• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase Mortalitas Larva yang Terparasit S. inferens

Data pengamatan persentase mortalitas larva yang terparasit S. inferens

dari hasil analisis sidik ragam, dapat dilihat bahwa perlakuan inokulasi S. inferens

pada masing-masing larva pada pengamatan 7-17 hari setelah inokulasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas masing-masing larva serangga. Untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata dapat di lihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Beda uji rataan pengaruh inokulasi parasitoid S. inferens terhadap mortalitas larva uji pada pengamatan 7-17 hsi

Perlakuan

Mortalitas (%)Larva yang Terinfeksi

S. inferens

7 hsi 9 hsi 12 hsi 15 hsi 17 hsi A1 0.00 b 0.00 b 6.67 b 58.33a 78.33a A2 0.00 b 0.00 b 0.00 c 0.00 c 0.00 c A3 11.67 a 16.67 a 25.00 a 25.00 b 25.00 b A4 0.00 b 0.00 b 0.00 c 0.00 c 0.00 c

Keterangan: Angka yang diikuti notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

Hsi : hari setelah inokulasi.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada pengamatan 7 hari setelah inokulasi mortalitas larva tertinggi terdapat pada perlakuan A3 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada C. auricilius) yaitu sebesar 11,67% sedangkan pada pengamatan 17 hari setelah inokulasi, terlihat adanya perbedaan mortalitas larva yaitu mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan A1 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada P. castanae ) sebanyak 78,33% dan terendah pada

perlakuan A2 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada

E. thrax) sebanyak 0% hal ini menunjukkan bahwa parasitoid S. inferens lebih

efektif memarasit larva P. castanae daripada larva C. sacchariphagus,

C. auricilius dan E. thrax dikarenakan P. castanae adalah inang utama dari

S. inferens yang merupakan lalat parasit lokal yang mempunyai peranan yang cukup besar dalam penekanan populasinya. Saragih, dkk (1982) menyatakan bahwa pengamatan terhadap musuh alami yang dilakukan pada tahun 1979 menunjukkan adanya parasit Tachinidae yang menyerang larva penggerek P. castanae dan diidentifikasi sebagai S. inferens.

Dari Tabel 1 diketahui bahwa S. inferens tidak mampu memarasit

C. sacchariphagus dan E. thrax hal ini dapat dilihat pada pengamatan 17 hari setelah inokulasi pada perlakuan A2 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens

pada C. sacchariphagus) dan A4 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens

pada E. thrax) sebesar 0%. Hal ini disebabkan adanya reaksi dari inang untuk melindungi diri saat terjadi pemarasitan. Verly, dkk (1973) menyatakan adanya fase aktif dari inang menyebabkan adanya reaksi untuk melindungi diri saat terjadi pemarasitan. Inang secara aktif dapat mengelak atau menolak serangan parasitoid dengan cara menggeliatkan badannya dan sebagainya. Adanya aksi pasif berupa kerasnya exoskeleton, adanya enzim pada inang yang meracuni parasitoid, dan adanya proses encapsulasi sehingga parasitoid akan mati dan tidak mampu memarasit inang.

Beda rataan mortalitas larva yang terparasit S. inferens pada setiap waktu pengamatan dapat dilihat pada diagram:

Waktu pengamatan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

7 hsi 9 hsi 12 hsi 15 hsi 17 hsi

% M o r t al it a s L a r v a Y a n g T e r p a r as it A1 A2 A3 A4

Gambar 24. Diagram garis pengaruh inokulasi parasitoid S. inferens terhadap mortalitas larva uji pada setiap waktu pengamatan.

Waktu Kematian Larva yang Terparasit S. inferens

Hasil pengamatan rata-rata dan analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dari parasitoid S. inferens memberi pengaruh nyata terhadap masing- masing larva serangga. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2:

Tabel 2. Beda uji rataan waktu kematian larva yang terparasit S. inferens pada pengamatan 1-21 hsi.

Perlakuan Rataan (hari)

A1 12.67 a

A2 0 b

A3 8.67 a

A4 0 b

Keterangan: Angka yang diikuti notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

Dari Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan A1 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada P. castanae ) dan A3 (diinokulasikan 2 ekor tempayak

S. inferens pada C. auricilius) berbeda nyata terhadap perlakuan A2 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada C. sacchariphagus) dan A4

(diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada E. thrax) yang menunjukkan bahwa S. inferens memiliki efektivitas terhadap waktu kematian larva P. castanae

dan C. auricilius terhadap larva C. sacchariphagus dan E. thrax. Hal ini berarti perlakuan larva C. sacchariphagus dan E. thrax tidak dapat mati dan terparasit oleh S. inferens. Verly, dkk (1973) menyatakan bahwa tidak semua inang mati, tetapi dengan adanya fase aktif dari inang dalam usaha pengembangan musuh alami menyebabkan adanya reaksi dari inang untuk melindungi diri saat terjadi pemarasitan.

Dari Tabel 2 diketahui bahwa waktu kematian larva yang terparasit pada perlakuan A1 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada P. castanae ) sebesar 11,67% tidak berbeda nyata terhadap perlakuan A3 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada C. auricilius) yaitu sebesar 8,67% hal ini disebabkan karena larva S. inferens atau tempayak masing-masing diletakkan dekat lubang gerek, yang kemudian akan memasuki lorong gerek untuk mendapatkan inang dan masuk kedalam tubuh inang. Didalam tubuh inang, tempayak akan menyerap cairan atau nutrisi sebagai bahan makanan untuk menyelesaikan perkembangannya. Biasanya inang akan mati menjelang saat tempayak menjadi pupa. Ditjenbun (2011) menyatakan bahwa lalat S. inferens apabila telah menemukan inangnya akan bergerak menuju sela-sela diantara ruas-ruas tubuh larva inang dan kemudian masuk kedalam tubuh inang dan mengalami perkembangan dengan menghisap cairan tubuhnya dan biasanya inang akan mati menjelang saat tempayak menjadi pupa.

Gejala Serangan Larva Yang Terparasit S. inferens

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, S. inferens merupakan inang utama dari larva P. castanae yang menyebabkan larva terparasit dan mati. Gejala serangannya diawali dengan adanya titik hitam pada tubuh larva yang merupakan bekas masuknya tempayak ke dalam tubuh larva/inang (Gambar 26a.). Karena apabila tempayak telah menemukan inangnya akan bergerak menuju sela- sela di antara ruas-ruas tubuh larva inang dan kemudian masuk ke dalam tubuh inang hal ini sesuai dengan pernyataan Ditjenbun (2011). Kemudian setelah beberapa hari larva akan mengalami penurunan aktivitas. Hal ini disebabkan tempayak yang berada di dalam tubuh larva mengalami perkembangan dengan menghisap cairan tubuhnya sehingga larva menjadi lemas/tidak aktif bergerak. Lama kelamaan larva akan mati, tubuhnya menjadi lunak dan terlihat adanya perubahan warna tubuh yang menjadi kusam dan berubah menjadi warna coklat agak gelap (Gambar 26b.). Tempayak yang telah menjadi pupa akan keluar dengan sendirinya dari tubuh inang (Gambar 26c.).

Gambar 26. Gejala Serangan S. inferens terhadap P. castanae

(a. terdapat titik hitam pada tubuh larva, b. Perubahan warna menjadi coklat agak gelap, c. keluarnya pupa S. inferens dari tubuh larva)

a

Pada penelitian yang telah dilakukan, S. inferens mampu memarasit larva

C. auricilius yang memiliki gejala serangan yang hampir sama yaitu ditandai dengan adanya titik hitam pada tubuh larva yang merupakan bekas masuknya tempayak ke dalam tubuh larva/inang (Gambar 27a.). Setelah beberapa hari larva yang telah terparasit akan mengalami penurunan aktivitas dimana larva tidak aktif lagi bergerak. Tempayak yang berada di dalam tubuh larva mengalami perkembangan dengan menghisap cairan tubuh inang. Tempayak yang berkembang dalam tubuh larva dapat terlihat bergerak bebas dan terkadang muncul pada permukaan kulit inang yang terlihat berwarna putih susu atau kream hal ini sesuai dengan pernyataan Sunaryo, dkk (1988). Lama kelamaan larva akan mati dan tubuh larva juga mengalami perubahan warna dimana sebagian tubuh berwarna kehitaman dan sebagian lagi berwarna agak putih susu atau kream yang dikarenakan adanya tempayak yang telah berkembang di dalam tubuh larva (Gambar 27b.). Dan menjelang inang akan berubah menjadi kepompong, pupa

S. inferens akan segera keluar dari tubuh inang (Gambar 27c.).

Gambar 27. Gejala Serangan S. inferens terhadap C. auricilius

(a. terdapat titik hitam pada tubuh larva, b. sebagian tubuh berubah warna menjadi kehitaman dan putih susu/kream, c. keluarnya pupa S. inferens dari tubuh larva)

Jumlah Pupa dan Imago S. inferens

Hasil pengamatan menyatakan bahwa jumlah pupa dan imago S. inferens

sama yaitu berbeda nyata terhadap masing-masing perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3:

Tabel 3. Data jumlah pupa dan imago S. inferens pada pengamatan 1-21 hsi.

Keterangan: Angka yang diikuti notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

Dari Tabel 3 diketahui bahwa jumlah pupa dan imago S. inferens sama yaitu tertinggi terdapat pada perlakuan A1 (diinokulasikan 2 ekor tempayak

S. inferens pada P. castanae) sebanyak 78,33% sedangkan yang terendah terdapat

pada perlakuan A2 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada

C. sacchariphagus) dan A4 (diinokulasikan 2 ekor tempayak S. inferens pada

C. sacchariphagus) sebanyak 0% hal ini dikarenakan S. inferens lebih efektif memarasit P. castanae sehingga tempayak dapat berkembang menjadi pupa dan

c Perlakuan Jumlah A1 47 a A2 0 c A3 70 b A4 0 c Keterangan : A1 : P. castanae Hubner. A2 : C. sacchariphagus Bojer. A3 : C. auricilius Dudgeon. A4 : E. thrax L.

pembentukan pupa juga dipengaruhi oleh daya parasitasi tempayak dimana semakin rendah/tinggi daya parasitasinya maka semakin rendah/tinggi pula pupa yang terbentuk, karena untuk dapat membentuk pupa seekor tempayak harus dapat memarasit inang untuk dapat hidup. Hal ini ditegaskan oleh Verly, dkk (1973) yang menyatakan bahwa tempayak yang memperoleh makanan yang cukup dapat menyelesaikan perkembangannya, sedangkan yang tidak mendapatkan makanan akan mati.

Jumlah imago dan pupa S. inferens sama dikarenakan banyaknya jumlah

pupa yang terbentuk. Selain itu, suhu juga dapat mempengaruhi daur hidup

S. inferens sehingga dalam pemeliharaan pupa, bila suhu tidak sesuai maka mempengaruhi persentase imago yang muncul. Ditjenbun (2011) menyatakan bahwa di India, daur hidup S. inferens di laboratorium pada suhu 29,50 ˚C berkisar antara 30 – 42 hari, tetapi di Lampung (PT. Gunung Madu Plantations) daur hidup lalat S. inferens adalah sekitar 22 – 32 hari.

Sex Rasio

Hasil pengamatan menunjukan bahwa sex rasio betina dan jantan

S. inferens berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5: Tabel 5. Sex rasio betina dan jantan S. inferens

Perlakuan Jumlah Betina Jantan A1 20 a 27 a A2 0 c 0 c A3 6 b 9 b A4 0 c 0 c

Keterangan: Angka yang diikuti notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

Dari hasil percobaan didapatkan bahwa jumlah imago S. inferens betina dan jantan dari inokulasi terhadap P. castanae masing-masing 20 ekor dan 27 ekor. Dan inokulasi terhadap C. auricilius diperoleh jumlah imago S. inferens

betina dan jantan masing-masing 6 ekor dan 9 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah imago jantan lebih besar daripada imago betina, yang ditegaskan oleh Saragih, dkk (1986) yang menyatakan bahwa perbandingan imago jantan dan imago betina 1,13 : 1, yang menunjukkan bahwa lalat jantan lebih banyak daripada lalat betina. Hal ini disebabkan oleh persaingan makanan karena bila makanan cukup tersedia maka kedua jenis kelamin mempunyai peluang yang sama untuk menjadi dewasa. Tempayak lalat jantan dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan makanan yang lebih sedikit.

Beda rataan sex rasio jantan dan betina S. inferens dapat dilihat pada gambar: 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 S e x R a s io A0 A1 A2 A3 Perlakuan Beti na Jantan

Dokumen terkait