• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Daun Keriting Kuning pada Tanaman Tomat

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, tanaman tomat yang terserang penyakit daun keriting kuning mempunyai beberapa ciri-ciri khas seperti terlihat pada Gambar 1. Daun tomat mengalami klorosis berat sehingga nampak kuning. Daun-daun pucuk berukuran jauh lebih kecil dari normal, sedangkan daun-daun bawah menjadi keriting. Pertumbuhan tanaman sangat terhambat sehingga menjadi kerdil dan umumnya tidak menghasilkan buah. Gejala penyakit daun keriting kuning ini sama dengan yang terjadi di negara lain (Moriones & Navas-Castillo 2000; Ribeiro et al. 2003). Berdasarkan keparahan penyakit yang ditimbulkannya, TYLCV (yang berasosiasi dengan penyakit ini setelah diverifikasi melalui ELISA) yang ada di Indonesia dikategorikan sebagai virus isolat ganas.

Gambar 1 Gejala penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat terinfeksi

Tomato yellowleaf curl virus (TYLCV) [diambil dari daerah endemik di Bogor, Jawa Barat] (kiri); dan imago B. tabaci, serangga vektor TYLCV [panjang ± 1mm, dilihat pada mikroskop stereo dengan perbesaran 1,2x] (kanan)

22

Penyebaran penyakit ini di lapangan terjadi dengan laju yang tinggi (Varma & Malathi 2003; Isakeit et al. 2007) sehingga insiden penyakit menjadi sangat luas bahkan pada beberapa kebun petani yang diamati mengalami kejadian penyakit sampai 100% (Tabel 1). Hal ini tidak mengherankan karena B. tabaci

dapat menularkan TYLCV secara persisten (Morin et al. 2000; Ghanim et al. 2001; Sulandari et al. 2007) dan mempunyai mobilitas yang sangat tinggi (Simon

et al. 2003a). Pada umumnya B. tabaci menyebar di daerah dengan suhu yang agak hangat sampai panas (Simon et al. 2003b). Namun, mungkin karena pengaruh akibat dari pemanasan global, B. tabaci (Gambar 1) saat ini sudah ditemukan di daerah dataran tinggi sampai pada ketinggian 1200 m dpl (Tabel 1) di Jawa Barat dan mungkin juga di daerah lain di Indonesia. Demikian pula penyakit daun keriting kuning juga sudah ditemukan menyerang pertanaman tomat yang ditanam pada daerah dataran tinggi (Tabel 1), mengikuti penyebaran serangga vektornya. Hal yang sama juga sudah dilaporkan oleh peneliti lain (Moriones & Navas-Castillo 2000; Davino et al. 2006; Xie et al. 2006). Peranan penyakit daun keriting kuning dalam budidaya tomat di Indonesia menjadi semakin penting karena semua varietas tomat yang dibudidayakan petani, terutama di daerah Bogor dan Cianjur, diamati rentan terhadap infeksi TYLCV (Tabel 1).

Seiring dengan perkembangan zaman dalam hal budidaya tanaman, berkembangnya sistem tanam tumpang sari antara tanaman tomat dengan cabai, dan kapas dengan palawija, kedelai, kacang hijau, dan terong; penanaman tanaman sejenis dengan pola tanam monokultur yang dilakukan secara terus-menerus; banyaknya tanaman inang yang tersedia di alam; kecepatan atau laju reproduksi yang tinggi; mortalitas telur yang amat rendah; serta penggunaan insektisida kimia sintetis golongan piretroid secara intensif akan memberi peluang semakin meluasnya penyebaran B. tabaci di berbagai sentra pertanian. Dengan demikian, sistem tanam tumpang sari ataupun monokultur, luasnya kisaran inang kutukebul ini, serta sifat-sifat biologinya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan populasi B. tabaci menyebabkan pengendalian serangga vektor ini cukup sulit dilakukan (Indrayani & Sulistyowati 2005)

23

sehingga berdampak besar terhadap meluasnya penyebaran penyakit daun keriting kuning di lapangan.

Tabel 1 Kejadian penyakit daun keriting kuning pada tanaman tomat menurut ketinggian tempat di daerah Bogor dan Cianjur1)

Ketinggian tempat (m dpl) Lokasi pengamatan Kejadian penyakit Kutukebul pengkoloni tomat2) Varietas tomat yang diamati 0 - 200 Parung 43 - 55% B.tabaci Marta 200 – 400 Cibitung,

Cinangneng

24 - 35% B.tabaci Marta 400 - 600 Cipayung 96 - 100% B.tabaci Marta 600 – 800 Megamendung 85 - 100% B.tabaci Marta 800 - 1000 Cisarua, Ciawi,

Tapos

60 - 100% B.tabaci Recento, Tomat sayur 1000 - 1200 Pasir Sarongge 20 - 65% B.tabaci,

T.vaporariorum

Ceri, Marta, Bintang Asia 1200 – 1400 Ciloto, Cibodas 0% T.vaporariorum Marta 1)

Merupakan hasil pengamatan dari 4 - 6 kebun petani tomat pada setiap kriteria ketinggian tempat;

2)

Penentuan spesies kutukebul berdasarkan pengamatan langsung pada ukuran dan/atau cara hinggap imago kutukebul

Eksplorasi TYLCV Isolat Lemah

Secara alami virus tanaman diketahui mengalami mutasi pada laju yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan organisme lain. Hal ini karena virus termasuk entitas yang sangat sederhana dan juga tidak mempunyai mekanisme

proof-reading untuk memperbaiki kesalahan dalam proses replikasinya (Hanley-Bowdoin et al. 2000). Demikian juga varian TYLCV yang tidak menginduksi gejala penyakit daun keriting kuning dapat ditemukan di antara populasi TYLCV isolat ganas di lapangan. Tanaman tomat yang tidak atau hanya memperlihatkan gejala sangat ringan di antara tanaman-tanaman yang bergejala berat merupakan sumber TYLCV isolat lemah. Oleh karena tanaman tomat tanpa gejala penyakit kemungkinan besar sehat (tidak terinfeksi TYLCV isolat lemah), maka untuk

24

mempertinggi kemungkinan mendapatkannya, kegiatan koleksi TYLCV isolat lemah dilakukan pada kebun-kebun tomat yang 80% atau lebih populasi tanamannya memperlihatkan gejala penyakit daun keriting kuning.

Pada penelitian ini, pengumpulan (koleksi) TYLCV isolat lemah dilakukan melalui stek pucuk tanaman tomat karena virus ini tidak dapat ditularkan secara mekanik atau dengan cairan perasan (Morin et al. 2000).

Gambar 2 Penanaman stek pucuk tomat yang mengandung TYLCV isolat lemah dalam media tumbuh dalam tray (kiri) sampai sekitar dua minggu yaitu saat perakarannya sudah mencukupi (tengah) dan kemudian dipindahkan ke dalam pot individu (kanan) untuk selanjutnya ditanam di lapangan

Eksplorasi TYLCV isolat lemah telah dilakukan beberapa kali selama kurun waktu dari bulan Januari sampai Maret 2009 dari beberapa lokasi di daerah Bogor, Cianjur dan Garut dengan jumlah contoh stek mencapai 1.102 stek pucuk dari seluruh individu tanaman tomat yang tidak memperlihatkan gejala penyakit (dapat dilihat pada Tabel 2). Deteksi melalui ELISA menggunakan antiserum TYLCV (Utsunomiya University, Japan) memastikan bahwa 13 stek, dari semua contoh stek yang telah dikoleksi, mengandung TYLCV (Tabel 2). Suatu probabilitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 1,18% untuk mendapatkan TYLCV isolat lemah dari lingkungan alami. Stek-stek tomat yang telah diketahui mengandung TYLCV kemudian ditanam dalam tray selama sekitar dua minggu sampai tumbuh cukup akar untuk dipindahkan ke dalam pot individu dan dipelihara sekitar seminggu lagi untuk kemudian dipindah-tanamkan ke lapangan (Gambar 2).

Untuk mengetahui fenotipe dari setiap isolat TYLCV, maka selama pertumbuhan stek diamati perkembangan kondisi tanaman setiap hari terutama kemunculan gejala penyakit. Pada hari ke 13-15 setelah penanaman, ternyata

25

tujuh stek memperlihatkan gejala penyakit daun keriting kuning (Tabel 2), yang berarti bahwa setiap stek tomat ini mengandung TYLCV isolat ganas dan oleh karenanya tidak digunakan dalam penelitian selanjutnya. Enam stek sisanya tidak menunjukkan gejala penyakit sampai sebulan lamanya dipelihara di lapangan.

Tabel 2 Koleksi tanaman tidak bergejala dari lapangan yang epidemi penyakit keriting kuning di wilayah Bogor dan sekitarnya

Lokasi

pengambilan stek pucuk tomat pada kebun dengan kejadian penyakit daun keriting kuning ≥ 80%

Jumlah stek pada setiap pengambilan sample Stek yang mengandung TYLCV berdasarkan ELISA

Stek yang secara konsisten tidak memperlihatkan gejala penyakit Cisarua Ciloto Megamendung 1 Megamendung 2 Sukagalih 1 Cikajang Taman Nasional Pangrango Sukagalih 2 Megamendung 3 108 144 180 108 144 24 106 126 162 T10, T16, T17, T33, T34, T38, T42, T105, T122, T131, T134, T145, dan T146 T33, T105, T122, T131, T134, dan T146 Total 1.102 13 6

Keenam stek ini mengandung TYLCV isolat lemah (karena tidak menginduksi gejala penyakit) yang bersifat stabil. Keenam isolat tersebut masing-masing diberi nama sebagai TYLCV-T33, -T105, -T122, -T131, -T134 dan -T146 (Tabel 2). Untuk lebih meyakinkan, keenam TYLCV isolat lemah stabil ini dideteksi lagi melalui PCR menggunakan primer spesifik terhadap TYLCV. Seperti yang ditampilkan pada Gambar 3, masing-masing stek tomat tersebut memhasilkan pita PCR berukuran 760 bp yang sesuai dengan desain primer yang digunakan. Dengan demikian sudah dikonfirmasi dengan lebih cermat keberadaan masing-masing isolat TYLCV pada masing-masing stek tomat tersebut. Keenam TYLCV isolat lemah ini kemudian diuji potensi protektifnya terhadap TYLCV isolat ganas.

26

Gambar 3 Pita hasil deteksi dengan PCR menggunakan primer spesifik TYLCV terhadap sample stek no 105, 146, 122, 134, 33 dan 131 (masing-masing pada lajur ke 1, 2, 3, 4, 5 dan 6) dan kontrol positif yaitu contoh stek yang memperlihatkan gejala penyakit daun keriting kuning (pada lajur ke 7). Sedangkan M adalah 1 kb DNA leader

(Qiagen, Germany)

Menurut Torres et al. 1996, ada beberapa faktor yangdapat mempengaruhi keberhasilan isolasi DNA geminivirus, antara lain umur jaringan contoh tanaman; kesegaran contoh daun tanaman yang digunakan; jenis dan tekstur contoh tanaman yang digunakan; lamanya waktu infeksi virus pada contoh tanaman; dan metode isolasi/ ekstraksi DNA yang digunakan. Pada daun tomat terkandung metabolit sekunder dan zat penghambat yang dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi DNA dan menghambat proses amplifikasi DNA dalam reaksi PCR nantinya. Oleh karena itu, setelah diambil dari lapangan, daun tomat harus segera digunakan, dapat juga disimpan dalam lemari pendingin (suhu -80ºC) agar tidak terjadi kerusakan jaringan pada contoh daun yang akan digunakan.

Keberhasilan PCR juga sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (1) deoksiribonukleotida triphosphat (dNTP); (2) oligonukleotida primer; (3) DNA

template (cetakan); (4) komposisi larutan bufer PCR; (5) jumlah siklus reaksi; (6) enzim Taq DNA polymerase; dan (7) kebersihan, adanya kontaminasi alat-alat yang digunakan (Yuwono 2006). Oleh karena itu, pada penelitian ini diperlukan sekali ketepatan volume bahan-bahan pereaksi dan kebersihan alat dan tempat yang digunakan dalam proses amplifikasi DNA sehingga deteksi TYLCV dengan tekhnik PCR dapat berhasil dilakukan.

1 2 3 4 5 6 7 M

27

TYLCV Isolat Lemah Sebagai Agens Pengendali Penyakit Daun Keriting Kuning pada Tanaman Tomat

Setiap TYLCV yang telah diidentifikasi sebagai isolat lemah yang stabil (Tabel 2) yaitu TYLCV-T33, -T105, -T122, -T131, -T134 dan -T146 dianalisa sifat protektifnya terhadap isolat TYLCV yang secara alami menginduksi gejala daun keriting kuning berat (untuk seterusnya disebut TYLCV isolat ganas). Analisa dilakukan dengan menginokulasi stek tanaman tomat yang sudah mengandung TYLCV isolat lemah dengan TYLCV isolat ganas melalui kutukebul

B. tabaci (challenge inoculation). Dalam menginokulasikan TYLCV isolat ganas, jumlah kutukebul yang digunakan sebanyak sepuluh ekor imago untuk memberikan tingkat penularan yang maksimal (Brown & Czosnek 2002) dan tujuan ini telah terlihat dari persentase kemunculan gejala yang mencapai 100% bila stek-stek tomat yang tidak mengandung TYLCV isolat lemah diinokulasi (Tabel 3). Hasil pengujian ini memperlihatkan bahwa tidak semua isolat lemah yang diuji mempunyai sifat protektif terhadap isolat ganas, seperti misalnya dua isolat TYLCV yaitu T105 dan T146 memperlihatkan hasil yang berbeda. Kedua isolat virus ini tidak mempunyai kemampuan perlindungan terhadap stek tomat dan membiarkan lebih dari 70% stek tomat menjadi sakit dengan gejala daun keriting kuning yang parah setelah diinokulasi TYLCV isolat ganas (dapat dilihat pada Tabel 3). Empat isolat lainnya, yaitu TYLCV-T33, -T122, -T131 dan -T134, memperlihatkan kemampuan protektif karena mampu melindungi stek tomat dari infeksi TYLCV isolat ganas dan mencegah kemunculan gejala daun keriting kuning. Fenomena proteksi silang nampak dengan jelas diperlihatkan oleh TYLCV-T33, -T122, -T131 dan –T134 ini (Tabel 3).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu virus dapat dimanfaatkan sebagai agens pelindung adalah: (i) gejala yang diinduksi oleh isolat lemah atau virus strain lemah harus bersifat sistemik, sangat lemah; (ii) tidak mengubah bentuk morfologi tanaman; (iii) mempunyai sifat genetik yang stabil sehingga tidak mudah berubah menjadi strain yang ganas setelah diinokulasi dengan isolat ganas (Hull 2002) dan keempat isolat lemah yang didapat (T33, T122, T131, -T134) dianggap sudah memenuhi ketiga syarat tersebut.

28

Tabel 3 Analisa sifat protektif isolat-isolat lemah TYLCV terhadap inokulasi isolat ganas

Stek tomat mengandung virus isolat lemah

Persentase stek yang memperlihatkan gejala daun keriting kuning setelah diinokulasi TYLCV isolat ganas

Sifat TYLCV isolat lemah terhadap isolat ganas

TYLCV-T33 0/71) (0,00%) Protektif TYLCV-T105 6/7 (85,71%) Tidak protektif TYLCV-T122 0/8 (0,00%) Protektif TYLCV-T131 0/7 (0,00%) Protektif TYLCV-T134 0/7 (0,00%) Protektif TYLCV-T146 5/7 (71,00%) Tidak protektif Tanpa TYLCV 37/37 (100,00%) (Kontrol negatif) 1)

Jumlah stek tomat bergejala setelah diinokulasi TYLCV isolat ganas per jumlah stek yang diinokulasi

Beberapa mekanisme proteksi silang sudah dipostulatkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Contohnya, Goregaoker et al. (2000) dan Hallan & Gafni (2001) menemukan peran penting dari protein mantel (coat protein/ CP) dalam peristiwa proteksi silang. Dikatakan bahwa CP dari virus isolat lemah, yang konsentrasinya sudah tinggi dan dominan dalam sel inang, menyelubungi asam nukleat (RNA atau DNA) virus isolat ganas segera setelah uncoating sehingga tidak ada kesempatan berlangsungnya replikasi. Hasil penelitian Briddon et al. (2004), Saeed et al. (2005) dan Briddon & Stanley (2006) menemukan bahwa

DNA satellite selain dapat mengubah fenotipe isolat virus yang berasosiasi dengannya, juga dapat menghambat proses infeksi isolat lain dalam proteksi silang. Penelitian yang lebih mutahir (Dong et al. 2003; Pooggin et al. 2003; Cui

et al. 2005; Vanitharani et al. 2005; Bisaro 2006) memperlihatkan bahwa proses

gene silencing juga terlibat dalam mekanisme proteksi silang.

Pada interaksi tanaman dengan virus tertentu, lebih dari satu mekanisme mungkin terlibat dalam proteksi silang. Untuk virus-virus yang termasuk dalam kelompok Geminiviridae, termasuk TYLCV ini, telah dilaporkan bahwa beberapa isolatnya mempunyai DNA satellite yang mungkin berperan dalam proteksi silang (Briddon et al. 2004).

Isolat-isolat lemah TYLCV yang sudah dikoleksi pada penelitian ini berasal dari populasi alami. Ini berarti bahwa isolat-isolat virus tersebut sudah melewati dan mampu bertahan dari proses seleksi alam dan umumnya adalah merupakan

29

isolat-isolat yang stabil. Di samping itu, bila isolat lemah ini diaplikasikan sebagai agens pengendali penyakit virus di lapangan juga tidak berarti memasukkan sesuatu yang baru ke dalam ekosistem pertanian. Dibandingkan dengan menggunakan rekayasa genetik, pendekatan pengendalian penyakit virus melalui proteksi silang dengan isolat lemah ini lebih dapat diterima dari segi keamanan lingkungan. Aplikasi TYLCV isolat lemah protektif sebagai agens pengendali penyakit daun keriting kuning dapat dilakukan melalui penginokulasian virus isolat lemah tersebut pada bibit tomat (Tabel 4).

Tabel 4 Tingkat penularan TYLCV isolat lemah protektif pada bibit tomat1) melalui B. tabaci2)

Sumber penularan Persentase bibit tomat terinfeksi TYLCV pada ulangan3) ke-

Persentase bibit tertular

TYLCV4)

1 2 3 4

TYLCV isolat lemah 80,00 86,67 80,00 93,33 85,00 b TYLCV isolat ganas 100,00 100,00 93,33 100,00 98,33 a Tanaman tomat sehat 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 c 1)

Bibit tomat berumur 10 hari setelah disemai; 2)Sejumlah 60 ekor imago B. tabaci

digunakan untuk menularkan TYLCV pada setiap tray bibit tomat; 3)Sejumlah 36 bibit tomat ditanam dalam tray sebagai satu unit perlakuan; 4) angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05)

Untuk dapat menginokulasi TYLCV isolat lemah pada bibit tomat, dengan menggunakan 60 ekor imago B. tabaci dan diberi kesempatan makan inokulasi pada 36 bibit dalam tray yang tertutup (jadi diperkirakan sekitar 2 ekor kutukebul per bibit tanaman). Cara ini ternyata menghasilkan tingkat penularan yang cukup tinggi yaitu 85% (Tabel 4). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Cohen & Lapidot (2007) yang mendapatkan bahwa efisiensi penularan TYLCV melalui 3 ekor imago B. tabaci adalah sekitar 83%. Hasil penularan ini sudah dianggap mencukupi untuk memberikan perlindungan tanaman bila ditanam di lapangan. Perlindungan tanaman tomat melalui virus isolat lemah pada stadia bibit (sebelum ditanam di lapangan) merupakan saat yang tepat karena infeksi TYLCV isolat ganas melalui B. tabaci di lapangan dapat terjadi pada saat tanaman baru ditanam di lapangan (bahkan dapat terjadi di pembibitan bila dilakukan pada tempat terbuka) sampai tanaman tomat dewasa. Pengurangan produksi akan semakin tinggi bila semakin muda tanaman tomat terinfeksi oleh TYLCV isolat ganas.

30

Dokumen terkait