• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap 1 Galur murni (F 2 ) kopepoda

Dari stok sampel kopepoda Apocyclops sp. yang telah diidentifikasi, 50 ekor induk betina siap bertelur semuanya mampu menghasilkan turunan (F1) pada kondisi

salinitas media kultur 20 ppt, suhu ruangan laboratorium 24±1oC dan pakan berupa mikroalga Tetraselmis sp. Dari 50 ekor induk betina siap bertelur (stok F1), hanya 48

ekor induk yang mampu menghasilkan turunan (F2). Turunan F2 selanjutnya dijadikan

stok hewan uji untuk penelitian tahap ke II.

Aklimatisasi stok hewan uji

Pada kondisi suhu 24±1oC, 28±1oC dan 32±1oC, dan sumber pakan berupa mikroalga Tetraselmis sp., Chlorella sp., dan Nannochloropsis oculata dengan salinitas media kultur 20 ppt, naupli F2 kopepoda Apocyclops sp. mampu tumbuh dan

berkembang dengan baik hingga mencapai dewasa dan siap untuk dijadikan hewan uji.

Tahap II

Fekunditas Total dan Kemampuan Penetasan Telur

Dari 405 ekor induk betina yang dijadikan hewan uji, seluruhnya mampu melakukan kopulasi dan menghasilkan telur (fekunditas) serta menetaskannya. Kopulasi perinduk kopepoda secara umum berkisar antara 1 – 4 kali pada induk yang diberi pakan Tetraselmis sp. dan Chlorella sp. pada semua tingkat perlakuan suhu. Sedangkan pada induk kopepoda yang diberi pakan Nannochloropsis oculata memiliki kisaran 1 – 5 kali kopulasi. Fekunditas total, kemampuan penetasan telur (jumlah telur yang menetas) dan rasio penetasan (”Hatching Ratio/ HR”) rata-rata per induk kopepoda disajikan pada Tabel 5 berikut ini:

33

Tabel 5 Fekunditas total, kemampuan penetasan telur dan rasio telur yang menetas (”Hatching Ratio / HR”) per induk betina kopepoda Apocyclops sp. pada suhu dan sumber pakan berbeda.

T1 (24±1 o C) T2 (28±1 o C) T3 (32±1 o C)

Chlo Tetra Nanno Chlo Tetra Nanno Chlo Tetra Nanno Rata-rata Fekunditas Total (butir) 54.82 61.97 66.47 68.63 78.79 85.36 48.24 53.61 66.52 Rata-rata Kemampuan Penetasan Telur (butir) 51.73 57.31 64.39 65.86 74.96 82.99 45.68 50.88 64.29 Hatching Ratio (%) 94.36 92.48 96.87 95.96 95.14 97.22 94.69 94.91 96.65 Keterangan :

- Chlo : mikroalga Chlorella sp. - Tetra : mikroalga Tetraselmis sp.

- Nanno : mikroalga Nannochloropsis oculata.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa, fekunditas total dan kemampuan penetasan telur perinduk Apocyclops sp. pada perlakuan suhu T2 (28 ± 1oC) memiliki nilai total rata-rata

yang tinggi. Kemudian diikuti pada perlakuan suhu T1 (24 ± 1oC), dan T3 (32 ± 1oC).

Lebih lanjut Gambar 14 mengilustrasikan grafik fekunditas total rata-rata dan jumlah rata-rata telur yang menetas (kemampuan penetasan telur) dari induk betina kopepoda.

61,97 66,47 68,63 78,79 48,24 66,52 54,82 85,36 53,61 50,88 64,39 45,68 51,73 57,31 65,86 64,29 74,96 82,99 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Chlo Tetra Nanno Chlo Tetra Nanno Chlo Tetra Nanno

T1 (24 ± 1º C) T1 (28 ± 1º C) T1 (32 ± 1º C)

Perlakuan

Jumlah Telur

Fekunditas Total Kemampuan Penetasan Telur

Gambar 15 Fekunditas total dan kemampuan penetasan telur induk kopepoda Apocyclops sp. pada suhu dan sumber pakan berbeda.

34

Gambar 15 memperlihatkan fekunditas total rata-rata tertinggi sebanyak 85.36 butir telur dan jumlah telur yang mampu menetas sebanyak 82,99 butir, dengan rasio telur menetas (HR) sebesar 97.22% pada induk Apocyclops sp. dengan perlakuan suhu 28±1oC dan diberi pakan mikroalga Nannochloropsis oculata. Selanjutnya berturut- turut adalah induk kopepoda yang diberi pakan mikroalga Chlorella sp. sebanyak 68.63 dan 65.86 butir telur dengan HR 95.96%, dan Tetraselmis sp. sebanyak 78.79 dan 74.96 butir telur dengan HR 95.14%.

Selanjutnya melalui pengujian statistik dengan RAL faktorial terhadap fekunditas total dan kemampuan penetasan telur per induk kopepoda Apocyclops sp. dengan menggunakan aplikasi komputer program SAS menunjukkan bahwa, pengaruh interaksi tidak nyata, sedangkan pengaruh utama faktor T (suhu) dan faktor P (sumber pakan) memberikan pengaruh yang sangat nyata (Lampiran 7). Hal ini berarti ada respon fekunditas dan kemampuan penetasan telur terhadap ke tiga faktor suhu (T1, T2,

T3) dan sumber pakan yang dicobakan (Chlorela sp., Tetraselmis sp., N. oculata).

Untuk melihat secara jelas hasil percobaan ini dapat dilihat grafik yang menghubungkan faktor utama perlakuan antara suhu dan sumber pakan terhadap fekunditas dan kemampuan penetasan telur kopepoda Apocyclops sp. pada Gambar 16 dan 17 berikut ini. 48.24 68.63 54.82 66.47 66.52 85.36 53.61 78.79 61.97 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 T1 T2 T3 Suhu

jumlah rata-rata fekunditas total (%)

Ch Na Te

Gambar 16 Pengaruh suhu dan sumber pakan berbeda terhadap fekunditas total Induk kopepoda.

35 51.72 65.85 45.67 82.99 64.39 64.29 50.88 74.96 57.30 45 50 55 60 65 70 75 80 85 T1 T2 T3 Suhu

Jumlah rata-rata telur menetas (%)

Ch Na Te

Gambar 17 Pengaruh suhu dan sumber pakan berbeda terhadap kemampuan penetasan telur induk kopepoda.

Dari Gambar 16 dan 17 terlihat bahwa secara umum induk kopepoda yang diberi pakan mikroalga N. oculata memberikan nilai rata-rata total yang lebih tinggi dibanding induk yang diberi pakan Tetraselmis sp. maupun Chlorella sp. pada semua perlakuan suhu (T1, T2 dan T3). Dalam grafik terlihat juga bahwa induk yang diberi pakan

N. oculata pada suhu T2 mempunyai nilai rata-rata tertinggi untuk fekunditas dan

kemampua n penetasan telurnya. Hal ini menunjukkan bahwa induk kopepoda memberikan respon fekunditas dan kemampuan penetasan telur yang paling baik adalah pada perlakuan suhu 28±1oC dan pemberian pakan berupa mikroalga N. oculata.

Garis pada grafik yang sejajar menunjukkan bahwa tidak adanya interaksi antara perlakuan suhu dan sumber pakan yang diberikan (TP). Pengaruh interaksi antara suhudan sumber pakan yang merupakan rata-rata selisih (perbedaan) respon pola fekunditas dan kemampuan penetasan telur induk kopepoda di antara pengaruh sederhana suatu faktor (faktor suhu atau pakan yang diberikan) setelah diuji ternyata tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa pengaruh sederhana dari faktor suhu atau pakan yang diberikan dianggap homogen (sama) sehingga perbedaan yang ada disebabkan oleh faktor galat percobaan (kesalahan pengukuran).

Dari uji keandalan model percobaan (R2) untuk fekunditas total dan kemampuan penetasan telur induk kopepoda masing-masing 0,7225 dan 0,7037. Besaran koefisien R2 = 0,7225 dan 0,7037 dari model percobaan tersebut menyatakan bahwa keragaman total pola fekunditas total dan kemampuan penetasan tersebut masing-masing sebesar

36

72,25% dan 70,37%. Sedangkan sisanya (1 – R2) 0,2775 atau 27,75% dan 0,2963 atau 29,63% disebabkan oleh galat percobaan. Dengan kata lain, faktor suhu dan pemberian pakan memberikan nilai keragaman nilai rata-rata total fekunditas sekitar 72,25% dan kemampuan penetasan telur induk kopepoda sekitar 70,37%, sedangkan 27,75% dan 29,36% disebabkan oleh adanya faktor lainnya yang tidak diperhatikan (luput) dalam percobaan ini.

Pada uji lanjut terhadap faktor-faktor utama suhu dan pemberikan pakan mikroalga terhadap fekunditas total dan kemampuan penetasan telur perinduk kopepoda dengan menggunakan ”Duncan Multiple Range Test” (Lampiran 8) diperoleh hasil bahwa, rata -rata faktor suhu dan pemberian pakan seluruhnya menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Dimana faktor suhu T2 dan pakan N. oculata memberikan nilai rata-

rata paling tinggi. Hal ini berarti bahwa pada suhu T2 dan pemberian pakan berupa

mikroalga N. oculata memberikan rata-rata fekunditas total dan kemampuan penetasan telur perinduk kopepoda tertinggi. Atau dalam pengertian lain bahwa pola fekunditas dan kemampuan penetasan telur (’hatching rate’) induk kopepoda memberikan respon dengan rata-rata yang lebih tinggi pada kondisi suhu T2 dan pakan N. oculata

dibandingkan suhu T1 dan T3.

Dari hasil percobaan yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu dikatakan, bahwa pola fekunditas dan kemampuan penetasan telur induk kopepoda dikatagorikan menurut kemampuan melakukan kopulasi sepanjang hidupnya. Dalam penelitiannya terhadap aspek reproduksi kopepoda Temora longicornis, Haris & Paffenhofer (1974) melaporkan bahwa banyaknya produksi telur (fekunditas) selain dipengaruhi oleh kualitas makanan juga dipengaruhi oleh banyaknya frekwensi kopulasi yang dilakukan kopepoda. Pada Gambar 18, 19, dan 20 berikut dapat dilihat kaitan antara produksi telur (fekunditas total), kemampuan menetas (’hatching’) dan rasio penetasan (”hatching rate”) dengan kopulasi kopepoda sepanjang hidupnya.

37 0 20 40 60 80 100 120 Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%)

Kop I Kop II Kop III Kop IV Kop V

T1

Jumlah telur rata-rata fekunditas, telur menetas

(Hatching/ H) dan HR (%)

Chlo Tetra Nanno

Gambar 18 Kopulasi, fekunditas, ‘hatching’ dan ‘HR’ kopepoda pada T1 (24±1oC)

0 20 40 60 80 100 120 Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%)

Kop I Kop II Kop III Kop IV Kop V

T2

Jumlah rata-rata fekunditas, telur menetas (H)

dan HR (%)

Chlo Tetra Nanno

Gambar 19 Kopulasi, fekunditas, ‘hatching’ dan ‘HR’ kopepoda pada T2 (28±1oC)

0 20 40 60 80 100 120 Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%) Fek H HR(%)

Kop I Kop II Kop III Kop IV Kop V

T3

Jumlah rata-rata fekunditas, telur menetas (H) dan

HR (%)

Chlo Tetra Nanno

38

Dari ketiga Gambar tersebut terlihat bahwa Apocyclops sp. termasuk kopepoda yang aktif bereproduksi. Pada penelitian ini diketahui bahwa kopepoda Apocyclops sp. mampu melakukan 1 – 4 kali bahkan 1 – 5 kali kopulasi sepanjang hidupnya. Dalam penelitian ini diketahui juga bahwa induk kopepoda yang paling aktif melakukan 1 – 5 kali kopulasi adalah induk yang diberi perlakuan suhu T2 (28 ± 1oC) dan diberi

pakan mikroalga berupa N. oculata. Rumengan et al. (1998) melaporkan bahwa Apocyclops sp. adalah salah satu jenis kopepoda yang banyak dijumpai di perairan tropis yang memiliki kemampuan bereproduksi yang cukup tinggi. Semasa hidupnya (”lifespan”) Apocyclops sp. mampu menghasilkan telur sebanyak 70 sampai 448 butir dengan tiga sampai empat kali masa pemijahan (kopulasi).

Dari Gambar grafik tersebut terlihat adanya variasi fekunditas dan kemampuan telur menetas, dimana rata-rata tertinggi terjadi pada kopulasi II dan semakin menurun pada kopulasi selanjutnya. Hal ini menyatakan bahwa pada kopulasi II merupakan puncak produktivitas tertinggi dalam masa hidupnya. Kondisi ini diduga bahwa selain energi yang ada dalam tubuh induk betina kopepoda lebih banyak digunakan untuk proses reproduksi, juga induk betina sudah mampu beradaptasi (terbiasa) dengan lingkungan tempat hidupnya.

Berbeda halnya pada kopulasi I, bahwa rendahnya fekunditas, ’hatching’, dan ’hatching rate’ induk kopepoda diduga karena energi yang ada terbagi, yaitu selain untuk proses reproduksi juga untuk proses fisiologis lainnya seperti pembentukan organ reproduksi dan penyempurnaan tahap-tahap pertumbuhan pertumbuhan tubuh. Sedangkan semakin rendahnya fekunditas dan kemampuan penetasan telur pada kopulasi III, IV dan V diduga bahwa energi yang ada lebih banyak digunakan untuk proses penggantian organ-organ tubuh yang rusak. Variasi fluktuatif (laju) fekunditas, dan kemampuan telur menetas (’hatching’) induk Apocyclops sp. dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22 berikut ini.

39 75.02 0 0 24.16 62.78 56.11 14.78 101.49 68.69 62.89 14.62 32.62 91.64 60.27 64.62 0 20 40 60 80 100 120

Kop I Kop II Kop III Kop IV Kop V

Kopulasi

Rata-rata fekunditas total (%)

Fek Chlo Fek Tetra Fek Nanno

Gambar 21 Variasi rata-rata fekunditas total induk kopepoda terhadap suhu dan pakan berbeda pada setiap tahap kopulasi

52.73 72.76 0 0 89.76 13.8 21.53 56.69 11.91 99.38 62.89 55.07 31.24 58.76 62.02 0 20 40 60 80 100 120

Kop I Kop II Kop III Kop IV Kop V

Kopulasi

Rata-rata Penetasan Telur (%)

Hatching Chlo Hatching Tetra Hatching Nanno

Gambar 22 Variasi rata-rata kemampuan penetasan telur induk kopepoda terhadap suhu dan pakan berbeda pada setiap tahap kopulasi

Adanya variasi (flukstuasi) rata-rata fekunditas dan ’hatching’ tersebut disebabkan oleh pengaruh energi yang digunakan oleh induk kopepoda dalam melakukan aktifitas reproduksinya. Energi yang digunakan untuk aktivitas reproduksi tersebut secara langsung didapat dari makanan berupa mikroalga. Marshall & Orr (1985) menyatakan, bahwa pada percobaan-percobaan di laboratorium menunjukkan rata-rata produksi (fekunditas) telur dan kemampuan penetasan telur (’hatching’) dipengaruhi oleh pakan (mikroalga) yang dikonsumsinya. Selanjutnya dikatakan oleh Jonnasdottir & Kiorboe

40

(1996) dalam Wulur (1997) bahwa komposisi asam lemak yang terkandung dalam mikroalga sebagai pakan sangat berpengaruh terhadap rata-rata produksi telur dan kemampuan menetas dari kopepoda pada umumnya.

Rippingale & Payne (2001) dalam penelitiannya pada kultur masal kopepoda kalanoid Gladioferens imparipes mendapatkan bahwa, di tahap awal kultur keberhasilan perkembangan stadia naupli, kopepodit dan mencapai dewasa akan sangat ditentukan oleh kualitas telur. Kopepoda untuk mempertahankan mekanisme pertumbuhan dan perkembangannya sejak telur menetas hingga mencapai dewasa dan melakukan kopulasi dipengaruhi oleh jenis, jumlah dan mutu pakan yang diberikan.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa, bila dukungan kualitas air (suhu dan salinitas) tidak layak serta konsentrasi dan jenis pakan yang tidak tepat, maka sintasan larva kopepoda menjadi rendah. Sejalan dengan kondisi tersebut, pertumbuhan dan perkembangan per stadianya terhambat. Hal ini dimungkinkan karena suhu dan salinitas media yang tidak sesuai dengan kemampuan fisiologis pada setiap stadia perkembangan larva. Disamping itu, tahapan perkembangan dan pertumbuhan nauplii diketahui dari seberapa tepat manajemen pakan alami yang diberikan.

Kondisi ini didukung oleh pernyataan Rippingale & Payne (2001) yang menyatakan, bahwa ukuran dan lama waktu kopepoda untuk pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pada kondisi suhu dan sumber pakan yang meliputi jenis, jumlah dan kualitasnya. Selanjutnya dilaporkan bahwa pola reproduksi, kebiasaan makan, pertumbuhan/ perkembangan, dan produksi feses kopepoda bergantung pada jumlah dan kualitas alga yang dikonsumsinya.

Pernyataan lain dikemukakan oleh Uye (1991) yang melaporkan bahwa rasio telur menetas (‘hatching rasio’) induk betina kopepoda Paracalanus sp. daerah sub-tropis secara umum mencapai lebih dari 60% pada suhu 7.5oC dan 21oC dan kurang dari 30% pada suhu diatas 22oC. Ia menduga, bahwa kemungkinan suhu merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perkembangan kopepoda di perairan neritik ketika pakan berlimpah (“non-limit”).

Dalam percobaan laboratorium pada stadia kopepodit dikatahui bahwa laju pertumbuhan kopepoda planktonik Pseudocalanus spp. berbanding lurus dengan konsentrasi pakan (Pa?enhofer & Harris 1976, Corkett & McLaren 1978, Vidal 1980,

41

makanan berupa mikroalga yang diberikan (Koski et al. 1998). Perkembangan Pseudocalanus spp. juga diketahui meningkat dengan suhu (McLaren 1965; Vidal 1980; Thompson 1982; Klein Breteler et al. 1995).

Pengaruh dari kombinasi konsentrasi pakan dan suhu sebagai fungsi dua parameter, yaitu laju pertumbuhan dan perkembangan Pseudocalanus spp. telah diteliti oleh Dzierzbicka-Glowacka (2004). Ia menemukan bahwa koefisien pertumbuhan eksponen harian perkembangan dan berat tubuh dipengaruhi (ditentukan) oleh perbedaan konsentrasi pakan dan suhu pada kisaran 8 – 15,5oC. Pengaruh konsentrasi pakan dan suhu yang diberikan pada kopepoda Pseudocalanus spp. berpengaruh nyata terhadap dua parameter yang ditelitinya, yaitu waktu perkembangan dan berat tubuh.

Pada percobaan ini diketahui bahwa rata-rata fekunditas, ’hatching’ dan ‘hatching ratio’ tertinggi adalah pada induk Apocyclops sp. yang diberi perlakuan pemberian pakan N. oculata dan suhu 28 ± 1oC (T2). Hal ini diduga bahwa N. Oculata

memberi nutrisi yang lebih baik bagi induk kopepoda Apocyclops sp. untuk melakukan aktivitas reproduksinya dibanding mikroalga lainnya yang digunakan pada penelitian ini yaitu Tetraselmis sp. dan Chlorella sp. Menurut Kanazawa (1979) faktor terpenting pada mikroalga ini adalah kandungan HUFA omega 3 (O 3).

Berdasarkan studi diketahui bahwa organisme planktonik seperti kopepoda tidak dapat mensintesa dua jenis asam lemak esensial dari HUFA, yaitu asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA), sehingga keperluannya diperoleh dari mengkonsumsi fitoplankton. N. oculata diketahui memiliki kandungan omega-3 HUFA yang tinggi (16-42%), dimana persentase tertinggi adalah EPA, dan sedikit DHA. Disamping itu, N. oculata diketahui juga memiliki kandungan vitamin B12 yang

tinggi (Kanazawa et. al. 1979).

Menurut Brown (1991) vitamin B12 dibutuhkan pada masa kritis zooplankton

dalam tahapan larva. Pada HUFA khususnya DHA, EPA dan asam arakidonat (AA) diketahui sangat esensial bagi larva kopepoda (Langdon & Waldock, 1981; Sargent et al.1997). Secara umum, mikroalga juga diketahui kaya akan kandungan karbohidrat, dan asam amino, dimana komposisi asam amino tersebut dapat mempengaruhi nutrisi kopepoda pada tahap reproduksinya (Brown 1991; Enright et al. 1986).

Odum (1992) menyatakan, bahwa pengaruh suhu pada semua tingkatan organisme termasuk zooplankton mampu mempercepat proses-proses biokimia

42

sederhana sampai pada suatu ambang tertentu (titik optimum). Jadi dapat diterangkan bahwa laju metabolisme untuk keperluan-keperluan pola reproduksi kopepoda seperti produksi telur (fekunditas dan ‘hatcing rate’) suhu berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara internal suhu adalah sebagai sumber energi dalam menimbulkan reaksi molukuler berenergi tinggi yang mendorong aliran energi dalam alur-alur (‘pathways’). Oleh karena itu laju matabolik dalam sistem biologi reproduksi kopepoda dapat mensinergikan suplai energi dari pakan (N. oculata) pada suhu optimum (28 ± 1oC) serta mengadaptasikan level proses biokimianya pada performa yang maksimum. Hal ini dapat dijelaskan bahwa salah satu diferensiasi fungsi suhu adalah sebagai sumber energi potensial yang menyerap panas dari lingkungan dan dipergunakan oleh sistem (kopepoda) yang memanfaatkannya.

Kemampuan Pelepasan Telur

Dari hasi pengamatan terhadap pelepasan telur terlihat bahwa induk betina Apocyclops sp. adalah termasuk jenis kopepoda yang sangat aktif bereproduksi. Dari 405 induk kopepoda sebagai hewan uji rata-rata mampu melakukan 1 – 3 pelepasan telur dengan fekunditas yang bervariasi (lihat pembahasan fekunditas). Pada Gambar 23 tampak bahwa rata-rata pelepasan telur (‘interchluth’) yang tinggi secara umum terjadi pada suhu T2 (28 ± 1oC) untuk semua jenis pakan mikroalga yang diberikan.

Dimana rata-rata frekwensi kemampuan pelepasan telur tertinggi ada pada induk kopepoda yang diberi perlakuan T2 dan pakan N. oculata.

43 1.6861.92 1.6661.836 2.03 1.84 1.67 1.93 1.744 0 0.5 1 1.5 2 2.5

Jumlah rata-rata pelepasan telur per induk/ kopulasi

T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1 T2 T3

Chlorella Nanno Tetra

S u h u

Frekwensi kemampuan pelepasan telur

Gambar 23 Rata-rata frekwensi kemampuan pelepasan telur (‘intercluth’) induk kopepoda pada suhu dan sumber pakan berbeda

Tingginya rata-rata frekwensi pelepasan telur induk kopepoda yang diberi pakan N. oculata , dikarenakan selama masa hidupnya mampu melakukan 5 kali kopulasi (Gambar 24). Sehingga induk kopepoda yang diberi pakan N. oculata memiliki frekwensi rata-rata pelepasan telur yang tinggi pada setiap tingkat perlakuan suhu. 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Jumlah rata-rata pelepasan telur

induk/ kopulasi

T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1 T2 T3

Chlorella Nanno Tetra

S u h u

Kop 1 Kop II Kop III Kop IV Kop V

Gambar 24 Hubungan kemampuan pelepasan telur (‘intercluth’) induk kopepoda dengan frekwensi kopulasi pada suhu dan sumber pakan berbeda

44

Dari hasil pengujian statistik pada analisis ragam (Lampiran 9) terlihat bahwa baik pengaruh faktor utama (T, suhu dan P, pemberian pakan) dan pengaruh interaksi (T*P) berbeda sangat nyata. Berdasarkan analisis ragam tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1) Terdapat interaksi antara suhu dan pemberian pakan yang dicobakan terhadap pola kemampuan pelepasan telur (‘intercluth’) induk kopepoda Apocyclops sp.

2) Terdapat perbedaan respon pola kemampuan pelepasan telur induk kopepoda Apocyclop sp. diantara ke tiga taraf suhu (T1, T2, T3) yang dicobakan,

3) Terdapat perbedaan respon pola kemampuan pelepasan telur induk kopepoda Apocyclops sp. diantara ke tiga sumber pakan yang diberikan (Chlorella sp., Tetraselmis sp., N. oculata).

Bentuk interaksi antara tiga taraf faktor suhu dan tiga taraf faktor pakan yang diberikan terhadap respon kemampuan pelepasan telur induk kopepoda Apocyclops sp. dapat dilihat dari grafik pada Gambar 25.

10.4 8.42 9.64 9.6 9.53 8.78 8.71 9.64 8.33 8 9 10 11 T1 T2 T3 S u h u

Jumlah rata-rata pelepasan telur per induk

kopepoda (%)

Ch Na Te

Gambar 25 Interaksi suhu pada sumber pakan terhadap kemampuan pelepasan telur induk kopepoda

Grafik yang saling bersinggungan menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara suhu dan pakan yang diberikan terhadap respon pola pelepasan telur induk kopepoda Apocyclops sp.. Secara sekilas dari grafik terlihat bahwa suhu T3 (32 ± 1oC)

dan pakan N. oculata memberikan hasil rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan pakan mikroalga Chlorella sp. dan Tetraselmis sp.

45

Untuk mengetahui lebih jauh tentang pengaruh interaksi suhu dan sumber pakan yang diberikan terhadap respon pola pelepasan telur kopepoda dilakukan uji wilayah berganda Duncan (Lampiran 9).

Berdasarkan uji wilayah berganda Duncan didapat bahwa pada suhu T2 (28 ±

1oC) untuk semua jenis pemberian pakan memberikan pengaruh yang tidak nyata. Artinya, pada kondisi suhu T2 induk kopepoda memberikan respon yang sama walau

diberi ketiga jenis pakan Chlorella sp., N. Oculata, maupun Tetraselmis sp. Pada suhu T3 (32 ± 1oC) terdapat pola respon pelepasan telur yang berbeda pada induk yang

diberi pakan N. Oculata dan Tetraselmis sp., sedangkan untuk Chlorella sp. tidak berbeda. Demikian halnya dengan suhu T1 (24 ± 1oC) terdapat perbedaan respon pada

induk yang diberi pakan N. Oculata dan Tetraselmis sp., dan tidak berbeda nyata untuk pakan Chlorella sp. dengan Tetraselmis sp. Pada Gambar 26 dapat dilihat grafik interaksi pemberian pakan mikroalga pada suhu yang berbeda terhadap respon pola pelepasan telur induk kopepoda Apocyclops sp.

8.42 9.53 8.33 9.6 9.64 8.78 10.4 9.64 8.71 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 10.5 11

Nanno Tetra Chlo

Sumber pakan

Jumlah rata-rata pelepasan telur induk

kopepoda (%)

T1 T2 T3

Gambar 26 Interaksi pengaruh faktor pemberian pakan mikroalga pada suhu yang berbeda terhadap pola pelepasan telur induk kopepoda Apocyclops sp.

Dari grafik di atas tampak bahwa induk kopepoda yang diberi pakan N. oculata memberikan respon yang berbeda pada T2 dan T3, tidak berbeda pada T1. Artinya

adalah terdapat pengaruh yang berbeda nyata terhadap respon pola pelepasan telur induk kopepoda yang diberi pakan N. oculata baik pada suhu T2 maupun T3, dan

memberikan respon yang tidak berbeda pada T1. Pada induk yang diberi pakan

46

pada T3. Hal ini berarti bahwa induk yang diberi pakan Tetraselmis sp. akan memberi

respon yang berbeda pada suhu T2 maupun T1, dan memberikan respon yang sama

(tidak berbeda pada T3). Sedangkan pada induk kopepoda yang diberi pakan

Chlorella sp. memberikan respon yang berbeda pada T1 dan tidak berbeda pada T2 dan

T3. Hal ini berarti bahwa, induk kopepoda yang diberi pakan berupa mikroalga

Cholrella sp. akan memberikan respon pola pelepasan telur yang berbeda pada suhu T1,

dan respon yang sama pada T2 maupun T3.

Dari penjelasan uji lanjut wilayah berganda Duncan dapat ditarik kesimpulan umum bahwa induk kopepoda akan memberikan respon yang sama baiknya pada T2

walau diberikan pakan berupa N. oculata, Tetraselmis sp., maupun Chlorella sp. Berdasarkan awal mula pelepasan telur pada penelitian ini didapat kan bahwa rata-rata induk kopepoda yang diberi pakan N. oculata mampu melepaskan kantung telurnya pada hari ke-11. Sedangkan awal mula pelepasan kantung telur pada induk yang diberi pakan Tetraselmis sp. dan Chlorella sp. berturut turut adalah pada hari ke-14 dan 16 (Gambar 29). Hasil yang tidak jauh berbeda didapat pada penelitian lokal yang dilakukan Wulur (1997) pada induk kopepoda Apocyclops sp. yang diberi pakan mikroalga N. oculata pada hari ke-9, Asngadi (1996), Midi (1996) dan Sugeha (1996) pada induk yang diberi pakan Tetraselmis sp. rata-rata awal mula pelepasan kantung telur terjadi pada hari ke-13. Sedangkan Posumah (1998) yang memberikan pakan berupa Chlorella sp. rata-rata awal pelepasan kantung telur induk kopepoda Apocyclops sp. terjadi pada hari ke-14. Cepatnya waktu awal pelepasan kantung telur pada induk Apocyclops sp. hanya memakan waktu 11 hari ini diduga karena faktor pakan yang diberikan.

47

0

20

40

60

80

100

120

Pelepasan Telur (hari)

Dokumen terkait