• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study on Policy Implementation in Technical Implementing Units Agricultural Quarantine in Preventing the Spread of Rabies

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study on Policy Implementation in Technical Implementing Units Agricultural Quarantine in Preventing the Spread of Rabies"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

DI UP

DALAM PEN

SE

INST

AN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

UPT KARANTINA PERTANIAN

ENCEGAHAN PENYEBARAN RABIE

HELMI

SEKOLAH PASCASARJANA

STITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabies adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Helmi

(3)

ABSTRACT

HELMI. Study on Policy Implementation in Technical Implementing Units Agricultural Quarantine in Preventing the Spread of Rabies. Under direction of TRIOSO PURNAWARMAN and ABDUL ZAHID ILYAS.

The existence of guidelines or technical instructions in the prevention of the spread of rabies apparently dose not have an impact on reducing the spread and the number of rabies cases yet. This indicates there is a implementation gap between the implementation of the guidelines. This study aim to analyze the implementation of technical guidelines and requirements of quarantine measures against the introduction of traffic-borne animal rabies that is decision letter Head of the Agricultural Quarantine No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 in order to prevent the spread of rabies. In addition, this study also revealed the quality of preconditions and analyze the relationship of the preconditions to the implementation guidelines for preventing the spread of rabies. Analysis model used was adopted from the theory of Edward III by considering factors that influence the implementation of the communication, resources, disposition and bureaucratic structure (preconditions) using the survey method. The study found that the quality of the preconditions and implementation guidelines for the prevention of the spread of rabies is generally classified as moderate. There is a significant relationship between aspects of communication and the overall precondition to the implementation guidelines for the prevention of the spread of rabies (p<0.05) with strong and medium correlation level (r=0.644 and r=0.457).

(4)

RINGKASAN

HELMI. Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabies. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan ABDUL ZAHID ILYAS.

Rabies merupakan penyakit yang ditakuti di dunia dan menempati urutan kedua setelah penyakit malaria dengan fatalitas mencapai 100%. Penyebaran rabies di Indonesia cenderung meningkat baik daerah sebar maupun kasus gigitan. Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam kurun waktu 35 tahun setelah merdeka (1945-1980), rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lainnya dan saat ini rabies telah menyebar di 24 provinsi. Upaya pengendalian rabies dalam tatanan perundangan telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda tahun 1926 dan sampai saat ini peraturan/pedoman pengendalian telah cukup komprehensif. Badan Karantina Pertanian (Barantan) sebagai pelaksana pengawasan terhadap lalulintas hewan penular rabies (HPR) menetapkan pedoman sebagai dasar pelaksanaan dan keseragaman tindakan karantina hewan terhadap HPR yaitu SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya).

Keberadaan peraturan terlihat belum membawa dampak terhadap penurunan daerah sebar dan jumlah kasus rabies. Hal ini mengindikasikan ada ketidaksesuaian (implementation gap) antara implementasi dengan pedoman tersebut. Bertolak dari kondisi di atas, penelitian ini bertujuan menganalisa tingkat implementasi petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR yaitu SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 dalam rangka pencegahan penyebaran rabies. Selain itu penelitian ini juga mengungkap kualitas prakondisi implementasi dengan memperhatikan faktor yang mempengaruhi implementasi yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi (prakondisi) dan menganalisa hubungan prakondisi dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies.

(5)

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas prakondisi implementasi SK No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 yang mencakup faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi di UPTKP, secara keseluruhan kecenderungannya berada pada kategori sedang, yaitu dikemukakan oleh 81.6% UPTKP. Hasil ini mengindikasikan bahwa prakondisi harus ditingkatkan kualitasnya agar tercipta prakondisi yang dapat mendorong implementasi SK No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 berjalan secara efektif.

Kualitas tingkat implementasi SK No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya) pada kegiatan pemasukan HPR impor-antar area secara keseluruhan berada pada kategori sedang, yaitu dikemukakan oleh 90% UPTKP. Sedangkan kualitas tingkat implementasi pada kegiatan pemasukan HPR antar area juga berada pada kategori sedang, yaitu dinyatakan 90.5% UPTKP. Pada dua kegiatan pemasukan HPR ini, masih ditemukan implementation gap, namun yang menonjol ditemukan pada kegiatan pemasukan HPR antar area dimana hampir semua pernyataan dalam kegiatan pemasukan HPR antar area terdapat implementation gap. Hasil ini secara tegas mengisyaratkan perlunya peningkatan kualitas implementasi SK No. 344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 agar tujuan karantina dalam mencegah penyebaran rabies dapat dilaksanakan secara optimal.

Terdapat hubungan yang nyata antara aspek komunikasi dan prakondisi secara keseluruhan dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies (p<0.05) pada kelompok kegiatan pemasukan HPR antar area dengan kekuatan korelasi yang kuat dan sedang (r=0.644 and r=0.457). Hasil analisa ini menunjukan hubungan yang positif, yaitu semakin tepat metoda komunikasi yang dilakukan maka kualitas implementasi semakin baik dan bila digeneralisasi seperti pendapat Edwards III bahwa semakin cepat pedoman disosialisasikan maka semakin tinggi probabilitas pedoman tersebut diimplementasikan.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

DI UPT KARANTINA PERTANIAN

DALAM PENCEGAHAN PENYEBARAN RABIES

HELMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabies

Nama : Helmi

NIM : B251100244

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah rabies, dengan judul Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabes.

Penghargaan penulis ucapkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si dan drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku ketua program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang selalu mengingatkan penulis untuk komitmen menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih ditujukan juga kepada Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta beserta staf yang telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada penulis. Kepada drh. R. Nurcahyo Nugroho, M.Si dan teman-teman di Bidang Karantina Hewan Hidup Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati terimakasih atas bantuannya. Kepada teman sejawat KMV15-II dalam keadaan suka dan duka yang selalu siap berbagi dan memberi inspirasi dan semua pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian tesis ini yang tidak dapat dituliskan satu persatu.

Kepada Abah, Amak, Bapak, beserta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya kepada penulis. Kepada suami dan anak saya tercinta maula dan faizah atas kesabaran dan keceriaanya mengisi hari penulis dalam menyelesaikan studi ini.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi Badan Karantina Pertanian.

Bogor, Juni 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pasaman pada tanggal 08 Maret 1976 dari ayah H. Hasan Basri dan Ibu Hj. Mariani. Penulis merupakan putri kedelapan dari sepuluh bersaudara.

(12)

DAFTAR ISI

Penilaian Kualitas Prakondisi Implementasi ... 28

Penilaian Tingkat Implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 ... 29

(13)

Tingkat Implementasi Pedoman pada Kegiatan Pemasukan HPR

Impor -antar area ... 48

Tingkat Implementasi Pedoman pada Kegiatan Pemasukan HPR antar area ... 51

Korelasi Prakondisi dengan Tingkat Implementasi ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 59

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia 1990-2000 ... 8

2 Laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia 1997-2007 ... 9

3 Rekapitulasi penahanan HPR impor tahun 2010-2012 ... 14

4 Rekapitulasi penahanan HPR domestik tahun 2010-2012 ... 14

5 Rekapitulasi penolakan HPR impor tahun 2010-2012 ... 15

6 Rekapitulasi pemusnahan HPR domestik tahun 2010-2012 ... 15

7 Ukuran sampel di setiap UPTKP ... 31

8 Nilai maksimum prakondisi ... 29

9 Pendidikan terakhir responden ... 34

10 Masa kerja responden ... 34

11 Jabatan responden ... 34

12 Pelatihan terkait rabies yang diikuti responden ... 34

13 Kualitas prakondisi implementasi di UPTKP ... 35

14 Kualitas indikator komunikasi ... 36

15 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori baik ... 37

16 Cara Komunikasi untuk untuk mensosialisasikan pedoman ... 37

17 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori sedang ... 38

18 Kualitas indikator sumber daya ... 40

19 Pernyataan dalam aspek sumber daya dengan kategori baik ... 40

20 Pernyataan dalam aspek sumber daya dengan kategori sedang-kurang 42

21 Pernyataan dalam aspek disposisi dan kualitasnya ... 44

22 Indikator struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies ... 45

23 Pernyataan aspek struktur birokrasi dengan kualitas sedang-kurang .... 46

24 Tindak lanjut koordinasi ... 46

25 Prakondisi implementasi di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR ... 48

26 Tingkat implementasi pedoman pada pemasukan HPR impor-antar area ... 48

27 Implementasi yang sesuai pedoman pada pemasukan HPR IAA ... 49

(15)

29 Implementasi pedoman pada pemasukan antar area ... 51 30 Tingkat implementasi pedoman pada pemasukan HPR antar area ... 52 31 Implementations gap pada pemasukan HPR antar area ... 53 32 Hasil analisa uji Pearson antara prakondisi dengan tingkat

(16)

DAFTAR GAMBAR

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner untuk pretest ... 67

2 Kuesioner penelitian ... 81

3 Hasil uji validitas dan reliabilitas prakondisi ... 94

4 Hasil uji validitas dan reliabilitas implementasi impor-antar area ... 95

5 Hasil uji validitas dan reliabilitas implementasi antar area ... 96

6 Realisasi tingkat partisipasi responden di UPTKP ... 97

7 Uji Pearson prakondisi-implementasi kelompok impor-antar area ... 99

8 Uji Pearson prakondisi-implementasi kelompok antar area ... 99

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies is "the Incurable Indonesian Wound" (luka Indonesia yang tidak kunjung sembuh). Ungkapan yang disampaikan oleh Prof. AA Ressang, seorang guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner di tahun 1960, ternyata masih berlaku setelah 50 tahun, bahkan rabies cenderung semakin meluas.

Rabies merupakan penyakit yang ditakuti di dunia dan menempati urutan kedua setelah penyakit malaria. Rabies ditakuti karena sangat mengganggu ketentraman batin masyarakat dengan tingkat mortalitas mencapai 100% bila telah timbul gejala klinis, baik pada hewan maupun manusia yang tidak diobati. Artinya penderita rabies selalu berakhir dengan kematian apabila penderita telah menunjukan gejala klinis.

Rabies di Indonesia di duga telah lama ada namun secara resmi pertama kali dilaporkan oleh Esser di Jawa Barat tahun 1884. Kemudian oleh Penning pada anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pengendalian terhadap rabies telah dilakukan dengan mengeluarkan peraturan terkait rabies. Selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui secara pasti (Deptan 2007).

Dalam kurun waktu 35 tahun setelah merdeka (1945-1980), rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lainnya, yaitu semua provinsi di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (Deptan 2007). Sampai saat ini ada 24 provinsi yang belum bebas rabies dan 9 provinsi bebas Rabies yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta serta lima provinsi merupakan bebas historis yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua Barat, dan Papua (Usman 2010).

(19)

Kesehatan menyebutkan, Indonesia merupakan negara terbesar kelima di Asia yang menjadi korban rabies setelah India, Cina, Filipina dan Vietnam.

Kasus kematian akibat rabies di dunia sangat fluktuatif. Di Asia tingkat kematian akibat rabies adalah 50 000 per tahun, di India 20 000-30 000, di Cina rata-rata 2500, di Vietnam 9000, dan Filipina 200-300. Kematian akibat rabies di Indonesia jika dibandingkan dengan kematian di dunia terbilang cukup rendah yaitu sekitar 125 kasus per tahun (Usman 2010). Kasus gigitan hewan tersangka rabies pada dekade 1950-1960 sekitar 3000 per tahun dan meningkat menjadi 8000 per tahun pada 1973. Pada tahun 2002 terdapat kasus gigitan hewan tersangka rabies 13 805 dan meningkat menjadi 42 106 pada 2009, serta sampai dengan Oktober 2010 terdapat kasus gigitan hewan tersangka rabies 40 180 kasus (Deptan 2011c). Daerah tertular rabies di Indonesia pada dekade 1980 hanya 12 provinsi dan meningkat menjadi 24 provinsi pada 2010.

Upaya pengendalian rabies yang cenderung semakin meluas telah dilakukan sejak zaman Hindia Belanda dan intensitasnya diperkuat pada era 1980-an. Salah satu strategi pengendalian dan pemberantasan rabies yang telah diterapkan adalah dengan metoda pemecahan masalah 'local area specific’ (LAS) dengan pola vaksinasi ditambah eliminasi anjing tak berpemilik. Metoda ini telah berhasil membebaskan rabies di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta (1997) dan masih bertahan sampai sekarang. Begitu juga di provinsi Kalimantan Barat (2004), dengan strategi yang sama penanganan wabah berlangsung cepat (Civas 2010). Meskipun ada sejumlah provinsi yang berhasil dibebaskan, namun sampai saat ini Indonesia belum berhasil mengatasi masalah rabies secara tuntas di semua wilayah dan belum mampu menghentikan penyebaran dan perluasan rabies ke daerah-daerah tertular baru.

(20)

lapangan yaitu SK Menteri Pertanian No.1096/Kpts/TN.120/10/1999 tentang pemasukan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia. Pedoman operasional tersebut berisi persyaratan pemasukan HPR ke daerah bebas di Indonesia yang salah satu butirnya seperti pasal yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah no 22 tahun 1983 tentang kesmavet yaitu larangan memasukan HPR dari negara yang belum diakui sebagai negara bebas rabies ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies.

Badan Karantina Pertanian (Barantan) sebagai pelaksana dalam pengawasan terhadap lalulintas HPR menetapkan pedoman sebagai dasar pelaksanaan dan keseragaman tindakan karantina hewan terhadap HPR di lapangan yaitu SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya).

Pengendalian rabies lintas sektoral sejak awal juga telah diupayakan dengan adanya SK Bersama (SKB) No.143 tahun 1978 tentang peningkatan pemberantasan dan penanggulangan rabies dengan fokus kerjasama dalam kegiatan peningkatan pemberantasan dan penanggulangan rabies dalam hal pengamatan penyakit, pemeriksaan laboratorium untuk rabies, penelitian, penyuluhan dan bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kegiatan pemberantasan dan penanggulangan rabies.

Pada tingkat Pemerintahan Daerah, tatanan pengendalian rabies juga telah dibuat. Di provinsi DKI Jakarta terdapat SK Gubernur No.3213 tahun 1984 tentang tata cara penertiban hewan piaraan anjing, kucing dan kera di wilayah DKI Jakarta yang antara lain berisi:

1. Kewajiban pemilik hewan piaraan untuk memvaksin hewannya dan menggantungkan peneng tanda lunas pajak.

2. Menangkap dan menyerahkan hewannya apabila mengigit orang untuk diobservasi.

(21)

Dari data-data yang diuraikan di atas, keberadaan peraturan perundangan tentang rabies terlihat belum membawa dampak terhadap penurunan jumlah kasus rabies. Kasus gigitan hewan tersangka rabies terus meningkat dari tahun ke tahun, begitu juga dengan daerah sebar rabies juga semakin meluas. Hal demikian menandakan bahwa upaya-upaya yang telah dilaksanakan sebagaimana yang digariskan dalam peraturan perundangan masih belum berhasil menghentikan penyebaran rabies di Indonesia.

Bertolak dari kondisi di atas, penelitian ini mencoba mengungkap implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies sesuai SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya) dan hubungannya dengan variabel yang diduga mempengaruhi kebijakan tersebut yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap pelaksana dan struktur birokrasi (Edward III 1980).

Rumusan Masalah

Kecenderungan penyebaran rabies dari waktu ke waktu semakin meluas dengan jumlah kasus positif dan lyssa yang semakin meningkat. Implementasi kebijakan secara efektif diharapkan dapat mencegah meluasnya penyebaran rabies di Indonesia. Oleh karena itu keberhasilan pencegahan penyebaran rabies perlu di dukung dengan evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. Evaluasi diperlukan untuk melihat tingkat implementasi pedoman SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 dan mengetahui sejauh mana aspek prakondisi implementasi seperti komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut di lapangan.

Tujuan Penelitian

(22)

prakondisi implementasi kebijakan terhadap tingkat implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP di Indonesia. Informasi ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Barantan dalam menyusun kebijakan yang tepat dalam rangka menjalankan fungsi pencegahan penyebaran rabies di Indonesia.

Hipotesis Penelitian

(23)
(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Rabies di Indonesia

Rabies di Indonesia di duga telah lama ada karena dalam bahasa sansekerta lama sudah ada istilah rabas yaitu rabies, namun secara resmi pertama kali dilaporkan oleh Esser di Jawa Barat tahun 1884. Kemudian dilaporkan oleh Penning pada anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan dan selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui secara pasti (Deptan 2007).

Kurun waktu 35 tahun setelah merdeka (1945-1980), rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lainnya, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan 1978 di Kalimantan Tengah (Deptan 2007).

Pada dekade 1990-2000 rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular yaitu Pulau Flores (1998) Pulau Ambon dan Pulau Seram (2003), Halmahera dan Morotai (2005), Ketapang (2005), Pulau Buru (2006) serta Pulau Bali (2008), Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di provinsi Riau (2009) dan Pulau Nias (2010). Sampai saat ini ada 24 provinsi yang terinfeksi rabies dan 9 provinsi bebas Rabies diantaranya adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta dan lima provinsi merupakan bebas historis yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua Barat, dan Papua (Usman 2010).

Kasus gigitan hewan tersangka rabies dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) menyatakan bahwa selama tahun 2003-2008, gigitan HPR cenderung meningkat namun kasus lyssa cenderung menurun seperti terlihat pada Grafik 1 (Depkes 2009). Hal ini disebabkan karena semakin baiknya perlakuan (post exposure

treatment) terhadap korban gigitan dan kepedulian masyarakat untuk melaporkan

(25)

Ket: GHPR: gigitan HPR, PE

, PET: post exposure treatment, Lyssa: kematian akib ies di Indonesia tahun 2003-2008.

2005a) menyatakan bahwa terjadi peningkatan ka ga tahun 2000, yaitu dari 83 menjadi 110 kasu

an manusia akibat rabies di Indonesia tahun

1990-1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 19

58 93 115 75 65 50 83 14

(2005b), beberapa faktor yang mempengaruh tinggi di Indonesia antara lain 1) jumlah anjing y

iharaan maupun anjing liar, 2) kurangnya fasil itan anjing, 3) kurangnya pengetahuan masyarakat gitan serta 4) terbatasnya jumlah vaksin pasca g perti serum anti rabies) membuat tingkat kematia

ktu 2000-2004, rata-rata kasus lyssa di Indoesia 2011 menjadi 125 setiap tahunnya (Suryanto 20

(26)

Ditjen Peternakan menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir (1997-2007) kasus positif rabies pada HPR di Indonesia berfluktuasi namun ada kecenderungan meningkat. Tabel 2 adalah laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia

(27)

2010 ada 206 kasus. Yang penting juga adalah kasus gigitan anjing di Bali telah turun dari 67 021 kasus (2010) menjadi 51 389 (2011), serta penurunan lyssa

sebesar 70% di Bali dari 82 kasus pada tahun 2010 menjadi 23 kasus pada tahun 2011 (Aditama 2012).

Epidemiologi Rabies

Rabies telah dikenal kurang lebih 4000 tahun yang lalu. Saat ini rabies terdapat di lebih 150 negara di dunia dan beberapa negara termasuk dalam negara bebas rabies seperti Australia, New Zealand, Singapura, Taiwan, Jepang, Fiji, Finlandia, Irlandia, Jamaica, Norwegia, Swedia, UK, Uruguai. Kematian akibat rabies setiap tahun di seluruh dunia sekitar 55 000 dan sebanyak 95% terjadi di Asia dan Afrika dengan 40% korbannya adalah anak-anak dibawah umur 15 tahun. Kematian akibat rabies pada manusia 99% utamanya bersumber dari gigitan anjing yang terinfeksi rabies dan kematian umumnya disebabkan oleh tidak adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment) dari korban yang terkena rabies (Defra 2011).

Hewan-hewan utama pembawa rabies umumnya berbeda untuk setiap benua. Di Eropa hewan utama pembawa rabies adalah rubah dan kelelawar, di Timur Tengah adalah srigala dan anjing, di benua Afrika adalah anjing, mongoose

dan antelop, di Asia anjing, di USA rakun dan skunk, di Kanada skunk dan rubah, di Meksiko anjing, di Brazil marmoset, di Amerika Utara rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga dan Amerika Selatan utamanya adalah anjing dan kelelawar vampire (Tamayo 2011).

Hewan domestik yang dapat terinfeksi rabies adalah anjing, kucing dan ternak, sedangkan satwa liar umumnya adalah sigung, kelelawar, rubah, tupai, rakun, badgers dan mongoose. Rabies pada satwa liar umumnya melibatkan satwa karnivora dan kelelawar. Satwa-satwa liar merupakan sumber penularan rabies ke hewan-hewan domestik bahkan ke manusia (WHO 2012).

(28)

Kondisi ini membuat rabies pada anjing di negara-negara berkembang dapat memelihara proses siklus virus rabies di alam hingga menuju manusia. Di Indonesia HPR utama pada hewan domestik adalah anjing, kucing dan monyet. Penularan rabies di Indonesia umumnya berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara atau tanpa pemilik (rural Rabies) yang berkembang hingga mencapai populasi yang sulit dikendalikan (Deptan 2007). Keadaan ini yang menyebabkan daerah-daerah di Indonesia menjadi endemis terhadap rabies.

Sekilas tentang SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 Surat keputusan tersebut berisi tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya). SK ini merupakan penjabaran dari SK Menteri Pertanian No.1096/Kpts/TN.120/10/1999 tentang Pemasukan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya ke Wilayah/Daerah Bebas Rabies di Indonesia, namun dalam SK No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 ditambahkan pemasukan HPR antar area. Secara garis besar pemasukan HPR dari luar negeri adalah sebagai berikut :

1. Dari Luar Negeri

Dari negara bebas rabies sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian No.1096 Tahun 1999 yang dapat diperbaharui sesuai perkembangan status bebas rabies dunia.

2. Kelengkapan dokumen

a. Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit

b. Surat Persetujuan Pemasukan (SPP)

(29)

d. Penanda identitas permanen dengan identifikasi elektronik (microchip). Bila

microchip yang digunakan tidak sesuai dengan alat baca pada pelabuhan/ bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut.

e. Hewan yang akan masuk ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian Cq. Dirjen Peternakan dan otoritas veteriner di negara transit memberikan keterangan transit

f. Surat keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi, yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan : - untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya

enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal tiga bulan.

- Untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya satu bulan atau tidak lebih dari satu tahun sebelum diberangkatkan.

g. Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal. Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari enam bulan setelah vaksinasi yang telah diakreditasi.

Selanjutnya dalam SK No.344.b/PD.670.370/L/12/06 tersebut juga di jelaskan tentang tindakan karantina terhadap pemasukan HPR dari luar negeri yang bebas rabies berupa :

1. Pemeriksaan dokumen persyaratan karantina 2. Pemeriksaan fisik hewan

3. Pengasingan atau isolasi minimal selama 14 hari di dalam instalasi karantina hewan untuk di observasi. Dalam masa observasi / masa karantina dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium terhadap titer antibodi rabies. Masa karantina dapat kurang dari 14 hari apabila menunjukan titer antibodi > 0.5 IU/ml bagi hewan yang bersal dari negara bebas rabies dengan vaksinasi atau titer nol bila berasal dari negara bebas tanpa vaksinasi. 4. Perlakukan.

(30)

dilakukan vaksinasi ulang bagi hewan yang akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi (pulau Jawa) atau wilayah endemis.

- Untuk negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi atau wilayah endemis maka wajib dilakukan vaksinasi.

- Untuk negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas tanpa kegiatan vaksinasi, maka tidak perlu divaksin (titer antibodi nol.

5. Penolakan

- Bila dokumen tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan

- Bila hewan berasal dari negara bebas yang tidak melaksanakan kegiatan vaksinasi terdapat antibodi ≥ 0.1 IU/ml

- Untuk hewan yang berasal dari negara bebas yang melaksanakan kegiatan vaksinasi dan akan masuk ke daerah bebas tanpa vaksinasi, maka dilakukan penolakan bila terdapat antibodi < 0.5 IU/ml.

6. Pemusnahan

- Bila setelah penolakan tidak segera meninggalkan wilayah RI, serta batas waktu penahanan telah habis dan dokumen tidak dapat dilengkapi.

- Bila selama pengamatan hewan menunjukan gejala rabies maka dilakukan pemusnahan dibawah pengawasan dokter hewan karantina, disaksikan oleh instansi terkait dan pemilik sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 7. Pembebasan

Bila dokumen persyaratan lengkap, titer antibodi minimal 0.5 IU/ml (≥ 0.5 IU/ml) dan selama pengamatan tidak menunjukkan gejala rabies serta hewan dinyatakan sehat oleh dokter hewan karantina dilakukan pembebasan.

(31)

Tabel 3, 4 dan 5 dibawah ini adalah tindakan karantina penahanan, penolakan dan pemusnahan yang dilakukan UPTKP di seluruh Indonesia terhadap HPR dalam rangka pencegahan penyebaran rabies.

Tabel 3 Rekapitulasi penahanan HPR impor di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis

1 Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina KH8b

2 Anjing 4 Thailand Surabaya,

cengkareng

Persyaratan karantina, SPP

3 Anjing 1 Singapura Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 4 Anjing 1 Kanada Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

5 Anjing 5 USA Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

6 Anjing 1 Frankfurt Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 7 Anjing 2 Hungaria Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 8 Anjing 2 Australia Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 9 Anjing 1 Filipina Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 10 Anjing

Kucing 1 1

Jerman Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

11 Anjing 2 Malaysia Entikong Persyaratan karantina, SPP KH8b 12 Kucing 1 Inggris Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

13 Kucing 4 Rusia Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

Tahun 2011

1 Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina, SPP

2 Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina, SPP 3 Anjing

Kucing 1 1

Portugal Denpasar Pelarangan pemasukan / kawasan karantina

4 Anjing 1 Jerman Denpasar Pelarangan pemasukan

5 Kucing 4 Malaysia Surabaya Persyaratan karantina

Tahun 2012

1 Anjing 1 Kanada Palembang Persyaratan karantina, SPP

2 Anjing 1 Argentina Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 3 Anjing 1 Korsel Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 4 Anjing

Kucing 2 3

Rusia Denpasar Pelarangan pemasukan

Sumber : Barantan

Tabel 4 Rekapitulasi penahanan HPR domestik di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis

HPR Frekuensi Volume

Alasan Penahanan (KH8a)

Tahun 2010

Anjing 18x 29 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 11 16

Tahun 2011

Anjing 33x 145 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 11x 34

Tahun 2012

Anjing 7x 10 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 2x 2

(32)

Tabel 5 Rekapitulasi penolakan HPR impor di UPTKP tahun 2010-2012

Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Anjing 2 Malaysia Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Tahun 2011

Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Anjing Kucing

1 1

Portugal Denpasar Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Jerman Denpasar Pelarangan pemasukan

Tahun 2012

Anjing Kucing

2 2

Rusia Denpasar Pelarangan pemasukan

Sumber : Barantan

Tabel 6 Rekapitulasi pemusnahan HPR domestik di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis

Ketapang Gilimanuk Pelarangan pemasukan

Anjing 1

Anjing 18 Jatim Gilimanuk Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Bandung Lombok Pelarangan pemasukan

Anjing 5 Ambon

Anjing 3 Sorong Biak Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Sulut Sorong Pelarangan pemasukan

Anjing 2

Kucing 1 Jateng Kumai Persyaratan karantina

Tahun 2012 Terdapat beberapa definisi implementasi antara lain:

(33)

pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

2. Mazmanian dan Sabatier (1983), implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan penelitian.

3. Jones (1991), implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan.

Definisi kebijakan menurut beberapa pakar antara lain:

1. Mustopadidjaja (2002), kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu, melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan, dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah, negara dan pembangunan.

2. Eulau dan Prewit (dalam Jones 1991), kebijakan adalah suatu keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan mereka yang memenuhi keputusan tersebut, kebijakan sebagai suatu hasil keputusan dimaksud untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Dari pendapat para ahli tersebut, implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang dituangkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga negara lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam kebijakan tersebut.

(34)

Implementasi kebijakan merupakan salah satu komponen dari keseluruhan proses kebijakan yang meliputi isu kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kinerja kebijakan, yang perlu dilakukan dalam rangka pemantauan, pengawasan, dan pertanggungjawaban (Nugroho 2011). Dengan demikian penelitian implementasi kebijakan merupakan tahap ke empat dari proses kebijakan yaitu evaluasi kebijakan terutama pada kinerja kebijakan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ripley dan Franklin (1982) bahwa proses kebijakan terdiri atas: tahap formulasi, tahap implementasi, dan tahap penilaian terhadap kinerja.

Namun proses implementasi bukanlah proses mekanis dimana setiap aktor akan secara otomatis melakukan apa saja yang di minta oleh pembuat kebijakan, tetapi merupakan proses kegiatan yang acap kali rumit, diwarnai benturan kepentingan antar aktor yang terlibat baik sebagai administrator, petugas lapangan atau kelompok sasaran.

Hal senada disampaikan oleh Jones (1991) bahwa implementasi kebijakan mudah dimengerti dalam bentuk abstrak (teori dan konsep) tetapi tidaklah demikian dalam bentuknya yang konkrit. Artinya implementasi kebijakan dengan mudah dapat dipahami, akan tetapi dalam pelaksanaan dan realisasinya secara nyata bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini jugalah yang sering menjadi penyebab mengapa suatu kebijakan publik tidak berhasil dijalankan secara mulus sesuai yang diharapkan. Inilah yang disebut dengan implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan (Wahab 2004). Disini pula urgensinya untuk melakukan kajian terhadap implementasi kebijakan pencegahan penyebaran rabies.

(35)

mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation capacity tidak lain adalah kemampuan suatu organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai (Wahab 2008).

Kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn (1986), kegagalan kebijakan (policy failure) dapat disebabkan antara lain (1) karena tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya (non implementation) dan (2) karena tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan (unsuccesful implementation).

Non implementation berarti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka bekerja secara tidak efisien, atau tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang dihadapi diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi .

Sementara itu, unsuccessful implementation biasanya terjadi ketika kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi pergantian kekuasaan, bencana alam, dan lainnya), kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang mempunyai resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya itu sendiri yang jelek (bad policy), atau kebijakan tersebut memang bernasib jelek (bad luck).

(36)

a. Sasaran penerima manfaat harus terlibat mulai dari tahap formulasi kebijakan agar masyarakat sasaran dapat memberi masukan. Hal ini juga akan membuat masyarakat mempunyai rasa memiliki dan mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan.

b. Sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang akan diperlukan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

c. Harus ada komunikasi yang efektif antara masyarakat sasaran dengan pelaksana kebijakan.

d. Menghentikan budaya tidak melanjutkan kebijakan bila terjadi pergantian pemerintahan. Harus ada kesinambungan dalam kebijakan kecuali jika kebijakan tersebut ternyata tidak berguna untuk rakyat.

e. Keputusan harus selalu dipantau dengan cara yang tepat.

Model Implementasi Kebijakan

Penelitian tentang implementasi kebijakan adalah penelitian tentang bagaimana suatu kebijakan diterapkan. Implementasi kebijakan mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang ada. Variabel-variabel dalam model implementasi kebijakan akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Model implementasi kebijakan ini tentunya diharapkan merupakan model yang semakin operasional sehingga mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang terkait dengan kebijakan (Wahab 2008).

Terdapat berbagai model implementasi kebijakan antara lain: 1. Edwards III (1980).

(37)

2. Menurut Van Meter dan Van Horn (1975).

Menurut ahli ini ada enam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, (1) standar dan sasaran kebijakan, (2) sumber daya, (3) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, (4) karakteristik tujuan, (5) komunikasi antar organisasi dan (6) sikap pelaksana.

3. Grindle (1980).

Grindle mengemukakan bahwa ada dua variabel utama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Isi kebijakan mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups, (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, (4) apakah letak sebuah program sudah tepat, (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan rinci dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Lingkungan implementasi mencakup (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi dari implementasi, (2) mereka yang terlibat dalam implementasi kebijakan, (3) karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa dan (4) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (Nugroho 2011).

Dari semua model yang dikemukan di atas, variabel-variabelnya mempunyai kesamaan terutama yang menyoroti tentang komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi. Dalam hal ini peneliti menggunakan aplikasi dari model Edwards III (1980) yang dianggap representatif untuk menggambarkan implementasi kebijakan pencegahan penyebaran rabies. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wibawa (1994), bahwa model implementasi tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan kebutuhan.

Model implementasi kebijakan menurut Edwards III (1980), variabelnya digambarkan sebagai berikut:

a. Komunikasi

(38)

seharusnya dilakukan. Di situlah arti pentingnya variabel komunikasi dalam mentransformasikan substansi kebijakan secara jelas, tepat dan akurat. Informasi yang tidak akurat, tepat, jelas dan konsisten hanya akan menimbulkan deviasi dalam implementasi kebijakan. Terdapat 3 indikator untuk mengukur keberhasilan variabel komunikasi antara lain (Indiahono 2009):

1. Transmisi

Tansmisi adalah cara/media komunikasi yang digunakan untuk mensosialisasikan kebijakan. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Transmisi yang baik akan mereduksi terjadinya miskomunikasi yang menyebabkan terjadinya distorsi implementasi kebijakan.

2. Kejelasan

Kejelasan adalah pemahaman yang tepat mengenai pedoman. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan harus jelas dan tidak membingungkan.

3. Konsistensi

Konsistensi adalah didapatkannya persepsi yang sama mengenai kejelasan informasi peraturan yang disosialisasikan institusi dan media. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas. Perintah yang sering berubah-ubah akan menimbulkan kebingungan bagi pelaksanan dilapangan.

b. Sumber daya

Sumber daya merujuk pada sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Kedua sumber daya harus diperhatikan, sebab tanpa kehandalan implementator, kebijakan menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat seadanya, sedangkan sumber daya finansial menjamin keberlangsungan kebijakan. Terdapat empat indikator sumberdaya antara lain:

1. Staf

(39)

tidak memadai atau tidak kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf saja tidak mencukupi tetapi perlu kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan.

2. Informasi

Informasi mempunyai 2 bentuk yaitu bahan dan sarana pendukung yang tepat untuk mensosialisasikan kebijakan dan informasi yang berhubungan dengan data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan yang telah ditetapkan. 3. Wewenang

Wewenang adalah adalah pemberian otoritas secara formal kepada pelaksana kebijakan yang bertujuan agar pelaksana dapat melakukan tindakan untuk mencapai tujuan. Kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas dan legitimasi bagi pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Tanpa kewenangan maka implementor tidak memiliki kekuatan apapun di mata publik sehingga implementasi kebijakan tidak dapat berjalan.

4. Fasilitas

Fasilitas adalah sarana atau kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin terlaksananya peraturan seperti bangunan dan sarana prasarana. Fasilitas pendukung merupakan sarana prasarana yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan.

5. Sumber dana

Sumber dana adalah anggaran yang mencukupi dan berkesinambungan baik dari pemerintah maupun swasta untuk mensosialisasikan peraturan.

c. Disposisi atau Sikap Implementor

Disposisi atau sikap pelaksana kebijakan antara lain meliputi motivasi, komitmen, kejujuran dan sikap demokratis para implementor yang memungkinkan terlaksananya sebuah kebijakan. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian masyarakat terhadap pelaksana kebijakan. Variabel dalam unsur disposisi yaitu komitmen dan insentif.

(40)

1. Komitmen

Komitmen adalah sikap para pelaksana kebijakan sehingga memungkinkan kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuannya.

2. Insentif

Insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada pelaksana kebijakan jika berhasil mencapai tujuan kebijakan tersebut dengan baik.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi merupakan faktor penting lain yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Maksudnya, meskipun substansi kebijakan sudah dikomunikasikan dan didukung oleh sumber daya yang memadai serta sikap dan perilaku para implementor yang kondusif, namun sebuah kebijakan tetap akan sulit untuk diimplementasikan jika tidak dibarengi oleh adanya mekanisme kerja yang memungkinkan terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan.

Menurut Edwards III, ada dua indikator dari struktur birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan struktur birokrasi pelaksana.

1. SOP

SOP merupakan mekanisme implementasi kebijakan yang secara formal tertulis dalam kerangka kerja yang jelas dan sistematis sehingga dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan dalam mengimplementasikan kebijakan. SOP atau standar kerja yang memungkinkan pelaku kebijakan melaksanakan kegiatan sesuai standar yang telah ditetapkan.

2. Struktur birokrasi pelaksana

(41)
(42)

METODE PENELITIAN

Kerangka Konsep Penelitian

Pada penelitian ini terdapat beberapa peubah yang diamati yaitu karakteristik responden meliputi pendidikan, masa kerja, jabatan, dan pelatihan terkait rabies serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi (prakondisi) yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Gambar 2 merupakan kerangka konsep penelitian yang dilakukan.

Gambar 2 Kerangka konsep penelitian.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilakukan di seluruh UPTKP di Indonesia baik yang ada lalulintas HPR maupun yang tidak. Untuk UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR, penelitian ditujukan untuk melihat prakondisi implementasi karena meskipun tidak ada lalulintas HPR namun pengawasan tetap harus dilakukan dan kesiapan sumber daya, pengetahuan dan komunikasi tetap harus diupayakan. Jumlah UPTKP yang menjadi target penelitian sebanyak 50 yang tersebar di seluruh Indonesia.

PRAKONDISI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

komunikasi

1. Transmisi 2. Kejelasan 3. Konsistensi

Sumber Daya 1. Staf 2. Informasi 3. Wewenang 4. Fasilitas 5. Dana

Disposisi

1. Komitmen 2. Insentif

Struktur birokasi 1. SOP

2. Struktur birokrasi

TINGKAT IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SK Kepala Badan Karantina Pertanian

(43)

Disain Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan metoda survei menggunakan kuesioner sebagai perangkat untuk mengukur kualitas prakondisi implementasi dan tingkat implementasi pedoman berdasarkan SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06. Kuesioner yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan tertutup dimana jawaban pertanyaan sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain dan pertanyaan semi tertutup untuk mendapatkan informasi tentang alasan dari suatu jawaban. Kuesioner ditujukan kepada petugas fungsional karantina hewan dan pejabat struktural terkait prakondisi implementasi kebijakan dan implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP.

Dalam kuesioner, isi pertanyaan berkisar tentang informasi, pendapat dan implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP. Pertanyaan pada kuesioner terdiri dari :

Karakteristik responden yang meliputi unit kerja, pendidikan, masa kerja, jabatan, dan pelatihan terkait rabies

Prakondisi implementasi kebijakan yaitu :

- Komunikasi dengan indikator transmisi, konsistensi dan kejelasan. - Sumber daya dengan indikator staf, informasi, wewenang, fasilitas, dana. - Disposisi atau sikap pelaksana dengan indikator komitmen dan insentif. - Struktur birokrasi dengan indikator SOP dan struktur birokrasi.

Tingkat implementasi kebijakaan dengan pertanyaan dari butir-butir yang terdapat dalam SK Kepala Barantan No.344.b/PD.670.370/L/12/06 yang dibuat terpisah antara kegiatan pemasukan HPR impor-antar area dan kegiatan antar area.

(44)

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Pengujian validitas dilakukan melalui aplikasi SPSS 16.0, dengan melihat data Corrected Item-Total Correlation dari uji reliabilitas. Dasar pengambilan keputusan uji validitas adalah tabel titik kritis nilai r (Critical Value of The r Product Moment). Jika nilai Corrected Item-Total Correlation lebih besar dari nilai r tabel, maka item pertanyaan tersebut valid. Jika nilai Corrected Item-Total Correlation lebih kecil dari nilai r tabel maka item pertanyaan tersebut tidak valid.

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten jika dilakukan dua kali atau lebih. Metode yang digunakan dengan melihat Cronbach’s coefficient alpha sebagai koefisien dari reliabilitas.

Cronbach’s coefficient alpha dapat diartikan sebagai hubungan positif antara item/pertanyaan satu dengan yang lainnya. Pengujian reliabilitas yang dilakukan melalui aplikasi program SPSS 16.0. dengan melihat data Cronbach’s Alpha dari uji reliabilitas. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari nilai r tabel, maka angket dinyatakan reliabel. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih kecil dari nilai r tabel maka angket dinyatakan tidak reliabel

Pada penelitian ini validitas dan reliabiltas kuesioner diukur satu kali dengan mengujicobakan kepada 30 responden medik dan paramedik veteriner. Pada pretest ini responden medik veteriner umumnya memahami pertanyaan yang disampaikan, namun ada beberapa respon yang dikemukan tidak terwakili oleh pilihan jawaban yang tersedia. Pada responden paramedik veteriner, sebagian besar kesulitan untuk menjawab pertanyaan dan butuh waktu yang cukup lama.

(45)

Hasil pretest dan validasi diatas, dijadikan pertimbangan untuk menyusun kuesioner kedua. Kuesioner yang diperbaiki akhirnya tidak memasukan paramedik veteriner sebagai responden (Lampiran 2).

Populasi, Sampel dan Ukuran Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah UPTKP yang berjumlah 50 dan sampel adalah pejabat struktural (Kepala Seksi/Kasubsi pelayanan operasional karantina hewan) dan pejabat fungsional medik veteriner di UPTKP. Total populasi dari pejabat fungsional adalah 140 orang (Deptan 2011) dan pejabat struktural adalah 50 orang. Ukuran sampel adalah 50% dari populasi pejabat fungsional dan ukuran sampel di UPTKP di hitung secara proporsional, sedangkan ukuran sampel untuk pejabat struktural diambil semuanya. Ukuran sampel secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7. Pengambilan sampel 50% dari total populasi medik veteriner dianggap sudah menggambarkan suatu populasi karena beberapa peneliti menyatakan bahwa sampel tidak boleh kurang dari 10% dan ada pula yang menyatakan bahwa sampel minimum 5% dari jumlah satuan-satuan elementer (Singarimbun et al 1985). Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana.

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner Penilaian kualitas Prakondisi Implementasi

Untuk menilai prakondisi implementasi dirancang sejumlah 43 pertanyaan yang mencakup aspek komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Penilaian dilakukan dengan pemberian nilai 1 pada jawaban “ya” dan nilai 0 pada jawaban “tidak” untuk pertanyaan dikhotomus. Untuk pertanyaan sikap, penilaian dilakukan dengan skala Likert yang dimodifikasi yaitu diberi nilai 1-3 (Rangkuti 2006) tergantung tingkat kepentingan pertanyaan tersebut. Nilai tersebut menyiratkan intensitas reaksi individu terhadap sejumlah pertanyaan yang diberikan.

Setiap pertanyaan diberi bobot antara 1-3 tergantung tingkat kepentingannya. Pembobotan kuesioner tersebut adalah sebagai berikut:

(46)

2 = Cukup penting dan harus ada 1 = Kurang penting

Nilai yang diperoleh adalah jumlah perkalian nilai jawaban dengan bobot pertanyaan (skala 1-3). Keluaran dari nilainya adalah dalam bentuk kategori baik, sedang dan kurang. Selang kategori dibuat berdasarkan nilai maksimum aspek prakondisi (Tabel 8) dengan nilai rata-rata responden sebagai acuannya.

Tabel 8 Nilai maksimum prakondisi pencegahan penyebaran rabies

No Prakondisi Nilai Maksimum

1 Komunikasi 60 2 Sumber daya 106 3 Disposisi 24 4 Struktur birokrasi 55

Total prakondisi 245

Penilaian tingkat implementasi SK Kepala Badan Karantina Pertanian No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06.

Untuk menilai tingkat implementasi kebijakan dirancang sejumlah 38 pertanyaan mengenai implementasi SK No.344.b/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP. Penilaian dilakukan dengan pemberian nilai 1 pada jawaban “ya” dan nilai 0 pada jawaban “tidak” untuk pertanyaan dikotomik, sedangkan untuk pertanyaan sikap penilaian dilakukan dengan skala Likert yaitu diberi nilai 1-3 (Rangkuti 2006). Setiap pertanyaan diberi bobot antara 1-3 tergantung tingkat kepentingannya. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut:

3 = Penting/penentu dan harus ada 2 = Cukup penting dan harus ada 1 = Kurang penting

Nilai yang diperoleh adalah jumlah perkalian nilai jawaban dengan bobot pertanyaan. Keluaran dari nilai tingkat implementasi adalah dalam bentuk kategori baik, sedang dan kurang. Selang kategori dibuat berdasarkan nilai maksimum tingkat implementasi dengan nilai rata-rata responden sebagai acuannya. Nilai maksimum untuk tingkat implementasi sebagai berikut:

(47)

Tingkat implementasi pedoman, analisa datanya dibagi ke dalam dua kelompok yaitu 1) kelompok UPTKP yang ada lalulintas HPR Impor dan antar area dan 2) kelmpok UPTKP yang ada lalulintas HPR antar area saja.

Analisa Data

Setelah semua data berhasil dikumpulkan, maka dilakukan pemeriksaan untuk mengoreksi kelengkapan kuesioner, selanjutnya pengeditan serta pengkodean pada setiap variabel agar mempermudah pengolahan. Data karakteristik, prakondisi dan tingkat implementasi pedoman dijabarkan secara statistik deskriptif. Statistik inferensial menggunakan uji Pearson untuk mengetahui hubungan prakondisi implementasi dengan tingkat implementasi SK Kepala Badan Karantina Pertanian No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06. Keseluruhan proses perhitungan dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0

for windows dan Microsoft Excel 2007.

Definisi Operasional

1. Pencegahan (pencegahan penyakit hewan) adalah tindakan karantina hewan yang dilakukan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

2. Transmisi adalah cara/media komunikasi yang digunakan untuk mensosialisasikan pedoman.

3. Kejelasan adalah pemahaman yang tepat mengenai pedoman.

4. Konsistensi adalah didapatkannya persepsi yang sama mengenai kejelasan informasi tentang pedoman.

5. Staf adalah sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dibidang terkait pada institusi yang ikut terlibat dalam proses implementasi pedoman

(48)

7. Wewenang adalah pemberian otoritas secara formal kepada pelaksana kebijakan di UPT yang bertujuan agar pelaksana dapat melakukan tindakan untuk mencapai tujuan pedoman.

8. Fasilitas adalah sarana atau kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin terlaksananya pedoman.

9. Dana adalah tersedianya anggaran yang mencukupi dan berkesinambungan baik dari pemerintah maupun swasta untuk mensosialisasikan pedoman. 10. Komitmen adalah sikap para pelaksana pedoman sehingga memungkinkan

pedoman dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tujuannya.

11. Insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada pelaksana pedoman jika berhasil mencapai tujuan pedoman tersebut dengan baik.

12. Standard Operating Procedure (SOP) adalah mekanisme implementasi

pedoman yang secara formal tertulis dalam kerangka kerja yang jelas, sistematis, sehingga dapat menjadi acuan bagi para pelaksana kebijakan dalam melakukan implementasi pedoman.

13. Struktur birokrasi pelaksana adalah adanya susunan pelaksana kebijakan secara terpadu sehingga memungkinkan tercapainya koordinasi antar lembaga pelaksana kebijakan.

Tabel 7 Ukuran sampel di setiap UPTKP

No Unit Pelaksana Teknis Pejabat Struktural Pejabat Fungsional MedVet

1 BBKP Surabaya 1 4

2 BBKP Tanjung Priok 1 4

3 BBKP Soekarno Hatta 1 4

4 BBKP Belawan 1 3

5 BBKP Makassar 1 2

6 BKP Kelas I Denpasar 1 4

7 BKP Kelas I Semarang 1 2

8 BKP Kelas I Balikpapan 1 2

9 BKP Kelas I Bandar Lampung 1 2

10 BKP Kelas I Pekanbaru 1 2

11 BKP Kelas I Pontianak 1 2

12 BKP Kelas I Kupang 1 2

13 BKP Kelas I Banjarmasin 1 2

(49)

15 BKP Kelas I Manado 1 2

16 BKP Kelas I Padang 1 1

17 BKP Kelas I Jayapura 1 1

18 BKP Kelas I Palembang 1 1

19 BKP Kelas S I Jambi 1 1

20 BKP Kelas I Batam 1 1

21 BKP Kelas II Medan 1 1

22 BKP Kelas II Tanjung Pinang 1 2

23 BKP Kelas II Ternate 1 1

24 BKP Kelas II Kendari 1 1

25 BKP Kelas II Pangkal Pinang 1 1

26 BKP Kelas II Tarakan 1 1

27 BKP Kelas II Cilegon 1 1

28 BKP Kelas II Yogyakarta 1 2

29 BKP Kelas II Palangkaraya 1 1

30 BKP Kelas II Palu 1 1

31 SKP Kelas I Biak 1 1

32 SKP Kelas I Entikong 1 1

33 SKP Kelas I Tj. Balai Asahan 1 1

34 SKP Kelas I Cilacap 1 1

35 SKP Kelas I Sumbawa Besar 1 2

36 SKP Kelas I Banda Aceh 1 2

37 SKP Kelas I Sorong 1 1

38 SKP Kelas I Samarinda 1 1

39 SKP Kelas I Ambon 1 1

40 SKP Kelas I Bengkulu 1 1

41 SKP Kelas I Timika 1 1

42 SKP Kelas I Merauke 1 1

43 SKP Kelas I Bandung 1 1

44 SKP Kelas I Pare-pare 1 1

45 SKP Kelas II Tj. Balai Karimun 1 1

46 SKP Kelas II Ende 1 1

47 SKP Kelas II Mamuju 1 1

48 SKP Kelas II Monokwari 1 1

49 SKP Kelas II Bangkalan 1 1

Jumlah responden 49 77

Total keseluruhan 126

(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Partisipasi Responden

Kegiatan pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan selama 45 hari dan diperoleh hasil ada 49 UPTKP yang berpartisipasi dalam penelitian ini dari 50 UPTKP yang direncanakan. UPTKP yang berpartisipasi terdiri dari tiga kelompok yaitu UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR impor-antar area sebanyak 10, UPTKP dengan kegiatan pemasukan HPR antar area sebanyak 21 dan 18 UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR. Dari UPTKP tersebut berhasil terkumpul sampel sebesar 101 yang terdiri dari 75 pejabat fungsional medik veteriner dan 26 pejabat struktural. Realisasi tingkat partisipasi responden selengkapnya pada Lampiran 6.

Deskripsi Karakteristik Responden

Karakteristik reponden yang diperhatikan dalam penelitian ini meliputi 1) UPT, 2) pendidikan, 3) masa kerja, 4) jabatan dan 5) pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden.Pengamatan kelima aspek ini selain untuk mengetahui kondisi faktual karakteristik responden, sekaligus menggambarkan kesiapan Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP) untuk menciptakan prakondisi dan implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06.

(51)

Tabel 9 Pendidikan terakhir responden

No Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase (%)

1 Sarjana muda 1 1

2 Dokter hewan 87 86.1

3 Pascasarjana 13 12.9

Total responden 101 100

Karakteristik terkait masa kerja bahwa 39.6% responden memiliki masa kerja antara 2-5 tahun dengan jabatan sebagian besar calon medik veteriner (34.7%), pejabat struktural 25.7% dan medik veteriner pertama 21.8%, secara rinci pada Tabel 10. Secara keseluruhan bahwa 74% responden adalah pejabat fungsional medik veteriner dan 26% pejabat struktural. Bila dikaitkan dengan ukuran sampel bahwa realisasi sampel untuk pejabat fungsional adalah 96% (75/78) dan pejabat struktural 52% (26/50) serta realisasi UPTKP 98% (49/50) secara rinci pada Tabel 11.

Tabel 10 Masa kerja responden

No Masa Kerja Jumlah Persentase (%)

1 < 2 tahun 16 15.8

2 2-5 tahun 40 39.6

3 6-10 tahun 17 16.8

4 11-15 tahun 11 10.9 5 >15 tahun 17 16.8

Total responden 101 100

Tabel 11 Jabatan responden

No Jabatan Jumlah Persentase (%)

1 Paramedik veteriner 1 1.0 2 Calon medik veteriner 35 34.7 3 Medik veteriner pertama 22 21.8 4 Medik veteriner muda 10 9.9 5 Medik veteriner madya 7 6.9 6 Pejabat structural 26 25.7

Total responden 101 100

Tabel 12 Pelatihan terkait rabies yang pernah diikuti responden No Keberadaan Pelatihan Jumlah Persentase (%)

1 Tidak 23 22.8

2 Ada 78 77.2

(52)

Responden sebanyak 77.2% pernah mengikuti pelatihan terkait rabies baik pelatihan laboratorium tentang pemeriksaan titer antibodi rabies, epidemiologi/ pemantauan/surveilans rabies maupun penyakit hewan, selengkapnya pada Tabel 12. Dari karakteristik responden baik pendidikan, masa kerja dan jabatan serta pelatihan terkait rabies bahwa responden layak untuk memberikan penilaian tentang prakondisi implementasi dan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP.

Prakondisi Implementasi Kebijakan di UPTKP

Prakondisi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi/sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Dari hasil penelitian, kualitas prakondisi di UPTKP sebagian besar berkategori sedang yaitu 81.6% UPTKP, sebesar 6.1% berkategori baik dan 12.2% berkategori kurang, secara rinci pada Tabel 13.

Tabel 13 Kualitas prakondisi implementasi di UPTKP

No Aspek Kategori UPTKP Persentase (%)

1 Komunikasi Baik 18 (18/49) 36.7 Sedang 19 (19/49) 38.8 Kurang baik 12 (12/49) 24.5 2 Sumber daya Baik 6 (6/49) 12.2 Sedang 37 (37/49) 75.5 Kurang baik 6 (6/49) 12.2 3 Disposisi Baik 13 (13/49) 26.5 Sedang 24 (24/49) 49 Kurang baik 12 (12/49) 24.5 4 Struktur birokrasi Baik 8 (8/49) 16.3 Sedang 32 (32/49) 65.3 Kurang baik 9 (9/49) 18.4 Total Prakondisi Baik 3 (3/49) 6.1 Implementasi Sedang 40 (40/49) 81.6

Kurang baik 6 (6/49) 12.2

Aspek Komunikasi

(53)

dan 24.5% UPTKP yang berkualitas kurang (lihat Tabel 13). Indikator untuk mengukur dukungan komunikasi dalam implementasi kebijakan adalah transmisi, kejelasan dan konsistensi. Indikator-indikator ini kualitasnya sedang sampai baik (lihat Tabel 14). Dalam indikator tersebut, pernyataan dengan kategori baik yaitu 95.9% UPTKP mengetahui tentang pedoman, 73.5% UPTKP melakukan apresiasi pedoman kepada medik dan paramedik veteriner namun UPTKP yang rutin melakukan apresiasi pedoman hanya 14.3%. Responden 87.8% mendapatkan informasi yang jelas tentang pedoman serta 93.9% responden mengetahui apa yang harus dilakukan (lihat Tabel 15).

Prakondisi dengan modal pengetahuan tentang pedoman yang baik, informasi yang jelas tentang pedoman serta responden mengetahui apa yang harus dilakukan, kemungkinan interpretasi yang salah bahkan bertentangan dengan pedoman peluangnya akan kecil sehingga diharapkan implementasi sesuai dengan pedoman.

Dalam beberapa kasus informasi yang diterima implementor sering kali kabur. Prakondisi ini sering dieksploitasi oleh implementor untuk menjalankan kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu kekaburan informasi akan memberikan suatu lingkungan yang menyebabkan para implementor dapat dengan mudah salah menafsirkan maksud-maksud yang sebenarnya.

Tabel 14 Kualitas indikator kumunikasi dalam pencegahan penyebaran rabies

No Indikator

Komunikasi Kategori UPTKP

Persentase (%)

1 Transmisi Baik 6 12.2

Sedang 32 65.3

Kurang baik 11 22.4

2 Kejelasan Baik 30 61.2

Sedang 19 38.8

3 Konsistensi Baik 29 59.2

Gambar

Tabel 2 Laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia 10 tahun terakhir
Tabel 4 Rekapitulasi penahanan HPR domestik di UPTKP tahun 2010-2012
Tabel 5 Rekapitulasi penolakan HPR impor di UPTKP tahun 2010-2012
Gambar 2 Kerangka konsep penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karyawan yang mengalami stres kerja tidak dapat bekerja secara optimal sehingga akan memberi dampak yang negatif pada hasil kerjanya atau dengan kata lain karyawan

Peningkatan peranan komunikasi dan informasi yang ditekankan pada pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dilakukan dengan (a) mewujudkan kebebasan pers yang lebih

__ Kalıp sınıfın sadece bazı üyeleri başka bir kalıp sınıfın private üyelerine erişim ihtiyacı duyduğu zaman, (yani private yapıcı işlevleri olan öteki kalıp

Pada makalah ini, akan dirancang suatu sistem kontrol posisi pada pa- nel surya dengan menggunakan metode FSMC untuk memperoleh sistem pengendali alternatif yang dapat bekerja

Pengetahuan tentang tingkat kepuasan konsumen secara terperinci dari kualitas produk dan harga penting dimiliki oleh PT Pindo Dell Pulp sehingga pihak perusahaan

Maksud dari pelaksanaan pekerjaan Pembangunan Pembangunan Pagar Gedung Kantor di Kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai ini sesuai dengan apa yang telah diren!anakan

13 2.7.1 Memiliki sikap peduli terhadap aneka tantangan zaman sesuai dengan ajaran Gereja tentang hati nurani 3.7.1 Menjelaskan pengertian hati nurani 3.7.2

Efek adrenergik adrenergik alfa: alfa: sekresi sekresi insulin insulin menurun, menurun, cerebral blood flow. cerebral blood flow meningka meningkat t peripheral