• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa jenis polimer superabsorben mempunyai beberapa kelemahan, yaitu kapasitas absorpsi yang kecil, kurang stabil terhadap perubahan pH, suhu dan sifat fisik yang kurang baik. Salah satu pengembangan polimer superabsorben dapat dibuat dari polimer alam yang dimodifikasi dengan agen penaut silang seperti asam suksinat. Dengan demikian, modifikasi polimer superabsorben diharapkan mempunyai sifat fisik dan kimia yang jauh lebih baik berdasarkan kemampuan kapasitas absorpsi, kuat tarik, dan biokompatibilitas.

Nata de coco merupakan serat selulosa dari hasil metabolisme bakteri Acetobacter xylinum yang mempunyai aktivitas dapat memecah gula untuk mensintesis selulosa ekstra seluler dari air kelapa. Jika dibandingkan dengan sumber selulosa alami lainnya, nata de coco memiliki beberapa keunggulan, yaitu memiliki sifat fisik mekanik yang tinggi, dan kemurniannya lebih unggul dibandingkan selulosa kayu (Iskandar et al. 2010). Karena kemurnian selulosa bakterial yang baik itulah maka nata de coco pada penelitian ini dimodifikasi secara kimia menjadi turunan selulosa lainnya, yaitu karboksimetil selulosa (Gambar 1) yang merupakan eter polimer selulosa linear yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan hidrogel.

7 Karboksimetil selulosa (CMC) diperoleh dari proses sintesis yang meliputi tahapan proses alkalisasi, karboksimetilasi, pemanasan, netralisasi, serta pemurnian, yaitu pencucian dan pengeringan. Proses alkalisasi menggunakan NaOH 35% (b/v), kemudian proses karboksimetilasi menggunakan asam monokloroasetat dengan katalis isopropanol, lalu proses pemanasan selama 4 jam pada suhu 55 ˚C untuk membantu proses reaksi. Menurut Awalludin (2004), CMC yang diperoleh masih mengandung campuran NaCl dan asam glikolat seperti pada Gambar 1, maka campuran tersebut harus dipisahkan melalui proses netralisasi, yaitu pencucian dengan metanol 80% dan asam asetat untuk menetralkan pH. Proses pemurnian CMC melalui pencucian menggunakan metanol absolut untuk menghilangkan asam glikolat sebagai produk samping dan pengotor-pengotor lainnya kemudian dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air.

Karboksimetil selulosa (CMC) adalah bahan serbaguna yang digunakan secara luas dalam berbagai bidang karena gugus karboksimetil yang berfungsi sebagai hidrokoloid memiliki kemampuan untuk mengentalkan air, menangguhkan padatan dalam media cair, menstabilkan emulsi, menyerap kelembaban dari atmosfer, dan bahan baku pembentuk film. CMC juga banyak digunakan pada berbagai industri seperti: detergen, cat, keramik, tekstil, kertas, dan makanan yang berfungsi sebagai pengental, penstabil emulsi atau suspensi, dan bahan penaut silang (Wijayani et al. 2005). CMC memiliki sifat penting seperti kelarutan dan absorpsi di permukaan. Selain sifat-sifat tersebut, viskositas dan derajat substitusi merupakan dua faktor terpenting dari CMC (Aprilia 2009).

Asam suksinat dengan dua gugus karboksilat dapat digunakan sebagai agen penaut silang pada pembuatan hidrogel dari CMC sintetis melalui reaksi esterifikasi antara gugus karboksilat dari asam suksinat dengan gugus –OH dari CMC seperti pada Gambar 2 sehingga menghasilkan taut silang yang kuat.

8

Berdasarkan morfologinya, polimer pada penelitian ini termasuk polimer absorben jenis lembaran, jika ditinjau dari jenis bahan penyusunnya termasuk polimer absorben makromolekul alam, sedangkan dilihat dari proses pembuatannya termasuk polimer ikatan silang. Ikatan utama polimer absorben adalah gugus hidrofilik karena terdiri atas gugus karboksilat (COO-) yang mudah menyerap air. Ketika polimer absorben dimasukkan dalam air atau pelarut akan terjadi interaksi hidrasi antara polimer dengan molekul air. Mekanisme hidrasi yang terjadi adalah ion karboksilat dari zat terlarut dalam polimer akan terikat dengan molekul polar air. Adanya ikatan silang dalam polimer absorben menyebabkan polimer tidak larut dalam air (Swantomo et al. 2008).

Spektrum FTIR

Spektroskopi FTIR merupakan suatu metode yang baik untuk pencirian polimer karena dapat dilakukan dengan cepat dengan hanya sedikit sampel. Prinsip dari teknik ini melibatkan deteksi dari absorpsi IR oleh monomer dari suatu polimer. Spektrum FTIR (Gambar 3) digunakan untuk membuktikan terbentuknya ikatan silang pada polimer induk. Dengan membandingkan spektrum selulosa nata de coco dengan spektrum CMC sintetis dan spektrum CMC-AS yang telah tertaut silang, maka akan terlihat perbedaan serapan di antara ketiganya.

Gambar 3 Spekrtum tumpuk FTIR pada sampel: (a) Selulosa nata de coco 400 mesh, (b) CMC sintetis 100 mesh, dan (c) Suspensi CMC-AS

Spektrum a memperlihatkan spektum dari selulosa nata de coco dengan adanya vibrasi ulur dan tekuk C–H pada bilangan gelombang 2890 cm-1 dan 1334 cm-1. Vibrasi ulur –OH terdeteksi pada bilangan gelombang 3271 cm-1 sedangkan vibrasi ulur C–O pada unit glukosa rantai terbuka muncul pada bilangan

─OH

C═O C─O C─H

9 gelombang 1111 cm-1. Spektrum b merupakan spektrum dari CMC sintetis yang dicirikan dengan adanya vibrasi tekuk –OH pada bilangan gelombang 1415 cm-1, gugus eter (CH–O–CH2) pada bilangan gelombang 1060 cm-1 dan vibrasi ulur C=O pada bilangan gelombang 1593 cm-1 yang mengindikasikan adanya gugus karbonil dengan serapan yang lebih kuat dan tajam daripada serapan karbonil di spektrum a pada bilangan gelombang 1535 cm-1 sehingga selulosa nata de coco telah termodifikasi menjadi CMC. Spektrum c merupakan spektrum dari suspensi CMC-AS yang telah tertaut silang oleh asam suksinat yang menunjukkan serapan karboksil pada bilangan gelombang 1701 cm-1 dengan intensitas yang tinggi serta vibrasi ulur –OH pada bilangan gelombang 3387 cm-1.

Derajat Substitusi, Kadar Air, dan pH Larutan CMC 1%

Struktur karboksimetil selulosa mempunyai kerangka dasar 1,4-β -D-glukopiranosa dari polimer selulosa. Setiap unit anhidroglukosa (C6H10O5) pada struktur selulosa memiliki tiga gugus hidroksil (–OH) yang dapat diganti oleh senyawa lain. Derajat Substitusi (DS) adalah jumlah rata-rata gugus per unit anhidroglukosa yang disubstitusikan oleh gugus lain. Akibat dari masuknya senyawa pengganti tersebut ke dalam rantai selulosa, maka susunan unit anhidroglukosa berubah sehingga molekul air atau senyawa pelarut lain dapat masuk ke dalam polimer selulosa sehingga nilai DS menentukan kelarutan CMC. Penentuan jumlah asam monokloroasetat yang mampu menempel pada permukaan selulosa dapat dilakukan dengan analisis semikuantitatif melalui DS berdasarkan banyaknya jumlah gugus hidroksil yang tersubstitusi oleh asam monokloroasetat terhadap selulosa dengan harapan jumlah, distribusi dan penataan asam monoklorosetat yang menempel pada permukaan selulosa dapat ditentukan.

Tabel 1 Perbandingan CMC sintetis dengan standar baku CMC berdasarkan SNI 06-3736-1995

Uraian Mutu I Mutu II CMC sintetis

Kadar air (% maks) 10.00 12.50 8.99

Derajat substitusi 0.70 - 1.20 0.40 - 1.00 0.24 pH larutan CMC 1% 6.00 - 8.00 6.00 - 8.50 4.57

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh rerata DS sebesar 0.24 dan belum memenuhi standar baku SNI 06-3736-1995 dengan kisaran nilai DS antara 0.40–1.00 untuk CMC mutu II. Nilai DS yang rendah ini sangat mempengaruhi sifat kelarutan, kekentalan dan pH dari CMC yang telah disintesis karena semakin besar nilai derajat substitusi maka kualitas CMC semakin baik dan kelarutan dalam air semakin besar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya gugus hidroksil (–OH) yang tersubstitusi oleh asam monokloroasetat pada reaksi karboksimetilasi selulosa sehingga mempengaruhi DS pada CMC sintetis yang tidak lebih baik jika dibandingkan dengan CMC komersial.

Analisis kadar air dilakukan dengan metode langsung dengan menghilangkan molekul air yang tertaut secara fisik maupun kimia dengan cara pengeringan oven dan desikasi. Kadar air dapat diketahui berdasarkan bobot air yang hilang. Analisis kadar air dan pH larutan CMC 1% dilakukan untuk

10

mengetahui sifat CMC yang telah disintesis. CMC bersifat higroskopis sehingga dapat menyerap air dari udara. Jumlah air yang dapat diabsorbsi bergantung pada kadar air CMC, kelembaban relatif, suhu, dan derajat substitusi. CMC dengan derajat substitusi yang tinggi lebih efektif mengikat air (Nisa dan Putri 2014).

Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 1, CMC sintetis memiliki rerata kadar air sebesar 8.99 % dan telah memenuhi standar baku SNI 06-3736-1995 dengan kadar air maksimal 10% untuk CMC mutu I dan 12.50 % untuk CMC mutu II. Namun hasil pengujian pH larutan CMC sintetis 1% seperti pada Tabel 1 sebesar 4.57 masih jauh dari standar mutu II dengan kisaran pH 6.0 – 8.5. Menurunnya pH dapat menurunkan viskositas karboksimetil selulosa akibat polimernya yang bergulung (Aprilia 2009). Sifat asam pada CMC sintetis dapat disebabkan oleh proses pencucian dan perebusan nata de coco yang belum sempurna sehingga sisa asam asetat dari hasil pembuatan nata de coco masih ada.

Keberadaan Logam Oksida

Difraksi sinar-X digunakan untuk mengidentifikasi struktur kristal suatu sampel dengan membandingkan intensitas puncak difraksi dan sudut 2θ dengan data standar. Identifikasi keberadaan logam oksida yang diduga berupa ZnO dapat dilakukan dengan membandingkan difraktogram sampel uji dengan difraktogram referensi dalam database yang telah ditetapkan oleh Joint Committee on Powder Difraction Standards (JCPDS) (Lampiran 6). Melalui pengujian ini diharapkan hasil analisis memiliki difraktogram yang sama dengan referensi sehingga dapat membuktikan keberadaan logam oksida yang terbentuk.

(a)

(b)

Gambar 4 Difraktogram dari (a) CMC-AS-ZnSO4 0.5%, dan (b) CMC-AS

0 100 200 300 400 10 20 30 40 50 60 70 80 Int e nsi ta s 0 100 200 300 400 10 20 30 40 50 60 70 80 Int e nsi ta s 31.83 ZnSO4 75.37 CMC-AS 66.24 CMC-AS 56.53 CMC-AS 45.59 ZnSO4 14.14 CMC-AS 13.41 75.45 66.19 56.07 27.57 ZnSO4

11 Berdasarkan difraktogram yang diperoleh seperti pada Gambar 4, terdapat banyak puncak serapan tajam yang mengindikasikan keberadaan logam dan juga polimer dari CMC-AS. Hal tersebut ditandai dengan adanya puncak serapan logam oksida pada sudut 2θ di posisi 27.57, 31.83, dan 45.59, sedangkan untuk polimer CMC-AS terdeteksi pada sudut 2θ di posisi 14.14, 56.53, 66.24, dan 75.37. Jika dibandingkan dengan database JCPDS (Lampiran 6), maka ketiga puncak serapan tersebut cenderung mendekati difraktogram ZnSO4 sehingga logam oksida ZnO yang diharapkan belum terbentuk. Hal ini disebabkan oleh proses pengeringan CMC-AS-ZnSO4 dengan suhu pemanasan yang rendah yaitu 55 ˚C, sedangkan logam oksida ZnO akan terbentuk dengan suhu pemanasan yang tinggi yaitu 120 – 140 ˚C (Hashem et al. 2013).

Morfologi CMC-AS-ZnSO4

Morfologi permukaan CMC-AS-ZnSO4 dianalisis menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Mikrofotograf yang dihasilkan menunjukkan bentuk permukaan CMC-AS-ZnSO4, porositas serta banyaknya mikropori yang terbentuk pada masing-masing perbesaran. Melalui mikrofotograf, bentuk permukaan CMC-AS-ZnSO4 akan terlihat struktur fisik misalnya memiliki struktur berombak, berpori, membentuk agregat, tidak beraturan, dan sebagainya. Porositas diketahui berdasarkan mikropori yang terbentuk, mikropori inilah yang akan mempengaruhi kemampuan pembengkakan dari hidrogel. Analisis morfologi CMC-AS-ZnSO4 dilakukan berdasarkan sampel yang menghasilkan kemampuan pembengkakan tertinggi, yaitu dengan komposisi ZnSO4 0.5%.

Gambar 5 Mikrofotograf hidrogel CMC-AS-ZnSO4 0.5% pada (a) Perbesaran 100 kali, (b) Perbesaran 750 kali, (c) Perbesaran 1000 kali, (d) Perbesaran 3500 kali, (e) Perbesaran 50 kali pada hidrogel CMC-AS oleh Hashem et al. (2013), dan (f) Perbesaran 1000 kali pada hidrogel CMC-AS-ZnO oleh Hashem et al. (2013)

a b c

12

Hasil mikrofotograf mengunakan SEM pada perbesaran 100 kali (Gambar 5a) terlihat bahwa morfologi CMC-AS-ZnSO4 membentuk serat-serat halus yang homogen. Permukaan yang kasar pada CMC-AS-ZnSO4 terlihat pada perbesaran 750 dan 1000 kali (Gambar 5b dan 5c) yang membentuk guratan berongga. Pada perbesaran 3500 kali (Gambar 5d) terlihat mikropori berupa titik hitam pada CMC-AS-ZnSO4 yang berfungsi untuk menjerap air. Mikropori tersebut merupakan tempat berinteraksi antara air dengan gugus hidrofilik (–OH, –COOH) pada hidrogel yang mempengaruhi kemampuan pembengkakan karena dapat meningkatkan luas permukaan kontak antara CMC-AS-ZnSO4 dengan air. Luas permukaan kontak yang besar mengakibatkan tempat interaksi antara gugus hidrofilik dengan air menjadi besar. Menurut Abidin et al. (2012), kapasitas absorpsi hidrogel dapat dinaikkan dengan memperbesar luas kontak baik melalui permukaan bergelombang maupun jumlah dan ukuran pori. Hal ini dapat dilakukan baik secara perlakukan fisik maupun secara perlakuan kimia.

Berdasarkan mikrofotograf CMC-AS-ZnSO4 pada Gambar 5a, b, c, dan d membuktikan bahwa logam oksida ZnO memang belum terbentuk dan jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hashem et al. (2013), pada Gambar 5e menunjukkan bahwa permukaan CMC-AS-ZnSO4 membentuk mikropori yang tidak seragam. Gambar 5f menunjukkan adanya nanopartikel ZnO yang tidak terikat secara kimia dengan CMC-AS sehingga berbentuk kristal padat yang menempel pada permukaan hidrogel.

Kemampuan pembengkakan hidrogel (swelling)

Hasil optimalisasi pembuatan hidrogel dari pasta CMC sintetis dengan asam suksinat sebagai penaut silang diperoleh pada komposisi 15% : 7.5% (b/v) dengan penambahan larutan ZnSO4 sebagai zat antibakteri membentuk CMC-AS-ZnSO4 pada konsentrasi 0.1%, 0.3% dan 0.5% (b/v). CMC-AS tanpa penambahan ZnSO4 menghasilkan kemampuan pembengkakan hidrogel sebesar 64.84% dan kemampuan pembengkakan hidrogel meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ZnSO4 seperti pada Gambar 6. Kemampuan pembengkakan hidrogel meningkat karena adanya interaksi molekul air dengan partikel ZnSO4 yang bersifat higroskopis.

Gambar 6 Kemampuan pembengkakan hidrogel (swelling) 64.84 80.66 107.08 117.40 0 20 40 60 80 100 120 140 CMC-AS CSZ 0.1% CSZ 0.3% CSZ 0.5% Rer a ta sw elling (% ) Komposisi CMC-AS-ZnSO4 0.1% CMC-AS-ZnSO4 0.3% CMC-AS-ZnSO4 0.5%

13 Adsorpsi yang terjadi tidak hanya secara kimia, tetapi adsorpsi juga dapat terjadi secara fisika. Adsorbat menempel pada permukaan absorben melalui interaksi antarmolekul yang lemah (ikatan Van der Waals), yaitu saat molekul air terjerap di antara mikropori yang terbentuk. Faktor-faktor yang memengaruhi proses adsorpsi, yaitu sifat fisik dan kimia absorben seperti luas permukaan, ukuran partikel, dan komposisi kimia. Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaannya per satuan volume tertentu, sehingga akan semakin banyak zat yang diadsorpsi. Faktor lainnya adalah sifat fisis dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul dan komposisi kimia serta konsentrasi adsorbat dalam fase cairan (Atkins 1999). Berdasarkan pengamatan, hidrogel ini memiliki kekenyalan yang baik dan tidak mudah putus walaupun pada kondisi menyerap air yang maksimum. Namun kemampuan pembengkakan dari hidrogel pada penelitian ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Hashem et al. (2013) dengan swelling ratio yang mencapai 45 kali bobot awalnya.

Aktivitas Antibakteri Hidrogel

Pengujian antibakteri E. coli dan S. aureus menggunakan metode cakram padat dengan kontrol positif larutan Kloramfenikol 1000 ppm untuk bakteri S. aureus sedangkan untuk bakteri E. coli menggunakan larutan Tetrasiklin 1000 ppm. Untuk kontrol negatif menggunakan DMSO dan CMC-AS tanpa penambahan ZnSO4. Indikasi aktivitas positif dari senyawa antibakteri tersebut ditandai oleh adanya zona bening di sekitar koloni. Untuk kontrol negatif ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening di sekitar cakram.

Gambar 7 Aktivitas antibakteri hidrogel terhadap (a) Escherichia coli, (b) Staphylococcus aureus dengan (A) CMC-AS-ZnSO4 0.1% ; (B) CMC-AS-ZnSO4 0.3% ; (C) CMC-AS-ZnSO4 0.5% ; (+) Kontrol positif ; dan (-) Kontrol negatif DMSO ; dan (-CMC) CMC-AS

Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti pada Gambar 7, terlihat bahwa hidrogel CMC-AS tanpa penambahan ZnSO4 memberikan respon positif sebagai antibakteri dengan adanya zona bening. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sisa metanol yang tertinggal setelah proses pencucian CMC dan metanol tersebut juga merupakan zat antibakteri. Zona bening tersebut menandai bahwa bakteri uji tidak

14

dapat tumbuh dan mendegradasi hidrogel. Diameter zona bening pada hidrogel meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ZnSO4 seperti yang terjadi pada bakteri E. coli dengan diameter zona bening terbesar pada konsentrasi CMC-AS-ZnSO4 0.5% sebesar 16.63 mm, namun hal ini tidak terjadi pada bakteri S. aureus, hal ini mungkin disebabkan oleh sifat resistensi yang berbeda pada bakteri uji terhadap senyawa ZnSO4 dan juga dipengaruhi oleh jenis bakteri yang digunakan, yaitu bakteri gram positif dan negatif.

Tabel 2 Aktivitas antibakteri hidrogel CMC-AS-ZnSO4

Komposisi

Escherichia coli Staphylococcus aureus Zona inhibisi (mm) Rasio aktivitas inhibisi Zona inhibisi (mm) Rasio aktivitas inhibisi Kontrol positif 1000 ppm 20.33* - 17.41# -

Kontrol negatif DMSO 0.00 - 0.00 -

CMC-AS 15.05 0.74 10.31 0.59

CMC-AS-ZnSO4 0.1% 15.81 0.78 10.47 0.60 CMC-AS-ZnSO4 0.3% 16.13 0.79 11.21 0.64 CMC-AS-ZnSO4 0.5% 16.63 0.82 10.16 0.58

Keterangan: (*) Tetrasiklin 1000 ppm, (#) Kloramfenikol 1000 ppm

Adanya perbedaan diameter zona bening pada S. aureus dan E. coli seperti pada Tabel 2 disebabkan oleh perbedaan komponen penyusun dinding sel antara bakteri gram positif dan gram negatif. Dinding sel bakteri gram positif seperti S. aureus banyak mengandung molekul polisakarida, sedangkandinding sel bakteri gram negatif seperti E. coli berisi tiga komponen, yaitu lipoprotein pada membran terluar yang mengandung molekul protein yang disebut lipopolisakarida dan porin yang bersifat hidrofilik (Iskandar et al. 2010). Hal tersebut mempengaruhi seberapa banyak senyawa antibakteri yang dapat masuk ke dalam membran sel sehingga dapat mengganggu pertumbuhan bakteri dan bahkan membunuh bakteri uji.

Kloramfenikol dapat menghambat proses sintesis protein dengan cara

menghambat proses pemanjangan peptida saat translasi dengan mengikat enzim peptidiltransferase ribosom 50S sedangkan Tetrasiklin menghambat ikatan subunit kecil 30S ribosom dengan tRNA aminoasil pada sisi (A-asam amino) subunit besar 50S yang terletak pada kompleks ribosom mRNA. Penghambatan pergerakan tRNA untuk berikatan menyebabkan gangguan pembentukkan rantai polipeptida (Nonong dan Satari 2011). Rasio aktivitas inhibisi digunakan untuk membandingkan efektifitas sifat antibakteri dari logam oksida terhadap kontrol positif yang digunakan, yaitu Kloramfenikol dan Tetrasiklin. Jika nilai rasio aktivitas inhibisi rendah, hal tersebut menunjukkan bahwa zat antibakteri yang diuji belum efektif menghambat atau bahkan membunuh bakteri uji dan jika nilai rasio aktivitas inhibisi mendekati 1, maka zat antibakteri menunjukkan kemiripan sifat bakterisidal ataupun bakteriostatik dengan kontrol positif yang digunakan.

15 Tabel 3 Perbandingan rasio aktivitas antibakteri hidrogel terhadap logam oksida

ZnSO4, TiO2, dan AgNO3

Sampel Zona inhibisi sampel (mm) Zona inhibisi kontrol positif (mm) Rasio aktivitas antibakteri E. coli S. aureus E. coli

Dokumen terkait