• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan Sampel

Jumlah sampel menurut Thrusfield (2005) dihitung berdasarkan prevalensi theileriosis di Australia 41% (Stewart et al. 2008) dan rata-rata populasi sapi yang diimpor sebanyak 5.000-10.000 ekor maka jumlah sampel yang diambil sebanyak 372 sampel, sedangkan dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 409 dari 4 lokasi IKHS (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah sampel yang diambil di IKHS

No Lokasi IKHS

Jumlah sampel (ekor)

Jenis kelamin Umur

Jantan Betina < 1 tahun 1-3 tahun >3 tahun 1 Teluk Naga-Tangerang 100 100 - - 100 - 2 Legok-Tangerang 109 109 - - 109 - 3 Lebak-Banten 98 98 - - 98 - 4 Cileungsi-Bogor 102 102 - - 102 - Total 409 409 - - 409 -

Berdasarkan tabel diatas semua sapi yang diimpor berjenis kelamin jantan dan berumur 1-3 tahun sehingga dalam hal ini tidak dapat dijadikan sebagai peubah. Parameter waktu pengambilan sampel, apakah musim hujan atau kemarau tidak dapat dijadikan acuan karena pengambilan sampel seluruhnya dilakukan pada bulan September (musim kemarau), jadi peubah ini seragam. Pengambilan sampel darah sapi dilakukan di empat lokasi (Tabel 1) IKHS yang berada pada kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan sapi juga seragam.

Pemeriksaan Parasit

Hasil pemeriksaan mikroskopik preparat ulas darah menunjukkan bahwa di semua lokasi ditemukan bentuk Theileria sp. di dalam eritrosit (Gambar 3).

Gambar 3 Theileria sp. di dalam sel darah merah.

Dari total 409 sampel yang diperiksa, 225 sampel dinyatakan positif Theileria sp., sehingga dinyatakan bahwa prevalensi keseluruhan sapi potong dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah 55,01%. Berturut-turut prevalensi di masing-masing lokasi IKHS sebagai berikut Teluk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109 (46,8%), Lebak 43/100 (43,0%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%) (Tabel 2).

Tabel 2 Prevalensi Theileria sp. di IKHS

No. Lokasi IKHS

Jumlah sapi diamati

(ekor)

Jumlah darah sapi positif Theileria sp. (ekor) Prevalensi Persentasi (%) 1 Teluk Naga-Tangerang 102 85 85/102 83,3 2 Legok-Tangerang 109 51 51/109 46,8 3 Lebak-Banten 100 43 43/100 43,0 4 Cileungsi-Bogor 98 46 46/98 46,9 Total rata-rata 409 225 225/409 55,01

Prevalensi theileriosis tertinggi terjadi di Teluk Naga, bila dilihat dari topografi letak lokasi Teluk Naga dekat dengan permukaan laut (dataran rendah) dibandingkan dengan lokasi lainnya. Dilihat dari sudut letak lokasi seharusnya parasit banyak ditemukan di dataran tinggi. Penelitian yang dilakukan Siswansyah (1996) menunjukkan bahwa prevalensi T. orientalis pada sapi FH di daerah

dataran tinggi relatif tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah. Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingkat keberhasilan perkembangan T. orientalis di dalam tubuh vektor yang lebih menyenangi kondisi lingkungan dengan temperatur antara 20-250C. Vektor infektif yang terdapat di daerah dataran tinggi, populasinya relatif lebih tinggi dibandingkan dataran rendah. Variasi prevalensi di masing- masing lokasi IKHS kemungkinan ada hubungannya dengan keadaan alam yaitu iklim tropis yang dapat menyebabkan berlangsungnya perkembangan induk semang antara dan vektor di sepanjang tahun. Berperan sebagai induk semang antara, yakni caplak dan vektor mekanik, terutama lalat penghisap darah dan nyamuk. Disamping itu sanitasi lingkungan meliputi kebersihan kandang dan kebersihan ternak diduga dapat mendukung perkembangan serangga.

Gejala Klinis

Pada penelitian ini sapi-sapi yang diamati tidak menunjukkan adanya kelainan klinis seperti halnya sapi yang terinfeksi Theileria sp. yaitu demam, kebengkakkan kelenjar-kelenjar limfe, ikterus, tremor, menurunnya berat badan, kelemahan dan sedikit anemia. Sapi-sapi terlihat sehat dan tidak tampak kurus ataupun lemah. Bila dikaitkan dengan hasil pemeriksaan parasit maka tidak terlihat adanya perbedaan kondisi kesehatan antara sapi terinfeksi Theileria sp. dengan sapi tidak terinfeksi. Hal ini menunjukkan bahwa sapi terinfeksi Theileria sp. pada penelitian ini infeksinya bersifat sub klinis sehingga tidak berpengaruh terhadap kenaikan berat badan. Sesuai dengan pendapat Kamio et al. (1990) bahwa sapi potong yang terinfeksi T. Orientalis di alam dilaporkan prevalensinya cukup tinggi, tetapi tingkat parasitemianya rendah dan tidak menunjukkan gejala klinis.

Daerah Asal Peternakan

Berdasarkan data kuesioner diperoleh informasi bahwa sapi yang diamati seluruhnya berasal dari peternakan (farm) di Australia bagian utara (Northern Territory). Daerah bagian utara Australia merupakan daerah peternakan sapi dan paling banyak populasi caplaknya karena daerah ini memiliki kelembaban tinggi yang baik untuk berkembangnya caplak (Anonim 2005). Daerah ini meliputi

Darwin, Queensland, Broome. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stewart et al. (1992) bahwa kejadian theileriosis tertinggi di bagian utara dan barat Australia. Jadi kemungkinan ada kaitannya dengan infeksi Theileria sp. pada sapi bakalan/potong yang diamati dalam penelitian ini.

Perlakuan di Negara Asal

Data yang diperoleh dari sertifikat kesehatan hewan dari negara asal yang diterbitkan oleh Dokter Hewan berwenang di negara asal menyatakan bahwa sebelum pengapalan ke negara tujuan sapi diberi perlakuan yang sama yaitu telah diberikan parasiticide dan perendaman disinfektan (dipping) untuk parasit eksternal dalam 14 hari sebelum pengapalan dan telah diberikan ivermectin atau anthelmintic untukendoparasit dalam 40 hari sebelum diekspor.

Menurut Kahn et al. (2008) maksud pemberian parasitide berupa akarisida adalah untuk membunuh larva, nimfa dan dewasa caplak ixodidae. Akarisida biasanya digunakan pada ternak dengan cara perendaman dan penyemprotan serta dianggap sistem perendaman lebih efektif. Baru-baru ini, beberapa jenis akarisida telah dikembangkan termasuk bentuk implan dan bolus, pour-on (digunakan pada punggung dan menyebar lebih cepat ke semua permukaan tubuh) dan spot-on (hampir sama dengan pour-on tetapi penyebarannya kurang cepat).

Adanya perlakuan tersebut menyatakan bahwa Australia belum bebas theileriosis, sedangkan pemilihan waktu pemberian dimaksudkan untuk memotong siklus hidup dari parasit eksternal maupun endoparasit. Perlakuan parasiticide sebelum pengapalan berdampak terhadap tidak ditemukannya caplak di kapal. Hal ini berkaitan pula dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa jumlah parasit yang ditemukan masih sedikit dan kemungkinan berada dalam stadium gamon, sehingga gejala klinisnya juga tidak jelas. Bila dikaitkan dengan aturan OIE yaitu telah dilakukan uji laboratorium dengan hasil negatif 30 hari sebelum pengapalan dan juga negatif terhadap parasitemia maka dapat dikatakan Australia sebagai negara asal tidak menjalankan aturan yang telah ditetapkan. Indonesia seharusnya sebagai negara pengimpor tetap waspada terhadap berbagai penyakit yang mungkin saja dapat terbawa saat impor hewan hidup.

Pada suatu area yang tidak dilakukan pengendalian, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan program pengendalian caplak secara intensif dapat menjadi penghalang. Atas dasar tersebut, strategi pengendalian caplak terpadu dapat dilakukan. Efektifitas dari strategi tersebut memerlukan pengetahuan yang lebih baik tentang dinamika dari agen penyakit, hospes, vektor caplak dan lingkungan hidupnya. Peraturan karantina yang ketat perlu dilakukan untuk mencegah masuknya kembali caplak di negara yang pernah tertular tick borne disease dan telah dilakukan pemberantasan. Kesesuaian tentang iklim, sistem informasi geografis dan sistem yang canggih (expert system) yang berdasarkan pada pengetahuan para ahli dipergunakan untuk mengidentifikasi area yang tidak dapat terinfeksi caplak atau caplak tersebut tidak bisa berkembang jika masuk di suatu area (Kahn et al. 2008).

Kondisi Kapal selama Perjalanan dari Negara Asal

Transportasi sapi dari Australia sampai ke Pelabuhan Tanjung Priok berlangsung selama minimal 5 hari dan paling lama 7 hari bila kondisi cuaca buruk, diangkut dengan kapal khusus angkut hewan berkapasitas antara 2.000 sampai 15.000 ekor tergantung besarnya kapal. Sapi ditempatkan dalam kandang terbuat dari besi memiliki batas antar kandang berupa tiang besi, lantai tidak beralas, dilengkapi dengan bak pakan dan air minum. Bahan-bahan konstruksi semua mudah dibersihkan. Tempat pakan terbuat dari bahan plastik, demikian juga bak air minum terbuat dari plastik dengan kran otomatis. Pengamatan terhadap empat kapal pengangkut sapi diperoleh gambaran bahwa selama pengangkutan hewan, kapal tidak singgah di pelabuhan lain dan tidak memuat hewan lain, pakan dan air minum cukup tersedia. Kematian 1-2 ekor terjadi selama perjalanan karena diinjak/trauma fisik dan bukan karena adanya penyakit infeksius, kapasitas kandang/pen < 2-3 m2/ekor. Pembersihan kandang dilakukan setiap kali setelah di bongkar atau diturunkan sapi-sapinya, serta kondisi ventilasi baik karena ada exhaust fan yang terus dinyalakan di deck kapal bagian bawah dan di deck kapal yang tidak ada jendela.

Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS)

Pengamatan juga dilakukan di IKHS yang merupakan tempat penampungan untuk penggemukan sapi selama kurang lebih 3 bulan sebelum dijual. Di IKHS inilah petugas karantina melakukan tindakan pengamatan selama minimal 14 hari. Semua lokasi IKHS yang diamati memiliki kondisi yang hampir sama yaitu konstruksi kandang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan merupakan bangunan permanen, lantai kandang terbuat dari semen, batas antar kandang berupa tiang besi, bentuk naungan berupa atap asbes. Sanitasi kandang baik yaitu kandang dibersihkan 1x/hari, sinar matahari masuk ke kandang, jumlah pakan dan waktu pemberian pakan 2x/hari dan minum ad libitum dengan jenis pakan berupa konsentrat. Kapasitas kandang perekor 2-3 m2/ekor, tidak ditemukan populasi caplak serta tidak ada populasi ruminansia lain di sekitar kandang. Jenis vaksinasi yang diberikan adalah Septikemia Epizootica (SE) dan bila kondisi hewan sehat tidak diberikan antibiotika.

Vektor

Pengamatan terhadap keberadaan caplak di kapal dan di lokasi instalasi, ternyata tidak ditemukan adanya populasi caplak di kapal maupun di lokasi instalasi. Ini menunjukkan bahwa sanitasi sapi, kapal maupun instalasi cukup baik. Sinar matahari yang masuk dan ventilasi yang cukup di kandang maupun di kapal selama pengangkutan dari Australia mendukung tidak berkembangnya vektor ini.

Tingkat Parasitemia

Tingkat parasitemia sapi-sapi yang diamati dalam penelitian ini sangat kecil yaitu 0,5% sampai 1% (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil pemeriksaan tingkat parasitemia pada preparat ulas darah

No. Lokasi IKHS

Jumlah Sampel (ekor) Jumlah Positif Theileria sp. (ekor) Tingkat Parasitemia 0,5% 1% 1 Teluk Naga-Tangerang 102 85 79 6 2 Legok-Tangerang 109 51 51 - 3 Lebak- Banten 100 43 36 7 4 Cileungsi-Bogor 98 46 43 3 Jumlah Total 409 225 209 16

Menurut Ndungu, Brown, Dolan (2005) tingkat parasitosis theilerioisis diklasifikasikan menjadi tingkat ringan (mild reaction) adalah bila skizon ditemukan satu dalam satu lapang pandang (parasitosis <1%), tingkat yang lebih berat (severe reaction) yaitu bila ditemukan skizon 50% atau lebih dari total eritrosit yang diperiksa (parasitosis 1-5%), sedangkan tingkat yang berat sekali (very severe reaction) yaitu skizon ditemukan pada semua lapang pandang (parasitosisnya >5%). Tingkat parasitosis 1% dalam penelitian ini termasuk dalam kategori tingkat lebih berat namun tidak mengakibatkan hewan terlihat sakit karena kasus 1% hanya terjadi pada 16 ekor sapi dan 209 ekor sapi memiliki tingkat parasitemia 0,5%. Gejala klinis berupa demam terjadi pada saat parasitemia 1% (Siswansyah 1996).

Pemeriksaan Darah

Hasil pemeriksaan darah menunjukkan bahwa profil hematologi sangat dipengaruhi oleh tingkat parasitemia (Siswansyah 1996). Hasil pemeriksaan darah (Tabel 4) memperlihatkan bahwa nilai PCV tidak signifikan (P>0,05) terhadap terpaparnya theileriosis, artinya nilai PCV tidak berbeda nyata dengan infeksi Theileria sp. pada selang kepercayaan 95%. Demikian pula dengan nilai BDM juga tidak signifikan (P>0,05) atau nilai BDM tidak berbeda nyata dengan kejadian infeksi Theileria sp. pada selang kepercayaan 95%. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Kamio et al. (1990) yang menyatakan bahwa

theileriosis dapat menyebabkan menurunnya nilai hematokrit dan eritrosit yang diikuti dengan gejala anemia akut, sedangkan dalam penelitian ini tidak tampak gambaran darah sapi terinfeksi mengalami perubahan.

Tabel 4 Hasil pemeriksaan darah dengan metode automatic hematology analyzer

Jenis analisa darah Nilai Jumlah sampel (ekor)

PCV: - Normal 24-46% 149 - Dibawah normal < 24% 14 BDM : - Normal 5,0-10,0 x 106/µl 160 - Dibawah normal < 5,0 x 106/µl 3 Sumber : Schalm et al. (1975) Bangsa/breed

Bangsa sapi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 2 jenis yaitu 309 ekor Brahman cross dan 100 ekor Santa gertrudis. Tabel 5 memperlihatkan bahwa bangsa/breed sebagai peubah berkaitan secara signifikan terhadap keterpaparan terhadap theileriosis (OR=1,95;SK95%=1,24-3,08) artinya bahwa infeksi theileriosis ini lebih tinggi kejadiannya pada Brahman cross dibandingkan Santa gertrudis. Hal ini menunjukkan bahwa jenis bangsa atau breed berpengaruh terhadap kejadian theileriosis, meskipun kedua jenis ini termasuk dalam kategori yang sama yaitu Bos indicus. Menurut DPIF (2007) dan McGregor (2006), Bos indicus merupakan jenis sapi Asia yang biasanya hidup di daerah tropis bahkan sering disebut dengan tropical breed, memiliki tingkat resistensi yang lebih baik dalam menahan berkembangnya caplak pada tubuh sapi sebagai vektor dibandingkan Bos taurus (ras British dan Eropa). Adanya pengaruh yang signifikan ini kemungkinan dapat disebabkan cara hidup (habitat) di lingkungannya, atau karena genetik hewan itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Ndungu, Brown, Dolan (2005) menyatakan tidak ada perbedaan signifikan

antara Bos indicus dan Bos taurus untuk terpaparnya infeksi T. parva, sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap Bos indicus didaerah endemik dan Bos indicus di daerah bebas ECF menyatakan bahwa ada perbedaan signifikan dalam mengontrol ECF. Bos Indicus di daerah endemik lebih resisten dibandingkan di daerah bebas ECF.

Tabel 5 Prevalensi Theileria sp. berdasarkan bangsa/breed sapi

No. Bangsa/Breed Jumlah

sampel Negatif Theileria sp. (ekor ) % Positif Theileria sp. (ekor) % 1 Santa gertrudis 100 57 57 43 43 2 Brahman cross 309 127 41,1 182 58,9 Total Rata-rata 409 184 45 225 55

Kenaikan Berat Badan Perhari / Average Daily Gain (ADG)

Tujuan mengetahui ADG untuk mendapat gambaran pengaruh berat badan sapi dan kerugian secara ekonomi akibat infeksi parasit darah ini. Pada keadaan normal pertambahan berat badan sapi potong Brahman cross rata-rata 1,2 kg/hari (Harjono 2008). Penimbangan berat badan dilakukan terhadap 95 ekor sapi yang diamati menunjukkan bahwa 75 ekor dengan ADG normal (≥ 1,2 kg/hari) dan 20 ekor lainnya memiliki ADG tidak normal (< 1,2 kg/hari). Kenaikan berat badan sapi tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap terpaparnya theileriosis pada selang kepercayaan 95% (P>0,05). Hal ini sesuai dengan theileriosis pada penelitian ini bersifat sub klinis sehingga tidak mempengaruhi berat badan.

Theileria sp. pada sapi potong dari Australia ini diperoleh sejak pengapalan dari Australia. Waktu perjalanan sapi dari maksimum 7 hari, waktu pengambilan sampel ulas darah pada hari ke-4 setelah hewan tiba dikaitkan dengan masa inkubasi parasit ini selama 10-25 hari mendukung pernyataan tersebut.

Prevalensi penyakit parasit darah ini cukup tinggi, namun tingkat parasitemia pada hewan-hewan terinfeksi rata-rata hanya 0,5%. Demikian pula gejala klinisnya tidak terlihat jelas. Dari berbagai faktor dapat disimpulkan bahwa

spesies Theileria yang menginfeksi sapi-sapi impor ini adalah spesies Theileria yang tidak ganas (benign). Sesuai dengan pendapat Uilenberg (1981) dan Kerdmanee et al. (2001) bahwa Theileria spp. ada yang tidak ganas menyebar luas pada sapi-sapi di daerah subtropis dan daerah dingin. Benign Theileria yang biasa dikenal adalah T. sergenti, T. buffeli dan T. orientalis yang tersebar di Jepang, Australia dan Eropa.

Penyakit ini perlu mendapat perhatian karena apabila hewan-hewan terinfeksi ini mengalami stres, maka penyakit yang bersifat laten tersebut dapat berubah menjadi akut dan bisa berakibat fatal (kematian). Disamping itu, pada penyakit yang bersifat menahun, walaupun gejalanya tidak begitu serius, hewan yang bersangkutan akan mengalami penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan, penurunan produksi daging dan produksi kerja (Siswansyah 1990).

Faktor lingkungan yaitu iklim, kelembaban dan adanya populasi vektor theileriosis di negara kita dapat menjadi pemicu berkembangnya parasit darah ini. Dalam hal ini pencegahan yang diperlukan adalah perlakuan untuk mengurangi vektor dengan dipping, sanitasi kandang, sanitasi hewan dan manajemen pemeliharaan yang baik atau diberikan imunitas melalui vaksinasi.

Pencegahan berkembangnya penyakit ini diperlukan pula usaha-usaha yang penting dilakukan oleh negara-negara pengimpor sapi yaitu dengan mengurangi stres. Tindakan yang diperlukan untuk mengurangi stres pada sapi yang diimpor adalah memilih waktu importasi yang tepat, penanganan sapi yang baik saat pembongkaran, meningkatkan pengetahuan ataupun pengalaman dalam pengenalan penyakit, seleksi hewan dan lain sebagainya (Callow 1980).

Dokumen terkait