• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Limbah cair kelapa sawit berpotensi sebagai pencemar lingkungan, apabila tidak ada upaya untuk mencegah atau mengelola secara lebih efektif, akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap lingkungan, seperti menimbulkan bau, pencemaran air dan perairan umum di sekitar pabrik dan gas rumah kaca yang akan berdampak terhadap pemanasan global (Achmad et al., 2003). Hasil analisis karakteristik kimia limbah cair pabrik kelapa sawit yang diperoleh dari PTPN VIII Kertajaya, Malingping, Banten dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Analisis Karakteristik Kimia Limbah Cair Kelapa Sawit

Parameter Kandungan Baku Mutu Limbah*

BOD (mg/l) 11776,52 110

COD (mg/l) 47105,26 -

Total Volatil Solid (mg/l) 4250 -

N total (mg/l) 489 20 C organik (mg/l) 21335 100 C/N 42,63 - pH 5,12 6-9 Asam Asetat (mg/l) 55,78 - Asam Laktat (mg/l) 39,43 - Keterangan : * MenKLH (1995)

Tabel 4 menunjukkan bahwa limbah cair yang digunakan sebagai bahan baku memiliki nilai yang berada di atas ambang baku mutu nilai limbah yang telah ditetapkan oleh MenKLH (1995), sehingga limbah cair pabrik kelapa sawit yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi berpotensi dijadikan sebagai substrat dalam proses fermentasi anaerobik. Hal ini sesuai dengan Zhang et al., (2008) yang menyebutkan bahwa pengolahan fermentasi anaerobik lebih potensial dilakukan untuk penanganan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit karena memiliki karakteristik bahan organik yang tinggi. Nilai C/N pada bahan baku limbah cair pabrik kelapa sawit yang digunakan sebesar 42,63, nilai ini lebih tinggi dari nilai optimum yang dinyatakan oleh Simamora et al., (2006), bahwa nilai C/N yang

31 optimum bagi mikroorganisme perombak adalah 20-25. Upaya penurunan nilai C/N dilakukan dengan menambahkan kotoran sapi potong segar yang mempunyai nilai C/N sebesar 18.

Limbah cair yang dijadikan sebagai bahan baku memiliki karakteristik kental dan berwarna coklat. Berikut adalah gambar limbah cair pabrik kelapa sawit serta tempat pengambilan bahan baku yaitu di PTPN VIII Kertajaya, Malingping, Banten (Gambar 4 dan 5).

Gambar

4. Limbah Cair PKS Gambar 5. PTPN VIII, Banten

Karakteristik Akhir Pupuk Organik

Proses pengomposan yang melibatkan mikroorganisme perombak bahan organik dapat ditandai dengan perubahan fisik dan kimia hasil pengomposan. Perubahan warna dan bau yang terjadi saat pengomposan merupakan indikator yang dapat menjadi parameter adanya aktivitas mikroorganisme tersebut.

Perubahan warna dapat menentukan kualitas pupuk organik hasil pengomposan. Adanya perubahan warna dapat menandakan tingkat kematangan pupuk yang dihasilkan. Pupuk organik hasil samping produksi biogas (sludge) yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki warna coklat tua hingga kehitaman seperti terlihat pada Gambar 6.

32 Bau juga merupakan salah satu indikator kematangan media pengomposan. Pupuk organik yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki bau yang masih menyengat. Bau menyengat dapat disebabkan oleh metode pengomposan yang digunakan yaitu pengomposan secara anaerob yang menghasilkan gas-gas berbau menyengat.

Kualitas Pupuk Organik

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) adalah ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu bahan dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme pada saat proses pengomposan. Romli (2010) menyatakan bahwa kebanyakan mikroorganisme tumbuh dengan baik pada pH netral, karena nilai-nilai pH selainnya akan berpengaruh sebaliknya pada metabolisme dengan cara mengubah ekuilibrium kimia reakri-reaksi enzimatik, atau bahkan menyebabkan rusaknya enzim.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pH pupuk organik hasil samping produksi biogas (sludge) berkisar antara 7,3–9 (Tabel 5). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio limbah cair pabrik kelapa sawit dan aktivator tidak berpengaruh nyata pada pH sludge. Nilai pH yang tidak berbeda menunjukkan mikroba dapat merombak bahan dengan efektifitas yang sama. Hasil pengamatan pH pada sludge dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Nilai pH

Perlakuan pH Awal pH P70S30 6 8,0±1,0 P80S20 6 9,0±0,0 P90S10 5 7,3±0,6 DJBSP* - 4-8 Sumber :*Soekirman (2005)

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan diperoleh rataan pH awal campuran yang dijadikan sebagai masukan (influent) lebih rendah dibandingkan dengan pH dari pupuk organik hasil samping biogas (sludge), pH yang terlalu rendah akan menurunkan aktivitas mikroorganisme perombak. Rendahnya pH pada influent

33 dipengaruhi oleh pH limbah cair pabrik kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan utama memiliki pH yang rendah (asam) yaitu 5,12, (Tabel 4).Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan CaCO3 untuk meningkatkan pH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bitton (1999) bahwa untuk mempertahankan pH berkisar antara 6,8-8,5 perlu ditambahkan kapasitas penyangga (buffer capacity) seperti ammonium hidroksida, larutan kapur, natrium karbonat, dan lain-lain. Nilai pH yang rendah pada awal penelitian dapat dilihat pada grafik rataan pH pada digester tahap I (Gambar 7).

Gambar 7. Nilai pH Harian pada Digester Tahap I

Derajat keasaman (pH) pada pupuk organik yang dihasilkan mengalami peningkatan menjadi basa (alkali). Berdasarkan hasil yang diperoleh, perlakuan P70S30 dan P90S10 telah memenuhi standar kualitas pupuk organik menurut Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yaitu berkisar antara 4 sampai 8, sedangkan untuk perlakuan P80S20 memiliki pH yang lebih basa yaitu 9. Perlakuan P80S20 yang memiliki pH basa masih dapat digunakan pada tanah dengan kondisi asam seperti di Indonesia. Hardjowigeno (2003) menyatakan bahwa pada umumnya tanah di Indonesia berada dalam kondisi asam dengan pH 4,0-5,5.

Gaur (1982) menyatakan, peningkatan pH pada pengomposan merupakan akibat dari meningkatnya jumlah kation-kation basa seperti K2+, Ca2+, dan Mg2+ serta akibat dari penghancuran atau degradasi protein dan pembebasan amoniak. Peningkatan pH juga disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme yang terdapat di dalam digester biogas. Hal ini erat hubungannya dengan kondisi pH dalam digester tahap II (Gambar 8).

4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 Hari Ke-P90S10 P80S20 P70S30 pH

34 Gambar 8. Nilai pH Harian pada Digester Tahap II

Gambar 8 menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka pH akan semakin basa atau alkali hingga pada akhirnya pH menjadi netral. Menurut Murbandono (2002), pengontrolan pH agar tetap pada kondisi yang optimal perlu dilakukan karena pH yang terlalu tinggi (pH basa) menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen yang menyebabkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Center for Policy dan Implementation Study (CPIS) (1992) juga menambahkan bahwa pH yang terlalu tinggi juga menyebabkan unsur N pada bahan yang dikomposkan berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada kondisi asam (pH rendah) dapat menyebabkan matinya sebagian besar mikroorganisme.

Kandungan Karbon (C) Organik

Unsur karbon organik (C organik) merupakan unsur yang sangat penting bagi tanaman. Unsur C merupakan pembangun bahan organik yaitu pembentuk protein, karbohidrat, dan lemak. Hasil analisis menunjukkan penurunan rataan kandungan C organik pada pupuk organik hasil penelitian tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Nilai Kandungan C Organik

Perlakuan C Organik Awal C Organik

---%--- P70S30 1,96 0,32±0,06 P80S20 2,04 0,37±0,05 P90S10 1,44 0,30±0,01 DJBSP* ≥4,5 Sumber :*Soekirman (2005). 5 6 7 8 9 10 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 Hari Ke-P90S10 P80S20 P70S30 pH

35 Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa rataan kandungan karbon (C) pupuk organik berkisar antara 0,30–0,37 % dan mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan rataan kandungan C bahan isian masukan awal digester (influent) yaitu berkisar 1,44–2,04 %. Hasil analisis ragam kandungan C pupuk organik memperlihatkan bahwa rasio limbah cair kelapa sawit dan aktivator tidak berpengaruh terhadap kandungan C pupuk organik. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme yang terdapat di dalam digester pada saat pengomposan dapat merombak bahan dengan efektifitas yang sama. Penurunan kandungan C pupuk organik terjadi karena adanya pelepasan unsur C pada saat proses pengomposan anaerob yang terjadi di dalam digester.

Hasil kandungan C organik pada pupuk organik yang dihasilkan tidak memenuhi standar kandungan C organik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yaitu sebesar ≥4,5. Peningkatan kandungan C organic dapat dilakukan dengan penambahan sekam bakar, arang aktif, dan bahan lain yang memiliki kandungan C organik yang tinggi.

Kandungan Nitrogen (N) Total

Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang sangat diperlukan untuk perkembangan atau pertumbuhan bagian vegetatif seperti daun, batang, dan akar (Sutejo, 1995). Rataan kandungan N-total pupuk organik berdasarkan hasil analisis laboratorium adalah berkisar antara 0,025–0,036 % (Tabel 7). Hasil analisis ragam pada penelitian ini memperlihatkan bahwa rasio limbah cair kelapa sawit dan aktivator tidak berpengaruh terhadap kandungan N dalam pupuk. Hasil analisis kandungan Nitrogen total dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Nilai Kandungan Nitrogen Total

Perlakuan N Total Awal N Total

---%--- P70S30 0,066 0,030±0,008 P80S20 0,067 0,036±0,002 P90S10 0,065 0,025±0,003 DJBSP* - Sumber : *Soekirman (2005).

36 Kandungan N total pada pupuk organik yang dihasilkan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kandungan N total pada bahan masukan awal. Penurunan kandungan nitrogen total diduga karena adanya proses perombakan anaerob di dalam digester biogas. Kandungan N-total pupuk organik tidak dapat dibandingkan dengan kualitas pupuk organik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian dikarenakan belum adanya ketentuan jumlah kandungan N total baik itu pupuk organik padat maupun pupuk organik cair. Namun, hasil yang diperoleh menunjukkan rataan yang sesuai dengan kandungan mineral hasil samping dari enam instalasi biogas di Delta Mekong Vietnam yaitu berkisar antara 0,004–0,467 % (Suzuki et al.,2001).

Kandungan Fosfor (P)

Rataan kandungan fosfor (P) pupuk organik cair berdasarkan hasil analisis laboratorium pada bahan masukan awal adalah berkisar antara 0,012-0,031 %, sedangkan untuk pupuk organik dari hasil samping proses produksi biogas (sludge) adalah berkisar antara 0,012–0,020 %. Hasil analisis ragam pada penelitian ini memperlihatkan bahwa rasio limbah cair kelapa sawit dan aktivator tidak berpengaruh terhadap kandungan P dalam pupuk. Hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Nilai Kandungan Fosfor (P)

Perlakuan P Awal Fosfor

---%--- P70S30 0,023 0,014±0,006 P80S20 0,012 0,020±0,010 P90S10 0,031 0,012±0,001 DJBSP* <5 Sumber : *Soekirman (2005).

Rataan kandungan P pada pupuk organik dapat dikatakan telah sesuai dengan ketentuan kandungan P yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yaitu sebesar <5% walaupun hasil yang diperoleh sangat rendah. Kandungan P dapat dikatakan sesuai karena tidak adanya batas minimum kandungan P pada pupuk organik baik itu pupuk organik padat maupun pupuk organik cair.

37 Namun, kandungan P pupuk organik memiliki rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan mineral hasil samping dari enam instalasi gas bio di Delta Mekong Vietnam yaitu berkisar antara 0,003–0,016 % (Suzuki et al.,2001).

Kandungan Kalium (K)

Rataan kandungan kalium (K) berdasarkan hasil analisis laboratorium adalah berkisar 0,062–0,068 %, hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan unsur K pada bahan awal masukan yaitu berkisar antara 0,105-0,698 %. Hasil analisis ragam menunjukkan rasio limbah cair kelapa sawit dan aktivator dari kotoran segar sapi potong tidak berpengaruh terhadap kandungan K pupuk organik hasil samping keluaran instalasi biogas (sludge) sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Rataan kandungan unsur K pada bahan awal dan pupuk organik hasil samping produksi biogas terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Nilai Kandungan Kalium

Perlakuan K Awal Kalium

---%--- P70S30 0,698 0,068±0,006 P80S20 0,117 0,064±0,002 P90S10 0,105 0,062±0,002 DJBSP* <5 Sumber : *Soekirman (2005).

Kandungan K yang diperoleh dapat dikatakan telah sesuai dengan ketentuan kandungan K pupuk organik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yaitu <5 % karena tidak adanya batasan minimal untuk kandungan K dalam pupuk organik. Rataan kandungan K dari seluruh taraf perlakuan juga menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan mineral K hasil samping dari enam instalasi biogas di Delta Mekong Vietnam yang berkisar antara 0,006-0,054 % (Suzuki et al., 2001).

Defisiensi unsur K pada tanaman akan mengakibatkan daun mengering dan terbakar pada berbagai sisinya serta permukaan daun akan memperlihatkan gejala klorotik yang merata sehingga fungsi daun sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis akan terganggu. Hal tersebut secara tidak langsung akan mengurang hasil

38 fotosintesis sehingga produksi tanaman akan mengalami penurunan (Setyamidjaja, 1986).

Kandungan Zat Besi (Fe)

Rataan kandungan Fe pada bahan awal berkisar antara 60,26-82,67 mg/l, sedangkan untuk pupuk organik diperoleh rataan yang cukup rendah yaitu 6,80-18,63 mg/l. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio limbah cair kelapa sawit dan aktivator berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan Fe pupuk organik hasil samping produksi biogas (sludge). Hasil uji lanjut yang dilakukan diperoleh bahwa kandungan Fe pada taraf perlakuan P70S30 nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada perlakuan P90S10, perlakuan P70S30 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P80S20, dan perlakuan P80S20 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P90S10.Kandungan Fe pada perlakuan P80S20 menunjukkan hasil tertinggi yaitu 18,63 mg/l, sedangkan hasil terendah terdapat pada perlakuan P90S10 yaitu sebesar 6,80 mg/l. Hal ini diduga karena pada perlakuan P80S20 proses dekomposisi lebih baik sehingga terdapat keseimbangan antara bahan yang dikomposisi dengan mikroorganisme perombak. Rataan kandungan zat besi (Fe) dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Nilai Kandungan Fe

Perlakuan Fe Awal Fe ---mg/l--- P70S30 64,14 12,03±3,98 b P80S20 82,67 18,63±4,43 ab P90S10 60,26 6,80±2,63 a DJBSP* Dicantumkan Sumber : *Soekirman (2005).

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05).

Jumlah kandungan Fe pada pupuk organik hasil samping produksi biogas tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kandungan Fe pada bahan awal masukan. Penurunan jumlah kandungan Fe akan lebih jelas terlihat pada Gambar 9.

39 Gambar 9. Rataan Fe pada Bahan Awal dan Sludge

Gambar 9 menunjukkan bahwa persentase penurunan tertinggi adalah pada taraf perlakuan P90S10 yaitu sebesar 88,33% kemudian diikuti oleh taraf perlakuan P70S30 dan P80S20 masing-masing sebesar 81,25% dan 77,11%.

Kandungan Mangan (Mn)

Unsur Mn dalam tanaman berfungsi sebagai katalisator berbagai enzim yang berperan dalam proses perombakan karbohidrat dan metabolisme N. Mangan bersama Fe membantu terbentuknya sel klorofil (Salisburry dan Ross, 1995). Rataan kandungan unsur mangan (Mn) yang terdapat pada bahan awal masukan dan pupuk organik hasil samping produksi biogas terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Nilai Kandungan Mn

Perlakuan Mn Awal Mn ---mg/l--- P70S30 13,63 2,43±4,17 b P80S20 11,44 8,77±1,75 a P90S10 13,37 1,17±1,41 b DJBSP* Dicantumkan Sumber : *Soekirman (2005).

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05).

Kandungan unsur mangan (Mn) di dalam pupuk organik mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kandungan Mn pada bahan awal masukan. Rataan Mn pada bahan awal adalah berkisar antara 11,44-13,63 mg/l, sedangkan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 P70S30 P80S20 P90S10 K an d u n gan F e (m g/ l) Perlakuan awal akhir

40 untuk hasil akhir yaitu pupuk organik berkisar 1,17-8,77 mg/l. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio limbah cair kelapa sawit dan aktivator berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan Mn pupuk organik. Hasil uji lanjut yang dilakukan menunjukkan bahwa kandungan Mn pada taraf perlakuan P70S30, dan P90S10 tidak berbeda, sedangkan kedua perlakuan tersebut nyata (P<0,05) lebih tinggi dari taraf perlakuan P80S20. Kandungan Mn pada perlakuan P80S20 menunjukkan rataan yang tertinggi yaitu 8,77 mg/l, sedangkan untuk rataan terendah terdapat pada perlakuan P90S10 yaitu 1,17 mg/l. Hal ini diduga karena pada perlakuan P80S20 proses dekomposisi lebih baik sehingga terdapat keseimbangan antara bahan yang dikomposisi dengan mikroorganisme perombak. Penurunan kandungan unsur Mn akan lebih terlihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Rataan Mn pada Bahan Awal dan Sludge

Gambar 10 menunjukkan bahwa penurunan terbesar terdapat pada taraf perlakuan P90S10 yaitu sebesar 92,31% dan penurunan terkecil adalah pada taraf perlakuan P80S20 yaitu sebesar 18,18%, sedangkan untuk perlakuan P70S30 mengalami penurunan sebesar 85,71%.

Rasio Karbon- Nitrogen (C/N)

Rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan N yang berperan dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya (Triadmojo, 2001), tetapi bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan nilai C/N

41 dalam bahan tersebut pada umumnya lebih tinggi sehingga tidak sesuai dengan C/N tanah (Simanungkalit et al., 2006). Rataan rasio C/N dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai Rasio C/N

Perlakuan C/N awal Rasio C/N

P70S30 29,65 10,82±1,50

P80S20 30,36 10,18±0,76

P90S10 22,26 12,12±0,98

DJBSP* 12-25

Sumber : *Soekirman (2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio C/N pupuk organik hasil samping produksi biogas mengalami penurunan dari rataan bahan awal antara 22,26–30,36 menjadi 10,82–12,12 (Tabel 12). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio limbah cair pabrik kelapa sawit dan aktivator tidak berpengaruh nyata terhadap rasio C/N.

Berdasarkan hasil analisis, rasio C/N optimum pada awal penelitian terdapat pada perlakuan P90S10 yaitu 22,26. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simamora et al.,

(2006), bahwa rasio C/N yang optimum bagi mikroorganisme perombak adalah 20-25. Deublein (2008) menyatakan rasio C/N yang terlalu tinggi mengindikasikan kurangnya unsur N yang akan berakibat buruk pada pertumbuhan mikroorganisme dan sintesis sel baru bagi mikroorganisme, hal ini karena sebanyak 18% sel bakteri terdiri dari unsur N. Dalzell et al., (1987) menambahkan rasio C/N yang terlalu tinggi akan mengakibatkan proses pengomposan menjadi lebih lama, dan nilai rasio C/N yang terlalu rendah akan mengakibatkan nitrogen yang merupakan komponen penting dari pupuk akan dibebaskansebagai amonia.

Rasio C/N pupuk organik yang paling baik diperoleh pada perlakuan P90S10 yaitu sebesar 12,12 dan telah sesuai dengan standar pupuk organik padat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yaitu berkisar antara 12-25 (Tabel 12), sedangkan untuk perlakuan P70S30 dan P80S20 yang memiliki rasio C/N masing-masing 10,82 dan 10,18 masih dapat digunakan karena telah sesuai dengan rasio C/N tanah yaitu 10-12 (Simanungkalit et al., 2006). Avnimelech & Chen (1986) menambahkan bahwa secara umum rasio C/N bahan organik berkisar antara

42 10-30. Rasio C/N yang kurang dari 20 dapat dijadikan indikasi kematangan dan kestabilan substrat organik sehingga pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah lebih cepat. Namun, nilai rasio tersebut tidak mutlak dijadikan sebagai indikator tingkat kematangan kompos, karena hal tersebut dipengaruhi oleh jenis dan tipe bahan asal yang digunakan untuk pengomposan (Hirai et aI, 1983).

Rendahnya nilai rasio C/N erat kaitannya dengan kandungan C organik dan Nitrogen total. Rasio C/N dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kandungan C organik dalam bahan baku pembuatan pupuk organik. Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan yang memiliki kandungan C yang tinggi.

43

Dokumen terkait