• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persamaan Hubungan Curah Hujan September4Oktober4November (CH SON) dan Awal Musim Hujan (AMH)

Persamaan hubungan curah hujan September<Oktober<November (SON) dan awal musim hujan (AMH) digunakan untuk memprediksi AMH di suatu wilayah jika curah hujan SON diketahui. Persamaan hubungan dibagi menjadi empat wilayah yaitu Jawa Barat Selatan, Jawa Barat Utara, Jawa Tengah< Yogyakarta dan Jawa Timur. Persamaan hubungan ini dapat berbentuk linier ataupun bentuk lainnya. Dalam penelitian ini, penentuan bentuk persamaan berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) tertinggi dari " CH SON dan AMH (Lampiran 4). Dari hasil tersebut diketahui bahwa bentuk persamaan yang terbaik dalam merumuskan hubungan CH SON di Jawa dengan AMH adalah bentuk polinomial orde 2 atau bentuk kuadratik. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang tinggi tidak terjadi di awal (September sampai Oktober) tetapi pada bulan akhir (November) sehingga meskipun secara akumulasi CH SON tinggi tetapi tidak serta merta diikuti majunya AMH. Pengecekan terhadap kenormalan data dilakukan sebelum menentukan persamaan CH SON dan AMH karena salah satu uji asumsi statistika yang harus dipenuhi adalah data berdistribusi normal. Dari empat wilayah tersebut, semua data tidak berdistribusi normal. Selanjutnya data tersebut ditransformasi agar memiliki distribusi normal. Persamaan hubungan CH SON dan AMH dari keempat wilayah mempunyai koefisien determinasi terendah 69% dan tertinggi 86% (Tabel 2).

Tahap selanjutnya adalah melakukan koreksi terhadap data RegCM3. Data RegCM3 terkoreksi digunakan untuk menduga AMH sesuai persamaan hubungan yang telah didapatkan sebelumnya. Persamaan hubungan antara ! CDF data RegCM3 dan data observasi adalah polinomial orde 3 atau kubik. Plot data observasi, RegCM3 awal dan RegCM3 terkoreksi menunjukkan bahwa secara umum data RegCM3 terkoreksi lebih rendah dibandingkan dengan data observasi ( ) (Gambar 6). Oleh karena itu, diperlukan pengujian untuk Tabel 2 Persamaan hubungan antara CH SON dan AMH

Wilayah Persamaan CH SON dan AMH R2

Jawa Barat Selatan

AMHtransform=<0.252800+0.005305*CH<0.000002*CH2 AMH=33.600000<(AMHtransform)2

74%

Jawa Barat Utara AMHtransform=<0.199100+0.009048*CH<0.000008*CH2 AMH=34.686000<(AMHtransform)2 69% Jawa Tengah< Yogyakarta AMHtransform=<0.560900+0.009213*CH<0.000008*CH2 AMH=34.109000<(AMHtransform)2 86%

Jawa Timur AMHtransform=<0.013900+0.006323*CH<0.000004*CH2 AMH=34.286<(AMHtransform)2

menentukan data RegCM3 terkoreksi berbeda signifikan dengan data observasi maupun tidak. Uji yang digunakan adalah uji . Hal tersebut dikarenakan data CH mengikuti sebaran gamma. Hasil uji

menunjukkan bahwa tidak ada alasan yang cukup untuk menolak parameter distribusi CH RegCM3 terkoreksi sama dengan CH observasi. Oleh karena itu, CH RegCM3 dapat digunakan dalam analisis lebih lanjut.

Penentuan Awal Musim Hujan (AMH)

Penentuan awal musim hujan didasarkan pada kriteria BMKG. Menurut BMKG, awal musim hujan adalah saat curah hujan dasarian lebih dari 50 mm diikuti beberapa dasarian berikutnya. Oleh karena itu, peta rata<rata AMH dibuat berdasarkan kriteria tersebut dengan menggunakan tiga data yaitu data curah hujan observasi, data RegCM3 terkoreksi serta gabungan antara data observasi dan RegCM3 terkoreksi (Gambar 7). Pembuatan peta tersebut bertujuan untuk mengetahui peta sebaran awal musim hujan di Pulau Jawa serta membandingkan hasil AMH rata<rata dengan menggunakan data RegCM3 terkoreksi dan gabungan antara data observasi dengan data RegCM3 terkoreksi (data RegCM3 terkoreksi hanya untuk melengkapi data observasi yang tidak ada/kosong). Peta sebaran awal musim hujan data observasi sebagai acuan untuk membandingkan hasil yang terbaik di antara kedua data. Gambar 7 menunjukkan bahwa awal musim hujan paling cepat di Pulau Jawa untuk data observasi pada dasarian ke<26 (dasarian ke< 2 bulan September) dan paling lambat pada dasarian ke<35 (dasarian ke<2 bulan Desember). Data RegCM3 terkoreksi menghasilkan awal musim hujan paling cepat pada dasarian ke<25 (dasarian ke<1 bulan September) dan paling lambat pada dasarian ke<34 (darasian ke<1 bulan Desember). Sementara itu, gabungan data observasi dan data RegCM3 terkoreksi menghasilkan awal musim hujan paling cepat pada dasarian ke<25 (dasarian ke<1 bulan September) dan paling lama pada dasarian ke<34 (darasian ke<1 bulan Desember). Hasil tersebut menunjukkan bahwa AMH hasil data RegCM3 dapat digunakan untuk mewakili data observasi. Semakin ke timur awal musim hujan semakin mundur (Gambar 7). Hal ini disebabkan angin muson baratan (sebagai angin yang bertanggung jawab terhadap datangnya AMH di Jawa) bergerak dari barat menuju timur. Akibatnya, datangnya

Gambar 6 Plot data CH SON observasi (biru), RegCM3 awal (hijau) dan RegCM3 terkoreksi (merah)

AMH di wilayah Jawa bagian barat akan lebih cepat dibandingkan dengan AMH di wilayah Jawa bagian timur. Selain itu, daerah di pantai utara Jawa mempunyai awal musim hujan yang relatif lebih mundur dibandingkan dengan daerah di pantai selatan Jawa. Hal ini terkait topografi Jawa bagian selatan yang mempunyai ketinggian tempat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa bagian utara sehingga Jawa bagian selatan lebih cepat mengalami hujan dibandingkan dengan Jawa bagian utara.

Gambar 7 Perbandingan awal musim hujan rata<rata di Jawa dengan menggunakan data observasi (atas), RegCM3 terkoreksi (tengah), dan gabungan data observasi dan RegCM3 terkoreksi (bawah)

Korelasi Indeks Variabilitas Iklim dan AMH

Indeks variabilitas iklim yang akan dianalisis adalah ENSO dengan berbagai indeks, IOD, ' MJO dan anomali SST sekitar Jawa. ENSO dijelaskan dengan beberapa indeks antara lain SOI dari data pemerintah Queensland; SOI dari data * " (BOM); anomali SST Nino 3; anomali SST Nino 4 dan anomali SST Nino 3.4. Selanjutnya, indeks yang mempunyai korelasi paling besar dan menyebar luas dipilih untuk menyusun model persamaan AMH pada tahap selanjutnya.

Gambar 8, 9 dan 11 menunjukkan warna kebiru<biruan dan warna oranye ketika terjadi korelasi yang nyata (nilai batas +/< 0.26). Warna kebiru<biruan menunjukkan korelasi negatif artinya semakin kecil nilai indeks variabilitas iklim yang digunakan maka awal musim hujan makin mundur (dasariannya makin lama). Sementara itu, warna oranye menunjukkan korelasi positif artinya semakin besar nilai indeks variabilitas iklim yang digunakan maka awal musim hujan makin mundur (dasariannya makin lama). Terlihat pola umum (Gambar 8<12) yaitu korelasi makin kuat seiring dengan semakin dekatnya jarak antara AMH dengan indeks yang digunakan atau "-nya semakin kecil kecuali MJO. Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan korelasi ENSO bulan Juli dan Agustus dan AMH lebih besar dan tersebar luas di Jawa dibandingkan dengan korelasi ENSO bulan Mei dan Juni. Begitu juga dengan Gambar 11 dan 12, korelasi IOD,

dan anomali SST sekitar Jawa bulan Juli dan Agustus lebih besar dan tersebar luas dibandingkan dengan bulan Mei dan Juni. Oleh karena itu, untuk membuat model persamaan AMH hanya digunakan indeks variabilitas iklim bulan Juli dan Agustus tersebut. Selain itu, Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan ENSO dengan indeks berupa anomali SST Nino 3.4 mempunyai korelasi yang tinggi di beberapa tempat di Pulau Jawa dibandingkan dengan indeks lain dalam menjelaskan ENSO. Dengan demikian, indeks yang digunakan untuk menjelaskan ENSO adalah anomali SST Nino 3.4. Secara umum hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin kecil " antara data indeks variabilitas iklim yang digunakan dan waktu terjadinya AMH maka korelasi yang dihasilkan juga semakin besar dan menyebar luas di Pulau Jawa.

Mei Juni Juli Agustus SOI BOM SOI Long Pad< dock

Mei ASST Nino 3 ASST Nino 4 ASST Nino 3.4

Gambar 9 Korelasi AMH dan ENSO

Juni Juli

NSO yang diidentifikasi menggunakan ASST Nino 3, 4 dan 3.4 deng bulan Mei<Juni<Juli<Agustus

Agustus

Gambar 10 Persentase grid yang signifikan dari korelasi AMH dan ENSO

Mei Juni Juli Agustus IOD

MJO

ASST Jawa

Model Persamaan Awal Musim Hujan

Model persamaan AMH berasal dari gabungan data observasi dan data RegCM3 terkoreksi dengan indeks variabilitas iklim bulan Juli dan Agustus. Terdapat perbedaan waktu antara waktu AMH dan waktu indeks variabilitas iklim. Hal ini sebagaimana penelitian Estiningtyas (2007) serta Tresnawati dan Komalasari (2011) bahwa prediksi curah hujan memerlukan " (jeda waktu) antara prediktor dan prediktan. Sementara itu, Hendon (2003) menyebutkan bahwa korelasi negatif yang kuat (sekitar 40%) antara SST Nino 3.4 dengan curah hujan di Indonesia terjadi pada " empat bulan. Dengan demikian,

" antara prediktor dan prediktan diperlukan agar hasil yang diperoleh lebih akurat.

Pulau Jawa diwakili oleh 374 grid sehingga persamaan AMH akan berjumlah 374 persamaan. Persamaan tersebut disusun berdasarkan prediktor berupa indeks variabilitas iklim. Indeks variabilitas iklim yang digunakan adalah ENSO (indeks anomali SST Nino 3.4), IOD, , MJO dan anomali SST sekitar Pulau Jawa. Model persamaan AMH diambil dari model persamaan yang mempunyai nilai ! (VIF) kurang dari 5 (untuk menyatakan tidak terjadi multikolinearitas antar indeks) dan nilai -! tiap prediktor < 0.1 (nilai α < 10%). Penyusunan model persamaan AMH tersebut menghasilkan 31 model persamaan (Tabel 3).

Tabel 3 menunjukkan AMH di sebagian besar wilayah Jawa (71% dan 73%) dipengaruhi oleh ENSO (indeks anomali SST Nino 3.4). Hal ini memperkuat hasil penelitian Aldrian dan Susanto (2003) yang menyatakan selama bulan Juni sampai November daerah dengan pola hujan musiman signifikan dipengaruhi oleh ENSO. Hal tersebut juga memperkuat Hendon (2003) yang menyatakan bahwa curah hujan di Indonesia sekitar 50% dipengaruhi oleh ENSO yang diidentifikasi menggunakan SST Nino 3.4. Tabel 3 juga menunjukkan prediktor lain yang dominan memengaruhi wilayah Jawa yaitu anomali SST sekitar Jawa, IOD dan

. mempunyai pengaruh yang lebih kecil dibandingkan dengan tiga faktor lainnya dikarenakan Jawa merupakan wilayah

Gambar 12 Persentase grid yang signifikan dari korelasi AMH dengan IOD, , MJO dan anomali SST Jawa

dengan tipe hujan monsunal. Hal ini sejalan dengan Tristania (2012) yang menyatakan bahwa mempunyai pengaruh yang besar di wilayah dengan tipe hujan lokal seperti di Ambon tetapi pengaruhnya kecil pada tipe hujan monsunal dan ekuatorial. Oleh karena itu, tahap analisis selanjutnya hanya menggunakan ENSO (indeks Anomali SST Nino 3.4) untuk membuat persamaan

AMH .

Tabel 3 menunjukkan pengaruh MJO terhadap AMH di Jawa tidak terlalu dominan. Hal ini bisa diakibatkan karena adanya " yang terlalu besar dalam penggunaaan indeks MJO sebagai prediktor. Indeks MJO yang digunakan adalah indeks pada bulan Juli dan Agustus. Robertson % (2012) menyebutkan bahwa informasi MJO –dalam hal ini menggunakan OLR< dapat meningkatkan dalam jeda waktu yang lebih singkat. Dalam penelitian tersebut, dinyatakan bahwa OLR (salah satu cara untuk menyatakan MJO) bulan November<Desember (mendekati AMH di Jawa bagian timur) mempunyai yang lebih bagus dibandingkan dengan periode dan wilayah lainnya. AMH di Jawa paling awal sekitar dasarian ketiga September sehingga indeks MJO yang digunakan seharusnya minimal bulan September. Lampiran 5 menunjukkan fase MJO fase 3 dan 4 mempunyai korelasi yang cukup besar (sekitar 32% dan 20%) pada bulan Juni dan September. Fase MJO 4 dan 5 bulan Oktober mempunyai korelasi lebih dari 45% terhadap AMH di Jawa. Sementara itu, Fase MJO 3, 4 dan 5 bulan Oktober mempunyai korelasi sekitar 30% terhadap AMH di Jawa. MJO fase 3 dan 4 bulan Juni kurang efektif digunakan sebagai prediktor AMH karena

"-nya cukup besar terhadap kejadian AMH. Lampiran 5 tersebut memperkuat bukti bahwa MJO mempunyai korelasi yang cukup kuat mendekati terjadinya AMH (bulan September atau Oktober). Akan tetapi ketika memperhitungkan segi pemanfaatan, prediktor MJO bulan September atau Oktober kurang efektif digunakan karena " terjadinya AMH dengan prediktor tidak terlalu besar sehingga hasil prediksi kurang bermanfaat pada tataran pengguna. Hipotesis lain terkait pengaruh MJO yang kecil juga sejalan dengan Hidayat dan Kizu (2009) yang menyatakan pengaruh MJO di daratan seperti di Jawa dan Kalimantan terhadap curah hujan lebih kecil dibandingkan dengan di sekitar lautan seperti di Laut Jawa, Laut Banda dan Samudera Hindia Timur.

Tabel 3 Rekap model persamaan awal musim hujan di Pulau Jawa

Indeks Bulan Juli Indeks Bulan Agustus

Prediktor Jumlah Persamaan nyata(α=10%) Persentase (%) Jumlah Persamaan nyata(α=10%) Persentase (%) ENSO 267 71.39% 273 72.99% IOD 189 50.53% 238 63.64% El Nino Modoki 190 50.80% 210 56.15% SST Jawa 231 61.76% 248 66.31% MJO 15 4.01% 34 9.09% ENSO+IOD 10 2.67% 7 1.87%

ENSO+ El Nino Modoki 81 21.66% 102 27.27%

ENSO+SST Jawa 109 29.14% 74 19.79%

ENSO+MJO 19 5.08% 16 4.28%

IOD+El Nino Modoki 126 33.69% 111 29.68%

IOD+SST Jawa 19 5.08% 19 5.08%

IOD+MJO 2 0.53% 7 1.87%

El Nino Modoki+ SST

Jawa 96 25.67% 57 15.24%

El Nino Modoki+ MJO 31 8.29% 55 14.71%

SST Jawa+MJO 13 3.48% 13 3.48% ENSO+IOD+El Nino Modoki 5 1.34% 3 0.80% ENSO+IOD+SST Jawa 30 8.02% 9 2.41% ENSO+IOD+MJO 1 0.27% 1 0.27% ENSO+El Nino Modoki+SST Jawa 34 9.09% 9 2.41% ENSO+El Nino Modoki+MJO 1 0.27% 0 0.00% ENSO+SST Jawa+MJO 8 2.14% 11 2.94% IOD+El Nino Modoki+SST Jawa 8 2.14% 13 3.48% IOD+El Nino Modoki+MJO 21 5.61% 3 0.80% IOD+SST Jawa+MJO 1 0.27% 0 0.00% El Nino Modoki+SST Jawa+MJO 5 1.34% 3 0.80% ENSO+IOD+El Nino Modoki+SST Jawa 3 0.80% 1 0.27% ENSO+IOD+El Nino Modoki+MJO 0 0.00% 0 0.00% ENSO+IOD+SST Jawa+MJO 2 0.53% 0 0.00% ENSO+El Nino Modoki+SST Jawa+MJO 0 0.00% 1 0.27% IOD+El Nino Modoki+SST Jawa+MJO 2 0.53% 0 0.00% ENSO+IOD+El Nino Modoki+SST Jawa+MJO 0 0.00% 0 0.00%

Pengelompokan Awal Musim Hujan di Jawa

Pengelompokan daerah berdasarkan konstanta dan parameter persamaan AMH bertujuan memudahkan dan menyederhanakan analisis lebih lanjut. Hal ini terkait jumlah grid di Pulau Jawa yang besar yaitu 374 grid. Pengelompokan terdiri atas dua tahap yaitu menentukan jumlah /kelompok yang mewakili dan menentukan metode paling tepat untuk menentukan tersebut.

Penentuan jumlah kelompok dilakukan dengan melihat titik dalam grafik yang mulai naik (Gambar 13). Rekap hasil penentuan jumlah terdapat pada Tabel 4. Hasil yang diperoleh adalah jumlah rata<rata sebanyak tiga (indeks bulan Juli) dan enam (indeks bulan Agustus) .

Tahap selanjutnya adalah menentukan metode yang tepat dengan cara melihat nilai standar deviasi terkecil (Tabel 5). Untuk konstanta regresi persamaan (b0) dan parameter ENSO (b1) jumlah rata<rata dengan nilai standar deviasi terkecil adalah metode . Dengan demikian, secara umum metode yang tepat digunakan adalah metode .

Tabel 4 Rekap Jumlah dengan berbagai metode

Metode Indeks Bulan Juli Indeks Bulan Agustus Langkah ke< Jumlah cluster Langkah ke< Jumlah cluster 5! " 371 3 368 6 # 370 4 368 6 # 372 2 368 6 0 372 2 368 6 370 4 368 6 " 371 3 368 6 1 371 3 368 6

Tabel 5 Jumlah kelompok ( ) dengan standar deviasi konstanta persamaan paling kecil

Metode Jumlah dengan standar deviasi terkecil

Indeks Bulan Juli Indeks Bulan Agustus

b0 b1 b0 b1 ! " 1 1 1 1 1 1 2 1 1 0 1 " 1 1 1 1 2 1 a

(a) Indeks bulan Juli (b) Indeks bulan Agustus Gambar 13 Penentuan jumlah dengan beberapa metode

Gambar 14 menun . # tersebut yang sama/hampir sam ini ENSO <hampir sa Lampiran 6 dan 7. #

Jawa Barat bagian se kecuali Indramayu dan selatan serta 3 indeks bulan A berdekatan kecuali tersebut (Gam sebagaimana dalam p Marjuki (2011). Marjuk berdasarkan kemiripan ZOM berdasarkan cur jenis pengelompokan berdasarkan pengaruh p

Gambar 14 #

AMH inde

menunjukkan hasil pengelompokan sebanyak tersebut merupakan wilayah dengan konstanta pe pir sama, artinya di daerah tersebut pengaruh pred

pir sama. Wilayah dapat dilihat secara

# 1 indeks bulan Juli (Gambar 14 atas) ber ian selatan, 2 menyebar dari Jawa bara yu dan sekitarnya kemudian Jawa Tengah dan Jawa

3 meliputi Jawa Timur bagian utara dan Indram bulan Agustus (Gambar 14 bawah) tidak menunjukka

6 yang meliputi Jawa Barat bagian sel (Gambar 14) tidak menunjukkan daerah ZOM lam pembagian wilayah hujan di Jawa oleh BM . Marjuki (2011) membagi wilayah Jawa menjadi

iripan AMH sedangkan BMKG membagi Jawa an curah hujan. # dalam penelitian ini berbe pokan yang telah disebutkan karena pembentuk

garuh prediktor (ENSO) terhadap AMH di Jawa.

berdasarkan kemiripan konstanta dan param MH indeks bulan Juli (atas) dan Agustus (bawah)

nyak tiga dan enam nta persamaan AMH uh prediktor<dalam hal ecara lengkap pada as) berada di wilayah barat bagian utara n Jawa Timur bagian n Indramayu. Wilayah nunjukkan daerah yang an selatan. # <

OM (Zona Musim) oleh BMKG maupun enjadi 30 kelompok Jawa menjadi 150 ni berbeda dari kedua bentukan ini

Model Persamaan Awal Musim Hujan

Model persamaan AMH ini didapatkan dengan memasukkan ENSO sebagai prediktor dan menggunakan AMH . Model persamaan AMH dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9. Nilai koefisien determinasi dari persamaan yang dihasilkan untuk indeks bulan Juli antara 44% ( 3) dan 50% ( 2) dengan rata<rata sebesar 47% sedangkan untuk indeks bulan Agustus antara 12% ( 3) dan 62% ( 2) dengan rata<rata sebesar 40%. Koefisien determinasi tertinggi adalah 50% untuk indeks bulan Juli dan 62% untuk indeks bulan Agustus artinya 50% dan 62% keragaman AMH dapat dijelaskan oleh prediktor ENSO sedangkan 50% dan 38% di pengaruhi oleh prediktor lain. Sementara itu, rata<rata koefisen determinasinya sebesar 47% (indeks bulan Juli) dan 40% (indeks bulan Agustus) artinya secara rata<rata prediktor ENSO mampu menjelaskan sekitar setengah keragaman AMH di Jawa secara baik. Hal ini memperlihatkan bahwa AMH di Jawa merupakan salah satu unsur iklim yang kompleks dan tidak hanya dapat dijelaskan dengan prediktor tersebut, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi AMH seperti faktor topografi/lokal dan lainnya. Hasil tersebut juga sejalan dengan Hendon (2003) yang menyatakan bahwa curah hujan di Indonesia sekitar 50% dipengaruhi oleh ENSO yang diidentifikasi menggunakan SST Nino 3.4.

Evaluasi Model Menggunakan (ROC)

Evaluasi dilakukan dengan membuat kurva ROC untuk tiap kelompok ( ) AMH maju dari normal dan mundur dari normal (Gambar 15; Lampiran 10 dan 11). Hasil rata<rata kurva ROC untuk tiga dan maka menunjukkan AMH mundur dari normal indeks bulan Juli sebesar 0.83 atau 83% sedangkan indeks bulan Agustus sebesar 0.86 atau 86% dan AMH maju dari normal indeks bulan Juli sebesar 0.84 atau 84% sedangkan indeks bulan Agustus sebesar 0.76 atau 76%. Selain itu, sebaran AMH mundur indeks bulan Juli antara 0.68 sampai 0.95 sedangkan indeks bulan Agustus antara 0.64 sampai 0.95 dan sebaran AMH maju indeks bulan Juli antara 0.80 sampai 0.87 sedangkan indeks bulan Agustus antara 0.52 sampai 0.92 (Gambar 16 dan 17). Hal tersebut menunjukkan bahwa model prediksi indeks bulan Juli mempunyai yang baik untuk menggambarkan awal musim hujan mundur maupun maju dari normal sedangkan model prediksi indeks bulan Agustus lebih baik dalam menggambarkan AMH mundur dari normal dibandingkan dengan maju dari normal. Lebih lanjut dapat dikatakan persamaan AMH indeks bulan Agustus dalam penelitian ini dapat membantu dengan yang lebih baik saat terjadi AMH mundur dibandingkan dengan maju dari normal. Sementara itu, hasil penelitian Marjuki (2011) yang membuat model prediksi AMH di Jawa berdasarkan suhu permukaan laut memperoleh nilai rata<rata AMH mundur dari normal sebesar 68% dan AMH maju dari normal sebesar 71%. Dengan demikian, model prediksi AMH dalam penelitian ini mempunyai rata<rata AMH maju dan mundur lebih baik dibandingkan dengan model prediksi dalam penelitian Marjuki (2011).

(a) (b)

Gambar 15 Contoh hasil kurva ROC di satu kelompok wilayah ( ) (a) AMH mundur dari normal b) AMH maju dari normal

Gambar 16 Peta AMH maju dari normal di Jawa berdasarkan ROC indeks bulan Juli (atas) dan Agustus (bawah)

Validasi Model Persamaan AMH

Hasil validasi dinyatakan tepat jika AMH hasil prediksi menggunakan indeks ENSO bulan Juli dan Agustus sama atau mendekati dengan hasil AMH data observasi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sebagian atau seluruh nilai AMH berada di sekitar garis ". Gambar 18 menunjukkan AMH prediksi menggunakan indeks bulan Juli (atas) maupun agustus (bawah) terhadap AMH observasi sebagian besar (75% dan 71%) berada sekitar garis ". Hal tersebut menunjukkan AMH prediksi 75% dan 71% sama atau berbeda dengan beda maksimal 1 dasarian (10 hari) terhadap AMH observasi. AMH pada 3 indeks bulan Agustus (Gambar 18 bawah) paling banyak berada di luar garis

" atau dengan kata lain beda AMH prediksi dengan AMH observasi di

3 tersebut lebih dari 1 dasarian (10 hari). Hal ini dimungkinkan karena nilai koefisien determinasi persamaan AMH yang kecil (12%) pada 3. Hal tersebut menunjukkan keragaman AMH 3 kurang mampu dijelaskan oleh ENSO. Kemungkinan di tersebut faktor lain seperti topografi lebih dominan mempengaruhi keragaman AMH dibandingkan dengan ENSO. Secara umum, AMH prediksi terhadap AMH observasi tahun 2002 sampai 2005 baik menggunakan indeks bulan Juli maupun Agustus menunjukkan hasil yang cukup baik dengan beda ketepatan prediksi maksimal 1 dasarian (10 hari) lebih dari 70%.

Gambar 17 Peta AMH mundur dari normal di Jawa berdasarkan ROC indeks bulan Juli (atas) dan Agustus (bawah)

Prediksi AMH Tahun 2014

Prediksi AMH tahun 2014 menggunakan data ASST Nino 3.4 prediksi dikarenakan data observasi oleh penyedia data terjadi pada awal Agustus (untuk indeks bulan Juli) dan September (untuk indeks bulan Agustus). Data prediksi ASST Nino 3.4 menggunakan 29 sumber yang dapat diperoleh dari

$ # (IRI).

Tabel 6 dan 7 menunjukkan AMH tahun 2014 di Jawa yang dibangun berdasarkan indeks bulan Juli cenderung sama dengan normal ( 1 dan 2). Meskipun diprediksi terjadi El Nino kemungkinan bukan El Nino kuat

Gambar 18 Hasil AMH prediksi dan observasi tahun 2002 sampai 2005 indeks bulan Juli (atas) dan Agustus (bawah)

sebagaimana tahun 1997 sehingga kecenderungan AMH di Jawa masih sama dengan rata<rata normal. Sementara itu, 29 model prediksi ASST Nino 3.4 bulan Juli, 17 dari 29 model atau 59% menyatakan 1 mempunyai AMH sama dengan normal, seluruh model menyatakan 2 mempunyai AMH sama dengan normal dan 27 dari 29 model atau 93% menyatakan 3 mempunyai AMH mundur dari normal. Tabel 10 dan 11 menunjukkan AMH tahun 2014 di Jawa yang dibangun berdasarkan indeks bulan Agustus cenderung seimbang antara AMH mundur dari normal dan AMH sama dengan normal, tetapi kecenderungan AMH mundur dari normal lebih besar dibandingkan dengan AMH sama dengan normal berdasarkan jumlah grid dalam ( 1, 2 dan 6). Sementara itu, 29 model prediksi ASST Nino 3.4 bulan Agustus, 24 dari 29 model atau 83% menyatakan 1 mempunyai AMH mundur dari normal, 27 dari 29 model atau 93% menyatakan 2 mempunyai AMH mundur dari normal, seluruh model menyatakan 3 mempunyai AMH sama dengan normal, 23 dari 29 model atau 79% menyatakan 4 mempunyai AMH sama dengan normal, seluruh model menyatakan 5 mempunyai AMH sama dengan

Dokumen terkait