• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Partisipasi Responden

Kegiatan pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan selama 45 hari dan diperoleh hasil ada 49 UPTKP yang berpartisipasi dalam penelitian ini dari 50 UPTKP yang direncanakan. UPTKP yang berpartisipasi terdiri dari tiga kelompok yaitu UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR impor-antar area sebanyak 10, UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR antar area sebanyak 21 dan 18 UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR. Dari UPTKP tersebut berhasil terkumpul sampel sebesar 101 yang terdiri dari 75 pejabat fungsional medik veteriner dan 26 pejabat struktural. Realisasi tingkat partisipasi responden selengkapnya pada Lampiran 6.

Deskripsi Karakteristik Responden

Karakteristik reponden yang diperhatikan dalam penelitian ini meliputi 1) UPT, 2) pendidikan, 3) masa kerja, 4) jabatan dan 5) pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden.Pengamatan kelima aspek ini selain untuk mengetahui kondisi faktual karakteristik responden, sekaligus menggambarkan kesiapan Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP) untuk menciptakan prakondisi dan implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06.

Hasil survei terhadap 101 responden dari 49 UPTKP diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir adalah dokter hewan (86.1%). Responden dengan pendidikan terakhir pascasarjana (12.9%) sebelumnya juga memiliki pendidikan dokter hewan, dengan demikian bahwa 99% responden memiliki pendidikan dokter hewan sehingga layak untuk memberikan penilaian tentang prakondisi dan tingkat implementasi SK No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP, secara rinci terdapat pada Tabel 9.

Tabel 9 Pendidikan terakhir responden

No Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase (%)

1 Sarjana muda 1 1

2 Dokter hewan 87 86.1

3 Pascasarjana 13 12.9

Total responden 101 100

Karakteristik terkait masa kerja bahwa 39.6% responden memiliki masa kerja antara 2-5 tahun dengan jabatan sebagian besar calon medik veteriner (34.7%), pejabat struktural 25.7% dan medik veteriner pertama 21.8%, secara rinci pada Tabel 10. Secara keseluruhan bahwa 74% responden adalah pejabat fungsional medik veteriner dan 26% pejabat struktural. Bila dikaitkan dengan ukuran sampel bahwa realisasi sampel untuk pejabat fungsional adalah 96% (75/78) dan pejabat struktural 52% (26/50) serta realisasi UPTKP 98% (49/50) secara rinci pada Tabel 11.

Tabel 10 Masa kerja responden

No Masa Kerja Jumlah Persentase (%)

1 < 2 tahun 16 15.8 2 2-5 tahun 40 39.6 3 6-10 tahun 17 16.8 4 11-15 tahun 11 10.9 5 >15 tahun 17 16.8 Total responden 101 100

Tabel 11 Jabatan responden

No Jabatan Jumlah Persentase (%)

1 Paramedik veteriner 1 1.0 2 Calon medik veteriner 35 34.7 3 Medik veteriner pertama 22 21.8 4 Medik veteriner muda 10 9.9 5 Medik veteriner madya 7 6.9 6 Pejabat structural 26 25.7

Total responden 101 100

Tabel 12 Pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden No Keberadaan Pelatihan Jumlah Persentase (%)

1 Tidak 23 22.8

2 Ada 78 77.2

Responden sebanyak 77.2% pernah mengikuti pelatihan terkait rabies baik pelatihan laboratorium tentang pemeriksaan titer antibodi rabies, epidemiologi/ pemantauan/surveilans rabies maupun penyakit hewan, selengkapnya pada Tabel 12. Dari karakteristik responden baik pendidikan, masa kerja dan jabatan serta pelatihan terkait rabies bahwa responden layak untuk memberikan penilaian tentang prakondisi implementasi dan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP.

Prakondisi Implementasi Kebijakan di UPTKP

Prakondisi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi/sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Dari hasil penelitian, kualitas prakondisi di UPTKP sebagian besar berkategori sedang yaitu 81.6% UPTKP, sebesar 6.1% berkategori baik dan 12.2% berkategori kurang, secara rinci pada Tabel 13.

Tabel 13 Kualitas prakondisi implementasi di UPTKP

No Aspek Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Komunikasi Baik 18 (18/49) 36.7 Sedang 19 (19/49) 38.8 Kurang baik 12 (12/49) 24.5 2 Sumber daya Baik 6 (6/49) 12.2 Sedang 37 (37/49) 75.5 Kurang baik 6 (6/49) 12.2 3 Disposisi Baik 13 (13/49) 26.5 Sedang 24 (24/49) 49 Kurang baik 12 (12/49) 24.5 4 Struktur birokrasi Baik 8 (8/49) 16.3 Sedang 32 (32/49) 65.3 Kurang baik 9 (9/49) 18.4 Total Prakondisi Baik 3 (3/49) 6.1 Implementasi Sedang 40 (40/49) 81.6

Kurang baik 6 (6/49) 12.2

Aspek Komunikasi

Hasil penelitian bahwa komunikasi untuk mentransformasikan pedoman pencegahan penyebaran rabies kualitasnya sedang (38.8%) sampai baik (36.7%)

dan 24.5% UPTKP yang berkualitas kurang (lihat Tabel 13). Indikator untuk mengukur dukungan komunikasi dalam implementasi kebijakan adalah transmisi, kejelasan dan konsistensi. Indikator-indikator ini kualitasnya sedang sampai baik (lihat Tabel 14). Dalam indikator tersebut, pernyataan dengan kategori baik yaitu 95.9% UPTKP mengetahui tentang pedoman, 73.5% UPTKP melakukan apresiasi pedoman kepada medik dan paramedik veteriner namun UPTKP yang rutin melakukan apresiasi pedoman hanya 14.3%. Responden 87.8% mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman serta 93.9% responden mengetahui apa yang harus dilakukan (lihat Tabel 15).

Prakondisi dengan modal pengetahuan tentang pedoman yang baik, informasi yang jelas tentang pedoman serta responden mengetahui apa yang harus dilakukan, kemungkinan interpretasi yang salah bahkan bertentangan dengan pedoman peluangnya akan kecil sehingga diharapkan implementasi sesuai dengan pedoman.

Dalam beberapa kasus informasi yang diterima implementor sering kali kabur. Prakondisi ini sering dieksploitasi oleh implementor untuk menjalankan kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu kekaburan informasi akan memberikan suatu lingkungan yang menyebabkan para implementor dapat dengan mudah salah menafsirkan maksud-maksud yang sebenarnya.

Tabel 14 Kualitas indikator kumunikasi dalam pencegahan penyebaran rabies No Indikator

Komunikasi Kategori UPTKP

Persentase (%) 1 Transmisi Baik 6 12.2 Sedang 32 65.3 Kurang baik 11 22.4 2 Kejelasan Baik 30 61.2 Sedang 19 38.8 3 Konsistensi Baik 29 59.2 Sedang 20 40.8

Tabel 15 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori baik

No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Pengetahuan tentang pedoman

Mengetahui 47 95.9 Kurang mengetahui 2 4.1 2 Apresiasi pedoman Dilakukan 39 73.5

Kadang-kadang 6 12.2 Tidak 7 14.3 3 Kejelasan informasi tentang pedoman Jelas 43 87.8 Kurang jelas 6 12.2 4 Tahu apa yang harus

dilakukan

Faham 46 93.9 Kurang faham 3 6.1

Metoda transmisi yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 30.8% responden mendapatkan informasi tentang pedoman dengan membaca pedoman yang ada di UPTKP, 23.6% dari publikasi elektronik/internet dan 17.8% dari teman sejawat, selengkapnya pada Tabel 16. Bila disimpulkan bahwa 72.2% responden mendapat informasi tentang pedoman secara mandiri baik melalui internet, teman sejawat dan membaca pedoman yang ada di UPTKP sedangkan 22.8% responden mendapatkan informasi tentang pedoman secara kedinasan/formal yaitu melalui forum fungsional, atasan langsung, apresiasi dari pusat karantina hewan dan apresiasi dari UPTKP. Metoda transmisi seperti ini harus mulai diperbaiki dengan mengupayakan trasmisi secara formal karena transmisi secara formal akan mengeliminir persepsi yang salah tentang pedoman. Transmisi yang ditemukan ini bisa saja menjadi penyebab rendahnya tingkat implementasi. Mengutip pendapat Edwards III (dalam Winarno 2002) bahwa penyimpangan-penyimpangan transmisi dapat menjadi penyebab utama kegagalan implementasi.

Tabel 16 Cara/media komunikasi untuk mensosialisasikan pedoman (transmisi)

No. Transmisi Jawaban UPTKP (%)

1 Publikasi elektronik / Internet 23.6 2 Membaca sendiri dari peraturan di UPT 30.8 3 Teman sejawat/kolega 17.8 4 Apresiasi dari Pusat KH 7.6 5 Apresiasi dari UPT 3.3 6 Forum fungsional 8.5 7 Atasan lansung 8.4

Ada beberapa hambatan yang mungkin timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi antara lain 1) pertentangan pendapat antara implementor dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan pendapat ini akan menimbulkan hambatan komunikasi. 2) Informasi melewati hierarkhi birokrasi dan kondisi ini akan mempengaruhi tingkat efektifitas komunikasi yang dijalankan. 3) Persepsi implementor dan ketidakmauan implementor untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Kadang-kadang implementor mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencoba menduga-duga makna yang lain (Sumiteri 2008).

Tabel 17 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori sedang

No. Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Frekuensi apresiasi Rutin 7 14.3 Kadang-kadang 26 53.1 Tidak pernah 16 32. 2 Apa yang dilakukan sudah

sesuai pedoman

Tepat 31 63.3 Kadang tidak tepat 16 32.7 Tidak tepat Tidak tahu 1 1 2 2 3 Konsistensi pedoman Sama 29 59.2

Kurang sama 18 36.7 Tidak sama 2 4.1

Komunikasi merupakan tolok ukur seberapa jauh kebijakan dalam bentuk peraturan telah disampaikan secara jelas dengan interpretasi yang sama dan dapat dilakukan secara konsisten oleh implementor. Pada penelitian responden telah mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman (87.8%) dan responden mengetahui apa yang harus dilakukan (93.9%) namun apa yang dilakukan sesuai pedoman baru mencapai 63.3% (lihat Tabel 17) artinya ada sekitar 36.7% implementasi yang dilakukan “kadang-kadang tidak tepat” sampai dengan “tidak tepat”. Pernyataan ini agak kontradiksi karena jika implementor mengatakan sudah mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman dan tahu apa yang harus dilakukan maka implementasipun seharusnya sudah sesuai pedoman. Namun hal ini bisa dimengerti karena pengetahuan/sikap tidak selalu muncul dalam tindakan/implementasi, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain yaitu adanya kesempatan dan juga adanya sarana dan prasarana (Panjaitan 2012).

Konsistensi kebijakan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran oleh implementor. Konsistensi yang “sama” terhadap pedoman dijawab oleh 59.2% UPTKP dan 36.7% penafsiran terhadap pedoman “kurang sama” (lihat Tabel 17). Kualitas konsistensi seperti ini perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran karena kebijakan dengan konsistensi yang kurang baik akan menyebabkan ketidakefektifan implementor dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Konsistensi tidak saja pada tatanan implementor tetapi juga pada pejabat di tingkat atas. Jika pejabat tidak konsisten maka implementor akan mengalami kebingungan, sehingga implementasi kebijakan tidak akan efektif karena tujuan dan sasaran yang ingin dicapai tidak terwujud.

Aspek Sumber Daya

Secara keseluruhan aspek sumber daya dalam pencegahan penyebaran rabies kualitasnya termasuk kategori sedang yaitu 75.5% dan 12.2% yang kualitasnya berkategori baik. Indikator untuk mengukur dukungan sumber daya adalah staf, informasi, wewenang, fasilitas dan sumber dana. Indikator-indikator sumber daya secara umum adalah berkategori sedang kecuali indikator wewenang kualitasnya baik dan indikator dana kualitasnya kurang, lihat Tabel 18.

Dari indikator-indikator tersebut pernyataan yang kategorinya baik adalah ketersediaan dokumentasi pedoman di UPTKP, kepatuhan implementor dan intervensi dari atasan yang menyebabkan implementasi menyimpang (pada Tabel 19). Petugas yang patuh dan jarangnya intervensi yang menyimpang merupakan modal yang akan membuat suatu kebijakan berjalan dengan baik, karena dengan prakondisi ini akan lebih mudah memberikan arahan sebagaimana yang diputuskan dalam pedoman.

Tabel 18 Kualitas indikator sumber daya dalam pencegahan penyebaran rabies

Tabel 19 Pernyataan dalam aspek sumber daya dengan kategori baik

No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Dokumentasi pedoman di UPT

Ada 44 89.8

Tidak ada 4 8.2 Tidak tahu 1 2 2 Kepatuhan petugas Patuh 40 81.6

Kurang patuh 9 18.4 3 Intervensi yang

menyimpang

Tidak ada 41 83.7 Kadang-kadang 8 16.3

Terkait wewenang, pada PP 82/2000 tentang karantina hewan, petugas karantina telah diberi kewenangan penuh untuk melaksanakan tindakan karantina termasuk pencegahan penyebaran rabies. Wewenang yang mungkin langka atau tidak diatur adalah mengatur implementor-implementor lain agar tidak mengimplementasikan kebijakan yang menyimpang. Kewenangan seperti ini sebenarnya sangat diperlukan namun kebanyakan implementor lebih mengambil sikap tutup mata dari pada mengatur implementor lain yang melaksanakan kebijakan yang menyimpang. Selain itu kewewenangan petugas karantina ada batasnya yaitu pada pengawasan lalulintas HPR di entry dan exit point sedangkan di daerah sebar menjadi wewenang Dinas terkait. Oleh karena itu perlu kerjasama dengan pelaksana lain agar memperoleh program dengan hasil yang baik.

Pernyataan-pernyataan pada indikator staf, fasilitas dan dana kualitasnya cenderung sedang sampai kurang, dapat dilihat pada Tabel 20. Jumlah, kompetensi dan tingkat kemampuan implementor terkategori ”kurang sesuai”

No Indikator

Sumber Daya Kategori UPTKP

Persentase (%) 1 Staf Baik 17 34.7 Sedang 28 57.1 Kurang baik 4 8.2 2 Informasi Baik 13 26.5 Sedang 22 44.9 Kurang baik 14 28.6 3 Wewenang Baik 41 83.7 Sedang 8 16.3 4 Fasilitas Baik 13 26.5 Sedang 23 46.9 Kurang 13 26.5 5 Dana Baik 3 6.1 Sedang 10 20.4 Kurang 36 73.5

dan ”kurang memadai”, padahal sumber daya inti setiap organisasi adalah sumber daya manusia yang akan mempengaruhi efektivitas implementasi. Ibaratnya, pedoman sudah ditransmisikan dengan metode yang tepat, jelas dan konsisten namun kekurangan implementor akan mengakibatkan implementasi cenderung tidak efektif. Maka dari itu indikator staf harus ditingkatkan bukan saja kuantitas tapi juga kualitasnya karena kuantitas staf tidak selalu memberikan efek positif dalam implementasi kebijakan, namun kekurangan staf yang terlatih akan menghambat implementasi kebijakan tersebut (Edwards III 1980). indikator staf yang kurang memadai juga mengakibatkan implementasi pedoman menjadi kurang tepat, seperti pemeriksaan titer antibodi rabies seharusnya menjadi dasar pembebasan HPR tetapi akhirnya menjadi monitoring saja dengan alasan kekurangan pegawai di laboratorium.

Indikator staf (sumber daya manusia) ini dapat menjadi contoh kasus yang menjelaskan rendahnya kualitas pelayanan birokrasi di Indonesia. Pelayanan publik di Indonesia sering dikatakan lamban dan cenderung tidak efisien. Penyebabnya bukan terletak pada kurangnya jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut tetapi lebih pada kurangnya kemampuan sumber daya manusia dan rendahnya motivasi pegawai. Mengatasi hal tersebut tidaklah cukup dengan jumlah implementor yang memadai untuk melaksanakan suatu kebijakan namun implementor harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menjangkau banyak pembaharuan.

Hal lain yang mungkin juga berkontribusi terhadap kualitas indikator staf adalah seringnya petugas yang berlatar belakang profesional di UPTKP dinaikkan pangkatnya menjadi administrator (terutama tata usaha) karena kurangnya pejabat yang memiliki keterampilan pengelolaan, sehingga tidak lagi menggunakan keterampilan profesional dalam bekerja. Selain itu pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada implementor cukup minim, sehingga kemampuan profesional mengalami kenaikan yang cukup lambat. Pejabat ditingkat atas yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat. Pejabat ini sering kali kurang menanamkan

pengembangan keterampilan jangka panjang juga tidak menekankan latihan pengelolaan.

Tabel 20 Pernyataan pada aspek sumber daya dengan kualitas sedang-kurang

No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Jumlah petugas Memadai 11 22.4

Kurang memadai 32 65.3

Tidak memadai 6 12.2

2 Kompetensi petugas Sesuai 18 36.7

Kurang sesuai 29 59.2 Tidak sesuai 2 4.1 3 Pengetahuan dan kemampuan petugas Memadai 22 44.9 Kurang memadai 25 51 Tidak memadai 2 4.1 4 Ketersedian pedoman di wilayah kerja Memadai 18 36.7 Kurang memadai 20 40.8 Tidak memadai Tidak tahu 7 4 14.3 8.2 5 Laboratorium yang

mampu memeriksa titer antibodi rabies

Tersedia 6 12.2

Tersedia, tdk difungsikan 6 12.2

Tidak tersedia 37 75.5

6 Ketersediaan IKH Tersedia 14 28.6

Tersedia, tdk difungsikan 7 14.3 Tidak tersedia 28 57.1 7 Ketersediaan sarana (kendaraan) Tersedia 31 63.3 Tidak 18 36.7 8 Anggaran untuk mengapresiasikan pedoman Ada 18 36.7 Tidak ada 21 42.9 Tidak tahu 10 20.4

9 Ketersediaan anggaran Memadai 7 38.9

Kurang memadai 11 61.1

10 Ketepatan penggunaan anggaran

Tepat sasaran 10 56

Kurang tepat sasaran 8 44

Bangunan IKH dan fasilitasnya hanya tersedia di 14 UPTKP (28.6%) dan ada tujuh UPTKP yang tersedia IKH tetapi tidak difungsikan. Hal ini akan menyebabkan observasi HPR lebih banyak dilakukan diluar IKH. Selain itu hanya sebagian kecil saja UPTKP (12.2%) yang mampu melaksanakan pemeriksaan titer antibodi rabies (lihat Tabel 20). Kedua komponen ini menurut peneliti merupakan fasilitas mendasar yang harus dimiliki UPTKP. Laboratorium tidak harus dengan fasilitas yang modern tetapi lebih kepada pemanfaatan teknologi terapan yang cepat seperti rapid test, qualitative test dan sebagainya. Disinilah letak pentingnya fasilitas dalam implementasi kebijakan. Ibaratnya, UPTKP memiliki staf yang memadai, memahami apa yang harus dilakukan, patuh, mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya tetapi tanpa fasilitas yang menunjang untuk mengimplementasikan kebijakan, besar kemungkinan

implementasi yang dirancang akan terhambat. Sesuai dengan apa yang dikatakan Grindle (1980) bahwa implementasi kebijakan akan mudah dilaksanakan jika didukung oleh ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan, sebaliknya jika tidak tersedia maka implementasi akan terganggu.

Akibat dari kekurangan fasilitas ini “mungkin” menjadi salah satu penyebab masih tingginya kasus rabies di beberapa tempat. Misalkan saja ketika pemasukan HPR dari daerah bebas rabies ke daerah endemis, tidak diketahui (tidak diperiksa) titer antibodinya dan ternyata titernya tidak protektif, maka di daerah tujuan yang endemis rabies akan memperbesar peluangnya untuk tertular rabies dan akan meningkatkan prevalensi rabies di daerah tersebut. Begitu juga sebaliknya ketika ada pemasukan HPR dari daerah endemis ke daerah bebas rabies (menurut pedoman tidak diperbolehkan), sehingga memperluas daerah sebar rabies.

Dalam hal anggaran, hanya 36.7% UPTKP yang menyatakan ketersediaan anggaran untuk mengapresiasikan pedoman kepada implementor, dan anggaran tersebut dianggap “memadai” dan “tepat sasaran” dalam penggunaannya masing-masing dinyatakan oleh 38.9% dan 56% UPTKP (lihat Tabel 20). Oleh karena itu perlu memasukan anggaran untuk mengapresiasikan pedoman atau petunjuk teknis kepada implementor, tidak hanya pedoman No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 tetapi juga petunjuk teknis yang lain.

Aspek Disposisi/Sikap Implementor

Secara keseluruhan kecenderungan sikap implementor dalam melaksanakan pedoman kualitasnya sedang (49%) sampai baik (26.5%) dan 24.5% UPTKP kualitasnya kurang. Indikator untuk mengukur dukungan disposisi adalah komitmen dan insentif. Sebesar 83.7% UPTKP mempunyai komitmen dan 73.5% mempunyai motivasi dalam melaksanakan pedoman, dapat dilihat pada Tabel 21. Indikator komitmen berkategori baik, namun di sebagian besar UPTKP (67.3%) tidak ada insentif untuk petugas jika berhasil mencapai tujuan pedoman, menyebabkan aspek disposisi secara keseluruhan menjadi berkategori sedang.

Disposisi atau sikap yang positif merupakan modal yang sangat berharga untuk mendukung keberhasilan implementasi pedoman pencegahan penyebaran

rabies. Edwards III menjelaskan bahwa sikap positif menunjukkan adanya dukungan dari implementor untuk melaksanakan pedoman sehingga akan lebih mudah untuk memberikan arahan dan pemahaman sebagaimana yang telah diputuskan dalam kebijakan. Demikian pula sebaliknya bila sikap implementor berbeda dengan pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.

Tabel 21 Pernyataan dalam aspek disposisi dan kualitasnya

No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Komitmen Ada komitmen 41 83.7 Kurang komitmen 7 14.3 Tidak ada komitmen 1 2 2 Motivasi Ada motivasi 36 73.5

Kurang motivasi 12 24.5 Tidak ada motivasi 1 2 3 Insentif Ada insentif 3 6.1

Kadang ada insentif 13 26.5 Tidak ada insentif 33 67.3

Sikap implementor juga dapat ditunjukkan melalui keberanian implementor mengambil inisiatif dalam melaksanakan pedoman. Tentunya inisiatif tersebut dilandasi argumentasi ilmiah. Namun dalam penelitian ini pertanyaan mengenai inisiatif/improvisasi yang mungkin dapat dilakukan oleh implementor dalam pencegahan penyebaran rabies tidak dimunculkan. Improvisasi yang mungkin seperti dalam kondisi yang sangat mendesak, HPR memungkinkan diberangkatkan 15 hari post vaksinasi tidak harus menunggu 30 hari. Tentunya setelah HPR di periksa titer antibodi rabiesnya dan menunjukan hasil yang protektif. Hal ini seperti yang dikatakan Riasari (2009) bahwa 83.3% titer sudah protektif ketika pengambilan sampel serum dilakukan antara 8-15 hari post

vaksinasi.

Aspek Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies sebagian besar kualitasnya berkategori sedang, yakni 65.3% UPTKP, 16.3% berkategori baik, dan 18.4% berkategori kurang, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13. Indikator untuk mengukur dukungan struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan adalah SOP dan struktur birokrasi pelaksana. Hasil penelitian menunjukan

ketersediaan SOP di UPTKP termasuk kategori kurang yaitu dinyatakan oleh 69.4%, sedangkan struktur birokrasi pelaksana sebagian besar berkategori sedang yaitu 55.1%, secara rinci terdapat pada Tabel 22.

Tabel 22 Indikator struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies No Indikator Struktur Birokrasi Kategori UPTKP Persentase (%)

1 SOP Baik 7 14.3

Sedang 8 16.3 Kurang 34 69.4 2 Struktur birokrasi Baik 11 22.4 Sedang 27 55.1 Kurang 11 22.4

Pernyataan-pernyataan dalam aspek struktur birokrasi pelaksana kecenderungannya pada kategori sedang sampai kurang (lihat Tabel 23). Sejumlah 59.2% UPTKP menilai bahwa struktur organisasi UPTKP yang ada saat ini masih kurang sesuai bila dikaitkan dengan cakupan wilayah kerja dan beban kerja yang ada. Namun demikian komposisi petugas dinilai sudah terpadu, hal ini dinyatakan oleh 61.2% UPTKP. Kondisi ini memungkinkan koordinasi dengan instansi terkait yang dilakukan oleh UPTKP sebesar 63.3%. UPTKP yang terkategori ”sering” dalam melakukan koordinasi baru mencapai 51%.

Struktur birokrasi pada dasarnya adalah mekanisme kerja yang memungkinkan terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan. Bentuk koordinasi yang dilakukan dalam rangka pencegahan penyebaran rabies 43% adalah melakukan pertemuan secara berkala, 28.6% terlibat dalam rakor rabies provinsi dan 28.4% terlibat dalam rakor rabies kepulauan. Sementara tindak lanjut dari kooordinasi yang menonjol adalah pertukaran data/informasi tentang rabies 43.8%, pengawasan bersama 18.9% dan surveilans bersama 14.3% seperti tergambar pada Tabel 24. Namun koordinasi yang dilakukan hasilnya masih kurang memuaskan, yakni 57.1% UPTKP.

Tabel 23 Pernyataan aspek struktur birokrasi dengan kualitas sedang-kurang

No Pernyataan Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Kesesuaian struktur organisasi pelaksana Sesuai 19 38.8 Kurang sesuai 29 59.2 Tidak sesuai 1 2 2 Keterpaduan petugas Ya 30 61.2 Tidak 19 38.8

3 Koordinasi dengan instansi terkait

Ada 31 63.3

Kadang-kadang 18 36.7

4 Intensitas koordinasi Sering 25 51

Jarang 24 49

5 Hasil koordinasi Memuaskan 19 38.8

Kurang memuaskan 28 57.1

Tidak memuaskan 1 2

6 Evaluasi hasil koordinasi terhadap jumlah kasus

Dilakukan Kadang-kadang Tidak 14 26 9 28.6 53.1 18.4 7 Laporan ke Barantan Ya Kadang-kadang Tidak tahu 13 10 8 41.9 52.3 25.8

8 Ketersediaan SOP Tersedia

Tidak Tidak tahu 17 30 2 34.7 61.2 4.1

9 SOP dapat menjadi acuan Ya Tidak 16 1 94.1 5.8 10 Ketersediaan SOP di counter pelayanan Ya Tidak 8 9 47.1 52.9

11 Manfaat SOP Bermanfaat

Kurang bermanfaat

14 3

83.3 17.6

Tabel 24 Tindak lanjut dari koordinasi yang dilakukan dengan instansi terkait

No Tindak Lanjut UPTKP (%)

1 Pertukaran data/informasi tentang rabies 43.8

2 Pengawasan bersama 18.9

3 Surveilans bersama 14.3

4 Sosialisasi terintegrasi 12 5 Eliminasi dan vaksinasi bersama 11

SOP dibuat dengan tujuan untuk mengatasi keterbatasan sumber daya dan waktu serta menciptakan keseragaman perilaku bagi implementor. SOP atau mekanisme implementasi layaknya tertulis secara formal dalam kerangka kerja yang jelas dan sistematis.

Hasil penelitian menunjukan bahwa 34.7% UPTKP sudah memiliki SOP dan SOP tersebut sebagian besar digunakan sebagai acuan oleh UPTKP (94.1%) dalam lalulintas pemasukan HPR. Dari prakondisi ini, ketersediaan SOP di UPTKP menjadi hal yang penting dan harus disegerakan sehingga diharapkan implementasi pedoman menjadi seragam.

Dari uraian ke empat aspek yang mempengaruhi implementasi pedoman, dapat disimpulkan bahwa aspek yang paling kritis dan harus segera ditingkatkan kualitasnya adalah aspek komunikasi dari indikator metoda transmisi dan konsistensi. Kedua indikator ini proporsinya paling besar membuat aspek komunikasi menjadi aspek yang kritis. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa metoda transmisi yang kurang tepat dapat menjadi penyebab utama kegagalan implementasi dan konsistensi yang kualitasnya rendah akan mendorong implementor melaksanakan pedoman dengan sangat longgar sehingga akhirnya menyebabkan implementasi tidak optimal.

Prakondisi Implementasi di UPTKP yang Tidak Ada Lalulintas HPR Ada sejumlah 18 UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR baik impor maupun antar area masuk. Tidak ada lalulintas pemasukan HPR bisa karena memang tidak ada kegiatan tersebut atau karena adanya peraturan daerah yang melarang pemasukan HPR dari luar provinsi seperti pelarangan pemasukan HPR ke Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, NTB, Papua, dan Bali. Pelarangan pemasukan HPR dimungkinkan karena sedang terjadi wabah seperti Bali atau dalam rangka melindungi daerah tersebut dari terjangkitnya penyakit rabies seperti Kepulauan Riau, NTB, Papua dan sebagainya.

Karantina Pertanian dalam rangka mencegah masuk, tersebar dan

Dokumen terkait