• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Lokasi pertanaman belimbing umumnya merupakan lahan pekarangan rumah penduduk. Jumlah tanaman belimbing rata rata tiap lokasi 15 – 40 tanaman. Tanaman belimbing yang dibudidayakan di Kabupaten Blitar merupakan hasil sambung antara belimbing varietas lokal pada batang bawah dan belimbing varietas Bangkok merah pada batang atas. Tanaman yang produktif adalah saat tanaman berumur >5 tahun. Kegiatan pengendalian hama yang dilakukan adalah aplikasi pestisida dan pembungkusan buah. Aplikasi pestisida hanya dilakukan pada saat serangan hama tinggi, sedangkan pembungkusan buah dilakukan pada saat buah masih muda dengan menggunakan plastik polietilen. Panen buah belimbing dilakukan sebanyak empat kali dalam setahun.

Tiap lokasi pertanaman belimbing mempunyai karakteristik yang berbeda. Pertama, perbedaan umur tanaman yaitu A: 6 – 10 tahun dan B: 11 – 15 tahun. Kedua perbedaan cara budidaya X: terawat dan Y: tidak terawatt. Cara budidaya kategori terawat adalah pertanaman yang perawatan berupa sanitasi buah dan pemangkasan dilakukan secara berkala, sedangkan kategori tidak terawat adalah sebaliknya. Vegetasi di Desa Karangsono didominasi oleh tanaman belimbing dan jambu biji. Desa Gogodeso didominasi oleh tanaman belimbing, kakao dan kelapa. Desa Pojok didominasi oleh tanaman belimbing dan cabai. Kondisi umum setiap lokasi ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kondisi umum lokasi pertanaman belimbing di Kabupaten Blitar

Desa Petani Umur tanamana Budidayab Vegetasic

Karangsono Muridin B X I II

Karangsono Din B Y I II

Karangsono Laila A Y I II

Karangsono Arief A Y I

Gogodeso Sunaryo B X I III IV

Gogodeso Surip B Y I III V

Gogodeso Karyadi B Y I V

Gogodeso Khomsun A Y I III V

Pojok Bandi A X I

Pojok Zaeni A X I IV

Pojok Wahyudi A X I IV

Pojok Suyono B X I

a

A: 6-10 tahun; B: 11-15 tahun. bX: terawat; Y: tidak terawat. cI: Belimbing; II: Jambu; III: Kakao; IV: Cabai; V: Kelapa.

17

Tabel 3 Jenis hama dan bagian yang diserang pada tanaman belimbing di Kabupaten Blitar

Nama ilmiah Ordo Famili Bagian yang

diserang

Pteroma plagiophleps Lepidotera Psychidae Daun

Zeuzera coffeae Lepidotera Cossidae Cabang

Diacrotricha fasciola Lepidotera Pterophoridae Bunga

Toxoptera aurantii Hemiptera Aphididae Bunga dan buah

Maconellicoccus hirsutus Hemiptera Pseudococcidae Bunga dan buah

Thripsjavanicus Thysanoptera Thripidae Buah

Helopeltis bradyi Hemiptera Miridae Buah

Cryptophlebia leucotreta Lepidotera Tortricidae Buah

Bactrocera carambolae Diptera Tephritidae Buah

Bactrocera dorsalis Diptera Tephritidae Buah

Hama Tanaman Belimbing

Hama yang menginfestasi pada tanaman belimbing sebanyak 10 jenis. Masing-masing hama menyerang bagian tanaman yang berbeda-bbeda seperti ranting, daun, bunga dan buah (Tabel 3).

Ulat kantung Pteroma plagiophleps Hampson (Lepidoptera: Psychidae)

Larva P. plagiophleps memakan daun muda terutama pada bagian bawah daun, sehingga mengakibatkan daun berlubang dan kering (Gambar 3a). Gejala kerusakan pada daun disebabkan aktivitas makan P. plagiophleps pada lapisan epidermis bagian bawah dan jaringan mesofil yang mengakibatkan window panning, dengan menyisakan epidermis atasnya, sisa epidermis atas tersebut mengering dan menyisakan tulang daun (Emmanuel et al. 2012). P. plagiophleps

termasuk hama polifag dan dilaporkan menjadi hama pada tanaman sengon, akasia, bakau, pinus, kelapa, kakao, jeungjing, asam jawa, flamboyan, malaka, jamblang, jati dan anggrung (Nair 2007; Emmanuel et al. 2012). Wilayah sebaran

P. plagiophleps meliputi Sri Lanka, India, Bangladesh, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Aprilia 2011).

Gambar 3 Gejala kerusakan dan P. plagiophleps, (a) daun dan (b) larva di dalam kantung

Larva menghabiskan hidup di dalam kantung, panjang kantung tidak lebih dari 16 mm, berbentuk kerucut, dan berwarna coklat (Gambar 3b). Larva menghasilkan sutera yang digunakan untuk menempelkan potongan-potongan

1 mm b a

18

daun ke tubuhnya dan membentuk kantung. Larva berkepompong di dalam kantung dengan posisi berubah yaitu kepala di bagian bawah, kemudian kantung menjadi elips dan menggantung menggunakan benang sutera pada dahan atau daun. Imago jantan keluar dari kantung dan memiliki sayap, sedangkan imago betina tetap berada di dalam kantung dan tidak memiliki sayap (Emmanuel et al.

2012).

Penggerek batang Zeuzera coffeae Nietner (Lepidoptera: Cossidae)

Gejala kerusakan berupa lubang gerekan dengan bekas gerekan bercampur dengan kotoran di permukaan lubang gerekan (Gambar 4a). Larva menggerek masuk ke dalam batang, cabang atau ranting dan memakan bagian empulur (xylem) (Gambar 4b). Serangan ini mengakibatkan bagian tanaman di atas lubang gerekan mengalami nekrosis, kering, merana dan mati (Nair 2007). Z. coffeae

belum pernah dilaporkan sebelumnya menyerang pada tanaman belimbing. Tanaman inang hama ini yang telah dilaporkan adalah kopi, jeruk, kakao, teh, kapuk, jambu, pohon-pohon hutan, seperti jati, mahoni, cendana, akasia dan cemara laut(Kalshoven 1981; Nair 2007). Sebaran inang ini ditemukan banyak di Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara (CABI 2014). Larva berwarna merah kecoklatan cerah dan panjangnya berkisar antara 3-5 cm. Pupa berada di dalam liang gerekan. Imago mempunyai sayap depan berbintik hitam dengan dasar putih transparan (Setiawan 2006).

Gambar 4 Gejala kerusakan dan Z. coffeae, (a) cabang dengan lubang gerekan dan (b) larva menggerek di dalam cabang

Penggerek bunga Diacrotricha fasciola Zeller (Lepidoptera: Pterophoridae)

Larva instar awal D. fasciola menggerek bunga yang masih kuncup, sehingga mengakibatkan bunga menjadi kering dan rontok (Gambar 5a). Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Mandasari (2014) bahwa larva D. fasciola melubangi bunga belimbing yang masih kuncup dan mengakibatkan bunga berlubang, kemudian rontok. Imago D. fasciola aktif pada bagian tanaman yang ternaungi seperti di balik daun. Tanaman inang dari D. fasciola tersebar di daerah tropis dan tanaman inang utamanya adalah tanaman belimbing manis dan belimbing wuluh. Larva D. fasciola instar 2 – 3 berwarna merah dan menggerek bunga belimbing (Gambar 5b) yang mengakibatkan bunga rontok dan larva instar akhir berwarna hijau pucat (Gambar 5c). Imago berwarna putih kecoklatan dengan posisi sayap melintang pada waktu istirahat (Gambar 5d), dan bertungkai panjang dengan taji pada femur, serta tibia pada bagian dalam (Mandasari 2014). Imago betina meletakkan telur di bakal bunga dan tangkai bunga. Imago lebih banyak hinggap pada bunga belimbing yang mekar dan saat istirahat, tungkai bagian depan dan

b a

19 tengah menopang seluruh tubuhnya, sedangkan tungkai bagian belakang terangkat ke atas.

Gambar 5 Gejala kerusakan dan D. fasciola, (a) bunga berlubang dan (b) larva instar awal; (c) larva instar akhir dan (d) imago

Kutudaun Toxoptera aurantii Boyer de Fonscolombe (Hemiptera: Aphididae)

T. aurantii hidup berkoloni dan menyerang dompolan bunga belimbing dan buah muda. Serangan pada dompolan bunga belimbing mengakibatkan bunga kering dan diselimuti jamur kapang jelaga (Gambar 6a). Serangan pada buah muda mengakibatkan buah mengalami malformasi (Gambar 6b), dikarenakan serangga ini menghisap cairan jaringan tanaman, sehingga jaringan menjadi kering dan mengalami malformasi (Agarwala & Bhattacharya 1995).

Gambar 6 Gejala kerusakan dan T. aurantii, (a) dompolan bunga dan (b) buah muda; (c) panjang tubuh < 2 mm dan (d) kaudal dengan rambut 10 –

21 helai b a c d b a c d 0.5 mm

20

Imago T. aurantii berbentuk oval, berwarna hitam dengan antena berwarna hitam putih berselingan, kaudal dan kornikel berwarna hitam, dan hidup berkoloni (Permatasari 2013). Ciri khas T. aurantii adalah panjang tubuhnya tidak lebih dari 2 mm (Gambar 6c), kaudal berbentuk seperti lidah dengan rambut berjumlah 10 –

21 helai (Gambar 6d), dan memiliki stridulatory apparatus di bagian ventral abdomen dekat dengan kornikel (Carver 1978). T. aurantii tersebar di seluruh daerah tropis dan subtropis termasuk kepulauan Pasifik dan merupakan hama polifag dengan sebaran inang pada tanaman buah, seperti jeruk, kopi, kakao, teh, mangga, sirsak, nangka, manggis, pisang, lemon, sawo, dan belimbing manis (Carver 1978; Sinaga 2014).

Kutu putih Maconellicoccus hirsutus Green (Hemiptera: Pseudococcidae)

M. hirsutus menyerang dompolan bunga belimbing (Gambar 7a) dan pangkal buah (Gambar 7b). Kerusakan yang disebabkan oleh M. hirsutus sebagai bagian dari aktivitas makan dengan mengeluarkan toxic saliva, sehingga bagian tanaman yang terserang mengalami malformasi (Kairo et al. 2000). Serangan pada bunga mengakibatkan bunga rontok dan gagal menjadi buah. Serangan pada tangkai buah mengakibatkan buah rontok sebelum waktunya, sedangkan pada buah mengalami malformasi (Kairo et al. 2000; Chong 2009). M. hirsutus belum pernah dilaporkan menyerang tanaman belimbing sebelumnya. Hama ini bersifat polifag yang mempunyai banyak inang, seperti jambu biji, sirsak, srikaya, rambutan, kembang sepatu, kakao, jeruk, beringin, jati dan tersebar di bagian Asia Selatan sampai Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Williams & Watson 1988; Nasution 2012). Karakter taksonomi imago M. hirsutus adalah antena dengan 9 ruas (Gambar 7c), memiliki circulus pada bagian ventral abdomen (Gambar 7d), tungkai belakang tanpa translucent pores, jumlah cerarii 5 – 7 pasang pada bagian ventral abdomen, memiliki anal rim, dan oral rims (Williams & Watson 1988; Miller 1999).

Gambar 7 Gejala kerusakan dan M. hirsutus, (a) dompolan bunga dan (b) pangkal buah; (c) antena 9 ruas dan (d) circulus pada ventral abdomen

a b

21

Trips Thrips javanicus Priesner(Thysanoptera: Thripidae)

T. javanicus menyerang tanaman belimbing pada bagian bunga dan buah yang masih muda yang mengakibatkan buah mengalami malformasi dan burik berwarna keperakan muncul dari bagian pangkal buah (Gambar 8a). Serangan yang parah dapat mengakibatkan buah menjadi burik kecoklatan diikuti pecahnya kulit buah (Gambar 8b). Hal ini diduga sebagai aktiftas makan trips saat fase bunga dan buah yang masih muda.

Gambar 8 Gejala kerusakan dan T. javanicus, (a) malformasi buah dan (b) permukaan kulit buah pecah; (c) imago T. javanicus dan (d) penampang sayap depan antara seta venasi pertama dan kedua

Serangan trips pada buah pisang, alpukat, jeruk, anggur dan strawberi mengakibatkan permukaan kulit buah menjadi tidak normal, meninggalkan luka pada kulit buah seperti bekas parutan dan mengakibatkan buah menjadi burik berwarna keperakan hingga kecoklatan dan permukaan buah menjadi berkeriput disebabkan oleh aktivitas makan trips saat fase bunga dan buah masih muda muda (Vierbergen & Reynaud 2005; Yusup 2012). T. javanicus tersebar di pulau Jawa dan dilaporkan menyerang pada belimbing manis dan jeruk (Sartiami & Mound 2013; Subagyo 2014). Imago T. javanicus (Gambar 8c) mirip dengan Thrips parvispinus, namun perbedaannya terdapat pada seta venasi sayap depan. Deretan seta pada venasi pertama sayap depan T. javanicus tidak lengkap, sedangkan pada venasi keduanya lengkap (Gambar 8d), antena 7 ruas, tidak terdapat deretan comb

atau microtrichia pada tergit abdomen ruas VIII, dan tidak terdapat seta diskal pada sternit abdomen (Subagyo 2014).

Kepik penghisap Helopeltis bradyi Waterhouse (Hemiptera: Miridae)

Serangan H. bradyi mengakibatkan permukaan buah mengalami nekrotik berupa bercak cekung ke dalam yang berwarna coklat sampai kehitaman (Gambar 9a). Gejala ini disebabkan aktifitas makan H. bradyi yang menusukkan stilet ke dalam jaringan buah kemudian menghisap cairan di dalamnya dan secara bersamaan mengeluarkan cairan ludah dari dalam mulutnya. Hal ini mengakibatkan kematian pada jaringan tanaman di sekitar tusukan (Sudarmadji

a

c d

0.5 mm

22

1989). Serangan pada buah muda mengakibatkan buah kering dan rontok, sedangkan serangan pada buah yang tua mengakibatkan buah cacat fisik dan dapat menurunkan harga jual (Srikumar et al. 2013). Serangan hama ini belum pernah dilaporkan menyerang tanaman belimbing sebelumnya. H. bradyi tersebar di India Selatan, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, dan Singapura. Tanaman inangnya antara lain kakao, teh, jeruk, kopi, jambu monyet, kina, gadung, dan akasia (Stonedahl 1991). Ciri-ciri morfologi H. bradyi (Gambar 9b) yaitu pangkal femur belakang melebar dengan pola berwarna pucat, antena ruas pertama lebih panjang dibandingkan lebar pronotum bagian bawah (Stonedahl 1991).

Gambar 9 Gejala kerusakan dan H. bradyi, (a) nekrosis pada buah dan (b) imago

Penggerek buah Cryptophlebia leucotreta Meyrick (Lepidoptera: Tortricidae)

Larva C. leucotreta menyerang buah belimbing dengan gejala kerusakan yang khas yaitu terdapat serpihan gerekan dan eksudat hasil aktivitas makan di sekitar lubang gerekan (Gambar 10a). Larva instar akhir akan keluar dari inangnya dan mencari tempat berpupa di tanah, di celah kulit buah atau di substrat di sekitar buah seperti pada pembungkus buah (Venette et al. 2003). Buah yang telah digerek mengalami cacat fisik berupa nekrotik pada lubang gerekan (Gambar 10b). Imago betina aktif pada malam hari dan meletakkan telur pada permukaan jaringan buah belimbing yang masih muda dan bagian pucuk buah. Umumnya, jumlah larva dalam buah hanya berkisar 1-3 ekor. Hal ini karena larva instar awal bersifat kanibal pada telur dan larva lain (Daiber 1981). C. leucotreta

merupakan hama polifag dan tersebar hampir di seluruh daerah tropis dan subtropis. Tanaman inangnya antara lain adalah alpukat, pisang, apel, kopi, kapas, anggur, mangga, lemon, jeruk, jambu, leci, jagung, dan belimbing (Stotter 2009).

Larva instar akhir C. leucotreta memiliki ciri-ciri yaitu berwarna merah muda sampai merah, memudar pada bagian sisi samping, kepala berwarna merah terang, dan pronotum berwarna coklat kekuningan (Gambar 10c) (USDA 2014). Imago C. leucotreta (Gambar 10d) berukuran panjang 6-12 mm dengan warna coklat keabu-abuan, sayap depan memanjang dengan triangular patch berwarna hitam, sayap belakang berwarna coklat muda pucat, tibia bagian belakang dengan lempeng sisik yang termodifikasi, dan apical spur melebar dengan sisik yang bertumpuk (Komai 1999; Venette et al. 2003).

b

1 mm a

23

Gambar 10 Gejala kerusakan dan C. leucotreta,(a) lubang gerekan pada buah dan (b) buah cacat fisik; (c) larva instar akhir dan (d) imago

Lalat Buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae)

Serangan lalat buah secara umum mengakibatkan buah menjadi busuk dan rontok. Bekas tusukan ovipositor mengakibatkan bintik-bintik hitam, diikuti nekrotik di sekitar bintik hitam bekas oviposisi (Gambar 11a). Larva terdiri atas tiga instar dalam waktu antara 6 – 10 hari dan hidup di dalam jaringan buah (Putra & Suputa 2013). Larva instar akhir keluar dari jaringan buah dan melentingkan tubuhnya ke tanah untuk berpupa. Buah yang rontok dapat memberikan peluang bagi imago lalat buah untuk meletakkan telur dan melanjutkan siklus hidup berikutnya. Serangan lalat buah pada belimbing manis dapat mengakibatkan kehilangan hasil sekitar 60 – 100% (Nismah & Susilo 2008).

Gambar 11 Gejala serangan dan jenis Bactrocera spp. (a) bintik hitam bekas oviposisi; (b) B. carambolae dan (c) B. dorsalis

b a c d 1 m m 1 mm b c 2 mm 2 mm a

24

Berdasarkan hasil pemeliharaan buah yang terserang, buah terinfestasi oleh

B. carambolae Drew & Hancock dan B. dorsalis Hendel. Ciri morfologi utama B. carambolae adalah costal band sayap tumpang tindih terhadap R2+3, abdomen terdapat pola T dengan medial longitudinal dark band melebar dan sudut

anterolateral pada terga ke IV berbentuk persegi (Gambar 11b). Ciri utama morfologi B. dorsalis adalah costal band sayap terletak sejajar atau melewati R2+3, abdomen terdapat pola T dengan medial longitudinal dark band yang menyempit dan sudut anterolateral pada terga IV yang berbentuk segitiga atau tidak ada (Gambar 11c). Kedua jenis lalat buah ini merupakan hama polifag dan memiliki sebaran inang yang luas antara lain belimbing, nangka, mangga, pepaya, jeruk siam, jambu air, jambu biji, jambu bol, sirsak, srikaya, alpukat, cabai besar, cabai rawit, sukun, cempedak, rambutan, dan belimbing wuluh (Suputa et al.

2010).

Kepadatan Populasi dan Intensitas Kerusakan Serangan Hama

Kepadatan populasi M. hirsutus di desa Karangsono berbeda nyata (Tabel 4). Tingginya kepadatan populasi ini terkait dengan vegetasi di Desa Karangsono yang juga didominasi oleh tanaman jambu. Nasution (2012) melaporkan bahwa tanaman jambu merupakan salah satu inang utama dari M. hirsutus. Terdapat dugaan M. hirsutus pindah ke pertanaman belimbing ketika sumber daya di tanaman jambu tidak tersedia atau tidak terpenuhi.

Tabel 4 Kepadatan populasi hama belimbing (per empat cabang utama) di tiga desa Hama Desa a Karangsono ( ± SE) b Gogodeso ( ± SE) b Pojok ( ± SE) b M. hirsutus 22.33 ± 6.02 a 5.50 ± 3.65 b 8.75 ± 2.65 b T. aurantii 17.00 ± 10.01 a 38.00 ± 16.50 a 11.33 ± 6.98 a P. plagiophleps 1.42 ± 0.89 a 0.17 ± 0.11 a 2.33 ± 1.37 a D. fasciola 18.67 ± 5.16 a 7.92 ± 2.90 a 16.08 ± 6.41 a a

Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. b : rata-rata; SE: standar error.

Intensitas kerusakan yang tinggi akibat serangan Bactrocera spp., dan C. leucotreta di Desa Gogodeso berbeda nyata, sedangkan T. javanicus berbeda nyata di Desa Pojok (Tabel 5). Tingginya intensitas kerusakan di Desa Gogodeso terkait dengan sanitasi buah yang tidak dilakukan di desa tersebut. Penerapan sanitasi buah meliputi pengumpulan buah yang terserang lalat buah, baik yang telah jatuh di tanah maupun yang masih di pohon dan berupa pemipiran buah yang tidak masuk kriteria pembungkusan buah. Sanitasi buah dapat memutuskan generasi lalat buah selanjutnya dan memperkecil peluang oviposisi telur oleh lalat buah betina. Hasyim et al. (2008) melaporkan bahwa pada lokasi pertanaman yang tidak menerapkan sanitasi buah dapat meningkatkan intensitas serangan lalat buah, sebaliknya pada lokasi pertanaman yang menerapkan sanitasi buah dapat menurunkan intensitas serangan sebanyak 20%. Sanitasi buah yang tidak dilakukan juga berpengaruh terhadap tingginya tingkat intensitas kerusakan oleh

25 Tabel 5 Intensitas kerusakan serangan hama belimbing di tiga desa

Hama

Desa a

Karangsono (%) Gogodeso (%) Pojok (%)

± SE) b ± SE) b ± SE) b

Bactrocera spp. 6.56 ± 1.93 b 19.75 ± 4.81 a 2.58 ± 1.29 b C. leucotreta 0.23 ± 0.21 b 5.45 ± 1.54 a 0.69 ± 0.38 b T. javanicus 1.32 ± 1.32 b 0.24 ± 0.24 b 26.67 ± 9.13 a H. bradyi 0.00 ± 0.00 a 6.84 ± 3.41 b 0.00 ± 0.00 a Z. coffeae 0.00 ± 0.00 a 4.17 ± 4.17 a 0.00 ± 0.00 a a

Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. b : rata-rata; SE: standar error.

Intensitas kerusakan yang disebabkan T. javanicus di Desa Pojok lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Karangsono dan Gogodeso. Tingginya serangan di Desa Pojok karena didominasi tanaman belimbing berumur sekitar 6 – 10 tahun, sedangkan di dua desa lain berumur sekitar 11-15 tahun. Umur tanaman 6-10 tahun merupakan umur pertengahan pada tanaman belimbing yaitu umur produktif untuk menghasilkan bunga dan buah. Menurut Sudrajat et al. (2011), tanaman pada umur pertengahan cenderung memiliki tajuk yang masih terbuka, sehingga memperbesar peluang masuknya cahaya matahari dan fotosintesis yang terjadi dapat menghasilkan kandungan karbohidrat yang tinggi pada tanaman, hal ini akan merangsang pertumbuhan generatif yang ditandai dengan munculnya bunga dan buah. Bunga dan buah muda merupakan inang dari T. javanicus. Semakin banyak sumber daya inang, maka semakin banyak pula populasi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan.

Intensitas kerusakan serangan H. bradyi dan Z. coffeae hanya ditemukan di Desa Gogodeso. Hal ini karena vegetasi sekitar pertanaman belimbing di Desa Gogodeso didominasi oleh tanaman kakao. Tanaman kakao merupakan inang utama dari H. bradyi,sebagaimana yang dilaporkan oleh Stonedahl (1991) bahwa tanaman kakao adalah tanaman inang utama dari H. bradyi dan sering mengakibatkan kerusakan tinggi. Selain sebagai inang utama dari H. bradyi, tanaman kakao juga merupakan inang utama dari Z. coffeae. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Deptan (2002a), tanaman kakao merupakan salah satu inang utama dari hama ini. Kondisi pertanaman kakao di Desa Gogodeso sudah tidak terawat, sehingga ada dugaan kedua hama ini pindah ke pertanaman belimbing akibat sumber daya yang tidak terpenuhi lagi.

Dinamika Populasi Lalat Buah

Dinamika populasi lalat buah dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik. Salah satu faktor abiotik adalah penerapan sanitasi buah. Populasi total lalat buah (imago lalat buah + parasitoid) di Desa Karangsono dan Gogodeso lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Pojok pada dua periode (Gambar 12). Perbedaan antar desa ini diduga terkait dengan penerapan sanitasi buah, meliputi pengumpulan buah yang terserang lalat buah, baik yang masih di pohon atau jatuh di tanah, dan buah yang tidak dibungkus, serta hasil pemipiran. Desa Karangsono dan Gogodeso termasuk desa yang penerapan sanitasi buahnya tergolong kurang baik, sedangkan Desa Pojok memiliki penerapan sanitasi buah yang baik dan berkala. Penerapan sanitasi buah berperan penting untuk menurunkan populasi

26

lalat buah yang menjadi sumber penting bagi perkembangbiakan lalat buah dan tidak memberikan peluang bagi lalat buah betina untuk meletakkan telur (Ansari

et al. 2012). Hasyim et al. (2008) melaporkan sanitasi buah dapat menurunkan kelimpahan populasi B. tau pada pertanaman markisa. Praktik sanitasi buah ini yang mengakibatkan rendahnya populasi total lalat buah di Desa Pojok pada dua periode.

Periode Bulan Kering Periode Bulan Basah

Gambar 12 Populasi total lalat buah di tiga desa pada dua periode bulan Populasi total lalat buah di tiap desa menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara periode bulan basah dan bulan kering (Gambar 12 dan Tabel 6). Hal ini terkait dengan tanaman belimbing yang berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga buah selalu tersedia sebagai inang bagi lalat buah. Soesilohadi (2002) melaporkan buah belimbing yang berbuah sepanjang tahun tidak memengaruhi fluktuasi populasi lalat buah, namun hanya memengaruhi ukuran populasi lalat buah. Hal ini berbeda pada komoditas yang berbuah musiman seperti buah mangga. Jiron dan Hedstrom (1991) melaporkan tingginya populasi lalat buah Anastrepha sp. hanya terjadi saat musim berbuah mangga, sedangkan di luar musim tersebut populasinya sangat rendah bahkan tidak ditemukan.

Periode Bulan Kering Periode Bulan Basah

Gambar 13 Tingkat parasitisasi lalat buah di tiga desa pada dua periode bulan 89 199 153 245 71 144 153 202 58 20 33 54 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

Sept IV Okt II Okt IV Nov II

T LB / 110 119 186 164 96 114 151 165 76 54 53 52 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

Des IV Jan II Jan IV Feb II

∑ T LB / 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Sep IV Okt II Okt IV Nov II

P ar asit is asi (%) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Des IV Jan II Jan IV Feb II

P ar asit is asi (%)

27 Tabel 6 Populasi total lalat buah, lalat buah yang muncul dan total parasitisasi

lalat buah pada periode bulan kering dan basah di tiga desa

Desa Periode

bulan a

Total Lalat buah b

Lalat buah yang

muncul b Total

parasitisasi (%) (ekor/10 buah) (ekor/10 buah)

( ± SE) c ( ± SE) c Karangsono Kering 171.2 ± 20.6 a 137.4 ± 15.9 a 19.11 b Basah 144.7 ± 15.2 a 78.7 ± 9.91 b 43.19 a Gogodeso Kering 142.3 ± 17.1 a 95.6 ± 11.5 a 29.86 b Basah 131.3 ± 20.7 a 63.3 ± 11.1 b 52.14 a Pojok Kering 41.1 ± 6.64 a 34.2 ± 6.22 a 19.23 b Basah 58.8 ± 10.0 a 31.6 ± 5.08 a 36.95 a a

Kering (September-November; CH < 200 mm), Basah (Desember-Februari; CH > 200 mm). b

Angka pada kolom per desa yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada taraf nyata 5%. c : rata-rata; SE: standar error.

Tingkat parasitisasi lalat buah pada periode bulan basah lebih tinggi dibandingkan dengan periode bulan kering (Gambar 13 dan Tabel 6). Parasitoid berperan sebagai faktor biotik yang mekanisme kerjanya terpaut dengan kepadatan lalat buah sebagai inangnya. Tingginya tingkat parasitisasi lalat buah pada periode bulan basah diduga sebagai akumulasi pada periode bulan kering sebelumnya yang merupakan bentuk tanggap terhadap kepadatan lalat buah. Parasitoid lalat buah merupakan salah satu faktor utama yang mampu menghambat populasi lalat buah. Vargas et al. (2012) melaporkan bahwa parasitoid lalat buah khususnya dari famili Braconidae mampu menekan populasi lalat buah sebesar 9 – 95% tergantung iklim sebagai faktor abiotik.

Selain itu, tingginya tingkat parasitisasi pada periode bulan basah diduga juga terkait dengan kesesuaian iklim terhadap perkembangan parasitoid, sehingga berpengaruh terhadap tingkat parasitisasinya. Faktor yang memengaruhi tingginya tingkat parasitisasi pada bulan basah adalah curah hujan. Berdasarkan data iklim di Kabupaten Blitar, curah hujan pada periode bulan kering (September, Oktober, dan November) berturut-turut 0, 0, dan 91 mm dan pada periode bulan basah (Desember, Januari, dan Februari) berturut-turut 498.5, 194, dan 306.5 mm. Curah hujan yang tergolong tinggi pada peridoe bulan basah memberikan pengaruh

Dokumen terkait