• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Lingkungan Pemeliharaan dan Kandang Pengawinan

Berdasarkan hasil pengamatan selama pemeliharaan ngengat sampai penetasan telur, suhu di dalam ruangan berkisar antara 26-29,5 oC dengan kelembaban 50-78%. Rataan suhu dan kelembaban ruangan selama proses pengawinan ngengat dan penetasan telur selama pagi, siang dan sore hari disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ruangan Pengawinan Ngengat dan Penetasan Telur

Perkawinan Ngengat Penetasan Telur

Waktu Suhu (oC) RH (%) Suhu (oC) RH (%) Pagi 27,07 69,07 27,66 70,58 Siang 28,57 65,28 28,62 64,20 Sore 28,21 60,42 28,58 62,62 Rataan 27,95 64,93 28,29 65,80

Masing-masing fase perkembangan A. atlas mempunyai suhu optimal yang berbeda-beda. Suhu yang ideal untuk perkawinan dan penetasan telur ngengat A. atlas adalah 26-29 oC dan 22-24 oC, sedangkan kelembaban ideal berkisar antara 68-70% (Awan, 2007). Suhu penetasan telur pada penelitian ini cukup tinggi (27-29,5oC) serta memiliki kelembaban yang rendah (54-78%). Kelembaban harian pada penelitian ini berfluktuatif yang ditunjukkan dengan nilai simpangan baku yang tinggi (Lampiran 2) sehingga tidak optimal untuk penetasan telur A. atlas.

Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pakan larva cepat layu sehingga larva tidak mau makan dan terjadi peningkatan metabolisme. Kelembaban yang tinggi menyebabkan sayap imago menjadi cacat sehingga tidak bisa terjadi kopulasi dan akan meningkatkan pertumbuhan mikroba patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera (Awan, 2007).

Masing-masing kandang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kandang kasa, plastik dan kardus memiliki volume berturut-turut adalah 62.400 cm3, 13.949 cm3 dan 15.840 cm3. Kandang kasa pada setiap sisinya dilapisi oleh kain kasa sehingga sirkulasi udara lancar dan pencahayaan baik. Kandang plastik memiliki

kondisi yang cukup terang, tetapi sirkulasi udaranya kurang baik. Kandang kardus memiliki kondisi yang gelap tetapi sirkulasi udaranya cukup lancar.

Jumlah Telur per Induk

Jumlah telur per induk sering kali menjadi tujuan dalam pembibitan dan bahkan menjadi acuan faktor keberhasilan suatu usaha budidaya. Rataan jumlah telur per induk dari masing-masing jenis kandang dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Jumlah Telur per Induk pada Kandang Pengawinan

Jenis Kandang Jumlah Telur KK

Kasa Plastik Kardus (butir/induk) 118,3 176,7 184,7 (%) 45,04 24,58 23,46 Rataan 159,89 32,10

Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%) R2= 16,44%

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina tidak dipengaruhi oleh jenis kandang. Rataan jumlah telur A. atlas pada kandang kasa, plastik dan kardus berturut-turut adalah 118,3; 176,7 dan 184,7 butir dengan rataan 159,89 butir. Pengaruh faktor kandang terhadap jumlah telur per induk cukup rendah seperti yang tampak pada nilai R2 yang rendah yaitu sebesar 16,44%. Jumlah telur nampaknya lebih dipengaruhi oleh lingkungan pemeliharaan dan pakan (Awan, 2007; Nazar, 1990). Pada penelitian Awan (2007) telur yang dihasilkan oleh ngengat keturunan pertama (F1) yang telah dipelihara di dalam ruangan adalah 182,50±26,72 butir/ekor dan keturunan kedua (F2) sebesar 193,87±29,28 butir/ekor. Penelitian Awan (2007) tersebut menggunakan pakan yang sama (daun teh) dan asal ulat sutera yang sama (Purwakarta), bahkan kondisi temperatur yang tidak jauh berbeda (26-29 oC) dengan penelitian ini. Nazar (1990) melaporkan bahwa rataan jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat adalah 286 butir. Penelitian tersebut dilakukan di daerah Solok, Sumatera Barat dengan menggunakan tanaman cengkeh sebagai pakan. Rataan jumlah telur yang berbeda

antara Nazar (1990) dan penelitian ini mengindikasikan bahwa pakan dan genetik berpengaruh terhadap jumlah telur.

Meskipun setiap induk dalam penelitian ini menghasilkan rataan jumlah telur yang tidak berbeda nyata, jumlah telur yang diletakkan pada setiap hari oviposisi berbeda-beda. Data jumlah telur selama lima hari oviposisi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Jumlah Telur pada Oviposisi Hari Pertama Sampai Kelima Gambar 4 menunjukkan bahwa puncak produksi telur pada kandang kasa dan kardus terjadi pada oviposisi hari pertama masing-masing yaitu 75,38% dan 32,41%, kemudian mengalami penurunan pada hari kedua dan ketiga. Kandang plastik mengalami puncak produksi telur pada oviposisi hari kedua yaitu 33,86% dan selanjutnya produksi terus menurun.

Tabel 3 menunjukkan persentase jumlah telur yang dioviposisikan pada hari pertama dan kedua serta persentase akumulasi jumlah telur sampai hari kedua oviposisi pada setiap jenis kandang pengawinan.

(7,47) (17,15) (75,38) (9,04) (14,65) (15,95) (26,48) (33,86) (19,20) (18,23) (30,16) (32,41) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5

Oviposisi Hari ke-Jumlah Telur (%)

Kasa Plastik Kardus

Tabel 3. Rataan Persentase Jumlah Telur Hari Oviposisi Pertama dan Kedua Serta Persentase Akumulasi Jumlah Telur

Jenis Kandang Oviposisi Hari I KK Oviposisi Hari II KK Akumulasi Telur KK Kasa (%) 75,38B (%) 14,96 (%) 17,15 (%) 50,02 (%) 92,53 (%) 13,98 Plastik 26,48A 63,88 33,86 37,04 60,3 48,80 Kardus 32,41A 40,45 30,16 46,63 62,6 36,86 Rataan - - 27,06 47,47 71,81 35,06

Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

R2 Oviposisi hari I, II dan Akumulasi Telur= 71,33%; 13,39% dan 17,64%

Analisis ragam terhadap rataan persentase jumlah telur hanya dilakukan untuk data oviposisi hari pertama dan kedua karena akumulasi telur di kandang kasa telah mencapai 90% pada hari kedua. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis kandang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase jumlah telur pada oviposisi hari pertama. Persentase jumlah telur pada kandang kasa sangat nyata lebih tinggi (75,38%) dibandingkan dengan kandang kardus (32,41%) dan plastik (26,48%), dimana hasil kedua yang terakhir tidak berbeda. Persentase jumlah telur oviposisi hari pertama pada kandang kasa lebih seragam dengan koefisien keragaman kandang kasa lebih rendah (14,96%) dibandingkan kandang kardus (40,45%) dan plastik (63,88%). Pengaruh faktor kandang terhadap persentase jumlah telur cukup besar seperti yang tampak pada nilai R2 yang cukup tinggi yaitu 71,33%.

Bahan dan ukuran kandang tampaknya mempengaruhi tingkah laku ngengat untuk bertelur. Kandang kasa yang memiliki ukuran yang lebih luas sehingga ngengat lebih banyak mengoviposisikan telurnya pada hari pertama. Lagipula kandang kasa memberikan suasana seperti dialam (sirkulasi udara lancar) dan kondisi terang dibandingkan dengan kandang plastik (semi tertutup) dan kardus (semi tertutup). Marson (2005) menyatakan bahwa ngengat A. atlas lebih menyukai kawin dalam kondisi diluar ruangan dengan pencahayaan yang baik. Selain itu, kandang kasa merupakan tempat awal penyimpanan kokon sebelum ngengat ditempatkan ke dalam masing-masing perlakuan kandang pengawinan sehingga mungkin menyebabkan kondisi stress lingkungan yang mengakibatkan rendahnya persentase jumlah telur pada hari pertama di kandang plastik dan kardus.

Sebaliknya, jumlah telur yang dioviposisikan hari kedua pada semua jenis kandang tidak berbeda nyata, dengan rataan 27,06%. Hal ini disebabkan ngengat di kandang kasa pada hari pertama sudah mengeluarkan sekitar 3/4 bagian dari potensi produksi telurnya. Selain itu nilai R2 nya juga sangat rendah (13,39%) yang mengindikasikan ada faktor lain (misalnya, faktor individu) yang mempengaruhi jumlah telur, terutama di kandang kasa yang memiliki koefisien keragaman sebesar 50,02%. Data hasil pengamatan pada hari kedua ada ngengat yang menghasilkan tujuh butir telur sehingga mengakibatkan nilai koefisien keragaman menjadi tinggi.

Jumlah telur yang dioviposisikan pada hari pertama sangat berbeda, tetapi pada akumulasi jumlah telurnya tidak berbeda dengan rataan 71,81%. Walaupun tidak berbeda, koefisien keragaman kandang kasa lebih kecil (13,98%) dibandingkan dengan kandang kardus (36,86%) dan plastik (48,80%). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah telur pada perlakuan kandang kasa lebih dapat diprediksi. Semakin kecil nilai koefisien keragaman maka kondisi percobaan semakin homogen dan sebaliknya. Nilai koefisien keragaman yang besar (lebih dari 40%) dan nilai R2 yang rendah (17,64%) mengindikasikan ada faktor lain selain pengaruh perlakuan yang menyebabkan heterogenitas kondisi percobaan (Hanafiah, 2005).

Waktu Peletakan Telur

Waktu peletakan telur dapat juga disebut masa bertelur ngengat betina. Telur-telur A. atlas diletakkan oleh induk secara berkelompok. Jenis kandang yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap waktu peletakan telur, seperti yang disajikan pada Tabel 4. Kandang kasa memiliki waktu oviposisi yang lebih cepat (2,33 hari) dibandingkan dengan kandang plastik (4,33 hari), tetapi kandang kardus (3,67 hari) memiliki waktu oviposisi yang tidak berbeda nyata dengan kandang kasa dan plastik.

Tabel 4. Rataan Waktu Peletakan Telur

Jenis Kandang Rataan KK

Kasa Plastik Kardus (hari) 2,33 a 4,33 b 3,67 ab (%) 24,74 13,32 15,75 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

Menurut Awan (2007) masa bertelur ngengat berkisar antara 2 sampai 10 hari sedangkan pada penelitian ini berkisar dari 2 sampai 5 hari. Perbedaan waktu oviposisi ngengat betina pada jenis kandang yang berbeda ini tidak diketahui apakah dikarenakan oleh perbedaan bahan atau luasan kandang, sehingga perlu penelitian lebih lanjut dengan luasan kandang yang sama. Ukuran setiap jenis kandang yang berbeda-beda dalam penelitian ini mungkin mempengaruhi tingkah laku peletakan telurnya. Ngengat A. atlas di alam meletakkan telur-telurnya secara berkelompok di atas permukaan daun (Kalshoven, 1981). Ukuran kandang kasa lebih luas dibandingkan dengan kandang kardus dan plastik sehingga ngengat lebih leluasa meletakkan telurnya dengan jumlah kelompok telur yang lebih banyak berdasarkan hasil pengamatan pada kandang kasa.

Ngengat yang berada di dalam kandang kasa memiliki persentase jumlah telur yang lebih tinggi pada awal masa bertelur sehingga waktu bertelurnya lebih singkat. Tampaknya pola peletakan telur berhubungan dengan lamanya masa bertelur. Dengan jumlah telur yang tidak berbeda, semakin banyak telur yang dioviposisikan diawal masa bertelur maka akan memperpendek masa bertelur.

Dalam budidaya ternak, manajemen perkandangan merupakan salah satu hal yang penting karena berhubungan dengan efisiensi tenaga kerja dan waktu. Waktu peletakan telur ngengat di kandang kasa relatif singkat dan siklus hidup ngengat akan lebih cepat sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga kerja.

Bobot Telur

Sistem perkawinan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada bobot telur (Endrawati, 2005). Telur dari ngengat A. atlas berwarna putih kehijauan dan dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga coklat. Musim berkembang biak A. atlas dapat terjadi sepanjang tahun (Peigler, 1989) sehingga ketersediaan telur dapat dipenuhi sepanjang tahun. Hasil pengamatan terhadap bobot telur disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Bobot Telur Oviposisi Hari Pertama, Kedua dan Bobot Total Jenis Kandang Oviposisi Hari I KK Oviposisi Hari II KK Rataan Bobot Total KK Kasa Plastik Kardus (mg) 6,63b 5,44a 5,94ab (%) 2,44 4,72 11,11 (mg) 5,92 5,98 5,56 (%) 8,12 12,57 12,75 (mg) 6,37 5,86 5,77 (%) 8,19 10,74 10,22 Rataan - - 5,82 10,35 5,94 10,44

Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

R2Oviposisi Hari I= 55,96% R2 Oviposisi Hari II= 10,58% R2 Rataan Bobot Total= 8,56%

Tabel 5 menunjukkan bahwa bobot telur pada oviposisi hari pertama dipengaruhi secara nyata (P<0,05) oleh jenis kandang. Kandang kasa memiliki rataan bobot telur oviposisi hari pertama yang nyata lebih tinggi (6,63 mg) dibandingkan dengan kandang plastik (5,44 mg), tetapi kandang kardus memiliki bobot telur yang tidak berbeda nyata (5,94 mg) dengan kandang kasa dan plastik. Nilai R2 pada bobot telur di oviposisi hari pertama cukup rendah yaitu sebesar 55,96% yang berarti 44,04% dipengaruhi oleh faktor lain yaitu pakan. Bobot telur yang tinggi dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dimakan pada saat fase larva karena pada fase imago A. atlas tidak makan. Kualitas dan kuantitas pakan yang rendah akan mempengaruhi berbagai proses fisiologis serangga sehingga dapat menurunkan tingkat kesuburan pada imago yang mengakibatkan produksi telur sedikit dengan mutu kurang baik (Chapman, 1969).

Bobot telur pada oviposisi hari kedua tidak dipengaruhi oleh jenis kandang, dengan rataan 5,82 mg dan rataan koefisien keragaman sebesar 10,35%. Begitu pula dengan bobot telur total tidak dipengaruhi oleh jenis kandang pengawinan. Bobot telur berkisar antara 5,00-6,92 mg dengan rataan 5,94 mg dan rataan koefisien keragaman sebesar 10,44%. Menurut Chapman (1969), spermatophore pada sperma ngengat jantan mengandung protein dan asam amino sehingga dapat menambah bobot telur. Oleh karena itu, bobot telur cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor genetik. Bobot telur yang tidak berbeda juga dikarenakan pakan dan asal ngengat sama yaitu dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.

Daya Tetas Telur

Proses penetasan merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam budidaya A. atlas. Keberhasilan dalam penetasan salah satunya digambarkan oleh daya tetas yang tinggi. Hasil penyajian secara deskriptif pada persentase penetasan telur menjadi larva instar satu pada masing-masing kandang pengawinan dapat dilihat pada Gambar 5. Daya tetas dihitung sampai hari oviposisi ketiga karena pada hari berikutnya tidak ada telur yang menetas.

41,69% 1,32% 0% 10,98% 2,26% 0% 0% 0,38% 0% 52,68% 3,96% 0% 0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% Daya Tetas (%) 1 2 3 Total

Hari Oviposisi ke-Kasa Plastik Kardus

Gambar 5. Persentase Daya Tetas pada Kandang Kasa, Plastik dan Kardus Daya tetas di kandang kasa lebih tinggi daripada kandang plastik dan kardus pada oviposisi hari pertama (41,69%) dan kedua (10,98%), tetapi pada hari ketiga tidak ada telur yang menetas. Hal ini menunjukkan bahwa pada kandang kasa terjadi perkawinan dan sperma efektif membuahi pada oviposisi hari pertama dan kedua. Total daya tetas di kandang kasa (52,68%) lebih tinggi daripada plastik dan kardus. Hasil perhitungan korelasi menunjukkan bahwa daya tetas berkorelasi positif dengan bobot dan jumlah telur dengan nilai koefisien korelasi masing-masing adalah 0,667 dan 0,154. Daya tetas dan bobot telur memiliki nilai korelasi tertinggi, artinya telur yang berat kemungkinan besar menetas karena terfertilisasi. Daya tetas yang tinggi ini mengindikasikan sebagian besar telur terbuahi.

Daya tetas telur pada kandang plastik sangat rendah baik di hari oviposisi pertama, kedua dan ketiga berturut-turut adalah 1,32%; 2,26% dan 0,38%. Total daya tetas kandang plastik sangat rendah (3,96%). Hal ini mengindikasikan fertilitas yang rendah sesuai dengan pembahasan sebelumnya mengenai bobot telur. Pada kandang kardus tidak ada telur yang menetas meskipun kondisi penetasan telur sama untuk setiap perlakuan. Gejala ini menunjukkan semua telur di kandang kardus tidak ada yang dibuahi. Dengan kondisi penetasan yang sama di tiap perlakuan, tidak adanya telur yang menetas di kandang kardus mengindikasikan tidak ada telur yang dibuahi. Bobot yang berat pada kandang kardus bukan disebabkan oleh fertilisasi tetapi kemungkinan karena kualitas pakan pada fase larva. Menurut Chapman (1969) kualitas pakan yang yang kurang baik (kandungan air dalam daun rendah) akan menyebabkan persentase penetasan yang rendah. Temperatur tinggi dan kelembaban yang rendah juga mempengaruhi daya tetas pada penelitian ini. Rataan temperatur dan kelembaban pada proses penetasan dalam penelitian ini masing-masing berkisar antara 27-29,5oC dan 54-78%. Kelembaban harian pada penelitian ini sangat berfluktuatif yang ditunjukkan dari nilai simpangan baku yang tinggi. Dari hasil pengamatan, kelembaban yang rendah menyebabkan telur banyak yang mengempis dan kemungkinan terjadi dehidrasi pada telur. Penguapan pada cairan telur dapat menyebabkan proses embriogenesis terganggu.

Total daya tetas di kandang kasa (52,68%) lebih rendah daripada hasil penelitian Adria dan Idris (1997) yaitu 72,06%. Penelitian Adria dan Idris (1997) menggunakan tanaman Ylang-ylang sebagai pakan dan pemeliharaan larva dilakukan di Laboratorium daerah Solok. Namun pada penelitian tersebut tidak dicantumkan suhu dan kelembabannya sehingga tidak dapat diketahui apakah daya tetas yang tinggi dikarenakan faktor pakan atau kondisi penetasannya.

Hasil penyajian secara deskriptif persentase penetasan telur pada hari penetasan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan masa inkubasi telur pada setiap jenis kandang. Persentase telur yang menetas pada perlakuan kandang kasa paling tinggi pada hari ke-8 (41,97%), sedangkan perlakuan kandang plastik lebih banyak menetas pada hari ke-9 (2,26%) dan pada kandang kardus tidak diperoleh data masa inkubasi karena tidak ada telur yang menetas.

0,28% 0% 0% 41,97% 1,70% 0% 10,42% 2,26% 0% 0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00% 40,00% 45,00% Daya Tetas (%) 7 8 9

Waktu Penetasan (hari) Kasa Plastik Kardus

Gambar 6. Persentase Daya Tetas pada Hari Penetasan

Masa inkubasi dengan penetasan tertinggi pada penelitian ini lebih cepat yaitu delapan hari daripada penelitian Nazar (1990) yaitu sebelas hari. Perbedaan masa inkubasi ini mungkin dipengaruhi oleh genetik. Ngengat pada penelitian ini berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta, sedangkan materi pada penelitian Nazar (1990) berasal dari Solok, Sumatera Barat. Selain itu, masa inkubasi dapat juga dipengaruhi oleh kondisi penetasan (temperatur dan kelembaban). Sayangnya Nazar (1990) tidak mencantumkan temperatur dan kelembabannya.

Selang waktu penetasan telur pada penelitian ini yaitu 7-9 hari, sama kisarannya dibandingkan hasil penelitian Awan (2007) yaitu 10-12 hari. Tetapi awal waktu penetasan penelitian ini lebih cepat daripada penelitian Awan (2007). Wang (1989) menyatakan bahwa waktu penetasan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu dan kelembaban. Temperatur dan kelembaban pada penelitian ini berkisar antara 27-29,5oC dan 54-78%, sedangkan pada penelitian Awan (2007) berkisar antara 22-24oC dan 68-70%. Oleh sebab itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai temperatur dan kelembaban optimum dalam penetasan untuk menghasilkan waktu tetas yang lebih cepat agar menghemat waktu dan tenaga kerja.

Dokumen terkait