• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Deskripsi ikan kurisi

Berdasarkan pengamatan, keberadaan ikan kurisi di PPP Labuan tidak menentu. Ikan kurisi memiliki bentuk tubuh pipih dan warna kuning kemerahan. Tipe mulut terminal dan memiliki sungut di bagian dagu. Bagian depan kepala tidak bersisik, sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Morfologi Nemipterus japonicus disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Morfologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus)

(Dokumentasi pribadi 2013)

Hasil wawancara

Wawancara dilakukan terhadap sepuluh responden. Hasil yang diperoleh dari wawancara antara lain adalah harga jual dan biaya penangkapan, lama melaut, serta daerah penangkapan. Harga jual ikan kurisi berkisar antara Rp 15 000- Rp 25 000/kg tergantung ketersediaan, sedangkan biaya penangkapan berkisar antara Rp 1 000 000-Rp 5 000 000/trip. Waktu nelayan sekali melaut adalah 3-10 hari. Nelayan sering menangkap ikan di sekitar Selat Sunda, namun jika hasil tangkapan kurang, nelayan berlayar ke daerah lebih jauh seperti Pulau Krakatau dan Laut Jawa (Lampiran 2).

Komposisi hasil tangkapan ikan

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan tempat pendaratan ikan paling besar dan produksinya paling banyak di Kabupaten Pandeglang. Hasil perikanan yang didaratkan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal. Menurut DKP Pandeglang (2013), ikan kurisi termasuk ke dalam lima hasil tangkapan terbanyak dari keseluruhan ikan yang didaratkan. Informasi komposisi hasil tangkapan ikan disajikan pada Gambar 4. Ikan pelagis lebih dominan tertangkap

12

daripada ikan demersal. Ikan kurisi merupakan ikan dengan tangkapan paling banyak, yaitu mencapai 14% dari keseluruhan ikan demersal. Informasi komposisi hasil tangkapan ikan demersal disajikan pada Gambar 5.

Gambar 4 Komposisi hasil tangkapan ikan yang didaratkan

(DKP Pandeglang 2013)

Gambar 5 Komposisi hasil tangkapan ikan demersal

(DKP Pandeglang 2013)

Terdapat 14 jenis ikan demersal yang menjadi tangkapan nelayan di Pandeglang. Diantara ikan-ikan tersebut adalah kurisi, peperek, layur, dan bambangan. Ikan kurisi merupakan jenis ikan demersal dengan tangkapan paling banyak yaitu sebesar 14 % atau senilai 1192.18 ton.

Hasil tangkapan ikan kurisi

Informasi mengenai hasil tangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 3. Ikan kurisi ditangkap dengan berbagai alat tangkap. Setelah dilakukan penghitungan proporsi dan standarisasi

13 alat tangkap, alat tangkap payang, pancing, dan pukat cincin merupakan alat tangkap produktif untuk menangkap ikan kurisi di Selat Sunda. Hasil tangkapan ikan kurisi terbanyak pada tahun 2005 yang ditangkap dengan pukat cincin. Jika dibandingkan antara ketiga alat tangkap tersebut, ikan kurisi lebih cenderung banyak tertangkap oleh pukat cincin.

Gambar 6 Grafik hasil tangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif

(DKP Pandeglang 2013)

Upaya penangkapan ikan kurisi

Upaya penangkapan berhubungan dengan alat tangkap produktif yang digunakan. Informasi upaya penangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif disajikan pada Gambar 7 dan Lampiran 3.

Gambar 7 Grafik upaya penangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif

14

Upaya penangkapan ikan kurisi cenderung meningkat. Upaya penangkapan pukat cincin terhadap ikan kurisi mengalami penurunan pada tahun 2006, kemudian meningkat hingga tahun 2011. Alat tangkap payang dan pancing pada tahun 2003 sampai 2007 tidak ada upaya untuk menangkap ikan kurisi. Hal ini berbanding lurus dengan hasil tangkapan, ketika upaya meningkat maka hasil tangkapan meningkat begitu pula sebaliknya.

Catch per unit effort (CPUE)

Catch per unit effort menggambarkan tingkat produktivitas upaya penangkapan. Informasi nilai CPUE tahun 2003-2013 disajikan pada Gambar 8. Nilai catch per unit effort (CPUE) alat tangkap payang, pancing, dan pukat cincin berfluktuatif. Nilai CPUE tertinggi dicapai pada tahun 2011 oleh alat tangkap pancing, namun kemudian mengalami penurunan drastis pada tahun 2012 sebelum akhirnya meningkat lagi. Nilai CPUE yang semakin tinggi menunjukkan bahwa tingkat produktivitas alat tangkap yang digunakan semakin tinggi. Secara umum terlihat bahwa pukat cincin memiliki tingkat produktivitas yang tinggi terhadap ikan kurisi. Hal ini dikarenakan pukat cincin memiliki daya tangkap paling besar dibandingkan alat tangkap lainnya.

Gambar 8 Grafik catch per unit effort ikan kurisi dengan alat tangkap produktif

(DKP Pandeglang 2013)

Hubungan catch per unit effort dan effort

Nilai catch per unit effort (CPUE) menggambarkan keadaan stok suatu sumber daya ikan di alam, sedangkan effort adalah upaya penangkapan yang dilakukan terhadap sumber daya ikan tersebut. Informasi hubungan antara catch per unit effort (CPUE) dan effort disajikan pada Gambar 9. Hubungan antara

catch per unit effort (CPUE) dan effort menunjukkan hubungan yang linier dengan koefisien determinasi 97.07 %.

15

Gambar 9 Kurva hubungan CPUE dengan effort

(DKP Pandeglang 2013)

Hubungan catch per unit effort dengan effort ikan kurisi digambarkan oleh persamaan y = -0.0033x+4.8892. Berdasarkan persamaan ini diperoleh nilai intercept sebesar 4.8892 dan nilai slope sebesar -0.0033. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE).

Parameter biologi

Model yang digunakan untuk menduga parameter biologi yaitu model

Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute, dan Clark Yoshimoto Pooley. Informasi parameter biologi dengan lima model tersebut disajikan pada Tabel 2 dan Lampiran 4.

Tabel 2 Parameter biologi ikan kurisi Model

Parameter biologi r

(ton per tahun)

q (ton per trip)

K (ton per tahun)

R2 (%) Schaefer 3.8332 0.00260 1 915.9610 97.07 Fox 0.0757 0.00005 97 008.3591 95.68 Walter Hilborn 158.4762 0.09960 50.4214 2.31 Schnute 1.3262 0.00088 7 986.4933 4.90 CYP 12.0611 0.01880 342.0099 94.73

Koefisien determinasi (R2) kelima model telah diperoleh dan R2 model

Schaefer terbesar yaitu 97.07 %. Dugaan parameter biologi dengan model

16

Analisis bioekonomi

Setelah berbagai parameter biologi diketahui, selanjutnya model dimasukkan ke dalam estimasi parameter ekonomi Gordon-Schaefer. Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumber daya karena selama ini permasalahan perikanan terfokus pada memaksimalkan penangkapan, dengan mengabaikan faktor produksi yang diperlukan dalam usaha perikanan. Parameter ekonomi seperti biaya operasional dan harga ikan kurisi diperoleh dari hasil wawancara. Informasi parameter ekonomi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Parameter ekonomi sumber daya ikan kurisi

Parameter ekonomi Nilai (rupiah)

Biaya operasional per trip 149 357.15

Harga jual ikan kurisi per kg 20 000

(Wawancara 2014)

Parameter biologi dan ekonomi yang telah diperoleh tersebut digunakan untuk menentukan jumlah tangkapan lestari, upaya optimum, dan keuntungan ekonomi pada rezim pengelolaan MEY, MSY, open access, dan aktual. Informasi hasil analisis bioekonomi disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 5. Upaya penangkapan pada rezim open access lebih besar daripada pada kondisi MSY, MEY, dan aktual.

Tabel 4 Hasil analisis bioekonomi ikan kurisi dengan model Schaefer

Variabel MEY MSY OA Aktual

C (ton/tahun) 1 836.0470 1 836.0512 11.2007 1 191.2091

E (trip/tahun) 750 752 1500 953

Keuntungan (rupiah/tahun) 36 608 932 573 36 608 846 900 0 23 681 981 496

Hasil analisis bioekonomi diperoleh upaya penangkapan pada kondisi pengelolaan open access di Selat Sunda untuk keseluruhan alat adalah 1 500 trip/tahun. Upaya penangkapan pada rezim MSY, MEY, dan aktual berturut-turut adalah 752 trip/tahun; 750 trip/tahun; dan 953 trip/tahun. Kemudian hasil tangkapan yang diperoleh pada kondisi open access sebanyak 11.2007 ton/tahun. Produksi tangkap pada kondisi MSY, MEY, dan aktual sebanyak 1 836.0512 ton/tahun; 1 836.0470 ton/tahun; dan 1 191.2091 ton/tahun. Keuntungan ekonomi yang diperoleh pada kondisi MEY, MSY, dan aktual berturut-turut adalah Rp 36 608 932 573; Rp 36 608 846 900dan Rp 23 681 981 496. Pada kondisi

open access keuntungan yang diperoleh sama dengan nol (TR=TC). Informasi hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan disajikan pada Gambar 10, selanjutnya kurva model bioekonomi disajikan pada Gambar 11.

17

Gambar 10 Hubungan produksi dan upaya penangkapan

Gambar 11 Kurva model bioekonomi

Pada kurva hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan, upaya penangkapan aktual telah melebihi upaya optimal. Pada kondisi tersebut sumber daya ikan kurisi telah mengalami penurunan. Meskipun dengan upaya yang besar namun diperoleh hasil tangkapan yang lebih rendah dari kondisi MSY dan MEY. Hal ini dapat diindikasikan bahwa sumber daya ikan kurisi telah mengalami

overfishing.

Parameter pertumbuhan

Hasil analisis parameter pertumbuhan adalah koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik (L), umur teoritik ikan saat panjang sama dengan nol (t0) dan ukuran pertama kali matang gonad (Lm). Informasi parameter pertumbuhan ikan kurisi disajikan pada Tabel 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7. Ikan kurisi betina memiliki koefisien pertumbuhan (K) 0.31/bulan dan panjang asimtotik 273.00 mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan kurisi jantan adalah 0.13/bulan dan panjang asimtotik 315.00 mm. Kemudian ukuran ikan kurisi yang seharusnya bereproduksi (Lm) adalah 267.79 mm untuk jantan dan 213.77 mm untuk betina.

18

Tabel 5 Parameter pertumbuhan ikan kurisi Contoh ikan Parameter Pertumbuhan Sumber Lokasi K (bulan-1) L (mm) t0 (bulan-1) Lm (mm) Rahayu (2012) Selat Sunda Jantan 0.15 493.36 -0.53 - Betina 0.39 334.32 -0.22 - Total - - - 233.00 Oktaviyani (2013) Teluk Banten Jantan 0.25 225.42 -0.39 - Betina 0.29 206.03 -0.33 - Total - - - 213.00

Penelitian ini Selat Jantan 0.13 315.00 -0.69 267.79

(2014) Sunda Betina 0.31 273.00 -0.29 213.77

Sebaran distribusi panjang pada setiap waktu pengambilan contoh diperoleh dari program ELEFAN I. Informasi sebaran frekuensi panjang ikan kurisi dengan program ELEFAN I disajikan pada Gambar 12, Gambar 13, dan Lampiran 8.

Gambar 12 Sebaran frekuensi ikan kurisi betina dengan program ELEFAN I

19 Jumlah contoh yang diambil sebanyak 252 ekor jantan dan 172 ekor betina. Ukuran ikan kurisi jantan dan betina yang dominan tertangkap berturut-turut adalah ukuran 213-217 mm dan 183-187 mm. Panjang maksimum ikan kurisi jantan dan betina berturut-turut adalah 302 mm dan 262 mm, sedangkan panjang minimum ikan kurisi jantan dan betina berturut-turut adalah 128 mm dan 133 mm.

Mortalitas dan laju eksploitasi

Mortalitas merupakan jumlah aktual ikan yang mati pada suatu keadaan tertentu yang tidak ditentukan sebelumnya (Aziz 1989). Kurva hasil tangkapan ikan kurisi yang dilinearkan berbasis data panjang disajikan pada Gambar 14, Gambar 15 dan Lampiran 9.

Gambar 14 Kurva hasil tangkapan ikan kurisi jantan yang dilinearkan berbasis data panjang

Gambar 15 Kurva hasil tangkapan ikan kurisi betina yang dilinearkan berbasis data panjang

20

Titik-titik pada kurva merupakan titik-titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menentukan mortalitas total. Informasi laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi di PPP Labuan, Banten Parameter

Penelitian ini (2014)

Rahayu (2012) Betina Jantan Betina Jantan

Mortalitas penangkapan (F) 1.25 1.31 0.65 1.07

Mortalitas alami (M) 0.37 0.20 0.51 0.24

Mortalitas total (Z) 1.62 1.51 1.16 1.31

Eksploitasi (E) 0.77 0.87 0.56 0.81

Satuan: per tahun

Nilai mortalitas penangkapan ikan kurisi jantan dan betina lebih besar dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Laju eksploitasi (E) ikan kurisi jantan dan betina berturut-turut adalah 0.87 dan 0.77. Laju eksploitasi ikan kurisi tersebut meningkat jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Rahayu (2012) pada lokasi yang sama yaitu 0.56/tahun untuk ikan kurisi betina dan 0.81/tahun untuk ikan kurisi jantan.

Pembahasan

Kondisi sumber daya ikan kurisi di PPP Labuan Banten

Upaya penangkapan yang merupakan input dalam sistem perikanan memberikan pengaruh terhadap output yaitu hasil tangkapan. Kondisi upaya penangkapan yang fluktuatif dapat terjadi kapan saja karena sumber daya perikanan bersifat open access. Hal ini akan berakibat pada hasil tangkapan yang diperoleh setiap waktunya, dan mempengaruhi ekonomi lokal karena ikan kurisi salah satu hasil tangkapan dominan. Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan menunjukkan hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi upaya penangkapan semakin rendah nilai CPUE. Hubungan negatif tersebut mengindikasikan bahwa produktivitas alat tangkap ikan kurisi akan menurun apabila upaya mengalami peningkatan.

Koefisien pertumbuhan (K) didefinisikan sebagai parameter yang menyatakan kecepatan kurva pertumbuhan dalam mencapai panjang asimtotiknya (L) dari pola pertumbuhan ikan. Semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan, semakin cepat mencapai panjang asimtotik dan beberapa spesies kebanyakan diantaranya berumur pendek. Sebaliknya ikan yang memiliki koefisien pertumbuhan rendah umurnya semakin tinggi karena lama mencapai panjang asimtotiknya (Sparre dan Venema 1999). Nilai parameter pertumbuhan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Rahayu (2012) di lokasi yang sama. Mengecilnya ukuran ikan kurisi mengindikasikan bahwa pemanfaatan ikan kurisi telah melampaui batas (over eksploitasi). Parameter pertumbuhan pada penelitian

21 ini berbeda dengan hasil penelitian Oktaviyani (2013) di Teluk Banten. Menurut Priyanie (2006), kondisi lingkungan tempat hidup ikan berpengaruh kuat terhadap pertumbuhan ikan. Keadaan lingkungan perairan yang buruk akan mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan (Komara 1983 in Brojo dan Sari 2002).

Tingginya permintaan pasar terhadap ikan kurisi dalam bentuk segar dan olahan ikan asin menyebabkan aktivitas penangkapan meningkat. Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984), laju eksploitasi optimal suatu sumber daya ikan sebesar 0.50 dimana besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas penangkapan. Nilai E yang jauh berbeda dengan 0.5 mengindikasikan bahwa laju eksploitasi sumber daya ikan kurisi di Selat Sunda berada pada kondisi over eksploitasi. Kondisi tersebut mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan kurisi di Selat Sunda disebabkan oleh tingginya kegiatan penangkapan. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan nilai mortalitas penangkapan yang lebih besar daripada mortalitas alami. Berdasarkan hasil analisis Lm dan ukuran ikan kurisi yang tertangkap, overfishing ikan kurisi tergolong growth overfishing dan

recruitment overfishing. Growth overfishing diketahui dari banyaknya ikan kurisi yang tertangkap sebelum sempat tumbuh mencapai ukuran peningkatan lebih jauh.

Recruitment overfishing diketahui dari banyaknya ikan kurisi dewasa yang tertangkap sehingga tidak mampu melakukan reproduksi. Selain itu, ikan kurisi memiliki nilai mortalitas alami dan penangkapan yang berbeda-beda di setiap wilayah. Menurut Amine (2012), perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan dalam hal variasi pada struktur populasi dan kondisi lingkungan. Menurut Charless (1988) in Yew (1996), eksploitasi perikanan demersal tergantung pada manajemen objektif yang ingin dicapai. Selama bertahun-tahun tujuan pengelolaan perikanan mencakup tujuan secara biologi, ekonomi, dan sosial.

Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan kurisi

Menurut Zulbainarni (2012), dugaan parameter biologi perlu diketahui sebelum dugaan parameter ekonomi karena sumber daya perikanan selalu bergerak dan bersifat diburu. Lima model surplus produksi yang digunakan menunjukkan hasil yang berbeda. Koefisien determinasi (R2) model Schaefer

tertinggi yaitu sebesar 97.07 %. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998) in

Randika (2008), R2 lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R2 menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Laju pertumbuhan alami (r) sebesar 3.8332 berarti populasi sumber daya ikan kurisi akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam maupun kegiatan manusia sebesar 3.8332 ton/tahun. Koefisien daya tangkap (q) sebesar 0.0026 berarti proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya penangkapan adalah 0.0026 ton/trip. Daya dukung (K) sebesar 1 915.9610 menunjukkan kemampuan ekosistem mendukung produksi sumber daya ikan kurisi sebesar 1 915.9610 ton/tahun.

Analisis bioekonomi menggunakan parameter biologi (r, q, dan K) yang diperoleh dari model Schaefer dan parameter ekonomi (biaya dan harga) dari hasil

22

wawancara. Pada kajian bioekonomi Gordon-Schaefer, biaya penangkapan didasarkan atas asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan dan dianggap konstan, sehingga dalam penelitian ini biaya penangkapan didefinisikan sebagai biaya variabel per trip dan dianggap konstan. Tabel 4 memperlihatkan hasil kajian bioekonomi ikan kurisi. Keuntungan lestari akan diperoleh secara maksimum pada kondisi MEY. Pada kondisi open acces upaya penangkapan yang dibutuhkan lebih banyak daripada yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Upaya penangkapan pada kondisi aktual lebih besar daripada upaya penangkapan pada kondisi MEY. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan ikan kurisi di Selat Sunda telah mengarah pada terjadinya

economical overfishing. Itu disebabkan jumlah input (effort) yang digunakan pada kondisi aktual melebihi kondisi MEY, namun produksinya kurang dari produksi MEY. Selain itu upaya penangkapan ikan kurisi melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan produksi pada kondisi MSY, sehingga ikan kurisi juga telah mengalami biological overfishing. Menurut Zen et al. (2002), produksi atau output merupakan nilai ikan laut yang didaratkan dan satuan pengukuran yang digunakan adalah rupiah dan kg. Sedangkan upaya penangkapan ikan merupakan kombinasi indeks masukan (input) seperti perahu, alat tangkap, bahan bakar, tenaga kerja, dan kemampuan manajemen.

Upaya pengelolaan pemanfaatan sumber daya ikan kurisi

Pengelolaan kondisi optimal (MEY) masih mungkin dilakukan dengan berbagai cara meskipun membutuhkan banyak waktu. Salah satu cara yang digunakan untuk mengurangi input yang berlebihan adalah dengan pembatasan upaya penangkapan menjadi 750 trip. Squires et al. (2003) melakukan penelitian tentang ekses kapasitas dan pembangunan perikanan di Laut Jawa menyebutkan bahwa kebijakan yang terbaik adalah mengurangi kapasitas penangkapan ikan dan pengelolaan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Namun pengurangan upaya penangkapan ke kondisi MEY pada awalnya akan mengakibatkan pengurangan pendapatan nelayan. Akan tetapi hal ini sebaiknya mulai dilakukan agar diperoleh keuntungan maksimum dan overfishing teratasi. Salah satu pendekatan sosial ekonomi yang dapat dilakukan adalah mengalihkan nelayan menangkap ikan demersal lainnya yang status pemanfaatannya under eksploitasi

yaitu ikan kuniran. Selain itu juga perlu dilakukan selektivitas alat tangkap pukat cincin dan pengoperasian pukat cincin diarahkan ke laut lepas agar ikan demersal tidak tertangkap. Penetapan sangsi yang tegas serta kerjasama antar stakeholder

juga perlu dilakukan. Oleh karena itu diperlukan intervensi pemerintah melalui regulasi lebih baik yang merupakan kesepakatan bersama antara stakeholder yang terlibat. Menurut Mattos et al. (2006), strategi pengelolaan terbaik dalam istilah ekonomi dan biologi merupakan aplikasi bersama dari beberapa tindakan pengelolaan yang memenuhi pernyataan stakeholder dan keseimbangan biologis dan ekonomis antara kegiatan dan upaya untuk membangun kembali stok.

23

Dokumen terkait