• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Biji Buru Hotong

Gambar biji buru hotong yang diperoleh dengan menggunakan Mikroskop Sterio tipe Carton pada perbesaran 2 x 10 diatas kertas millimeter blok menunjukkan panjang benih 1,7 mm dan lebar 1,5 mm. (Gambar 5). Hasil ini sesuai dengan Dassanayake (1994) yang menyatakan bahwa biji buru hotong memilki ukuran panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm.

Gambar 5. Biji Buru Hotong dengan Perbesaran Mikroskop 2 x 10

Kadar Air

Kadar air (KA) merupakan salah satu faktor penting dalam kelangsungan hidup benih. Benih golongan Gramineae merupakan benih ortodoks yang memerlukan KA rendah sebelum disimpan (Ellis et al., 1985). Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemunduran benih selama penyimpanan. Pada penelitian ini KA benih sebelum penyimpanan (9 MSP) sekitar 10,73%. Kadar air benih hotong mengalami fluktuasi selama periode afterripening dari 9 – 19 MSP, yaitu meningkat pada periode afterripening 10 MSP dan menurun secara drastis pada periode afterripening 11 MSP, namun selanjutnya konstan pada kisaran 11% sampai dengan 19 MSP (Gambar 6).

Benih ortodoks yaitu benih yang mengalami desikasi secara alami pada pohon induknya, dengan kriteria benih masak secara fisiologis. Benih ortodoks

tahan terhadap pengeringan hingga mencapai kadar air 5%. Kelompok benih ortodoks umumnya dijumpai pada spesies- spesies tanaman setahun, dua tahunan dan benih- benih tanaman kehutanan yang dibudidayakan dengan ukuran benih yang kecil.

Gambar 6. Kadar Air Benih Buru Hotong selama Afterripening 9 – 19 MSP Benih hotong termasuk benih ortodoks karena ukuran benih kecil, tahan terhadap pengeringan hingga kadar air 10,86% pada suhu 103±2ºC selama 17±1 jam, kemudian Ellis et al. (1985) juga menyatakan bahwa benih golongan Gramineae merupakan benih ortodoks, yang termasuk di dalamnya adalah benih buru hotong.

Secara alami benih tetap melakukan respirasi yang merupakan satu- satunya proses fisiologis yang masih berjalan walaupun dalam keadaan disimpan dalam suatu wadah. Menurut Sutopo (2004) respirasi dalam benih sangat dipengaruhi oleh kadar air benih, pada kadar air yang masih tinggi (>8%), respirasi berjalan cepat dan juga memperbesar peluang terjadinya cendawan. Hal ini tidak menguntungkan bagi benih karena dapat menurunkan daya berkecambah benih. Biasanya respirasi yang terjadi pada benih merupakan fungsi dari suhu dan kadar air benih. Peningkatan respirasi akan menyebabkan penurunan cadangan karbohidrat sehingga kemampuan perkecambahan benih cepat menurun. Respirasi menyebabkan terbentuknya air dan CO2 yang menyebabkan kelembaban di sekitar

9.00% 9.50% 10.00% 10.50% 11.00% 11.50% 12.00% 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Ka da r Air ( % ) Periode Afterripening (MSP)

22

benih meningkat dan suhu bertambah sehingga memacu pertumbuhan jamur dan cendawan.

Kadar air benih hotong yang diuji mengalami fluktuasi selama periode afterripening dari 0 – 10 minggu, yaitu meningkat pada periode afterripening 1 minggu dan menurun secara drastis pada periode afterripening 2 minggu, namun benih hotong tersebut tidak mengalami penurunan kadar air yang nyata setelah benih mengalami periode afterripening 10 minggu. Diduga hal tersebut terjadi karena pertama, benih merupakan benda higroskopis yang dapat menyerap dan melepaskan kelembaban (air) dari dan ke lingkungan sehingga terjadi suatu keseimbangan antara kadar air benih dengan kadar air keseimbangan (Mugnisjah dan Setiawan, 1990).

Kedua, kadar air benih merupakan suatu fungsi dari kelembaban nisbi udara sekitarnya. Kelembaban nisbi merupakan suatu pernyataan mengenai jumlah uap air sesungguhnya yang ada di udara yang dihubungkan dengan jumlah seluruh uap air yang dapat dipegang oleh udara. Apabila temperatur meningkat, udara dapat memegang lebih banyak uap air, sehingga apabila udara panas tanpa mengubah kadar airnya maka persentase kelembaban nisbi akan menurun. Kadar air suatu benih tertentu bergantung pada kelembaban nisbi, sedangkan suhu memberikan pengaruh yang kecil. Apabila kelembaban nisbi udara sekeliling benih meningkat, maka kadar air benih akan meningkat (Byrd dalam Lensari 2009).

Hasil sidik ragam pengaruh periode afterripening dan metode pematahan dormansi dapat dilihat pada Lampiran 1 – 4 dan rekapitulasinya pada Tabel 2. Berdasarkan hasil sidik ragam, faktor tunggal periode afterripening (P) dan faktor metode pematahan dormansi (D) menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap semua tolok ukur yaitu PTM, DB, KCT dan IV sedangkan interaksi antara periode afterripening dengan metode pematahan dormansi (PxD) berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur KCT dan IV.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Periode Afterripening (P), Metode Pematahan Dormansi (D) dan Interaksinya (PxD) terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada Buru Hotong

Tolok Ukur Perlakuan KK(%)

P D PxD (P) (D)

Daya Berkecambah ** ** tn 10 9.3

Potensi Tumbuh Maksimum ** ** tn 8.9 7.9

Kecepatan Tumbuh ** ** ** 8.5 9.8

Indeks Vigor ** ** ** 11.4 10.7

Keterangan: ** = sangat nyata pada α 1%, * = nyata pada α 5%, tn = tidak berpengaruh nyata

Pengaruh Periode Afterripening terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh, dan Indeks Vigor pada Benih Buru Hotong

Daya berkecambah merupakan persentase benih yang tumbuh menjadi kecambah normal. Benih yang diuji memiliki DB awal 56,67%, namun dengan semakin bertambahnya waktu periode afterripening terlihat semakin meningkatnya nilai DB yang mengindikasikan bahwa benih tersebut mengalami dormansi. Menurut Nugraha dan Soejadi (2001) benih dorman dari spesies tertentu seperti pada padi dinyatakan patah dormansinya apabila daya berkecambahnya 80 % atau lebih. Tanaman buru hotong merupakan satu famili dengan tanaman padi sehingga kriteria patah dormansi buru hotong jika telah mencapai DB 80%. Buru hotong patah dormansi pada periode afterripening antara 12 – 13 MSP karena daya berkecambah benih pada periode tersebut telah mencapai 80% (Tabel 3).

24

Tabel 3. Pengaruh Periode Afterripening terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada Buru Hotong

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) merupakan jumlah persentase kecambah normal ditambah dengan jumlah persentase kecambah abnormal. Berdasarkan Tabel 3, nilai PTM meningkat setelah benih mengalami periode afterripening. Peningkatan PTM berbanding lurus dengan lamanya periode afterripening dan pada benih ini PTM meningkat secara nyata mulai periode afterripening 11 MSP hingga periode afterripening 18 MSP. Tabel 3 juga menunjukkan nilai KCT dan IV meningkat secara nyata dengan semakin lamanya periode afterripening dimana peningkatan nilai KCT dan IV mulai terlihat pada periode afterripening 12 MSP.

Periode afterripening yaitu lamanya penyimpanan kering sampai benih dapat memecahkan dormansinya secara alami. Semakin lama periode afterripening, tolok ukur Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh dan Indeks Vigor pada benih hotong semakin meningkat. Dalam hal ini periode afterripening yang dibutuhkan untuk mematahkan dormansinya adalah 3 bulan yang dihitung dari saat panen. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Copeland dan Mc Donald (2001) yang menyatakan bahwa selama periode afterripening, benih mengalami perubahan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh dan inhibitor di dalam benih sehingga mengakibatkan peningkatan viabilitas benih serta Copeland (1976) menambahkan bahwa

Periode Afterripening (MSP) DB (%) PTM (%) KCT (%KN/etmal) IV (%) 9 56.7d 65.1e 17.4fg 47.1c 10 58.9d 68.2e 16.6g 50.2c 11 72.9c 77.1d 19.3ef 59.6b 12 79.3abc 84.7bc 21.7bcd 72.2a 13 81.8ab 84.7bc 21.4cd 76.0a

14 80.9ab 81.8cd 20.4de 73.8a

15 74.4bc 80.0cd 20.5de 68.2a

16 79.1abc 82.0cd 23.1ab 70.0a

17 79.8abc 81.1cd 23.6ab 73.8a

18 84.0a 94.4a 21.1cde 74.2a

afterripening merupakan dampak dari perubahan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh dan inhibitor didalam benih. Perubahan itu dapat berupa peningkatan zat pengatur tumbuh atau hilangnya inhibitor benih.

Mugnisjah (2007) juga menambahkan bahwa keperluan benih akan penyimpanan kering disebabkan oleh dormansi endogenus fisiologis, dimana dormansi tersebut berkaitan dengan konsentrasi ABA dan IAA yang tinggi, sementara Giberelin dan Sitokinin yang rendah. Ketidakseimbangan hormon- hormon ini berperan dalam timbulnya dormansi benih karena embrionya mendapat halangan pasokan oksigen atau perlu penyimpanan kering, cahaya dan suhu dingin. Desai et al. (1997) menyatakan penghalang perkecambahan akan hilang secara lambat dari benih selama afterripening, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosmawati (2003) menunjukkan bahwa tingkat dormansi benih genotipe padi yang diamati semakin berkurang dengan semakin lamanya penyimpanan.

Menurut Saenong et al. (1989) pada benih padi periode afterripening

beragam dari 0 - 11 minggu. Semakin lama periode afterripening yang dibutuhkan, maka akan semakin lama benih siap untuk ditanam sehingga diperlukan cara - cara untuk mematahkan dormansi benih sekurang- kurangnya dapat mempersingkat masa dormansi tersebut.

Pengaruh Metode Pematahan Dormansi terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh, dan Indeks Vigor pada Benih Buru Hotong

Berdasarkan tolok ukur DB, PTM dan IV pematahan dormansi yang paling baik adalah dengan perlakuan suhu 500C selama 48 jam karena perlakuan tersebut nyata meningkatkan nilai DB, PTM dan IV. Pada tolok ukur KCT pematahan dormansi yang paling baik adalah dengan perendaman KNO3 0,2% selama 24 jam dengan nilai KCT 22,1%KN/etmal (Tabel 4).

26

Tabel 4. Pengaruh Metode Pematahan Dormansi terhadap Daya Berkecambah, Potensi Tumbuh Maksimum, Kecepatan Tumbuh, dan Indeks Vigor pada Buru Hotong

Metode Pematahan

Dormansi DB(%) PTM(%) KCT(%KN/ etmal)

IV(%)

Kontrol 78.5a 82.7b 19.7b 66.0b

KNO3 0,2% 24 jam 67.8b 71.1c 22.1a 63.9b

Suhu 500C 48 jam 81.2a 88.5a 20.6b 71.8a

Keterangan : Angka- angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom yang sama, menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Daya berkecambah dan nilai perkecambahan benih merupakan parameter yang dapat menggambarkan status kemampuan perkecambahan benih, benih yang masih mampu menumbuhkan tanaman normal, meski kondisi alami tidak optimum atau suboptimum disebut benih yang memilki vigor yang baik (Sadjad et al., 1999).Dalam hal ini pengaruh metode pematahan dormansi antara kontrol dan perlakuan suhu 50°C 48 jam terhadap DB tidak berbeda nyata, namun nilai DB tertinggi dihasilkan oleh perlakuan suhu 50°C 48 jam. Hal ini sesuai dengan fungsi suhu yang dapat mengatur perkecambahan melalui 3 cara yaitu (1) menentukan kapasitas dan kecepatan perkecambahan, (2) mematahkan dormansi primer maupun sekunder dan (3) menginduksi dormansi sekunder (Widajati et al., 2008).

Potensi Tumbuh Maksimum merupakan tolok ukur dari Viabilitas total benih, dimana nilai PTM yang dihasilkan oleh perlakuan suhu 50°C lebih tinggi daripada kontrolnya. Indeks Vigor (IV) diukur berdasarkan jumlah kecambah normal pada pengamatan hitungan ke- 1 (Copeland and Mc Donald, 2001). Indeks Vigor benih dapat memberikan indeks mutu benih yang lebih peka daripada pengujian daya berkecambah serta dapat mengetahui informasi tingkatan yang konsisten tentang potensi mutu fisiologis dan fisik dari lot benih.

Cara pematahan dormansi secara fisiologis yaitu perlakuan dengan suhu tinggi 50°C berpengaruh terhadap tolok ukur DB, PTM dan IV. Hal ini diduga karena perlakuan suhu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya keseimbangan hormonal yaitu antara inhibitor (ABA), promotor (Giberelin) serta pengizin (Sitokinin). Kondisi keseimbangan hormonal menentukan benih dapat berkecambah atau tetap dorman. Muchtar dalam Rosmawati (2003)

menambahkan bahwa afterripening pada padi sawah varietas Srikuning dan Bahbutong cukup efektif dengan memberikan suhu tinggi (39 - 410C) dengan kelembaban relatif sedang (65 - 85 %), dan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah (52 - 60%) dapat mempercepat afterripeningnya dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya.

Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang berkecambah setiap hari dan merupakan gambaran vigor benih. Benih yang memilki kecepatan tumbuh yang tinggi menunjukkan bahwa benih tersebut memiliki vigor atau kekuatan tumbuh yang tinggi pula. Sadjad et al. (1975) menyatakan bahwa benih yang lebih cepat tumbuh menjadi kecambah normal mampu menghadapi kondisi lapang yang suboptimum. Pematahan dormansi dengan perendaman larutan KNO3 0,2% selama 24 jam, merupakan perlakuan yang berhasil dalam mematahkan dormansi untuk tolok ukur ini yang menghasilkan kecepatan tumbuh sebesar 22,1%KN/etmal. Hal tersebut diduga karena senyawa KNO3 merupakan pengganti fungsi cahaya dan suhu serta mempercepat penerimaan benih akan O2 yang sesuai dengan pernyataan Copeland dan Mc Donald (2001) bahwa KNO3 merupakan senyawa kimia yang mampu menstimulir perkecambahan khususnya pada benih- benih yang peka terhadap cahaya. Menurut Adkin et al. dalam Copeland dan Mc Donald (2001) menyatakan bahwa kinerja KNO3 mempengaruhi sistem respirasi secara langsung. Pada beberapa spesies rumput, KNO3 dapat berinteraksi dengan suhu untuk perkecambahan.

Perlakuan perendaman benih pada larutan KNO3 0,2% selama 24 jam memberikan respon terhadap tolok ukur kecepatan tumbuh. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Nur amin (2008), bahwa penggunaan KNO3 0,2% pada benih padi selama 24 jam dapat menghasilkan KCT benih yang lebih tinggi dibanding perlakuan kontrolnya.

28

Pengaruh Interaksi antara Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi terhadap KecepatanTumbuh dan Indeks Vigor pada Benih Buru Hotong

Interaksi antara periode afterripening dan metode pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap tolok ukur KCT dan IV dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan Tabel 5, perlakuan pematahan dormansi dengan perlakuan KNO3 0,2% selama 24 jam menghasilkan KCT yang tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kontrol (21,9% KN/etmal) yang tercapai pada periode afterripening 10 MSP.

Tabel 5. Interaksi Antara Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi terhadap Kecepatan Tumbuh (%KN/etmal) pada Buru Hotong

Periode Afterripening (MSP)

Metode Pematahan Dormansi Kontrol(tanpa perlakuan) KNO3 0,2% 24 jam Suhu 500C 48 jam 9 13.8j 17.3hi 21.1bcdefgh 10 14.5ij 21.9bcdef 13.5j 11 17.5ghi 19.2fgh 21.2bcdefg

12 20.6cdefgh 24.3abc 20.1efgh

13 19.6efgh 22.2bcdef 22.5abcdef

14 20.6cdefgh 20.1efgh 20.4defgh

15 19.8efgh 21.9bcdef 19.7efgh

16 21.9bcdef 24.7ab 22.5abcdef

17 21.4bcdef 26.1a 23.2abcde

18 22.4bcdef 21.7bcdef 19.3efgh

19 24.7ab 24.1abcd 22.8abcdef

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Pada perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam dengan nilai KCT 21,1% KN/etmal tercapai pada periode afterripening 9 MSP sedangkan pada benih tanpa perlakuan (kontrol), peningkatan KCT secara nyata terjadi pada 12 MSP. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan yang efektif dalam mematahkan dormansi adalah perlakuan suhu 50°C selama 48 jam pada 9 MSP.

Perlakuan kontrol pada periode afterripening 12 MSP mulai menunjukkan hasil yang baik dengan nilai KCT 20,6 % KN/etmal dan semakin meningkat hingga nilai KCT mencapai 24,7%KN/etmal. Perlakuan perendaman KNO3 0,2% selama 24 jam pada periode afterripening 10 MSP sudah menunjukkan hasil yang baik dengan nilai KCT 21,9% KN/etmal dan semakin meningkat hingga nilai KCT

mencapai 26,1%KN/etmal. Perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 9 MSP menunjukkan respon yang lebih baik dengan nilai KCT 21,1%KN/etmal dan semakin meningkat hingga nilai KCT mencapai 22,8%KN/etmal.

Dalam tolok ukur KCT ini, interaksi dengan perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 9 MSP yaitu 21,1% KN/etmal secara nyata efektif untuk mematahkan dormansi (Tabel 5).

Parameter kekuatan tumbuh benih di lapang disebut Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT). Vigor kekuatan tumbuh yaitu kemampuan benih untuk menghasilkan perkecambahan normal dan berproduksi secara normal pada keadaan lingkungan yang suboptimum. Pertanaman yang normal tersebut menampakkan kinerja pertumbuhan yang serempak, homogen serta pertumbuhannya cepat. Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT) memilki beberapa tolok ukur diantaranya Kecepatan Tumbuh (KCT). Benih vigor akan menunjukkan kecepatan yang tinggi dalam proses pertumbuhannya apabila kondisi di sekeliling untuk tumbuh optimum dan proses metabolismenya tidak terhambat (Sadjad et al., 1999).

Indeks Vigor (IV) benih dapat memberikan indeks mutu benih yang lebih peka daripada pengujian daya berkecambah. Berdasarkan Tabel 6, semua perlakuan dapat meningkatkan nilai IV benih secara nyata. Peningkatan IV untuk semua tolok ukur terjadi pada periode afterripening 12 MSP, namun nilai IV tertinggi yang dihasilkan perlakuan suhu 50°C tercapai pada periode afterripening 13 MSP yaitu 88% sedangkan pada kontrol nilai IV tertinggi tercapai pada periode afterripening 18 MSP yaitu 80%.

Perlakuan kontrol pada periode afterripening 12 MSP sudah menunjukkan respon yang baik dengan nilai IV sebesar 67,3% dan semakin meningkat hingga nilai IV mencapai 80 %. Perlakuan perendaman KNO3 0,2% selama 24 jam pada periode afterripening 12 MSP menunjukkan respon yang baik dengan nilai IV sebesar 70,7% dan semakin meningkat hingga nilai IV mencapai 72,7%. Perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 12 MSP menunjukkan respon yang baik dengan nilai IV 78,7% dan semakin meningkat hingga nilai IV 88%.

30

Tabel 6. Interaksi Antara Periode Afterripening dan Metode Pematahan Dormansi terhadap Indeks Vigor (%) pada Buru Hotong

Periode Afterripening (MSP)

Metode Pematahan Dormansi Kontrol (tanpa perlakuan) KNO3 0,2% 24 jam Suhu 500C 48 jam 9 44.7h 45.3h 51.3gh 10 54.7fgh 52.0gh 44.0h

11 59.3efg 58.7efg 60.7efg

12 67.3cdef 70.7cde 78.7abc

13 70.7cde 69.3cde 88.0a

14 70.7cde 62.7defg 88.0a

15 67.3cdef 62.0defg 75.3abcd

16 62.7defg 70.0cde 77.3abc

17 68.7cdef 66.7cdef 86.0ab

18 80.0abc 72.7bcde 70.0cde

19 80.0abc 72.7bcde 70.0cde

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Dalam tolok ukur indeks vigor ini, interaksi dengan perlakuan suhu 50ºC selama 48 jam pada periode afterripening 13 MSP secara nyata dapat menghasilkan nilai vigor tertinggi dibandingkan kontrol (Tabel 6).

Dokumen terkait