• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Residu Antibiotik

Pengujian residu antibiotik pada daging ayam dan sapi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode uji tapis (screening test)secara bioassay, sesuai dengan SNI 7424:2008 yang membahas mengenai metode uji tapis (screening test) residu antibiotik pada daging, telur, dan susu secara bioassay. Uji tapis (screening test) adalah suatu cara melakukan pengujian untuk mendeteksi kandungan residu antibiotik secara kualitatif sesuai dengan batas deteksi tertentu pada daging, telur, dan susu. Bioassay adalah suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif. Prinsip dari pengujian, apabila terdapat residu antibiotik maka menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan (zona bening) di sekitar kertas cakram. Besarnya

diameter daerah hambat menunjukkan konsentrasi residu antibiotik (Pikkemaat et al. 2009). Keuntungan dari pengujian residu antibiotik dengan

metode uji tapis (screening test)secara bioassay yaitu: (1) mudah digunakan dan ditangani, (2) biaya tidak terlalu mahal, (3) waktu pengerjaannya singkat dan cepat, (4) memungkinkan automatisasi, (5) memiliki sensitivitas dan spesifisitas

baik, (6) deteksi capability (CCβ) dengan eror probability (β) < 5% (Reig & Toldra 2008).

Berdasarkan hasil uji residu antibiotik bahwa semua sampel daging ayam negatif mengandung residu antibiotik baik dari golongan penisilin, makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin. Tiga dari 24 Sampel daging sapi positif mengandung residu antibiotik dari golongan makrolida yaitu Kota Bandung (2) dan Kabupaten Tasikmalaya (1). Hasil pengujian dari kandungan residu antibiotik golongan penisilin, makrolida, aminoglikosida, dan tetrasiklin pada daging ayam dan daging sapi yang berasal dari beberapa pasar tradisional di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat dikelompokkan berdasarkan golongan antibiotik yang dapat dilihat pada Tabel 4-7.

Residu Penisilin

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu penisilin. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan residu penisilin dari semua sampel daging ayam maupun daging sapi. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus stearothermophilus pada media agar. Hasil pengujian residu penisilin disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji residu penisilin pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Positif penisilin

Daging sapi (%) Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0)

Tidak ditemukannya keberadaan residu penisilin pada daging ayam dan sapi kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai

dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati

(1997), waktu henti pensilin G yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 5 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara injeksi adalah 30 hari. Antibiotik golongan β laktam yang sering digunakan sebagai obat pilihan pertama di peternakan adalah penisilin. Penisilin sering digunakan karena tidak menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat bakterisidal. Antibiotik tersebut di peternakan ayam dan sapi pedaging digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan (Verdon et al. 2000). Batas maksimum residu antibiotik penisilin pada daging adalah 0.1 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Pensilin dapat digunakan untuk pengobatan penyakit aktinomikosis (lumpy jaw) yang disebabkan oleh Actinomyces bovis dan wooden tongue yang

disebabkan oleh Actinobacillus lignieresi pada sapi. Penisilin setelah melewati proses absorbsi dan transportasi akan didistribusikan dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan tubuh. Difusi penisilin terjadi saat konsentrasi plasma yang tidak terikat lebih tinggi dalam jaringan dan cairan. Rute utama ekskresi penisilin adalah melalui ginjal dan juga melalui susu (Vaden & Riviere 2001).

Residu Makrolida

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu makrolida. Berdasarkan hasil pengujian ditemukan keberadaan residu makrolida pada sampel daging sapi yang berasal dari Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Kocuria rizophila pada media agar. Hasil pengujian residu makrolida disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji residu makrolida pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Positif makrolida

Daging sapi (%) Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 2/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya ½ 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 3/24 (12.5) 0/36 (0)

Persentase residu makrolida pada sampel daging sapi di Kota Bandung sebesar 100% (2/2) sedangkan di Kabupaten Tasikmalaya sebesar 50% (1/2). Jumlah keseluruhan dari persentase residu makrolida pada daging sapi di Provinsi Jawa Barat sebesar 12.5% (3/24). Keberadaan residu makrolida yang ditemukan pada daging sapi dimungkinkan karena farmakokinetika antibiotik pada fase

farmakokinetika yaitu, absorpsi, transportasi, biotransformasi, distribusi, dan ekskresi (Martaleni 2007). Antibiotik makrolida setelah melewati proses absorbsi dan transportasi akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk otot, hati, dan ginjal. Pengeluaran antibiotik ini terjadi melalui proses biotransformasi yang cukup lama dimana tubuh akan merombak antibiotik menjadi metabolit tidak aktif dan bersifat hidrofil agar mudah diekskresikan melalui ginjal (Murtidjo 2007). Eritromisin merupakan obat pilihan untuk penyakit saluran pernafasan sedangkan tilosin digunakan untuk pencegahan mikoplasmosis, chronic respiratory disease (CRD), dan coryza pada sapi. Golongan makrolida sering ditambahkan dalam pakan (feed additives) untuk pemacu pertumbuhan (Yuningsih et al. 2005; Reig & Toldra 2009). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti makrolida (eritromisin) yang diaplikasikan secara injeksi pada sapi adalah 14 hari. Batas maksimum residu antibiotik golongan makrolida pada daging untuk eritromisin, linkomisin, dan tilosin 0.1 ppm, sedangkan spiramisin 0.05 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Ditemukan keberadaan residu makrolida pada daging sapi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (1) peternak belum paham mengenai masa henti (withdrawal time) antibiotik makrolida artinya ternak dipotong sebelum masa henti antibiotik habis di dalam tubuh ternak dan belum diekskresikan secara sempurna, (2) penggunaan antibiotik tidak didasari peneguhan diagnosa yang benar dan tepat, (3) penggunaan jenis antibiotik tidak sesuai dengan spesies ternak (Donkor et al. 2011). Penyebab lainnya adalah kurangnya penyuluhan mengenai penggunaan antibiotik yang baik dan benar di peternakan Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Faktor lain yang tidak menutup kemungkinan karena desakan ekonomi yang berarti peternak memotong ternaknya dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhannya, padahal peternak itu mengetahui tentang ilmu dan cara penggunaan antibiotik (Murdiati 1999). Kejadian seperti ini sering ditemui karena peternak tidak berpikir panjang akan dampak yang terjadi pada kesehatan masyarakat apabila mengkonsumsi produk ternak yang mengandung residu antibiotik.

Residu Aminoglikosida

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu aminoglikosida. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan keberadaan residu aminoglikosida. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis pada media agar. Hasil pengujian residu aminoglikosida disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Positif aminoglikosida

Daging sapi (%) Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0)

Tidak ditemukannya keberadaan residu aminoglikosida pada daging ayam dan sapi, kemungkinan disebabkan pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti aminoglikosida (streptomisin) yang diaplikasikan secara per oral pada ayam adalah 4 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara per oral adalah 2 hari. Waktu henti obat dipengaruhi oleh proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi dari obat yang bersangkutan. Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain umur, jenis hewan, status kesehatan, nutrisi hewan, serta sifat kimia dan fisika dari obat seperti bobot molekul, kelarutan dalam air maupun lemak dan ikatannya dengan protein tubuh (Murdiati 1997). Neomisin merupakan golongan aminoglikosida yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran pencernaan pada sapi, kambing, domba, babi, dan unggas yang diaplikasikan

secara per oral (Wang et al. 2009). Batas maksimum residu antibiotik golongan aminoglikosida pada daging untuk streptomisin dan gentamisin 0.1 ppm, neomisin

0.05 ppm, dan spektomisin 0.4 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Absorpsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral sehingga absorpsi terjadi sangat cepat dan tuntas. Distribusi aminoglikosida terjadi dalam waktu 1 jam setelah injeksi. Polikationik dari antibiotik ini menyebabkan penetrasi aminoglikosida melalui membran barrier dengan cara difusi sederhana sangat terbatas sehingga konsentrasi aminoglikosida yang ditemukan di cairan sekresi sangat sedikit. Rute ekskresi utama dari aminoglikosida adalah melalui ginjal (Riviere & Spoo 2001b).

Residu Tetrasiklin

Sampel daging ayam dan sapi yang diambil secara acak pada beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat diuji terhadap residu tetrasiklin. Berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan keberadaan residu tetrasiklin. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus cereus pada media agar. Hasil pengujian residu tetrasiklin disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil uji residu tetrasiklin pada daging ayam dan sapi di 12 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Positif tetrasiklin

Daging sapi (%) Daging ayam (%)

1. Kota Bekasi 0/2 0/3 2. Kabupaten Purwakarta 0/2 0/3 3. Kabupaten Bogor 0/2 0/3 4. Kota Bogor 0/2 0/3 5. Kota Sukabumi 0/2 0/3 6. Kabupaten Bandung 0/2 0/3 7. Kota Bandung 0/2 0/3 8. Kabupaten Cianjur 0/2 0/3 9. Kabupaten Sumedang 0/2 0/3 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 0/3 11. Kota Cirebon 0/2 0/3 12. Kabupaten Indramayu 0/2 0/3 0/24 (0) 0/36 (0)

Tidak ditemukannya keberadaan residu antibiotik tetrasiklin pada daging ayam dan sapi, kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat (Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti tetrasiklin yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 15 hari, sedangkan pada sapi yang diaplikasikan secara per oral adalah 30 hari. Tetrasiklin dalam bidang peternakan digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan jika dosisnya rendah dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Reig & Toldra 2009). Batas maksimum residu antibiotik golongan tetrasiklin pada daging adalah 0.1 ppm sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan Residu Antibiotik.

Golongan tetrasiklin secara umum diabsorbsi dalam saluran cerna. Semua golongan tetrasiklin diabsorbsi di dalam plasma dan diikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Tetrasiklin secara luas didistribusikan ke jaringan tubuh setelah diaplikasikan secara oral atau intravena. Tetrasiklin mampu berpenestrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh dengan cukup baik. Sekitar 60% antibiotik ini diekskresikan melalui ginjal dan 40% diekskresikan melalui feses (Riviere & Spoo 2001a).

Keberadaan residu antibiotik pada daging ayam dan sapi yang diperoleh dalam penelitian ini sama dengan hasil uji Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) pada tahun 2009 dan 2010 yaitu ditemukan residu makrolida pada sampel daging sapi. Data yang diperoleh dari hasil uji BPMPP pada tahun 2009 dan 2010, ditemukan keberadaan residu antibiotik golongan makrolida pada sampel daging sapi sebanyak 4 sampel atau 7.27% (4/55) dan tidak ditemukan keberadaan residu antibiotik golongan apapun pada sampel daging ayam. Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil pengujian BPMPP terhadap residu antibiotik pada daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2010

Asal Sampel Tahun Jenis sampel Total sampel PC’s TC’s AG’s ML’s

Jawa Barat 2009 Daging ayam 76 0 0 0 0 Daging sapi 30 0 0 0 3 Jawa Barat 2010 Daging ayam 44 0 0 0 0 Daging sapi 25 0 0 0 1

Keterangan: PC’s: Penisilin TC’s: Tetrasiklin

AG’s: Aminoglikosida ML’s: Makrolida

Makrolida merupakan obat pilihan untuk penyakit saluran pernafasan dan digunakan untuk pencegahan mikoplasmosis, chronic respiratory disease (CRD), dan coryza pada sapi (Reig & Toldra 2009). Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat veteriner keberadaan residu antibiotik dalam pangan asal hewan perlu mendapat perhatian serius mengingat bahaya yang ditimbulkannya terhadap konsumen. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik adalah reaksi alergi, resistensi mikroorganisme, menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan kerusakan jaringan, dan mungkin keracunan (Verdon et al. 2000; Yuningsih et al. 2005; Donkor et al.2011). Disamping itu produk pangan asal hewan yang mengandung residu antibiotik akan sulit untuk di ekspor ke negara-negara yang sangat ketat dalam menerapkan batas maksimum residu (BMR) (Widiastuti & Murdiati 1999).

Pencegahan dan Pengendalian Residu Antibiotik pada Daging

Mengingat bahaya potensial yang akan diterima oleh masyarakat akibat mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung residu antibiotik, maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan daftar batas maksimum residu obat dalam produk pangan asal hewan dan masa henti beberapa obat yang beredar di Indonesia. Batas maksimum residu obat dalam produk pangan asal hewan disusun sebagai implementasi dari Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 91/Kpts/KP.150/2/1993 tanggal 3 Pebruari 1993 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Ambang Batas Cemaran Mikroba dan Residu di dalam Bahan Pangan

Asal Hewan. Tujuan dari standar tersebut adalah (1) untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat terutama dalam aspek keamanan dan kesehatan, (2) mewujudkan jaminan mutu dari bahan pangan asal hewan, (3) mendukung perkembangan agroindustri dan agrobisnis (SNI 2000).

Pencegahan residu antibiotik di Negara Amerika Serikat di bawah pengawasan National Residue Program (NRP) yang diatur oleh Food Safety and Inspection Service (FSIS). FSIS mempunyai dua program yaitu pengujian sampel residu produk domestik dan impor. Pengujian sampel residu produk domestik berfokus pada pencegahan terhadap keberadaan residu dalam produk pangan asal hewan. Pengujian sampel residu produk impor sebagian besar menentukan operativeness dan effectiveness untuk mencegah produk residu dari negara eksportir (Reig & Toldra 2009). Pencegahan residu antibiotik di Negara Eropa dilakukan secara komprehensif dengan menetapkan kerangka legislasi yang efektif. Hal tersebut telah disetujui oleh dokter hewan yang bergerak dalam bidang produk pangan asal hewan. Aktivitas yang dilakukan dengan menetapkan batas maksimum residu dan monitoring produk pangan asal hewan yang beredar di masyarakat (Pikkemaat et al. 2009).

Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan dan pengendalian residu antibiotik yaitu (1) mengembangkan dan menerapkan kampanye pendidikan kepada masyarakat untuk mempublikasikan penggunaan antibiotik yang bijaksana sebagai prioritas kesehatan nasional, (2) bekerjasama dengan asosiasi profesional dan pemangku keputusan lainnya untuk mengembangkan, menyebarluaskan, dan mengevaluasi gejala klinis yang ditimbulkan dari penggunaan antibiotik secara tidak bijaksana, (3) konsultasi dengan pemangku keputusan, dalam mengembangkan dan menerapkan kerangka yang diusulkan oleh Food Drug Association (FDA) untuk persetujuan antibiotik baru yang digunakan pada hewan yang memproduksi produk pangan dan jika perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap antibiotik yang sudah disetujui, (4) mendukung proyek percontohan untuk mengevaluasi strategi yang komprehensif dengan menggunakan berbagai intervensi untuk mempublikasikan penggunaan antibiotik yang bijaksana dan mengurangi tingkat infeksi untuk menilai bagaimana intervensi ditemukan dalam studi penelitian sehingga efektif,

sistematis, dan ekonomis diterapkan pada skala besar (Woteki & Henney 2000). Pengendalian dan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap keberadaan residu antibiotik pada produk pangan asal hewan khususnya daging ayam dan sapi di Provinsi Jawa Barat dapat mewujudkan jaminan keamanan pangan asal hewan di masyarakat.

Dokumen terkait