TINJAUAN PUSTAKA
3. Syarat Operasional Pengelolaan
Persyaratan ini menyangkut aspek kemudahan-kemudahan terutama apabila pembenihan tersebut akan diusahakan secara masal. Karena, segi operasional menuntut ketersediaan kultur yang konsisten, mudah melakukan pembudidayaannya secara masal melalui prosedur yang sederhana dengan biaya murah, dan mudah dalam pengelolaannya.
Ketertarikan para peneliti untuk mengkultur kopepoda dalam skala besar sebagai pakan alami diawali dengan penelitian di laboratorium tentang berbagai aspek biologinya. Penelitian terhadap kopepoda pertama kali dilakukan adalah oleh Marshall & Orr di tahun 1972 pada species Calanus finmarchicus yang populasinya sangat melimpah di Atlantik Utara. Penelitian tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Kinne (1977), serta Paffenhöfer & Harris (1979).
Penelitian kopepoda di luar negeri sudah berkembang sedemikian jauh, antara lain di Eropa dan Jepang yang memfokuskan pada jenis harpaktikoid seperti Tisbe spp. dan Tigriopus spp., serta kalanoid seperti Eurytemora dan Acartia. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa penggunaan naupli kopepoda sebagai pakan alami ternyata mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan ‘turbot’ (Scophthalmus maximus) dan
7
‘seabream’ (Pagrus major). Di Hawai kopepoda Euterpina acutifrons telah sukses dikultur dan di pakai sebagai pakan alami untuk larva ikan ‘mahi-mahi’ (Coryphaena hippurus). Dari percobaan diketahui bahwa larva ikan ternyata lebih memilih naupli kopepoda (Kraul 1990). Namun, tingkat kelangsungan hidup larva masih rendah pada minggu pertama. Diduga hal ini disebabkan adanya toksisitas media, kualitas air yang rendah atau kehadiran kontaminan berupa mikroorganisme yang merugikan.
Para akuakulturis Thailand berhasil membesarkan larva “red snapper” (Lutjanus argentimaculatus) dan kepiting bakau (Scylla serrata) dengan menggunakan teknik “green-water” dan pemberian pakan alami berupa kopepoda (Singhagraiwan & Doi, 1993). Pada awalnya usaha untuk membesarkan jenis ikan dan kepiting bakau tersebut menggunakan rotifers sebagai pakan alami, namun mengakibatkan tingkat mortalitas larva mencapai 100%. Melalui serangkaia n percobaan dengan menggunakan kopepoda dari alam seperti Acartia, Pseudodiaptomus, Oithona, dan Longipedia yang diberikan pada larva saat mencapai umur 3 - 8 hari dalam tangki yang mengandung media “Green-water”, kemudian rotifer diberikan pada saat umur larva mencapai 6 hari, sedangkan naupli Artemia diberikan pada umur 10 hari, diketahui bahwa dalam kandungan usus larva ikan mengandung 88% naupli kopepoda saat larva mencapai umur 15 hari.
Selanjutnya, Doi et al. (1994) mengembangkan kopepoda Acartia dengan mengkulturnya secara masal di luar ruangan, dan diberikan pada larva Lutjanus argentimaculatus. Dari penelitiannya didapatkan hasil bahwa, naupli Arcatia merupakan pakan lami yang ideal pada masa perkembangan awal larva (umur 4 hari). Lebih lanjut Doi et al. (1994) melaporkan, bahwa pemeliharaan larva Kerapu di Taiwan dilakukan dengan dua metode, yaitu metode indoor, dan metode outdoor. Pada metode outdoor, larva trochopore (moluska) diberikan pada hari keempat selama dua hari, kemudian diberikan zooplankton liar yang dikultur pada kolam kecil yang terlebih dahulu dipupuk dengan sisa-sisa ikan yang telah membusuk. Sementara itu kopepoda dipanen dari dalam kolam kecil tersebut dengan menggunakan jaring plankton dan diberikan kepada larva yang berumur 1 sampai 10 hari. Dari percobaan pemberian pakan alami dengan kopepoda di Thailand tersebut, diperoleh bahwa tingkat mortalitas larva kurang dari 7%.
8
D'Abramo & Lovell (1991) dalam penelitiannya melaporkan bahwa defisiensi pakan terhadap nutrisi esensial merupakan penyebab utama tingginya tingkat mortalitas pada larva dan juvenile ikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moreno et al. (1979) diketahui bahwa kopepoda memiliki kelengkapan nutrisi yang dibutuhkan oleh larva pada masa awal perkembangannya, terutama sekali kaya akan asam lemak 16:0, 16:1, 20:5n-3 dan 22:6n-3. Kemampuan larva dalam mensintesis nutrient tersebut (terutama 22:6n-3), membuat larva ikan lebih menyukai naupli kopepoda sebagai makanan (Nanton & Castell 1999).
Dari beberapa penelitian juga diketahui, bahwa kopepoda memiliki pergerakan aktif yang mampu menarik perhatian larva dan benih ikan untuk memakannya, mudah dicerna oleh ikan, dan relatif kaya akan zat gizi seperti asam-asam amino, vitamin- vitamin (vitamin C) dan asam-asam lemak terutama asam ikosapentanoat (C20:5ω3) dan
asam dekoheksanoat (C22:6ω3) yang berguna bagi ikan (Poulet & William 1991). Di
samping itu kopepoda juga memiliki berbagai macam ukuran (naupli-kopepodit- dewasa) yang cocok untuk pakan larva pada berbagai stadia, sehingga hanya diperlukan satu kultur zooplankton saja untuk berbagai ukuran larva ikan/ udang. Disamping itu kopepoda juga banyak mengandung nutrisi lainnya seperti enzim dan karotenoid (tergantung pada jenis) yang juga dibutuhkan oleh larva dalam masa perkembangannya (Toledo et al. 1999).
Menurut Treece & Davis (2000), di alam larva dan juvenil ikan/ krustase laut mengkonsumsi telur-telur dan naupli kopepoda pada awal kehidupannya. Hal ini karena beberapa spesies kopepoda memiliki ukuran naupli yang sangat kecil (lebih kecil daripada rotifer). Di samping itu kopepoda mengandung asam lemak esensial seperti PUFA dan HUFA, serta nutrisi esensial lainnya yang dapat menunjang perkembangan dan pertumbuhan larva ikan dan udang laut. Kenyataan tersebut telah diujikan oleh Ludwig (1999), Marte (2000), Treece & Davis (2000), Semmens & Knuckey (2001) dan ADC (2001) dalam suatu penelitian terhadap larva ikan “red-snapper”, “turbot”, “grouper” dan “dhufish”.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa, larva-larva ikan tersebut lebih banyak mengkonsumsi naupli kopepoda dibanding rotifer. Mereka menduga bahwa, kelebihan naupli kopepoda dari rotifer adalah karena ukurannya yang bervariasi dan memiliki karakteristik gerakannya yang menghentak-hentak (jerky movement)
9
sehingga merangsang larva-larva ikan tersebut untuk memangsanya, serta memiliki kandungan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Keistimewaan lain yang dimiliki oleh kopepoda adalah ditemukannya kandungan n-3 (HUFA) dua kali lebih besar dari rotifers (Tabel 2).
Tabel 2 Komposisi asam lemak (%) beberapa jenis pakan alami yang biasa diberikan pada stadium awal larva ikan Epinephelus coioides (Toledo et al. 1999 dalam Marte 2000).
Jenis Asam Lemak Pseudodiaptomus (harpatikoida) Acartia (kalanoida) Oithona (siklopoida) Brachionus (rotifer) ∑ Jenuh ∑ Tak jenuh ∑ n-6 ∑ n-3 ∑ n-3 HUFA n—3/n-6 DHA/EPA 14:0 16:0 16:1 18:0 18:1 18:2n-6 18:3n-6 18:3n-3 18:4n-3 20:1 20:2n-6 20:4n-6 20:4n-3 20:5n-3 22:0 22:1 22:5n-6 22:5n-3 22:6n-3 24:0 42.86 15.33 7.72 29.55 23.75 3.83 1.37 8.97 24.33 8.22 4.94 5.15 2.15 0.46 3.45 1.97 0.46 0.41 1.71 0.57 9.24 0.33 0.23 1.79 0.89 12.70 0.36 44.17 8.84 8.14 36.01 34.48 4.42 2.64 4.54 26.68 2.85 8.26 4.53 2.35 0.32 0.99 0.43 0.26 0.37 2.33 0.20 5,32 0.41 0,27 1,07 0,77 10,14 0,54 63.01 15.95 1.60 12.18 10.74 2.65 1.28 10.88 32.49 6.43 12.45 7.30 1.28 0.37 0.47 0.67 1.50 0.24 1.35 0.22 4.22 0.48 0.13 0.33 0.69 5.42 0.75 39.94 29.76 10.50 13.88 13.35 1.11 0.02 4.34 28.38 13.28 5.10 12.22 6.07 0.50 0.16 0.17 2.61 0.12 3.64 0.46 8.26 0.10 0.59 - 4.39 0.17 0.23
Namun demikian, kultur masal kopepoda hingga saat ini masih terdapat beberapa kendala. Secara alami, kepadatan kopepoda tidak seperti pada rotifer atau mikroalgae, dan disamping itu kopepoda lebih sensitif pada penanganan dan persyaratan kualitas airnya. Kopepoda ’filter-feeding’ seperti Acartia tonsa membutuhkan volume air yang besar dan mampu menghasilkan 530 telur tiap liter, sedangkan Tisbe holothuriae menghasilkan 100.000 nauplii perliter yang dikultur dalam skala kecil dalam wadah berukuran 3 liter ( Støttrup & Norsker 1997; Støttrup et al. 1998).
Upaya-upaya penelitian dan pengembangan kopepoda sebagai organisme pakan alami alternatif di luar negeri tersebut ternyata membutuhkan waktu relatif lama
10
sehingga ditemukan jenis yang tepat (cocok) sebagai pakan alami, khususnya dalam budidaya laut (marikultur). Di Indonesia dari sekian banyak jenis kopepoda, Apocyclops sp. memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai organisme pakan alami bagi usaha pembenihan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan beberapa negara tersebut di atas, obyek yang perlu diteliti adalah menyangkut struktur dan pola reproduksi (biologi reproduksi). Hal ini dikarenakan kedua aspek tersebut merupakan aspek mendasar (langkah awal) dalam mengungkap potensi Apocyclops sp. sebagai alternatif pakan alami di masa mendatang.
Biologi Kopepoda Apocyclops sp. 1. Sistematika kopepoda Apocyclops sp.
Secara umum Apocyclops sp. dewasa dapat dilihat dengan mata telanjang, namun untuk dapat membedakan jantan dan betina serta naupliusnya dengan menggunakan mikroskop stereoskopik (pembesaran 7x – 40x). Sedangkan untuk keperluan pengamatan anatomi kopepoda Apocyclops sp. membutuhkan mikroskop dengan skala pembesaran lebih besar (40x – 400x).
Klasifikasi kopepoda Apocyclops sp. menurut Linberg (1954) dalam Sugeha (1996) adalah sebagai berikut :
Klas : Crustacea Sub-klas : Copepoda Ordo : Cyclopoida Famili : Cyclopidae Genus : Apocyclops
Species : Apocyclops sp. Cf. A. borneoensis
Menurut Uchima (1979), Apocyclops sp. mengalami enam tahap perkembangan nauplius dan enam tahap perkembangan kopepodit. Lebih lanjut dalam penelitiannya Sugeha (1996) melaporkan tentang tahapan perkembangan Apocyclops sp. yang berasal dari tambak Manembo-nembo Bitung. Menurut Sugeha (1996), Apocyclops sp. memiliki 6 tahap perkembangan nauplius dan 6 tahap perkembangan kopepodit (Gambar 2 dan 3). Secara keseluruhan Apocyclops sp. memiliki 12 tahap perkembangan stadia dalam satu siklus hidupnya (‘lifespan’).
11
Naupli 1 Naupli 2 Naupli 3
Naupli 4 Naupli 5 Naupli 6
Perbedaan utama antara tahap nauplius dengan tahap kopepodit yaitu, pada tahap nauplius belum dapat dibedakan antara jantan dan betinanya, serta metasoma dan urosoma. Pada tahap kopepodit perbedaan tersebut sudah mulai tampak. Metasoma tersusun atas segmen kepala dan segmen toraks, sedangkan pada urosoma terdiri atas segmen genital, segmen abdominal, dan cabang ekor (Sugeha 1996).
12
Kopepodit 1 Kopepodit 2 Kopepodit 3
Kopepodit 4 Kopepodit 5 Dewasa (? )
Gambar 3. Tahap perkembangan kopepodit Apocyclops sp. (Pembesaran 400 x). Tubuh kopepoda siklopoida tersusun atas dua bagian besar yaitu, metasoma dan urosoma (Gambar 4). Menurut Newell & Newell (1963) dalam Asngadi (1996) siklopoida memiliki tubuh cenderung bulat atau oval, dan menyempit pada bagian urosoma.
13
Siklopoida betina memiliki sepasang kantung telur dan biasanya dengan jumlah telur yang cenderung sama (Steiddinger & Walker 1984). Telur siklopoida umumnya terbungkus selaput sebagai hasil sekskresi saluran telur dan berfungsi sebagai ruang pengeraman (Gambar 5).
Gambar 5. Kantung telur kopepoda siklopoida betina (http:// www.uni- oldenburg.de /zoomorphplogy/biology 2000, downloaded, 12 Desember 2003). Mata tunggal Nauplius
Antenna ke-1 dan ke-2
Maksilia ke-1 dan ke-2 Maksiliped
Empat pasang kaki renang biromous
Kantung telur
Gambar 4. Anatomi kopepoda siklopoid (Newell & Newell 1963 dalam Asngadi 1996).
14
Telur-telur kemudian menetas menjadi nauplii (Gambar 6) dan akan melalui 12 tahap dalam siklus kehidupannya (Goldman & Horne 1983).
Gambar 6. Nauplii kopepoda siklopoida (http://www.uni-oldenburg.de /zoomorphplogy/biology 2000, downloaded, 12 Desember 2003).