• Tidak ada hasil yang ditemukan

cm )

Minggu setelah tanam

Kontrol 3 MST 6 MST 9 MST

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pertumbuhan Vegetatif

Rekapitulasi sidik ragam pengaruh periode kekeringan, genotipe dan interaksinya terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan saat 4-11 MST disajikan pada Lampiran 1. Pengaruh periode kekeringan nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan setelah 5 MST, sedangkan terhadap jumlah daun setelah 7 MST. Pengaruh genotipe nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan sejak 4 MST hingga 11 MST. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada tiap genotipe. Pengaruh interaksi kekeringan dan genotipe nyata hanya terhadap jumlah daun saat 7 MST, 8 MST dan 9 MST, sedangkan terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan tidak nyata.

Pengaruh perlakuan pengeringan terhadap perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan tampak nyata seiring dengan meningkatnya level kekeringan. Pengeringan secara nyata menghambat perkembangan tinggi tanaman terutama pada perlakuan pengeringan mulai 3 MST pada durasi 3 minggu setelah perlakuan kekeringan dilakukan, sementara pengaruh penghambatan terhadap jumlah daun terjadi pada durasi 5 minggu setelah perlakuan kekeringan dilakukan.

Gambar 2. Perkembangan tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan.

0 20 40 60 80 100 120 140 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 T in g g i ta n am an ( cm )

Minggu Setelah Tanam

Ciherang IPB-97-F-15 IR 64 Jatiluhur Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa respon perkembangan tinggi tanaman saat 2-11 MST pada perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST, 9 MST dan kontrol tidak menunjukkan perbedaan namun setelah 5 MST perkembangan tinggi tanaman pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST yang tampak tertekan. Respon hambatan perkembangan tinggi tanaman pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST mulai tampak pada saat umur tanaman mencapai 6 MST yang ditunjukkan dengan melandainya pertumbuhan tinggi yang diduga berkaitan dengan perlakuan pengeringan dan berasosiasi dengan penurunan potensial air tanah. Pada saat 6 MST, tinggi tanaman pada pengeringan 3 MST hanya mencapai 92.01 cm berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan 6 MST (97.13 cm) dan 9 MST (98.94 cm) dan kontrol (98.32 cm).

Dari 8 genotipe padi yang digunakan dalam penelitian, terdapat perbedaan perkembangan tinggi tanaman sejak 3 MST. Perkembangan tinggi tanaman tertinggi ditunjukkan oleh genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur sedangkan terendah ditunjukkan oleh IR64 (Gambar 3).

Gambar 3. Perkembangan tinggi tanaman 8 genotipe padi

Perkembangan jumlah daun sampai dengan 5 MST pada berbagai perlakuan periode pengeringan tidak menunjukkan perbedaan, namun pada saat umur tanaman mencapai 6 MST perkembangan daun pada periode pengeringan sejak 3 MST tampak lebih tertekan (Gambar 4). Jumlah daun pada periode pengeringan sejak 3 MST hanya mencapai 29.8 daun berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan saat 6 MST (31.4) , 9 MST (32.2) serta

0 10 20 30 40 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Ju m la h d au n

Minggu Setelah Tanam

Kontrol 3 MST 6 MST 9 MST 0 10 20 30 40 50 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Ju m lah d au n

Minggu setelah tanam

Ciherang IPB -97-F-15 IR 64 Jatiluhur Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru

kontrol (32.3 daun). Pada Gambar 4 dapat dijelaskan juga bahwa setelah 8 MST jumlah daun pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST

ataupun kontrol mengalami penurunan karena mengalami kekeringan. Beberapa daun mengalami kekeringan terutama pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST yang ditunjukkan dengan jumlah daun yang mengering lebih tinggi dibandingkan perlakuan kekeringan 6 MST, 9 MST ataupun kontrol.

Gambar 4. Perkembangan jumlah daun padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan.

Perkembangan jumlah daun pada 8 genotipe padi saat 2-11 MST menunjukkan kisaran antara 1.3-2.2 daun. Perkembangan jumlah daun terendah pada tiap minggu ditunjukkan pada genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur berbeda nyata lebih rendah dibandingkan IR64, Rokan, Menthik Wangi dan Silugonggo (Gambar 5).

0 2 4 6 8 10 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Ju m lah an ak an

Minggu setelah tanam

3 MST 6 MST 9 MST Kontrol

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah anakan pada umur tanaman 2-5 MST baik pada perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST ataupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Ketika umur tanaman mencapai 6 MST, jumlah anakan pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST tampak lebih tertekan yaitu hanya mencapai 8.0 anakan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan sejak 6 MST (9.1), 9 MST (9.3) ataupun kontrol (9.1).

Gambar 6. Pekembangan jumlah anakan padi pada berbagai periode pengeringan.

Pada Gambar 6 dapat ditunjukkan juga bahwa saat umur tanaman mencapai 6 MST, tanaman yang mendapat perlakuan periode pengeringan sejak 3 MST telah mengalami kondisi kekeringan selama 3 minggu, sedangkan tanaman yang mendapat perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST belum berada dalam kondisi cekaman kekeringan. Dengan demikian perkembangan jumlah anakan tampak lebih tertekan pada periode perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan periode pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST.

Perkembangan jumlah anakan pada 2-6 MST pada 8 genotipe padi menunjukkan variasi antara 2.4-8.2. Hingga 6 MST, jumlah anakan tertinggi ditunjukkan oleh genotipe Silugongogo (11.2), sedangkan terendah ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (4.8) (Gambar 7).

0 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Ju m lah an ak an

Minggu setelah tanam

Ciherang IPB-97-F-15 IR 64 Jatiluhur Menthik Wangi Rokan Silugonggo Way Apo Buru

Gambar 7. Perkembangan jumlah anakan 8 genotipe padi.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa sampai dengan 11 MST perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan padi pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST sangat tertekan dibandingkan dengan perlakuan pengeringan saat 9 MST dan kontrol. Tinggi tanaman pada periode kekeringan 3 MST dan 6 MST masing-masing hanya mencapai 98.10 cm dan 103.72 cm, berbeda nyata lebih rendah dibandingkan kontrol (110.80 cm). Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan 8 genotipe

padi saat 11 MST.

Perlakuan Tinggi tanaman

(cm) Jumlah daun (per rumpun) Jumlah anakan (per rumpun) Periode Kekeringan 3 MST 98.10 c 20.4 b 6.2 c 6 MST 103.72 bc 23.5 ab 7.3 b 9 MST 107.35 ab 26.1 a 7.7 ab Kontrol 110.80 a 26.5 a 8.0 a Genotipe IR64 91.06 e 29.5 a 8.7 ab Ciherang 99.12 cd 20.4 bc 7.5 c IPB-97-F-15 124.30 a 19.6 c 3.2 e

Way Apo Buru 98.93 cd 21.1 bc 8.0 bc

Jatiluhur 122.47 a 18.5 c 5.1 d

Menthik Wangi 94.93 de 23.5 b 8.1 bc

Silugonggo 103.12 bc 31.4 a 8.7 ab

Rokan 106.00 b 29.3 a 9.2 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.

Pada Tabel 3 dapat ditunjukkan juga bahwa walaupun perkembangan tinggi

tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada perlakuan pengeringan sejak 9 MST tampak lebih rendah dibandingkan kontrol namun secara keseluruhan

respon pertumbuhan vegetatif pada pengeringan sejak 9 MST tidak menunjukkan perberbedaan yang nyata dengan kontrol. Hal ini memberikan petunjuk bahwa ketika terjadi kekeringan saat 9 MST pada sistem padi sawah tadah hujan diduga tidak berpengaruh terhadap perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan.

Respon tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada 8 genotipe sangat bervariasi dan berkisar antara 94.93-124.30 cm. Tanaman tertinggi ditunjukkan oleh genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur masing-masing 124.70 cm dan 122.47 cm dan berbeda nyata dibanding genotipe lainnya. Jumlah daun antar genotipe juga menunjukkan variasi antara 18.5-31.4. Jumlah daun terbanyak ditunjukkan Silugonggo (31.4), IR64 (29.5) dan Rokan (29.3), sedangkan terendah pada Jatiluhur (18.5) dan IPB-97-F-15 (19.55). Jumlah anakan terbanyak ditunjukkan oleh Rokan (9.2), kemudian disusul Silugonggo dan IR64 (8.7), sedangkan terendah ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (3.2).

Hasil dan Komponen Hasil

Pengaruh perlakuan periode kekeringan dan genotipe nyata terhadap jumlah anakan produktif, persen pembungaan, panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per rumpun, bobot 1000 gabah, bobot basah dan bobot kering tajuk serta indeks panen, sedangkan pengaruh interaksi hanya nyata terhadap jumlah anakan produktif, persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun (Lampiran 2).

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa respon jumlah anakan produktif pada sebagian besar genotipe tidak berbeda nyata baik pada perlakuan pengeringan sejak 6 MST ataupun 9 MST. Walaupun demikian respon yang berbeda ditunjukkan oleh genotipe Rokan dengan jumlah anakan produktif yang berkurang secara nyata baik pada pengeringan sejak 3 MST ataupun 6 MST masing-masing 1.1 dan 2.4 dibandingkan dengan pengeringan saat 9 MST (5.8) dan kontrol (5.7). Genotipe Jatiluhur yang diketahui sebagai tipe padi gogo memiliki jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata baik pada perlakuan

kekeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 MST masing-masing 4.0, 5.0 dan 5.1 anakan produktif.

Tabel 4. Rata-rata jumlah anakan produktif. persen pembungaan dan bobot gabah per rumpun 8 genotipe padi pada berbagai perlakuan periode kekeringan.

Genotipe Periode Kekeringan

3 MST 6 MST 9 MST Kontrol

Jumlah anakan produktif per rumpun

IR64 3.7 hijk 6.8 bcde 8.3 ab 8.1 ab

Ciherang 5.3 efg 7.1 bcd 7.6 abc 7.7 abc

IPB-97-F-15 1.3 l 3.1 jk 3.5 ijk 3.5 ijk

Way Apo Buru 4.2 ghij 7.8 abc 8.0 ab 7.8 abc

Jatiluhur 4.0 ghij 5.0 fghi 5.1 fgh 5.9 def

Silugonggo 6.3 cdef 7.8 abc 8.8 a 8.7 a

Menthik Wangi 2.9 jk 6.3 cdef 6.9 bcd 7.0 bcd

Rokan 1.1 l 2.4 kl 5.8 def 5.7 def

Persen pembungaan (%)

IR64 21.2 e 80.8 bc 100.0 a 100.0 a

Ciherang 58.7 d 70.2 cd 100.0 a 100.0 a

IPB-97-F-15 10.6 ef 83.7 abc 100.0 a 100.0 a

Way Apo Buru 18.3 ef 92.3 ab 100.0 a 100.0 a

Jatiluhur 70.4 cd 98.1 a 100.0 a 100.0 a

Silugonggo 78.3 bc 100.0 a 100.0 a 100.0 a

Menthik Wangi 19.2 ef 94.2 ab 100.0 a 100.0 a

Rokan 2.9 f 70.2 cd 100.0 a 100.0 a

Bobot gabah per rumpun (g)

IR64 12.23 h 27.99 efg 39.66 cde 43.48 cd

Ciherang 18.38 gh 39.55 cde 39.25 cde 42.46 cd

IPB-97-F-15 11.88 h 38.64 cde 50.22 bc 49.62 bc

Jatiluhur 39.31 cde 40.11 cde 50.73 bc 50.92 bc

Way Apo Buru 17.47 gh 38.06 cde 51.96 bc 60.56 ab

Silugonggo 18.37 gh 44.38 cd 48.58 bc 68.92 a

Menthik Wangi 13.17 h 40.62 cde 37.99 cde 64.87 a

Rokan 12.87 h 24.34 efg 33.21 def 48.28 bc

Keterangan: MST : Minggu setelah transplanting; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.

Selain menekan perkembangan anakan produktif, periode pengeringan sejak 3 MST juga nyata menurunkan persen pembungaan 8 genotipe padi dibandingkan dengan kontrol. Secara keseluruhan persen pembungaan terendah ditunjukkan oleh Rokan (2.9%) pada perlakuan periode kekeringan sejak 3 MST. Periode pengeringan sejak 6 MST juga menurunkan persen pembungaan namun penurunan persen pembungaan pada genotipe IPB-97-F-15, Way Apo Buru,

Jatiluhur dan Menthik Wangi tidak nyata dibandingkan dengan pengeringan saat 9 MST dan kontrol.

Periode pengeringan sejak 3 MST juga nyata menurunkan bobot gabah per rumpun pada sebagian besar genotipe. Bobot gabah per rumpun pada IPB-97-F-15 (11.88 g), IR64 (12.23 g), Rokan (12.87 g) dan Menthik Wangi (13.17 g) pada pengeringan saat 3 MST berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan saat 6 MST dan 9 MST serta kontrol. Respon bobot gabah per rumpun yang berbeda ditunjukkan pada genotipe Jatiluhur. Jatiluhur yang diketahui sebagai padi gogo memiliki bobot gabah per rumpun yang tidak nyata baik pada pengeringan sejak 3 MST, 6 MST, 9 MST ataupun kontrol (Tabel 4).

Pada Tabel 5 dapat ditunjukkan bahwa pengaruh pengeringan sejak 3 MST secara nyata menurunkan panjang malai dan meningkatkan persen gabah hampa. Sedangkan penurunan bobot 1000 gabah tampak nyata pada pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST dibandingkan pengeringan sejak 9 MST dan kontrol.

Tabel 5. Rata-rata panjang malai, persen gabah hampa, bobot gabah per rumpun, dan bobot 1000 gabah.

Perlakuan Panjang malai

(cm)

Gabah hampa (%) Bobot 1000 butir (g) Periode kekeringan 3 MST 20.92 c 72.12 a 17.74 b 6 MST 23.40 b 53.02 b 21.07 b 9 MST 24.28 b 50.28 b 25.92 a Kontrol 24.70 ab 38.48 c 26.41 a Genotipe IR64 22.52 cd 63.13 ab 22.22 a Ciherang 22.11 d 51.79 c 22.33 a IPB-97-F-15 26.67 a 56.05 bc 24.82 a

Way Apo Buru 23.40 b 52.10 c 24.22 a

Jatiluhur 22.41 d 35.40 d 23.77 a

Menthik Wangi 23.10 bc 50.64 c 22.22 a

Silugonggo 22.69 cd 51.86 c 23.41 a

Rokan 23.71 b 66.81 a 19.32 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.

Panjang malai pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST hanya mencapai 20.92 cm berbeda nyata lebih pendek dibandingkan periode pengeringan saat 6 MST (23.40 cm), 9 MST (24.28 cm) dan kontrol (24.70 cm). Jika dibandingkan

dengan panjang malai pada perlakuan kontrol maka penurunan panjang malai pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST mencapai 3.78 cm, sedangkan pada pengeringan sejak 6 MST dan 9 MST masing-masing mencapai 1.30 cm dan 0.42 cm. Rata-rata panjang malai pada 8 genotipe padi menunjukkan variasi antara 22.12-26.67 cm. Genotipe dengan malai terpanjang ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (26.67 cm), sedangkan malai terpendek ditunjukkan oleh Ciherang (22.11 cm), Jatiluhur (22.41 cm), Silugonggo (22.69 cm) dan IR64 (22.52 cm).

Secara keseluruhan perlakuan periode kekeringan baik sejak 3 MST, 6 MST atau 9 MST meningkatkan persen gabah hampa (Tabel 5). Hal ini dapat dilihat pada tingginya persen gabah hampa baik pada perlakuan periode kekeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 MST dibandingkan dengan kontrol. Persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan pada periode kekeringan sejak 3 MST (72.1%) berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan periode kekeringan sejak 6 MST (53.0%) dan 9 MST (50.3%). Variasi persen gabah hampa antar genotipe berkisar antara 35.4-66.8%. Persen gabah hampa tertinggi ditunjukkan oleh Rokan (66.81%) dan tidak berbeda nyata dengan IR64 (63.13%) sedangkan terendah ditunjukkan oleh Jatiluhur (35.40%).

Perlakuan kekeringan juga berpengaruh terhadap penurunan bobot 1000 butir terutama periode kekeringan sejak 3 MST dan 6 MST masing-masing 17.74 g dan 21.07 g berbeda nyata lebih rendah dibandingkan periode kekeringan sejak 9 MST (25.92 g) dan kontrol (26.41 g) (Tabel 5). Persentase penurunan bobot 1000 butir akibat pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST masing-masing mencapai 32.8% dan 20.2%, sementara pengeringan saat 9 MST hanya menurunkan bobot 1000 gabah sebesar 1.9% dibandingkan dengan kontrol. Kisaran bobot 1000 gabah pada tiap genotipe antara 19.23-24.82 g. Bobot 1000 gabah tertinggi ditunjukkan oleh IPB-97-F-15 (24.82) sedangkan terendah ditunjukkan oleh Rokan (19.32 g).

Selain menurunkan bobot 1000 gabah, perlakuan periode kekeringan sejak 3 MST juga secara nyata menurunkan bobot kering tajuk dan indeks panen,

sementara penurunan bobot basah tajuk akibat perlakuan pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST tidak berbeda nyata (Tabel 6). Berbeda dengan pengaruh

nyata terhadap penurunan bobot basah basah dan bobot kering tajuk serta indeks panen. Indeks panen terendah ditunjukkan pada perlakuan pengeringan sejak 3 MST (0.21) berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengeringan sejak 6 MST (0.31) sedangkan indeks panen pada pengeringan sejak 9 MST (0.32) tidak berbeda nyata dengan kontrol (0.34).

Tabel 6. Rata-rata bobot basah dan bobot kering tajuk, dan indeks panen pada perlakuan kekeringan dan genotipe.

Perlakuan Bobot basah tajuk

(g) Bobot kering (g) Indeks panen Periode kekeringan 3 MST 93.09 b 68.44 c 0.21 b 6 MST 111.25 b 83.27 b 0.31 a 9 MST 172.09 a 93.06 ab 0.32 a Kontrol 196.28 a 102.08 a 0.34 a Genotipe IR64 106.94 c 74.56 d 0.28 c Ciherang 114.19 c 76.72 cd 0.31 bc IPB-97-F-15 165.69 b 90.28 bc 0.29 c

Way Apo Buru 138.13 bc 97.23 ab 0.28 c

Jatiluhur 129.38 bc 77.34 cd 0.37 a

Menthik Wangi 153.19 b 83.55 bcd 0.30 bc

Silugonggo 129.19 bc 86.23 bcd 0.34 b

Rokan 208.75 a 107.77 a 0.21 d

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing perlakuan kekeringan dan genotipe tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α 5%.

Pada Tabel 6 dapat dilihat juga bahwa bobot basah tajuk 8 genotipe padi menunjukkan kisaran antara 106.94-208.75 g. Bobot basah tajuk tertinggi ditunjukkan oleh Rokan (208.75 g) yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan 7 genotipe lainnya sedangkan terendah ditunjukkan oleh IR64 (106.94 g). Genotipe Rokan memiliki bobot kering tajuk tertinggi yaitu 107.77 g dan tidak berbeda nyata dengan Way Apo Buru (97.23 g), sedangkan bobot kering terendah ditunjukkan oleh IR64 (74.56 g) dan tidak berbeda nyata dengan Ciherang (76.72 g), Jatiluhur (77.35 g), Menthik Wangi (83.55 g) dan Silugonggo (86.24 g). Indeks panen pada 8 genotipe padi menunjukkan kisaran antara 0.21-0.37.

Indeks panen terendah ditunjukkan oleh Rokan (0.12) yang berbeda nyata lebih rendah dibandingkan 7 genotipe lainnya, sedangkan indeks panen tertinggi ditunjukkan oleh Jatiluhur (0.38) (Tabel 6).

Sensitifitas Kekeringan

Indeks Ketahanan Kekeringan untuk Daya Hasil

Indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil adalah perbandingan hasil gabah tiap genotipe pada perlakuan kekeringan terhadap hasil gabah genotipe yang sama pada perlakuan kontrol (tanpa perlakuan pengeringan). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil terendah ditunjukkan pada pengeringan saat 3 MST (0.34) sedangkan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil pada pengeringan saat 6 MST dan 9 MST masing-masing 0.69 dan 0.84.

Indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil pada 8 genotipe padi pada periode pengeringan sejak 3 MST, 6 MST dan 9 SMT menunjukkan variasi antara 0.20-1.01. Genotipe dengan indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil tertinggi pada periode pengeringan sejak 3 MST ditunjukkan oleh Ciherang (0.43) sedangkan 3 genotipe dengan indeks terendah secara berurutan ditunjukkan oleh Menthik Wangi (0.20), Rokan (0.27) dan Silugonggo (0.27) (Tabel 7). Tabel 7. Rata-rata indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil 8 genotipe padi

pada berbagai periode pengeringan.

Genotipe Periode Kekeringan

3 MST 6 MST 9 MST Kontrol

IR64 ghi 0.28 bcdef 0.64 Abcd 0.91 ab 1.00

Ciherang efghi 0.43 a 0.93 Ab 0.92 ab 1.00

IPB-97-F-15 hi 0.24 abcde 0.78 A 1.01 ab 1.00

Way Apo Buru fghi 0.34 abcde 0.79 Ab 1.00 ab 1.00

Jatiluhur bcdef 0.65 cdef 0.63 Abcd 0.86 ab 1.00

Menthik Wangi i 0.20 defg 0.63 Defgh 0.59 ab 1.00

Silugonggo hi 0.27 cdef 0.64 Abcde 0.70 ab 1.00

Rokan ghi 0.27 efghi 0.50 Abcde 0.69 ab 1.00

Pada perlakuan periode pengeringan saat 6 MST indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil terendah ditunjukkan oleh Rokan (0.50) dan tertinggi ditunjukkan oleh Ciherang (0.93) disusul Way Apo Buru (0.79). Sementara pada pengeringan sejak 9 MST indeks ketahanan kekeringan untuk daya hasil terendah ditunjukkan oleh Rokan (0.69) sedangkan tertinggi pada IPB-97-F-15 (1.01) kemudian disusul Way Apo Buru (1.00) (Tabel 7).

Penggulungan Daun dan Kekeringan Daun

Penggulungan daun pada 8 genotipe hanya terjadi pada periode pengeringan saat 3 MST dan 6 MST dengan kisaran skor 2.50-9.00 (Tabel 8). Skor penggulungan daun tertinggi terjadi pengeringan saat 3 MST pada genotipe IR64 (9.00) kemudian disusul Rokan (8.50). Skor penggulungan daun terendah pada perlakuan pengeringan yang sama (3 MST) ditunjukkan oleh Jatiluhur (3.00) dan Way Apo Buru (4.00).

Tabel 8. Skor penggulungan dan kekeringan daun 8 genotipe pada perlakuan periode kekeringan saat 3 dan 6 MST.

Genotipe Penggulungan Kekeringan

Periode Kekeringan

3 MST 6 MST 3 MST 6 MST

IR64 9.00 5.50 6.50 4.00

Ciherang 5.50 3.50 6.00 4.00

IPB-97-F-15 5.00 3.00 5.50 3.00

Way Apo Buru 4.00 3.50 5.00 3.50

Jatiluhur 3.00 2.50 4.00 3.00

Silugonggo 5.50 5.00 6.50 3.50

Menthik Wangi 5.00 5.00 6.50 4.50

Rokan 8.50 8.50 7.00 3.50

Keterangan skor penggulungan daun : 0= Daun sehat/daun tidak menunjukkan lipatan; 1 = daun mulai menunjukkan lipatan; 3 =Daun melipat- bentuk huruf V; 5 =daun melipat membentuk huruf U; 7 = pinggiran daun saling bersentuhan membentuk huruf O; 9 =daun menggulung penuh.

Pada Tabel 8 dapat dilihat juga bahwa skor kekeringan daun pada 8 genotipe padi berkisar antara 3.00-7.00. Pada periode pengeringan sejak 3 MST. Skor kekeringan tertinggi ditunjukkan oleh Rokan (7.00) kemudian

disusul Silugonggo, Menthik Wangi dan IR64 dengan skor 6.50. Sementara pada pengeringan saat 6 MST skor kekeringan tertinggi ditunjukkan oleh Menthik Wangi (4.50).

Skor penggulungan dan kekeringan daun berdasarkan durasi kekeringan yang diamati sejak awal perlakuan pengeringan dilakukan menunjukkan gejala penggulungan daun pada tiap genotipe padi yang diberi perlakuan pengeringan sejak 3 dan 6 MST terjadi pada durasi 5 minggu setelah pengeringan dilakukan. Sementara gejala kekeringan daun pada perlakuan kekeringan saat 3 dan 6 MST terjadi pada durasi 7 minggu setelah perlakuan kekeringan dilakukan.

-2.68 -4.25 -7.54 -10.58 -13.75 -16.75 -19.75 -23.25 -25.80 -28.30 -3.19 -4.19 -7.04 -10.08 -13.25 -15.30 -17.90 -4.58 -7.25 -9.70 -10.80 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 P o ten sia l air tan ah (k P a)

Minggu setelah tanam

K-3 MST K-6 MST K-9 MST Potensial Air Tanah

Gambar 8 dan 9 menunjukkan pola penurunan potensial air tanah pada kedalaman 10 dan 20 cm dimana dapat dilihat juga bahwa terdapat perbedaan penurunan potensial air tanah pada periode pengeringan yang berbeda. Penentuan potensial air tanah dilakukan dalam selang waktu 1 minggu setelah pengeringan dilakukan baik pada pengeringan mulai 3 MST, 6 MST ataupun 9 MST menggunakan Tensionmeter pada saat 4-13 MST.

Gambar 8. Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 10 cm.

Penurunan potensial air tanah disebabkan oleh evapotranspirasi tanah dan tanaman. Pada Gambar 8 dapat ditunjukkan bahwa pada kedalaman tanah 10 cm pada durasi kekeringan 1 minggu pada perlakuan pengeringan saat 3 MST penurunan potensial air tanah mencapai -2.68 kPa. sementara periode kekeringan saat 6 MST dan 9 MST masing-masing mencapai -3.19 kPa dan -4.58 kPa. Durasi kekeringan yang lebih panjang berpengaruh pada menurunnya potensial air tanah namun sebaliknya meningkatkan level kekeringan (severity). Hingga 13 MST penurunan potensial air tanah pada perlakuan pengeringan saat 3 MST mencapai -28.30 kPa. sementara pada pengeringan saat 6 dan 9 MST tampak lebih rendah yaitu -17.90 dan -10.80 kPa.

-1.88 -2.88 -6.70 -9.08 -12.30 -15.68 -18.68 -22.18 -25.44 -27.78 -2.38 -3.38 -6.21 -8.58 -11.80 -13.60 -16.00 -3.67 -6.29 -7.12 -8.36 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 P o ten sia l air tan ah (k P a)

Minggu setelah tanam

K-3 MST K-6 MST K-9 MST

Gambar 9. Perkembangan potensial air tanah pada berbagai perlakuan kekeringan yang diukur pada kedalaman tanah 20 cm.

Pada gambar 9 dapat ditunjukkan bahwa pada pengeringan saat 3 MST

pada kedalaman tanah 20 cm terjadi penurunan potensial air tanah mencapai -1.88 kPa sedangkan perlakuan pengeringan saat 6 MST dan 9 MST

masing-masing mencapai -2.38 kPa dan -3.67 kPa. Hingga 13 MST potensial air pada perlakuan periode kekeringan saat 3 MST yaitu -27.28 kPa, sementara pada

periode kekeringan saat 6 dan 9 MST tampak lebih rendah yaitu -16.00 dan -8.36 kPa.

Pembahasan Pertumbuhan Vegetatif

Stres kekeringan secara mendasar menekan pertumbuhan dan menurunkan hasil tanaman padi. Walaupun demikian respon tanaman padi terhadap kekeringan bervariasi tergantung pada genotipe. fase tumbuh. waktu dan perkembangan kekeringan (Fukai dan Cooper 1995). Hasil penelitian menunjukkan pengaruh pengeringan dan genotipe berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan, sedangkan pengaruh interaksi kekeringan dan genotipe tidak nyata.

Pengeringan sejak 3 MST dan 6 MST memberikan efek penghambatan yang berarti terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan

dibandingkan pengeringan saat 9 MST dan kontrol (Tabel 2). Jumlah anakan pada pengeringan sejak 9 MST mencapai 7.68 dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (8.04). Hal ini memberikan petunjuk praktis bahwa pada sistem padi sawah tadah hujan ketika terjadi kekeringan sejak 9 MST diduga tidak berpengaruh terhadap hasil panen. Pengaruh pengeringan sejak 9 MST juga tampak tidak nyata terhadap penurunan tinggi tanaman dan jumlah daun karena tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 2).

Dilihat dari durasi dan peningkatan level kekeringan dapat dijelaskan bahwa pengeringan saat 3 MST dan 6 MST terjadi pada durasi atau periode pertumbuhan vegetatif. Wopereis et al. (1996) dan Davatgar et al. (2009) menjelaskan bahwa kekeringan pada fase vegetatif menghambat pertumbuhan tinggi tanaman, perkembangan jumlah anakan dan daun. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa pengeringan saat 3 MST dan 6 MST secara nyata menurunkan pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan. Penghambatan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada periode pengeringan saat 3 dan 6 MST mulai terjadi pada durasi 5 minggu sejak perlakuan kekeringan dilakukan hal ini ditunjukkan dengan melandainya tingkat pertumbuhan baik pada tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan (Gambar 4; Gambar 6).

Yosida dan Hasegawa (1982) menemukan bahwa karakter jumlah anakan yang lebih sedikit berasosiasi dengan rasio akar yang lebih dalam terhadap pucuk. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe padi dengan jumlah anakan yang sedikit cendrung memiliki sistem perakaran yang lebih dalam dan karakter ini umumnya merupakan ciri genotipe padi tradisional lahan kering.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan terhadap karakter sistem perakaran pada kedelapan genotipe yang diuji, namun hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara tinggi tanaman dengan jumlah anakan, sedangkan korelasi positif ditunjukkan pada tinggi tanaman dengan panjang malai (Lampiran 10). Genotipe IPB-97-F-15 dan Jatiluhur memiliki

Dokumen terkait