• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Bahan Kering dan Organik

Konsumsi pakan sapi dihitung berdasarkan kandungan bahan kering dan bahan organik pakan. Pengambilan data konsumsi pakan sapi dilakukan selama 7 hari. Data hasil pengamatan terhadap rataan konsumsi pakan sapi disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan konsumsi bahan kering dan organik sapi

Perlakuan Konsumsi BK (g/ekor/hari) Konsumsi BO (g/ekor/hari) P0 4212,56 ± 229,028* 5689,12 ± 362,414* P1 4388,17 ± 257,755* 5762,82 ± 490,313* P2 4451,08 ± 399,683* 6009,08 ± 367,784* Keterangan : * = tidak berbeda nyata

Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa suplementasi BM dalam pakan yang diberikan pada sapi bali memberikan hasil

rataan konsumsi bahan kering dan organik tertinggi pada perlakuan P2 sebesar 4451,08 g/ekor/hari dan 6009,08 g/ekor/hari. Sedangkan rataan konsumsi bahan kering dan organik terendah pada perlakuan P0 sebesar 4212,56 g/ekor/hari dan 5689,12 g/ekor/hari.

Hasil analisis sidik ragam konsumsi pakan sapi (Lampiran 9 dan 10) menunjukan bahwa suplementasi Blok Multinutrisi (BM) dan pengelompokan

sapi berdasarkan bobot badannya tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tingkat konsumsi sapi.

Konsumsi pakan sapi memperlihatkan bahwa pakan perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan pakan perlakuan P2. Hal ini menunjukan bahwa kualitas BM A sama dengan BM B sekalipun dalam formulasi BM B terdapat ultramineral sebanyak 2%. Konsumsi pakan yang paling rendah terlihat pada perlakuan P0 yang tidak disuplementasi dengan BM. Rendahnya tingkat konsumsi bahan kering dan bahan organik tersebut merupakan pengaruh dari perbedaan kandungan nutrisi pakan sapi. Suplementasi BM dengan kandungan nutrisi yang komplek dapat melengkapi kandungan nutrisi yang tidak sepenuhnya tercukupi dari hijauan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamdan (2005) yang menyatakan bahwa BM atau urea mineral molases blok (UMMB) adalah pakan tambahan (imbuhan) yang menyediakan nutrisi penting bagi ternak seperti protein, energi dan mineral yang biasanya sangat kurang pada sumber hijauan dan limbah pertanian.

Sapi yang hanya diberi hijauan menunjukan tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan sapi yang mendapatkan urea molasses blok. Kandungan nutrisi yang berbeda pada pakan berpengaruh terhadap palatabilitas pakan. Menurut Smith dan Chruch (1979), palatabilitas pakan dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimiawi pakan yang akan berpengaruh pada fisiologis ternak dalam rangsangan penglihatan, penciuman dan rasa dalam mengkonsumsi pakan.

Palatabilitas pakan yang semakin baik berpengaruh terhadap tingkat konsumsi bahan kering dan organik sapi yang semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa jumlah konsumsi

bahan kering dan organik pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta kualitas bahan pakan. Ketersediaan zat makanan yang dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian khusus misalnya pertambahan suplai sumber N pada bahan makanan yang rendah proteinnya akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi baik bahan kering maupun bahan organik dihasilkan dari perlakuan P2. Konsumsi sapi akan bahan kering yang tinggi diikuti dengan konsumsi bahan organiknya yang juga tinggi. Menurut Kamal (1994) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering memiliki korelasi positif terhadap konsumsi bahan organiknya yaitu apabila konsumsi bahan kering tinggi maka dapat mengakibatkan konsumsi bahan organiknya juga tinggi. Bahan kering terdiri dari bahan organik dan abu sehingga besarnya konsumsi bahan organik berbanding lurus dengan besarnya konsumsi bahan kering.

Kecernaan Bahan Kering dan Organik

Kecernaan merupakan selisih antara pakan yang dikonsumsi dengan sisa pakan yang tidak tercerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses. Daya cerna dihitung berdasarkan bahan kering dan bahan organik. Kandungan nutrisi yang semakin rendah dalam feses menunjukan tingkat kecernaan yang semakin baik.

. Data hasil pengamatan terhadap rataan kecernaan bahan kering dan organik sapi disajikan pada Tabel 10.

Tabel 9. Rataan kecernaan bahan kering dan organik sapi

Perlakuan Kecernaan BK (%) Kecernaan BO (%)

P0 65,43± 6,70282* 71,40 ± 5,39071*

P1 68,03± 6,6109* 73,93 ± 6,50059*

P2 67,87± 3,32663* 72,64 ± 3,5224*

Keterangan : * = tidak berbeda nyata

Tabel 9. menunjukkan bahwa rataan kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 68,03%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan P0 sebesar 65,43%. Analisis keragaman kecernaan bahan kering dan organik sapi (Lampiran 18 dan 19) menunjukan bahwa suplementasi BM dan pengelompokan sapi berdasarkan bobot badannya tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tingkat kecernaan sapi.Kecernaan bahan kering dan organik sapi yang disuplementasi BM dengan penambahan ultramineral 2% (BM B) belum menunjukan perbedaan yang signifikan dengan kecernaan bahan kering dan organik sapi yang disuplementasi BM tanpa penambahan ultramineral (BM A).

Kecernaan bahan kering yang tidak berbeda nyata disebabkan karena konsumsi bahan kering masing-masing perlakuan juga berbeda tidak nyata.Hal ini sesuai dengan pendapat Zain (1999) bahwa tingkat konsumsi ransum mempengaruhi kecernaan, sehingga konsumsi yang berbeda tidak nyata antar perlakuan juga menyebabkan kecernaan yang berbeda tidak nyata.

Tillman, dkk, (1998) menyatakan bahwa daya cerna pakan erat hubungan dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap daya cerna. Semakin tinggi kandungan serat kasar bahan pakan maka akan semakin rendah daya cernanya. Berdasarkan analisis laboratorium, diperoleh kandungan serat kasar yaitu sebesar 30,26, akibatnya nilai kecernaan bahan keringnya juga menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini dipertegas

oleh (Debora, dkk 2005) bahwa tinggi rendahnya kecernaan zat-zat makanan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dan aktifitas mikrobia rumen terutama bakteri selulotik. (Tillman, dkk 1998), menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dalam hal ini adalah bahan kering. Konsumsi bahan kering yang berbeda tidak nyata menyebabkan kecernaan bahan kering sapi juga berbeda tidak nyata. Hal ini dikarenakan aktifitas mikroorganisme mengikuti bahan pakan yang dikonsumsi, sehingga jika konsumsi pakannya meningkat maka diduga pertumbuhan dan perkembangan mikrobianya juga meningkat (Kamal, 1994).

Perbedaan yang tidak nyata dari masing-masing perlakuan disebabkan pula karena kandungan protein pakan dari masing-masing perlakuan sehingga terjadi perubahan kandungan nutrisi yang cenderung meningkat, tetapi berdasarkan hasil analisa statistik pengaruhnya didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan P0 (P kontrol) memiliki kandungan protein yang sudah bisa memenuhi kebutuhan protein pada sapi. Penambahan pemberian BM mengakibatkan adanya kualitas protein yang tinggi namun mengakibatkan banyaknya protein yang tidak termanfaatkan. Didalam rumen terjadi proses pemecahan protein menjadi asam amino yang dilakukan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme memecah protein dengan susunan asam amino yang sudah baik menjadi protein mikrobia dan amonia yang sebagian besar dikeluarkan melalui urine (Prawirokusumo, 1993).

Kecernaan bahan organik yang berbeda tidak nyata diakibatkan oleh tingkat konsumsi bahan organik masing-masing perlakuan yang juga tidak berbeda nyata. (Tillman dkk. 1998) menyatakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kecernaan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dan Soeparno (1992) menambahkan tingkat konsumsi pakan juga berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik. Besarnya konsumsi bahan organik akan berpengaruh terhadap ketersediaan energi dalam rumen untuk pertumbuhan mikrobia rumen. Pertumbuhan mikrobia rumen berhubungan dengan kerja optimal mikrobia yang nantinya berpengaruh terhadap kecernaan ternak (Kamal, 1994). Kecernaan bahan organik yang tidak berbeda nyata juga bisa disebabkan karena kecernaan bahan keringnya tidak berbeda nyata pula. Hal ini disebabkan kecernaan bahan kering dan bahan organik saling berhubungan, sebab bahan pakan berdasarkan komposisi kimianya dibedakan menjadi bahan anorganik (abu) dan bahan organik (Tillman dkk, 1998).

Akan tetapi, tingkat kecernaan sapi yang disuplemen blok multinutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecernaan sapi yang hanya diberi hijauan. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan blok multinutrisi dalam pakan dapat meningkatkan kecernaan sapi..Penggunaan multinutrient block merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan ternak ruminansia. Multinutrient block ini mengandung urea, mineral, dan kadang - kadang diberi protein by pass (Tolleng, 2002).

Sapi yang diberikan pakan konsentrat yang dalam hal ini adalah BM dapat meningkatkan kecernaan pada sapi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan (Schaefer dkk, 1980), yang menyatakan bahwa selayaknya di butuhkan kehadiran konsentrat berurea sebagai sumber nitrogen non protein (NPN). Dengan harapan dapat meningkatkan populasi bakteri, protein mikroba di dalam rumen, kecernaan

BK, dan nutrien ransum dan dalam hal pemenuhan mikroba rumen dan ternak akan energi siap pakai.

Untuk melengkapi kebutuhan gizi ternak terutama ternak yang mengkonsumsi bahan makanan yang berkualitas rendah, maka makanan tambahan sangat diperlukan. Urea Multinutrien Blok (UMB) adalah makanan tambahan yang terdiri dari bahan campuran yang berasal dari hasil ikutan pertanian atau industri pertanian, garam, kapur, urea dan mineral yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan rumen, sehingga pencernaan zat - zat makanan lebih sempurna

dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas ternak (Hendratmo dkk, 1991). Leng (1995) menyatakan bahwa UMB juga dapat

meningkatkan effisiensi daya cerna hijauan oleh ternak dan merupakan makanan yang baik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesuburan ternak yang menderita kurang gizi. Selanjutnya Leng (1995) menyimpulkan pembuatan UMB dapat direkayasa sendiri dengan pemanfaatan bahan lokal dan mudah diterapkan.

Tingkat kecernaan pakan dapat menentukan kualitas dari pakan tersebut, karena bagian yang dicerna dihitung dari selisih antara kandungan zat dalam pakan yang dimakan dengan zat makanan yang keluar atau berada dalam feses. Koefisien cerna bahan kering merupakan tolak ukur dalam menilai kualitas pakan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kecernaan bahan kering dan organik sapi pada perlakuan P1 dan P2 yang lebih tinggi dari kecernaan bahan kering dan organik sapi dari perlakuan P0. Penambahan blok multinutrisi dalam pakan sapi berperan dalam perkembangan populasi mikroorganisme yang membantu

pencernaan pakan dalam tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Apriyadi (1999) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya kecernaan zat - zat

makanan pada ternak bergantung aktifitas mikroorganisme yang berada dalam tubuh ternak. Mikroorganisme ini berfungsi dalam mencerna serat kasar yaitu sebagai pencerna selulosa juga hemiselulosa dan pati.

Tingginya kecernaan bahan organik dari perlakuan P1 yaitu 73,9365 % dan P2 yaitu 72,6482 % disebabkan karena konsumsi bahan

organik dari perlakuan – perlakuan tersebut tinggi dibandingkan dengan P0 yaitu 71,4017 %. (Tillman dkk, 1991) menyatakan bahwa sebagian besar bahan organik merupakan komponen bahan kering. Jika koefisien cerna bahan kering sama, maka koefisien cerna bahan organiknya juga sama. Kandungan mikroorganisme yang semakin meningkat yang menyebabkan kadar cerna pakan tinggi. Akibatnya kadar bahan organik feses rendah.

Preston dan Leng (1990), BM merupakan pakan tambahan yang biasa diberikan pada ternak pada saat hijauan yang diberikan memiliki kualitas dan palatabilitas rendah. Kandungan molases yang mengandung karbohidrat mudah dicerna dan urea yang terdapat pada BM menjadikannya pakan yang memiliki kandungan energi dan protein yang tinggi bagi ternak. Penggunaan BM pada ternak sapi potong terbukti dapat meningkatkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan serta kecernaan pakan ternak. Tingginya populasi mikroba berpengaruh terhadap tingkat kecernaan sapi yang semakin baik. Hal ini disebabkan karena banyaknya mikroba rumen yang membantu penguraian dan penyerapan bahan makanan.

Rekapiltulasi hasil penelitian

Perbedaan konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rekapitulasi hasil penelitian Perlakuan Parameter Konsumsi BK (g/ekor/hari)* Konsumsi BO (g/ekor/hari)* Kecernaan BK (%)* Kecernaan BO (%)* P0 4212,56 5689,12 65,43 71,4 P1 4388,17 5762,82 68,03 73,93 P2 4451,08 6009,08 67,87 72,64

Keterangan: * = tidak berbeda nyata

Suplementasi BM tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi bahan kering dan konsumsi bahan organik. Rataan konsumsi bahan kering tertinggi terdapat pada P2 sebesar 4451,08 g/ekor/hari dan terendah pada P0 sebesar 4212,56 g/ekor /hari. Rataan konsumsi bahan organik tertinggi terdapat pada P2 sebesar 6009,08 g/ekor/hari dan terendah pada P0 sebesar 5689,12 g/ekor/hari.

Suplementasi BM juga tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Rataan kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada P1 sebesar 68,03% dan yang terendah pada perlakuan P0 sebesar 65,43%. Rataan kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 73,93% dan terendah pada perlakuan P0 sebesar 71,40 %. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pemberian BM memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi bahan kering, bahan organik kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik sapi bali .

Dokumen terkait