2007) melaporkan bahwa perlakuan perendaman benih dengan B.

subtilis SB3 mampu menekan kejadian penyakit kuning pada tanaman cabai di

lapangan pada saat tanaman berumur 10 dan 12 MST . Perlakuan lain yang menggunakan bakteri P. fluorescens ES32, P. fluorescens PG01, B. polymixa BG25, dan kombinasi dari keempat bakteri menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam menekan perkembangan penyakit kuning. Perlakuan B. subtilis SB3 menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam menekan kejadian penyakit, sedangkan perlakuan dengan bakteri lainnya menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan kontrol.

Gambar 10 Pengaruh konsentrasi agens biokontrol terhadap perkembangan diameter gejala busuk lunak

Perkembangan diameter gejala busuk lunak berbanding lurus dengan waktu inkubasi. Semakin lama waktu inkubasi, diameter gejala akan semakin meluas. Perlakuan P4 memiliki diameter gejala yang paling besar yaitu 0,93 mm, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan biokontrol tersebut kurang dapat menghambat perkembangan infeksi E. carotovora pada tanaman. Perlakuan dengan diameter gejala yang terkecil menunjukkan bahwa agens biokontrol pada konsentrasi tersebut efektif menghambat perkembangan E. carotovora.

Perlakuan P7 dan P8 memiliki diameter gejala yang lebih kecil dibandingkan kontrol dan perlakuan lainnya. Pada perlakuan P7, perkembangan diameter gejala busuk lunak berhenti pada waktu inkubasi 16 HSI. Kedua perlakuan tersebut memiliki konsentrasi yang tepat untuk menghambat pertumbuhan E. carotovora. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh persentase kemunculan gejala yang rendah setelah diaplikasi oleh agens biokontrol dengan konsentrasi B. subtilis B-12 lebih tinggi dibandingkan P. fluorescens Pf10.

Baik B. subtilis B-12 maupun P. fluorescens Pf10 tidak menunjukkan penghambatan yang tinggi terhadap E. carotovora bila diaplikasikan secara tunggal. Aplikasi secara kombinasi akan lebih efektif, namun hanya pada perbandingan konsentrasi tertentu. Perlakuan biokontrol dengan konsentrasi P.

fluorescens Pf10 yang lebih tinggi kurang efektif mengendalikan perkembangan

penyakit busuk lunak. Demikian juga pada perlakuan B.subtilis B-12 dan P.

fluorescens Pf10 dengan perbandingan konsentrasi 1:1.

Nawangsih (2006) melaporkan bahwa aplikasi agens biokontrol B. subtilis AB89, B. cereus L32, dan P. fluorescens RH4003 secara kombinasi tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan aplikasi tunggal. Baik B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 menghasilkan enzim protease. Enzim ini kemungkinan dapat mempengaruhi perkembangan P. fluorescens RH4003, sehingga pada saat diaplikasikan pada tanaman tidak bersifat sinergis.

B. subtilis menghasilkan senyawa acetoin dan 2,3-butanediol yang dapat

menekan bakteri patogen E. carotovora pada kubis-kubisan. Menurut penelitian senyawa ini dapat meningkatkan asam jasmonat dalam tanaman sehingga meningkatkan respon ketahanan tanaman (Podile dan Kishore 2006).

Tanaman memiliki mekanisme pertahanan baik sebelum patogen berpenetrasi maupun setelah berpenetrasi pada inang. Pertahanan aktif yang dimiliki tanaman akan dibentuk oleh jaringan setelah ada stimulasi benda asing berupa patogen, luka, atau toksin. Jaringan tersebut berfungsi sebagai penghambat kolonisasi patogen ke jaringan inang yang lebih dalam dan luas (Sinaga 2006).

Dokumen terkait