Hasil
Karakteristik Lahan Sub DAS Way Semah
Berdasarkan hasil identifikasi, penggunaan lahan pada Sub DAS Way Semah dikelompokkan menjadi lima jenis penggunaan lahan yaitu Hutan Primer (998 ha), Kebun Campuran (13 706 ha), Perkebunan (6 731 ha), areal penggunaan lain (1 179 ha) dan Sawah (2 519 ha). Dari kelima jenis penggunaan lahan tersebut, kebun campuran merupakan yang terluas, mencapai 54.53% dari luas Sub DAS Way Semah yaitu 25 135 ha. Topografi Sub DAS Way Semah dikelompokkan ke dalam lima kelas yaitu kelas lereng I (0 sampai 8%) seluas 16 182.10 ha, kelas lereng II (8 sampai 15%) seluas 5 055 ha, kelas lereng III (15 sampai 25%) seluas 1 735 ha, kelas lereng IV (25 sampai 40%) seluas 1 347 ha , dan kelas V (>40%) dengan luas 815 ha. Sebagian besar wilayah Sub DAS Way Semah (64.38%) berada pada kondisi datar atau kelas lereng I (0 sampai 8%). Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Way Semah dikelompokkan ke dalam 4 jenis kelompok tanah yaitu Dystropepts (15 887 ha), Humitropepts (4 293 ha), Tropudults (4 788 ha) dan Paleudults (166 ha). Tanah di Sub DAS Way Semah didominasi oleh jenis Dystropepts yaitu 63.21% dari luas sub DAS.
Dari kondisi di atas, dibuat satuan lahan yang dijadikan lokasi pengamatan intensif. Satuan lahan tersebut diperoleh dari hasil overlay tiga jenis peta yaitu peta penggunaan lahan (Lampiran 1), peta kelas lereng (Lampiran2), dan peta jenis tanah (Lampiran 3). Lokasi pengamatan intensif ini dtentukan dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat satuan-satuan lahan yang mewakili seluruh jenis satuan lahan yang terdapat di Sub DAS Way Semah. Selanjutnya diambil sebanyak 14 satuan lahan untuk dijadikan satuan lahan pengamatan intensif yang tersebar dalam lokasi pengamatan seluas 9 720 ha. Satuan lahan pengamatan intersif tersebut merupakan keterwakilan dari penggunaan lahan berupa hutan primer sebanyak 2 satuan lahan (128.47 ha), kebun campuran 11 satuan lahan (9 580 ha), dan sawah 1 satuan lahan (12.43 ha).
Pada ke-14 lokasi pengamatan intensif di atas dilakukan pengamatan biofisik meliputi kelerengan, erosi yang terjadi, tekstur tanah, kepekaan erosi, permeabilitas, drainase, batuan, dan ancaman banjir. Kelerengan yang landai berada pada satuan lahan 52, 46, 91, 119, 154, 159 dan 162. Lahan-lahan tersebut berada pada topografi datar berombak (0 sampai 8 %) sampai agak miring atau bergelombang (8 sampai 15 %). Lereng yang landai akan mengurangi kecepatan aliran permukaan, sehingga material yang terangkut lebih lama sampai di ujung lereng dan endapan yang terbentuk umumnya berupa material tanah yang halus. Lahan dengan topografi miring atau berbukit (15 sampai 25 %) sampai bergunung (25 sampai 40%) berada pada satuan lahan 63, 95,107, dan 168. Pada lahan dengan kemiringan tersebut, lereng yang curam menyebabkan kecepatan aliran permukaan menjadi lebih cepat dan material yang terangkut lebih cepat sampai di ujung lereng. Semakin miring lereng, maka jumlah tanah yang terpercik oleh tumbukan butir-butir hujan semakin banyak (Arsyad 2010). Pada unit lahan 1, dan 8 dengan penggunaan lahan berupa hutan, tidak tampak terjadi erosi, hal ini
disebabkan oleh kondisi tanaman yang rapat. Meskipun unit lahan 8 berada pada topografi berbukit (25 sampai 40%), tetapi kondisi tegakan yang rapat dengan pohon dan tanaman penutup tanah, melindungi tanah dari pukulan air hujan, karena energi perusak hujan dapat diredam oleh tajuk tanaman yang rapat. Demikian juga dengan unit lahan 273 berupa sawah kemungkinan kecil untuk terjadi erosi (e0) pada kondisi topografi yang datar (0 sampai 8%). Kepekaan erosi atau erodibilitas tanah (K) dipengaruhi oleh tekstur tanah, permeabilitas dan bahan organik. Umumnya lahan-lahan pada lokasi pengamatan intensif mempunyai kepekaan erosi rendah (KE2) sampai sedang (KE3) yaitu pada semua satuan lahan kecuali 119, 162, dan 168 dengan nilai K di atas 0,33. Artinya lahan dengan kepekaan erosi rendah sampai sedang, tahan sampai peka terhadap erosi sedangkan lahan dengan kepekaan erosi tinggi rentan terhadap terjadinya erosi. Pada lokasi pengamatan juga tidak terdapat adanya batu-batuan dan tidak ada genangan air yang terjadi.
Kondisi biofisik di atas selanjutnya dijadikan faktor penghambat dalam penentuan kelas kemampuan lahan dari unit lahan pada lokasi pengamatan intensif tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah penggunaan lahan yang ada telah sesuai dengan kapasitas lahan tersebut untuk suatu macam penggunaan lahannya.
Gambar 5.1 Lokasi Pengamatan Intensif di Sub DAS Way Semah Provinsi Lampung
Kelas Kemampuan Lahan
Penentuan kelas kemampuan lahan dilakukan dengan mengevaluasi kondisi penggunaan lahan aktual pada lokasi pengamatan intensif. Klasifikasi kelas kemampuan lahan didasarkan kepada faktor-faktor penghambat seperti yang dikemukakan oleh Klingebiel dan Montgomery (1973) yang kemudian
dimodifikasi oleh Arsyad (2010). Faktor-faktor penghambat dalam penentuan kelas kemampuan lahan adalah : lereng permukaan, kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur, permeabilitas, drainase, batuan, ancaman banjir dan salinitas (Lampiran 11) seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap penggunaan lahan aktual dan kondisi biofisik di lapangan, satuan lahan di lokasi pengamatan intensif didominasi oleh kelas kemampuan lahan kelas I pada 1 unit lahan, kelas II pada 2 unit lahan, dan kelas III pada 6 unit lahan. Kemudian 3 unit lahan dengan kelas kemampuan lahan IV dan kelas VI pada 2 unit lahan (Tabel 6).
Lahan dengan kelas kemampuan I berada pada unit lahan 273 (12 ha) dengan penggunaan lahan sawah. Hal ini sesuai untuk pertanian intensif karena dengan kelerengan 0-8% tidak ada faktor yang membatasi penggunaan lahan tersebut.
Lahan dengan kelas kemampuan II terdapat pada nomor unit lahan 52 dan 162 (7.432 ha). Kelas kemampuan II sesuai untuk lahan garapan pertanian terbatas sampai dengan pertanian intensif. Faktor penghambat yang dijumpai adalah faktor lereng dengan kemiringan 0-8%.
Tabel 5.1 Kelas Kemampuan Lahan pada Setiap Satuan lahan Pengamatan Intensif di Sub DAS Way Semah
Satuan Lahan
Penggunaan Lahan
Faktor Penghambat Kelas Kemampuan
Lahan
Evaluasi Penggunaan
Lahan 1 Hutan L2 III Sesuai
8 Hutan L4 VI Sesuai
52 Kebun Campuran L1 II Sesuai 63 Kebun Campuran L3 IV Sesuai 46 Kebun Campuran L2 III Sesuai 91 Kebun Campuran L2 III Sesuai 95 Kebun Campuran L3 IV Sesuai 107 Kebun Campuran L4 VI Tidak sesuai 119 Kebun Campuran L2 III Sesuai 154 Kebun Campuran L2 III Sesuai 159 Kebun Campuran L2 III Sesuai 162 Kebun Campuran L1 II Sesuai 168 Kebun Campuran L3 IV Sesuai
273 Sawah L0 I Sesuai
L0 : kecuraman lereng 0 sampai ≤ 3%, L1 : kecuraman lereng > 3 sampai 8%, L2 : kecuraman lereng >8 sampai 15%, L3 : kecuraman lereng > 15 sampai 30%, L4 : kecuraman lereng >30 sampai 45%
Lahan dengan kelas kemampuan lahan III terdapat pada unit lahan 1, 46, 91, 119, 154, 159 dengan luas total 1 711 ha. Penggunaan lahan yang ada telah sesuai dengan kelas kemampuan lahan, meskipun terdapat faktor penghambat berupa kelas lereng 8% sampai 15% (L2) dan erosi ringan. Untuk unit lahan 1, dengan penggunaan lahan aktual berupa hutan primer, kelerengan 8% sampai 15% tidak menjadikannya sebagai faktor penghambat. Karena kelas kemampuan III bisa dijadikan penggunaan lahan cagar alam, hutan sampai lahan garapan sedang.
Lahan dengan kelas kemampuan lahan IV terdapat pada unit lahan 63, 95, dan 168 dengan luas 297 ha. Penggunaan lahan yang ada pada unit lahan tersebut berupa kebun campuran, dan masih sesuai dengan kriteria kelas kemampuan lahan karena masih bisa digunakan sebagai lahan garapan terbatas.. Namun adanya faktor penghambat berupa lereng 15% sampai 25% (L3) dan erosi sedang, maka disarankan untuk melakukan tindakan konservasi yang lebih intensif pada lahan tersebut.
Lahan dengan kelas kemampuan lahan VI terdapat pada unit lahan 107 (156 ha). Lahan dengan kelas kemampuan VI tidak bisa dijadikan sebagai lahan garapan, karena hanya dapat digunakan sebagai cagar alam, hutan, sampai dengan penggembalaan sedang saja. Adanya faktor pembatas berupa kelerengan antara 25% sampai 40% (L4) dan erosi sedang, mengindikasikan bahwa penggunaan lahan selain tempat penggembalaan atau hutan atau cagar alam bisa menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kelestarian lingkungan.
Dari hasil klasifikasi kemampuan lahan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas berupa kondisi biofisik lahan, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya lahan di lokasi pengamatan intensif telah sesuai dengan kelas kemampuan lahan kecuali pada unit lahan 107 yang berada pada kelas VI. Penggunaan lahan yang sesuai untuk lahan dengan kelas kemampuan VI adalah pengayaan tanaman penghijauan atau reboisasi. Untuk penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya perlu dilakukan evaluasi terhadap penggunaan lahan yang ada dan diajukan alternatif penggunaan lahan lain sehingga tidak saja sesuai dengan kapasitas lahan tersebut tetapi juga masih dapat menguntungkan secara ekonomi bagi petani pemilik lahan.
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang dijadikan lokasi pengamatan intensif meliputi penggunaan lahan hutan primer, kebun campuran dan sawah. Penggunaan lahan kebun campuran yang dijadikan lahan pengamatan adalah kebun campuran dengan jenis tanaman Kakao dan jenis tanaman lain yang merupakan tanaman pelindung atau tanaman naungan. Penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan lahan terbanyak yang dijadikan lokasi pengamatan intensif, yaitu sebanyak 11 satuan lahan. Jenis tanaman yang terdapat pada kebun campuran selain Kakao (Theobroma cacao), antara lain ; Kelapa (Cocos nucifera), Tangkil (Gnetum gnemon), Cempaka (Michelia campaka)), Durian (Durio zibetinus), Pisang (Musa sp), dan Sonosiso (Dalbergia sissoo Roxb). Sebanyak 98.55% dari luas satuan lahan pengamatanan intensif merupakan kebun campuran dengan jenis tanaman dominan adalah Kakao. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan pemerintah kabupaten pada Tahun 2012 lalu mencanangkan Kabupaten Pesawaran, yang merupakan lokasi penelitian, sebagai Bumi Kakao karena luasnya areal tanaman kakao sehingga sebagian besar masyarakat Kabupaten Pesawaran menyandarkan hidupnya dari usaha tani kakao.
Berdasarkan hasil evaluasi kemampuan lahan, hutan primer pada unit lahan 1 termasuk ke dalam kelas III, sehingga sudah sesuai dengan peruntukkan lahan tersebut dimana kelas kemampuan III dapat digunakan mulai dari garapan sedang sampai dengan cagar alam. Sedangkan hutan primer pada satuan lahan 8
termasuk ke dalam kelas kemampuan VI, dimana lahan tersebut memang sudah seharusnya dijadikan cagar alam atau hutan lindung.
Penggunaan lahan berupa sawah masuk kelas kemampuan lahan I, sehingga sudah sesuai dengan peruntukkannya, karena kemampuan I sesuai untuk berbagai jenis penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian umumnya), padang rumput, hutan produksi, sampai dengan hutan lindung atau cagar alam. Sawah pada unit lahan 273 terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%).
Terdapat 11 unit lahan dengan penggunaan lahan kebun campuran pada lokasi penelitian intensif. Unit lahan 52 dan 162 masuk ke dalam kelas kemampuan II dan unit lahan 46, 91, 119, 154, dan 159 termasuk ke dalam kelas kemampuan III. Sedangkan unit lahan 63, 95, dan 168 termasuk ke dalam kelas kemampuan IV. Ke-11 unit lahan tersebut berdasarkan hasil klasifikasi kemampuan lahan, sudah sesuai dengan peruntukkan lahannya sebagai kebun campuran, sehingga tidak perlu dilakukan penggantian penggunaan lahan. Unit lahan 107 dengan penggunaan lahan kebun campuran termasuk kelas kemampuan VI. Unit lahan ini tidak sesuai untuk dijadikan lahan pertanian karena mempunyai faktor hambatan yang sangat berat yaitu berada pada tanah dengan kemiringan 25% sampai 40%, sehingga perlu dilakukan alternatif penggunaan lahan lain yaitu reboisasi atau penghijauan. Namun adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari petani pemilik lahan tersebut, maka lahan yang ada bisa diganti dengan tanaman keras tetapi tetap menghasilkan secara ekonomi yaitu kombinasi antara tanaman kayu-kayuan dengan tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) berupa tanaman buah-buahan dengan komposisi 70 : 30, sehingga masih dapat diperoleh pendapatan dari kayu bakar dan hasil buah.
Tabel 5.2 Luas Penggunaan Lahan pada Lokasi Pengamatan Intensif di sub DAS Way Semah
Penggunaan Lahan Satuan Lahan Luas (ha)
Hutan 1, 8 128
Kebun Campuran 52, 63, 46, 91, 95, 107, 119,
154, 159, 162, 168 9 580
Sawah 273 12
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum satuan lahan yang dijadikan lokasi pengamatan intensif sudah sesuai dengan kelas kemampuan lahannya. Untuk penggunaan lahan yang lestari maka semua unit lahan harus memenuhi kriteria berkelanjutan, salah satunya adalah erosi yang terjadi tidak melebihi erosi yang ditoleransikan (ETol). Untuk melihat hal tersebut, harus dilakukan prediksi erosi pada setiap penggunaan lahan yang ada, sesuai dengan kelas kemampuan lahan masing-masing.
Karakteristik Tipe Usaha Tani di Sub DAS Way Semah
Tipe usaha tani dominan yang dilakukan oleh petani di lokasi pengamatan intensif adalah Kakao, Kelapa, Tangkil, tanaman buah-buahan seperti Durian dan Pisang, serta tanaman Kayu seperti Cempaka. Ada 4 (empat) jenis pola usaha tani
dominan di Sub DAS Way Semah. yaitu terdiri dari : Monokultur kakao (UT1) seluas 280 ha, Kakao-kelapa (UT2) 6 495 ha, Kakao-kelapa-tangkil (UT3) 31 ha, serta Kakao dan tanaman buah-buahan + tanaman kayu-kayuan (UT4) seluas 2 774 ha.
Tabel 5.3 Berbagai Tipe Usaha Tani pada Masing-masing Satuan lahan di Sub DAS Way Semah
Tipe Usaha Tani Unit Lahan Populasi Tanaman ha-1 Luas (ha)
Monokultur Kakao (UT1) + T1 63,154,162 1100 kakao 280 Kakao-Kelapa (UT2) + T2 52, 46,159 1100 kakao, 83 kelapa 6 495 Kakao-Kelapa-Tangkil (UT3) + T3 91 1100 kakao, 83 kelapa,
25 tangkil
31 Kakao-tanaman buah-kayu (UT4) + T4 107,119,168,95 1100 kakao, 25 durian,
pisang, cempaka.
2 774
Jumlah 9 580
T1 : Ternak kambing 5 ekor, T2 : Ternak ayam 20 ekor dan kambing 3 ekor, T3 : Ternak ayam 20 ekor dan kambing 2 ekor, T4 : Ternak kambing 4 ekor
Tipe usahatani UT1 merupakan pola usaha tani dengan jenis tanaman Kakao, tanpa mengkombinasikannya dengan tanaman lain. Kakao ditanam dengan jarak tanam 3m x 3m, sehingga pada areal seluas 1 ha, terdapat tanaman kakao sebanyak 1100 buah. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian areal ada yang dilakukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman seperlunya. Produksi tanaman kakao pada usahatani monokultur pernah mencapai 800 kg ha-1 tahun-1, karena adanya perlakuan pemupukan Urea dan TSP. Dengan harga kakao sebesar Rp20 000 kg-1, maka setiap petani mendapatkan pendapatan bersih sebesar Rp9 995 000 ha-1 sesudah dikurangi biaya produksi, termasuk biaya pemupukan. Selain dari hasil panen kakao, petani pada tipe ini juga memperoleh pendapatan dari usaha lain berupa ternak kambing sebanyak 5 ekor (T1). Pada areal monokultur sering dilakukan pembersihan tanaman bawah sehingga permukaan tanah cenderung terbuka, hanya sedikit yang ditumbuhi rumput liar dan ditutupi banyak serasah. Usahatani kakao monokultur sebagian besar dilakukan pada lokasi-lokasi dengan aksesibilitas tinggi dan mudah dijangkau karena berdekatan dengan jalan. Namun tidak ada yang melakukan konservasi tanah baik pada areal datar maupun areal yang miring. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pada tanaman kakao dewasa (umur tanaman > 8 tahun), tipe usaha tani UT1 (monokultur kakao) mempunyai nilai faktor pengelolaan tanaman (C) sebesar 0,277 (Hidayat 2009).
Tipe usahatani UT2 merupakan pola usaha tani dengan jenis tanaman utama Kakao dan jenis tanaman naungan Kelapa. Kakao ditanam dengan jarak tanam 3m x 3m, sedangkan kelapa ditanam di sela-sela tanaman kakao dengan jarak tanam 12m x 10m. Sehingga dalam satu hektar diperkirakan terdapat 1100 pohon kakao dan 83 pohon kelapa. Tumpangsari jenis ini paling banyak dilakukan oleh para petani kakao. Dari hasil pengamatan di lapangan, penyiangan pada tanaman kakao terkadang masih dilakukan seperlunya tanpa adanya pemupukan. Produksi yang dihasilkan masih rendah yaitu mencapai 660 kg ha-1 tahun-1. Namun para petani tidak hanya mendapat penghasilan dari hasil kakao saja, tetapi juga mendapat tambahan dari hasil penjualan kelapa dengan produksi sebesar 2 075 pasang buah kelapa ha-1 tahun-1. Selain dari hasil kakao dan kelapa,
petani juga mendapat tambahan penghasilan dari hasil ternak berupa ayam dan kambing sebanyak 20 ekor ayam dan 3 ekor kambing (T2). Tipe usaha tani ini mempunyai nilai faktor tanaman (C) sebesar 0.3 yaitu nilai faktor untuk kebun campuran dengan kerapatan sedang.
Tipe usaha tani UT3 merupakan pola usaha tani dengan jenis tanaman utama kakao dan jenis tanaman naungan kelapa bercampur tangkil. Kakao ditanam dengan jarak tanam 3m x 3m, kelapa ditanam dengan jarak tanam 12m x 10m dan tangkil ditanam dengan jarak tanam 20m x 20m. Sehingga dalam satu hektar terdapat 1100 kakao, 83 kelapa dan 25 pohon tangkil. Tangkil ditanam di sela-sela tanaman kakao dan kelapa. Selain kelapa, tangkil juga cocok untuk dijadikan tanaman pelindung, karena percabangannya yang tidak lebar, tajuk cenderung mengerucut ke atas, sehingga tidak mengganggu intensitas sinar matahari yang diperlukan oleh tanaman kakao. Pada tipe ini tidak dilakukan penyiangan sehingga banyak tumbuh tanaman penutup tanah dan serasah yang berasal dari daun-daun yang jatuh. Produksi kakao pada tipe UT3 mencapai 660 kg ha-1 tahun-1, ditambah dengan hasil dari buah tangkil sebanyak 125 kg ha-1 tahun-1, dan kelapa 2 075 pasang buah ha-1 tahun-1. Usaha lain yang dilakukan oleh petani adalah ternak ayam 20 ekor dan kambing 2 ekor (T3). Tipe usaha tani UT3 mempunyai faktor pengelolaan tanaman (C) sebesar 0.1 yaitu nilai C untuk kebun campuran dengan kerapatan tinggi, tajuk bertingkat dan penutup tanah bervariasi.
Tipe usahatani UT4 merupakan tipe usaha tani dengan pola tanam tanam kakao sebagai tanaman utama, bercampur dengan tanaman buah seperti Durian dan Pisang, serta tanaman berkayu seperti Cempaka dan Sonosiso. Jarak tanam kakao tetap sebesar 3m x 3m atau 1100 pohon ha-1. Jarak tanam durian bercampur tanaman kayu lainnya, 20m x 20m atau sebanyak 25 pohon ha-1. Sedangkan tanaman Pisang tidak ditentukan jarak tanamnya dan hanya ditanam di pinggiran kebun kakao. Produksi kakao pada tipe usaha tani UT4 mencapai 660 kg ha-1 tahun-1. Selain kakao hasil dari tanaman durian dan pisang dapat dijadikan penghasilan tambahan bagi petani. Hasil penjualan buah durian ini sangat menguntungkan karena harganya yang tinggi terutama pada musim durian sekitar bulan Oktober sampai Desember. Dalam 1 ha bisa menghasilkan buah durian sebanyak 2 000 buah tahun-1. Oleh karena itu para pemilik lahan jenis usaha tani UT3, selain menjadi petani, banyak juga yang menjadi pedagang buah-buahan seperti pisang dan durian. Mereka mengirim pasokan buah durian ke kota terdekat yaitu Bandarlampung, karena daerah mereka, selain sentra kakao juga merupakan sentra buah durian. Di luar pendapatan dari buah-buahan, penghasilan petani juga mendapat tambahan dari hasil kayu Cempaka yang ditanam di lahan kakao. Pada tipe ini tidak dilakukan penyiangan sehingga banyak tumbuh tanaman penutup tanah dan serasah yang berasal dari daun-daun yang jatuh. Selain hasil dari lahan kakao, petani juga memperoleh penghasilan tambahan dari berternak kambing sebanyak 4 ekor (T4). Tipe usaha tani UT4 mempunyai faktor C sebesar 0.1 untuk kebun campuran dengan kerapatan tinggi, tajuk bertingkat dan penutup tanah bervariasi.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, petani masih menggunakan cara-cara konvensional dalam mengolah lahannya. Belum banyak yang menyadari pentingnya pengolahan tanah dengan tindakan konservasi baik itu pembuatan teras untuk lahan dengan kecuraman tinggi, pembuatan rorak atau
pemakaian mulsa. Demikian juga para petani belum bisa menerapkan agroteknologi yang tepat dalam pengelolaan tanah, seperti pola tanam yang teratur atau penanaman menurut kontur. Bahkan untuk lahan-lahan dengan aksesibilitas yang tinggi atau dekat dengan jalan, tanah di bawah tegakan lebih sering dibersihkan sehingga tanah dibiarkan terbuka. Hal ini dapat memicu terjadinya erosi. Pada lahan dengan kecuraman tinggi, tidak ada petani yang melakukan upaya konservasi tanah seperti rorak, teras gulud atau penanaman menurut kontur. Tidak adanya teknik konservasi yang dilakukan oleh para petani menentukan nilai faktor pengelolaan tanah (P) yaitu 1.
Hasil analisa terhadap pola tanam dan agroteknologi diperoleh nilai C dan P dari masing-masing usahatani yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi erosi yang terjadi pada penggunaan lahan aktual di setiap satuan lahan.
Pembahasan Prediksi Erosi
Prediksi erosi di Sub DAS Way Semah dilakukan pada setiap satuan lahan pengamatan intensif dengan menggunakan persamaan USLE yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Parameter yang diperhitungkan dalam pendugaan adalah faktor pengelolaan tanaman (C) dan faktor pengelolaan tanah (P) pada pola tanam dan agroteknologi aktual yang dilakukan oleh petani kakao, faktor erosivitas (R) (Lampiran 14), faktor Erodibilitas (K) (Lampiran 15), serta faktor panjang dan kecuraman (LS) (Lampiran 16). Hasil perhitungan menunjukkan prediksi erosi pada setiap satuan lahan pengamatan intensif sangat bervariasi, dengan kisaran 89.90 sampai 425.80 ton ha-1th-1. Hasil prediksi erosi kemudian dibandingkan dengan ETol yang terjadi di lahan tersebut. ETol ditentukan oleh kedalaman tanah minimum untuk tanaman kakao yaitu 50 cm, kedalaman tanah efektif dari masing-masing unit lahan yang berkisar antara 80 sampai dengan 120 cm dengan faktor kedalaman 0,80 sampai 1 dan bobot isi 0.85 sampai 1.23 gr cm3 (Lampiran 17) sehingga masing-masing unit lahan mempunyai ETol yang berbeda-beda. Etol pada semua penggunaan lahan di lokasi penelitian berkisar dari 18.42 sampai 36.80 ton ha-1th-1.
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai prediksi erosi (A) pada semua usaha tani (UT1 sampai dengan UT4) lebih besar daripada nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol). Prediksi erosi yang terjadi pada usaha tani kakao-tanaman kayu-tanaman buah (UT1) mempunyai nilai prediksi erosi dengan kisaran paling lebar yaitu 239.32 sampai 425.80 ton ha-1th-1 lebih besar daripada nilai ETol pada lahan tersebut yaitu 18.70 sampai 25.08 ton ha-1th-1 .
Pada unit lahan dengan penggunaan lahan hutan dan sawah, prediksi erosi yang terjadi lebih kecil daripada erosi yang ditoleransikan. Pada hutan alam, kerapatan tajuk dan tebalnya serasah di lantai hutan melindungi tanah di bawahnya dari kekuatan jatuhnya air hujan yang merusak. Sehingga kecepatan aliran permukaan yang terjadi ikut menurun dan hanya sedikit partikel-partikel tanah yang terangkut. Demikian juga dengan sawah, kondisi lahan yang relatif datar dan tanaman padi yang rapat menyebabkan aliran permukaan menjadi lambat.
Tabel 5.4 Perbandingan Hasil Prediksi Erosi dan ETol pada Berbagai Tipe Usaha Tani di Sub DAS Way Semah
Usaha Tani Satuan Lahan A (Ton ha-1th-1)
ETol (Ton ha-1th-1) Monokultur Kakao (UT1) 63, 154, 162 239.32 – 425.80 18.70 – 25.08 Kakao-Kelapa (UT2) 52, 76, 159 131.00 – 205.03 19.80 – 32.30 Kakao-Kelapa-Tangkil (UT3) 95 169.42 30.94 Kakao-Tan.Kayu-Tan.Buah (UT4) 91, 107, 119, 168 89.90 – 198.50 18.42 – 31.98 Hutan 1,8 0.92 – 1.40 20.88 – 23.10
Sawah 273 7.92 36.80
Faktor-faktor yang diperkirakan memicu tingginya nilai prediksi erosi adalah topografi, kelerengan, faktor panjang lereng, erosivitas, erodibilitas, pola tanam, dan tindakan konservasi. Faktor panjang lereng menentukan terjadinya erosi yang tinggi. Makin panjang lereng suatu lahan, maka tinggi potensi terangkutnya partikel-partikel tanah, karena akumulasi dari kecepatan aliran permukaan yang terjadi. Disamping itu kelerengan tanah yang bervariasi berdampak pada besarnya