• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Fisik Daging

Mengetahui sifat fisik dari suatu produk sangatlah penting. Kualitas fisik daging pasca pemotongan sangat menentukan produk yang akan dihasilkan. Pengamatan terhadap pH dan Daya Mengikat Air (DMA) daging penting dilakukan karena akan berpengaruh terhadap kualitas bakso yang dihasilkan terutama warna dan kekenyalan. Rataan nilai pH dan mg H2O daging disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Nilai pH dan mg H2O Daging Sapi Lama Postmortem Peubah

4 Jam 6 Jam

pH 5,79±0,08 5,62±0,08

mg H2O (%) 36,49±3,69 30,59±3,96

Nilai daya mengikat air (DMA) ditunjukkan dalam persen air yang terikat, sehingga semakin besar persentase mg H2O yang dibebaskan semakin rendah pula kemampuan daging untuk mengikat air. Berdasarkan hasil pengujian daging penurunan nilai pH diikuti dengan penurunan nilai mg H2O. Berdasarkan Tabel 4. semakin lama waktu postmortem maka semakin rendah pula nilai pH dan persentase mg H2O daging, hal ini berarti nilai pH daging dapat mempengaruhi mg H2O yang dihasilkan. Pada Tabel 4. dapat dilihat penurunan pH daging secara perlahan dari empat jam hingga enam jam postmortem namun nilai pH akhir daging dari kedua perlakuan tersebut belum dapat ditentukan karena dimungkinkan masing-masing nilai pH kedua perlakuan masih dapat turun selama enzim-enzim glikolisis masih dapat bekerja menghasilkan asam laktat. Menurut Aberle et al. (2001) pH akhir daging pada kualitas daging normal mencapai ±5,5.

Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot

postmortem, menurunkan daya mengikat air daging dan banyak air yang berasosiasi

dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik protein miofibril, filamen miosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen ini menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis menyebabkan penurunan daya mengikat air (Soeparno, 2005).

Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan antara lain jaringan otot menjadi keras, kaku dan tidak mudah digerakkan. Keadaan ini memerlukan waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk lagi. Menurut Muchtadi (1992), setelah hewan mati metabolisme aerobik tidak terjadi karena sirkulasi darah ke jaringan otot terhenti, sehingga metabolisme berubah menjadi sistem anaerobik yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Adanya penimbunan asam laktat dalam daging menyebabkan turunnya pH jaringan otot. Perubahan nilai pH sangatlah penting untuk diperhatikan selama postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, citarasa, daya ikat air, dan masa simpan. Berdasarkan hasil pengujian pH daging pada postmortem empat jam mengalami penurunan secara perlahan. Kecepatan penurunan pH sangat dipengaruhi oleh temperatur sekitarnya. Suhu lingkungan tinggi, pH daging akan turun lebih cepat. Kecepatan penurunan pH mempengaruhi kondisi fisik daging.

Selama 24-36 jam postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis

postmortem. Glikolisis merupakan pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa

yang diawali dengan degradasi glikogen secara enzimatik (glikogenolisis). Glikolisis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot sebagai sumber energi pada saat pemotongan (Soeparno, 2005).

Daya mengikat air diartikan sebagai kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan airnya selama mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan. Air yang keluar akibat perlakuan yang ringan adalah biasa karena sebagian dari air yang terkandung dalam daging ada dalam bentuk bebas (Natasasmita et al., 1987). Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase prerigor daya mengikat air masih relatif tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan menurunnya nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot. Titik minimal daya mengikat air daging bersamaan dengan pencapaian pH terendah pada fase rigormortis yaitu antara pH 5,0-5,1 yang juga bertepatan dengan titik isoelektrik protein daging.

Berdasarkan hasil penelitian Huidobro et al. (2002) sapi yang telah melalui proses pemotongan, temperatur dan pH daging mengalami penurunan hingga mencapai 24 jam postmortem dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara daging

yang berasal dari sapi dara (heifer) dan sapi jantan (bulls). Nilai rataan pH daging pada penelitian ini adalah 5,79-5,62. Nilai pH tersebut termasuk ke dalam jarak yang normal.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Fisik Bakso Nilai pH

Nilai pH merupakan faktor penting yang harus diketahui dalam semua produk pangan olahan khususnya produk olahan daging. Menurut Soeparno (2005), perubahan pH berhubungan erat dengan warna serta tekstur daging dan produknya. Nilai rataan pH bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 4.

Tabel 5. Rataan Nilai pH Bakso Daging Sapi

Lama Postmortem Perlakuan 4 jam 6 jam K0 6,28±0,01a 6,03±0,03d K1 6,23±0,01b 6,20±0,00e K2 6,13±0,00c 6,32±0,00f

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

K0 : 20% tapioka

K1 : 17,5% tapioka + 2,5% karagenan K2 : 15% tapioka + 5% karagenan

Terdapat interaksi antara lama postmortem dan penambahan karagenan terhadap pH bakso. Bakso dengan penambahan 15% tapioka + 5% karagenan (K2) pada enam jam postmortem memiliki pH 6,32 yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelima perlakuan yang lain. Nilai pH terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan karagenan pada enam jam postmortem yaitu 6,03. Penambahan karagenan hingga taraf 5% mengakibatkan nilai pH meningkat, hal ini disebabkan pH karagenan yang bersifat basa yaitu sekitar 9,5-10,5 sehingga bakso yang dihasilkan memiliki nilai pH yang mendekati netral. Berdasarkan hasil penelitian Sudrajat (2007), pH bakso dengan penambahan karagenan berkisar antara 6-7. Sifat fungsional protein daging dapat berkurang pada pH rendah akibat terjadinya denaturasi. Sifat tersebut berfungsi sebagai emulsifier yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan bakso.

Gambar 4. Rataan Nilai pH Bakso Daging Sapi

Berdasarkan Gambar 4. pH daging yang mendekati 7 yaitu pada daging dengan lama postmortem empat jam dengan penambahan karagenan akan menurunkan pH bakso yang dihasilkan dan sebaliknya pH daging yang menjauhi 7 yaitu pada daging dengan lama postmortem enam jam dengan penambahan karagenan akan meningkatkan pH bakso yang dihasilkan. Nilai pH bakso ini akan mengindikasikan pada penilaian fisik panelis terhadap bakso yang dihasilkan seperti pada warna, aroma, tekstur dan kekenyalan.

Secara umum, penurunan pH akan berpengaruh pada kualitas produk. Semakin rendah pH suatu produk umumnya akan meningkatkan daya simpan produk karena bakteri akan sulit hidup pada pH rendah kecuali bakteri yang tahan pada pH rendah (Achidophilic) (Soeparno, 2005). Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0-10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan tertentu seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0-6,0 dan sering disebut sebagai asidofil (Buckle et al., 1987).

Daya Mengikat Air

Menurut Soeparno (2005) daya mengikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Daya mengikat air menunjukkan kemampuan daging

5.85 5.9 5.95 6 6.05 6.1 6.15 6.2 6.25 6.3 6.35 1 2 3

Taraf penggunaan karagenan

N il a i p H

atau produk daging olahan untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Dalam pembuatan produk tersebut diperlukan DMA tinggi. Pengukuran DMA penting dilakukan untuk melihat seberapa besar jumlah air yang dapat diikat dan dipertahankan adonan selama pemasakan. Rataan nilai DMA bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Nilai Daya Mengikat Air Bakso Daging Sapi (%) Lama Postmortem

Perlakuan

4 jam 6 jam Rataan

K0 12,67±2,52 10,00±0,00 11,34±2,16a

K1 15,00±0,00 9,00±2,65 12,00±3,69a

K2 20,33±0,58 16,33±2,31 18,33±2,66b

Rataan 15,99±3,64a 11,77±3,87b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

K0 : 20% tapioka

K1 : 17,5% tapioka + 2,5% karagenan K2 : 15% tapioka + 5% karagenan

Perbedaan lama postmortem daging dan penambahan karagenan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap DMA bakso. Tidak terdapat interaksi antara lama

postmortem dan penambahan karagenan terhadap DMA bakso daging sapi.

Berdasarkan data yang diperoleh maka DMA bakso daging sapi pada empat jam

postmortem nyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging enam jam postmortem.

DMA bakso tanpa penambahan karagenan nyata lebih rendah dibandingkan dengan penambahan karagenan 5% tetapi tidak nyata dengan penambahan 2,5% karagenan. Berdasarkan data yang diperoleh maka penambahan karagenan pada kombinasi satu dan kombinasi dua menghasilkan DMA yang meningkat, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Keeton (2001) bahwa penggunaan karagenan dapat meningkatkan daya mengikat air dan juiceness. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi DMA daging antara lain meliputi pH daging, metode pemasakan, lemak intramuskuler atau marbling. Suhu selama proses pemasakan akan menyebabkan denaturasi protein dan banyak menurunkan daya mengikat air (Soeparno, 2005).

Rataan DMA bakso daging sapi pada penelitian ini adalah sebesar 13,89±3,11%. Nilai DMA bakso pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan

dengan penelitian Panjaitan (2006) mengenai sifat fisik, kimia dan palatabilitas bakso daging kerbau dengan menggunakan bagian daging dan taraf tepung tapioka yang berbeda menghasilkan daya mengikat air sebesar 21,21%. Hal ini disebabkan karagenan lebih bersifat sebagai pengikat (binding agent) air, sehingga kemampuannya dalam mempertahankan air dalam bakso rendah.

Protein aktin dan myosin merupakan komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan bakso. Pengukuran DMA berhubungan erat dengan nilai juiceness dan tekstur yang dihasilkan. Bakso yang memiliki nilai DMA yang rendah akan menghasilkan produk yang kurang kenyal dan cenderung kering. Winarno (1997) menyatakan bahwa bahan pengisi dapat meningkatkan DMA produk karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Pati mentah akan menyerap air sampai kira-kira sepertiga beratnya dan pada proses pemanasan adonan akan membentuk gel. Daya mengikat air merupakan faktor penting dalam pembentukan gel.

Kekenyalan

Rataan nilai kekenyalan bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Nilai Kekenyalan Bakso Daging Sapi (%) Lama Postmortem

Perlakuan

4 jam 6 jam Rataan

K0 32,62±10,63 32,53±10,26 32,58±9,34 K1 36,61± 3,55 28,22±5,23 32,41±6,09 K2 36,93±11,45 40,17±9,60 38,55±8,56 Rataan 35,39±8,28 33,64±9,15 34,51±8,51 Keterangan : K0 : 20% tapioka K1 : 17,5% tapioka + 2,5% karagenan K2 : 15% tapioka + 5% karagenan

Penambahan karagenan pada lama postmortem yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai kekenyalan bakso daging sapi. Rataan umum nilai kekenyalan bakso adalah 34,51±8,51%. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh DMA dan pH daging. Nilai pH yang semakin tinggi mengakibatkan DMA semakin tinggi sehingga kandungan air dalam bakso akan semakin banyak. Tingginya kandungan air dalam bakso mengakibatkan bakso akan menjadi lebih kenyal. Hal ini disebabkan air, lemak dan tersedianya hasil ekstraksi protein akan

menyebabkan terjadinya emulsi. Emulsi ini menyebabkan bakso yang diperoleh menjadi lebih kompak dan tidak akan mudah pecah.

Daging segar prerigor mempunyai jumlah protein yang terekstraksi dari daging dengan perlakuan fisik dan kimia lebih besar dibandingkan dengan postrigor. Hal ini akan meningkatkan jumlah zat pengemulsi yaitu protein larut garam aktin dan miosin sehingga emulsi lebih stabil (Aberle et al., 2001). Pada prinsipnya pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan kekenyalan produk dan kedua pengaruh pemasakan ini tergantung waktu atau temperatur. Lama waktu pemasakan mempengaruhi pelunakan kolagen, sedangkan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibril (Soeparno, 2005).

Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat pemanasan. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh gelatinisasi yang terjadi pada tepung tapioka. Gelatinisasi merupakan pengembangan yang terjadi dalam granula-granula pati selama pemasakan. Pengembangan pati akan menghasilkan pasta yang kenyal atau gel yang kaku. Pati dengan amilopektin yang tinggi akan membentuk produk yang lekat. Peningkatan viskositas disebabkan air yang sebelumnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997).

Penambahan karagenan dapat membantu pembentukan gel yang dapat memperbaiki sifat kekenyalan. karagenan dapat berikatan baik dengan protein dan air, sehingga bakso memiliki kekuatan menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk semula setelah tekanan dihilangkan. Sifat tersebut disebut sifat kenyal.

Menurut Fardiaz (1989), gel mungkin mengandung sampai 99,9% air tetapi mempunyai sifat lebih khas seperti padatan, khususnya sifat elastisitas dan kekakuan. Pada prinsipnya terbentuknya sifat-sifat gel ini adalah sebagai akibat adanya pembentukan jala atau jaringan tiga dimensi oleh molekul-molekul polimer seperti protein atau polisakarida yang secara sempurna merentang pada seluruh volume gel yang terbentuk. Sifat jaringan keseluruhan gel akan menentukan kekuatan, stabilitas, daya simpan makanan serta tekstur dan rasanya.

Menurut Winarno (1996), penambahan karagenan mampu berinteraksi dengan makromolekul yang bermuatan. Misalnya protein, sehingga mampu mempengaruhi peningkatan viskositas. Pembentukan gel, pengendapan dan

stabilitasi. Karagenan mempunyai peranan sangat penting dan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai stabilisator, bahan pengental (thickener), pengikat (binder), pembentuk gel (gelling agent), pengemulsi (emulsifier) dan lain-lain. Bila dikombinasikan dengan garam kalsium, karagenan sangat efektif sebagai gel pelapis produk daging.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Organoleptik Bakso Pengujian terhadap sifat organoleptik penting dilakukan, khususnya terhadap produk baru yang dapat menentukan daya terima konsumen. Pengujian organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik. Uji hedonik ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap produk bakso daging sapi ini. Kriteria yang diuji pada uji hedonik ini adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan kekenyalan.

Secara keseluruhan panelis memberikan penilaian yang sama terhadap penerimaan bakso daging sapi yang disajikan. Hasil penilaian tersebut dapat dilihat pada nilai rataan umum. Keseluruhan panelis berjumlah 43 orang. Hasil uji Kruskal Wallis untuk uji hedonik menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap atribut aroma, tekstur, rasa. Namun, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna dan kekenyalan bakso daging sapi.

Warna

Nilai rataan dan modus warna bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 8.

Umumnya, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan mutu suatu produk sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan seperti rasa, aroma dan tekstur (Winarno, 1997).

Tabel 8. Nilai Rataan dan Modus Uji Hedonik Warna Bakso Daging Sapi Lama Postmortem

4 jam 6 jam

Perlakuan

Rataan Modus Rataan Modus

K0 3,27b 4 3,8a 4

K1 3,5b 4 3,6ab 4

K2 3,7ab 4 3,5ab 4

Bakso daging sapi yang dihasilkan berwarna abu-abu. Warna bakso daging sapi berdasarkan rata-rata mempunyai nilai hedonik netral hingga cenderung suka yaitu berkisar antara 3,27 hingga 3,8. Tingkat kesukaan warna bakso yang paling rendah terdapat pada bakso dengan penambahan 20% tapioka dan menggunakan daging postmortem empat jam yaitu dengan nilai hedonik cenderung netral. Warna yang paling disukai terdapat pada bakso yang menggunakan penambahan 20% tapioka dengan menggunakan daging postmortem enam jam.

Berdasarkan nilai modus, warna bakso daging sapi memiliki tingkat kesukaan seragam yaitu suka pada semua jenis kombinasi dan lama postmortem daging yang berbeda. Hal ini menunjukkan panelis cukup menerima warna bakso daging sapi yang dihasilkan. Warna pada produk bakso salah satunya dipengaruhi oleh kandungan mioglobin pada daging. Perbedaan aktivitas otot berdasarkan jenis urat dapat mempengaruhi jumlah kandungan mioglobin daging (Lawrie, 2003).

Bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan berpengaruh nyata terhadap warna bakso. Selama pemanasan warna daging akan berubah secara bertahap dari merah muda menjadi lebih pucat. Jika suhu pemanasan memenuhi terjadinya reaksi pencoklatan maka daging akan berubah lagi menjadi abu-abu atau coklat. Warna coklat tersebut disebabkan oleh jumlah pigmen yang menurun akibat terjadinya denaturasi kandungan heme pada myoglobin dan juga terjadinya dekomposisi dan polimerisasi karbohidrat, lemak dan protein. Menurut Muchtadi et al. (1992), warna merah daging merupakan refleksi dari pigmen myoglobin. Myoglobin merupakan protein kompleks yang berfungsi membawa oksigen untuk sel. Kandungan mioglobin pada jaringan bergantung pada aktivitas jaringan, efisiensi darah membawa oksigen, umur serta jenis hewan.

Pencoklatan juga disebabkan oleh adanya reaksi pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard) yaitu reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino. Kappa-karagenan mengandung sulfat sekitar 25-30% dan terdiri atas gugus galaktosa yang akan bereaksi dengan asam amino lisin yang peka terhadap kerusakan terutama pencoklatan non enzimatis. Selain berikatan dengan Kappa-karagenan, asam amino pun bereaksi dengan gula pereduksi yang terdapat pada pati yang mengandung glukosa. Selain itu adanya perbedaan perbandingan antara bahan pengisi dan karagenan pada setiap perlakuan menyebabkan perubahan warna yang nyata.

Aroma

Nilai rataan dan modus aroma bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Rataan dan Modus Uji Hedonik Aroma Bakso Daging Sapi Lama Postmortem

4 jam 6 jam

Perlakuan

Rataan Modus Rataan Modus

K0 3,37 3 3,56 4

K1 3,58 4 3,21 4

K2 3,49 4 3,49 4

Keterangan: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Netral 4. Suka 5. Sangat suka Aroma sulit untuk didefinisikan secara obyektif, evaluasi aroma dan rasa masih tergantung pada testing panel atau secara sensori. Tanpa adanya aroma, keempat rasa lainnya (manis, pahit, asam atau asin) akan terasa dominan. Evaluasi bau dan rasa sangat tergantung pada panel cita rasa. Bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan tidak berpengaruh nyata terhadap aroma bakso. Hal ini dikarenakan karagenan dapat mempertahankan protein, baik yang larut garam maupun air.

Daging dari ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih kuat daripada daging dari ternak yang lebih muda. Bakso daging sapi yang dihasilkan memiliki tingkat aroma yang tinggi. Rataan penilaian panelis terhadap aroma bakso berkisar antara 3,21 hingga 3,58 yang berarti bahwa aroma bakso daging sapi yang dihasilkan secara umum dari semua formulasi pembuatan bakso adalah relatif sama yaitu netral cenderung suka. Penyajian bakso yang hangat pada panelis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi panelis dalam menentukan tingkat penginderaan penciuman panelis. Tingkat kesukaan aroma bakso yang paling rendah terdapat pada bakso dengan penambahan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1) dan menggunakan daging postmortem enam jam yaitu dengan nilai hedonik cenderung netral.

Berdasarkan nilai modus, aroma bakso daging sapi memiliki nilai hedonik dominan suka. Aroma bakso yang menggunakan 20% tapioka dengan lama

postmortem empat jam (K0) memiliki nilai hedonik netral. Flavor daging

berkembang selama pemasakan. Aroma dari produk olahan daging dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu dan

kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan serta jenis, lama dan temperatur pemasakan (Lawrie, 2003). Aroma dari produk biasanya akan berkurang selama penanganan, pengolahan, dan penyimpanan. Selama pemasakan akan terjadi berbagai reaksi antara bahan pengisi dan daging, sehingga aroma yang khas pada daging sapi akan berkurang selama pengolahan produk.

Tekstur

Nilai rataan dan modus tekstur bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Rataan dan Modus Uji Hedonik Tekstur Bakso Daging Sapi

Keterangan: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Netral 4. Suka 5. Sangat suka Tekstur merupakan segala hal yang berhubungan dengan mekanik, geometris, dan permukaan suatu produk dan ditandai dengan kasar atau halusnya produk yang dihasilkan. Tekstur daging sapi berdasarkan nilai rataan memiliki nilai hedonik cenderung netral hingga suka. Tekstur bakso yang paling rendah terdapat pada bakso dengan penambahan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1) pada lama postmortem enam jam dengan nilai hedonik cenderung netral. Tekstur yang tinggi dengan nilai hedonik cenderung suka terdapat pada bakso dengan penambahan 15% tapioka + 5% karagenan (K2) dan penambahan 20% tapioka (K0) pada lama postmortem enam jam. Tekstur bakso dengan penambahan karagenan mengakibatkan adanya tekstur seperti gel di permukaaan dan di dalam bakso yang dihasilkan. Hal ini disukai oleh panelis karena dengan fungsi karagenan sebagai stabilizer, sehingga penambahan karagenan dapat meingkatkan tekstur bakso daging sapi. Tekstur bakso juga dipengaruhi oleh nilai daya mengikat air dan pH. Peningkatan nilai pH dan daya mengikat air akan meningkatkan tekstur bakso menjadi lebih kompak. Penambahan karagenan hingga 5% menyebabkan tekstur agak keras. Kappa-karagenan merupakan

Lama Postmortem

4 jam 6 jam

Perlakuan

Rataan Modus Rataan Modus

K0 3,42 4 3,51 4

K1 3,39 4 3,21 3

fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat thermoreversible, yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel jika kembali jika didinginkan.

Berdasarkan nilai modus, tekstur bakso daging sapi memiliki nilai hedonik dominan suka. Teksur bakso yang menggunakan 17,5% tapioka + 2,5% karagenan (K1) pada lama postmortem enam jam memiliki nilai hedonik netral. Aspek yang dinilai dari kriteria tekstur adalah kasar atau halusnya bakso yang dihasilkan. Kolagen daging mempengaruhi tingkat kekerasan produk. Kolagen merupakan protein struktural pokok pada jaringan ikat yang meliputi 20-25% total protein daging (Soeparno, 2005). Penambahan karagenan akan menghasilkan bakso dengan tekstur yang unik karena di permukaan dan di dalam bakso terdapat gel yang menyerupai agar. Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Jala ini mampu menangkap air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.

Rasa

Nilai rataan dan modus rasa bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Rataan dan Modus Uji Hedonik Rasa Bakso Daging Sapi Lama Postmortem

4 jam 6 jam

Perlakuan

Rataan Modus Rataan Modus

K0 3,81 4 3,79 4

K1 3,56 4 3,49 4

K2 3,63 4 3,39 4

Keterangan: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Netral 4. Suka 5. Sangat suka

Dokumen terkait