• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian 1 : Studi Potensi Lahan Tembakau Deli Akibat Berbagai Sistem Rotasi Penggunaan Lahan dalam Hubungannya dengan Sifat Tanah

Sifat Fisika Tanah

Hasil analisis sifat fisika tanah dari masing-masing peubah amatan, rataan perlakuannya dapat dilihat pada Lampiran 6 dan rataan perlakuan dari masing-masing peubah amatan pada Tabel 5. Dari semua peubah amatan yang diukur memberikan perbedaan nyata antar perlakuan pada semua peubah amatan dari masing-masing jenis rotasi kecuali stabilitas agregat tanah.

Stabilitas agregat secara statistik belum memberikan perbedaan nyata antar perlakuan rotasi. Lahan jati memberikan indeks stabilitas yang lebih besar (63,66) dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Kohnke (1986 dalam Juanda, dkk, 2003) menyebutkan bahwa kekuatan agregat dipengaruhi oleh kelembaban tanah, tipe liat, daya adsorbsi kation dan kandungan bahan organik. Pernyataan sejalan dengan hasil penelitian ini dimana lahan jati memiliki indeks yang lebih tinggi. Tanaman jati memiliki kanopi tanaman yang besar yang dapat menjaga kelembaban tanah dibandingkan dengan lahan lainnya. Disamping itu hutan jati menyumbangkan bahan organik yang besar, baik berasal dari pohon jati itu sendiri maupun vegetasi yang tumbuh dibawah tegakan jati.. Dari hasil pengukuran pada penelitian ini lahan jati mengandung 2,98 % bahan organik.

Dari semua jenis penggunaan lahan rotasi palawija memberikan indeks stabilitas yang paling kecil (50,35) dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Hal ini disebabkan kerena rotasi dengan palawija pengolahan tanahnya lebih intensif sehingga

ketahanan agregat tanahnya lebih kecil dan juga berakibat kelembaban tanah rendah di samping kecilnya kanopi tanaman dalam melindungi tanah dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya (Morsli et al. 2006). Rotasi dengan palawija juga kecil dalam hal menyumbangkan bahan organik tanah. Dari hasil pengukuran pada penelitian ini lahan rotasi palawija memberikan 1,48 % bahan organik.

Perbedaan jenis penggunaan lahan nyata mempengaruhi nilai kekerasan tanah. Lahan yang diberakan memberikan nilai kekerasan tanah lebih rendah (1,74 kg/cm2) dibanding dengan jenis rotasi penggunaan lahan lainnya. Nilai kekerasan tanah berikutnya diikuti dengan lahan jati (1,87 kg/cm2), lahan rotasi tebu (2,18 kg/cm2) dan palawija (2,64 kg/cm2). Pemberaan tanah akan menyebabkan berbagai jenis tanaman akan tumbuh di lahan itu dengan aneka ragam kedalaman akar. Akibatnya tanah memiliki rongga-rongga pori yang lebih banyak dan sebaran akar halus lebih besar sehingga penetrasi akar ke lapisan bawah lebih mudah dan akan menghasilkan nilai kekerasan tanah lebih rendah.

Pada lahan yang dibera juga memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan rotasi tanaman lainnya. Tingginya kandungan bahan organik ini akan mempengaruhi aktivitas biologi tanah, sehingga dengan demikian tanah akan semakin gembur.

Tabel 5. Hasil Pengukuran Sifat-sifat Fisika Tanah dari Masing-masing Jenis Rotasi Penggunaan Lahan

Peubah Amatan Perlakuan Rotasi Rata-rata Perlakuan Stabilitas Agregat Jati Bera Tebu Palawija 63,66 60,50 52,83 50,35 Kekerasan tanah (kg/cm2) Jati Bera Tebu Palawija 1,87 c 1,74 c 2,18 b 2,64 a Laju infiltrasi (cm/jam)

Jati Bera Tebu Palawija 43,28 a 38,97 a 16,26 b 8,40 b Bulk Density (g/cm3) Jati Bera Tebu Palawija 1,06 b 1,08 b 1,40 a 1,37 a TRP (%) Jati Bera Tebu Palawija 48,32 a 52,65 a 37,52 b 39,06 b Permeabilitas (cm/jam) Jati

Bera Tebu Palawija 5,83 a 4,27 b 1,17 c 0,89 c

Pori Air tersedia (%)

Jati Bera Tebu Palawija 42,43 a 39,30 ab 37,65 b 36,41 b

Keterangan : Angka pada yang diikuti dengan notasi huruf yang sama dari masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan

Lahan yang dirotasi dengan tebu dan palawija memiliki kekerasan tanah yang besar dan berbeda nyata dengan lahan jati dan lahan bera (Siregar dkk. 2007). Pada lahan rotasi tebu dan palawija pengolahan tanah sangat intensif akibatnya sebaran akar halus tumbuhan sedikit, begitu juga akar berukuran besar. Semakin besar sebaran akar halus maupun akar besar pada suatu lahan akan mengakibatkan kekerasan tanah semakin

rendah (Basyaruddin, 2004). Oleh sebab itu maka lahan rotasi dengan tebu dan palawija memberikan nilai kekerasan tanah yang lebih tinggi. Lahan rotasi palawija berbeda nyata dengan lahan rotasi tebu dimana rotasi palawija kekerasan tanahnya lebih besar dibandingkan dengan rotasi tebu. Hal ini mungkin disebabkan tanaman tebu dipanen setahun sekali sementara palawija tiga bulan sekali sehingga pengolahan tanah pada lahan palawija lebih intensif bila dibandingkan dengan lahan rotasi tebu. Semakin intensif lahan diolah maka terjadi pemadatan tanah (soil compaction) sehingga penetrasi akar ke lapisan bawah lebih sulit dan memberikan nilai penetrasi tanah yang besar (Hillel, 1980).

Lahan hutan jati memiliki laju infiltrasi yang paling besar yaitu 43,28 cm/jam dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya. Susswein, et al., (2001) dan Suripin (2004) menyatakan bahwa tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan yang tinggi dan makroporositas yang relatif banyak, sejalan dengan tingginya aktivitas biologi tanah dan turnover perakaran. Lahan jati dapat diasumsikan sebagai lahan hutan sehingga kecepatan aliran air (laju infiltrasi) tanah di permukaan tinggi. Penyerapan air oleh akar tanaman hutan menyebabkan dehidrasi tanah, pengkerutan, dan terbukanya rekahan- rekahan kecil. Kedua proses tersebut dapat memicu terbentuknya pori yang lebih besar sehingga laju infiltrasi tanah di permukaan tinggi. Disamping itu hutan jati memiliki lapisan serasah yang tebal dan penutupan permukaan tanah oleh kanopi tanaman yang akan menyebabkan rendahnya pembentukan kerak di permukaan tanah sehingga laju infiltrasi tinggi (Marshall et al., 1999). Laju infiltrasi pada lahan bera (41,35 cm/jam) dan rotasi tebu (34,26 cm/jam) tidak berbeda nyata dengan lahan rotasi jati.

Lahan rotasi palawija memiliki laju infiltrasi yang paling kecil (17,20 cm/jam) dan berbeda nyata dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan kelembaban tanah dimana infiltrabilitas tanah serta variasinya tergantung dari kelembaban tanah (Hillel, 1982). Dari ke empat jenis penggunaan lahan, rotasi palawija memiliki kelembaban tanah yang paling rendah dibandingkan dengan lainnya, oleh karena penutupan kanopi tanaman kecil disamping pengolahan tanah yang intensif.

Kerapatan lindak tanah berhubungan erat dengan penetrasi tanah, semakin tinggi nilai penetrasi tanah memberikan BD yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena pemadatan tanah dapat memampatkan fase padat tanah sehingga berat persatuan volume meningkat. . Dari ke empat jenis penggunaan lahan rotasi tebu memiliki nilai BD yang paling tinggi (1,40 g/cm3) dan tidak berbeda nyata dengan lahan rotasi palawija (1,37 g/cm3). Hal ini disebabkan bahwa ke dua keadaan lahan ini merupakan lahan yang pengolahan tanahnya sangat intensif sehingga terjadinya proses pemadatan tanah akibat dari alat mekanisasi pertanian yang akhirnya akan meningkatkan nilai BD tanah. Soepardi (1983 dalam

Juanda dkk. 2003) menyatakan bahwa pengolahan tanah dapat menaikkan berat jenis isi tanah (BD). Disamping itu ke dua jenis rotasi ini dalam nenyumbangkan bahan organik juga rendah dan terjadinya degradasi bahan organik akibat pengolahan tanah yang intensif akan menyebabkan pemadatan tanah cukup tinggi, sehingga terjadinya peningkatan BD tanah.

Total ruang pori untuk lahan rotasi tebu sebesar 37,52 % dan rotasi palawija 39,06 % dan berhubungan tidak nyata antar ke duanya; serta berbeda nyata dengan lahan rotasi

jati dan bera. Hal ini erat kaitannya dengan kekerasan tanah dan BD tanah di atas. Lahan rotasi tebu dan palawija telah terjadi pemadatan tanah karena ruang pori terisi oleh partikel tanah terlarut dalam air melalui proses pengendapan. Oleh karena itu porositas ditentukan oleh BD tanah, dengan demikian perubahan porositas mengikuti perubahan BD tanah.

Permeabilitas tanah erat kaitannya dengan total ruang pori tanah dimana semakin besar total ruang pori tanah maka semakin besar pula permeabilitas tanah. Artinya laju pergerakan air semakin besar apabila total ruang pori di dalam tanah besar. Dari ke empat jenis penggunaan lahan rotasi tebu dan palawija memiliki total ruang pori yang lebih kecil dibandingkan dengan lahan jati dan bera sehingga memberikan kelas permeabilitas yang lebih lambat. Dari hasil pengukuran pada ke empat jenis penggunaan lahan kelas permeabilitas tanah tergolong sedang sampai lambat. Permeabilitas pada lahan rotasi tebu (1,17 cm/jam) dan rotasi palawija (0,87 cm/jam) tidak berbeda nyata antar keduanya, sementara untuk lahan jati (5,83 cm/jam) dan bera (4,27 cm/jam) berbeda nyata antar ke duanya.

Dari hasil pengukuran distribusi pori air tersedia dari ke empat jenis penggunaan lahan terdapat pada Lampiran 6 dan Tabel 5, lahan jati memberikan persentase paling besar yaitu 42,43 % dan tidak berbeda nyata dengan lahan bera (39,30 %). Untuk rotasi tebu (37,65 %) dan rotasi palawija (36,41 %) berbeda nyata dengan lahan jati dan bera. Pori air tersedia merupakan pori tanah dimana akar tanaman akan mampu menyerap air yang berada di dalam pori-pori tanah (Baver, dkk., 1983). Pori ini sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman dan terdapat antara kadar air pada kapasitas

lapang dan kadar air pada titik layu permanen dengan ukuran pori 0,2 – 8,7 mikron dan dinyatakan dalam persen volume tanah.

Dari peubah amatan sifat fisika tanah dapat disimpulkan bahwa terjadinya degradasi lahan (terdapatnya perubahan yang negatif) akibat rotasi penggunaan tanah dengan tebu dan palawija. Dari tujuh peubah amatan hanya stabilitas agregat yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata akibat rotasi penggunaan tanah, tetapi terlihat stabilitasnya juga menurun dengan intensifnya penggunaan tanah, terutama pada rotasi penggunaan tebu dan palawija.

Sifat Kimia Tanah

Semua peubah sifat kimia tanah yang diukur memberikan perbedaan yang nyata antar jenis penggunaan lahan, kecuali kandungan Na-dd. Lahan jati dan bera umumnya memberikan sifat kimia yang lebih baik dibandingkan dengan rotasi tebu dan palawija. Hal ini erat kaitannya dengan peubah sifat fisik yang diukur dimana lahan jati dan bera memberikan sifat fisik yang lebih baik dibandingkan dengan rotasi tebu dan palawija. Hasil pengukuran sifat-sifat kimia dari masing-masing jenis rotasi penggunaan lahan disajikan pada Lampiran 6 dan rataan perlakuannya pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Pengukuran Sifak Kimia Tanah dari Masing-masing Jenis Rotasi Penggunaan Lahan

Peubah Amatan Perlakuan Rotasi Rata-rata Perlakuan pH-tanah Jati Bera Tebu Palawija 5,73 a 5,67 a 5,22 b 5,19 b C-organik (%) Jati Bera Tebu Palawija 1,73 a 1,74 a 1,48 b 0,89 c N-total (%) Jati Bera Tebu Palawija 0,18 a 0,18 a 0,16 b 0,15 b P-tersedia (Bray II) (ppm)

Jati Bera Tebu Palawija 14,65 c 14,71 c 24,42 a 23,60 b K-dd (me/100 g) Jati Bera Tebu Palawija 0,47 a 0,36 b 0,15 c 0,08 d

Ca-dd (me/100 g) Jati

Bera Tebu Palawija 1,36 c 4,22 a 4,56 a 2,88 b Mg-dd ((me/100 g) Jati Bera Tebu Palawija 0,32 d 1,29 a 1,22 b 1,03 c Na-dd (me/100 g) Jati Bera Tebu Palawija 0,10 0,11 0,10 0,11 KTK (me/100 g) Jati Bera Tebu Palawija 16,96 a 14,08 bc 12,44 c 11,42 d

Keterangan : Angka pada yang diikuti dengan notasi huruf yang sama dari masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan

Dari hasil pengukuran pH tanah pada masing-masing jenis penggunaan lahan memberikan perbedaan yang nyata. Lahan jati dengan pH 5,73 dan pada lahan bera

dengan pH 5,67 memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan rotasi penggunaan lahan tebu dan palawija. pH tanah sangat berkorelasi terhadap pengolahan tanah dan kandungan bahan organik tanah, dimana pH berkorelasi negatif terhadap pengolahan tanah dan kandungan bahan organik tanah. Semakin aktif pengolahan tanah dan semakin rendah kandungan bahan organik akan memberikan pH tanah yang rendah (masam) (Hardjowigeno, 1995).

Hasil pengukuran C-organik dari masing-masing jenis penggunaan lahan tergolong sangat rendah sampai rendah (Hardjowigeno, 1995). Terdapat perbedaan yang sangat nyata dari ke empat jenis penggunaan lahan terhadap C-organik tanah. Hal ini berhubungan erat dengan sumbangan bahan organik terhadap tanah dimana lahan jati dan bera lebih tinggi. Ditinjau dari sisi pengolahan tanah, lahan tebu dan palawija pengolahan tanahnya sangat intensif sehingga mempercepat proses pelapukan dan terjadinya degradasi kandungan bahan organik (Blanchart et al. 2006). Dalam budidaya tebu di PTPN-II setelah pemanenan dilakukan pembakaran klaras tebu, hal ini sangat merusak kandungan bahan organik dan biota tanah. Oleh sebab itu maka kandungan C-organik untuk lahan rotasi tebu dan palawija lebih kecil.

Hasil pengukuran N-total tanah juga berkorelasi positif dengan kandungan C- organik tanah dimana lahan jati (0,18 %) dan bera (0,18 %) lebih tinggi dibandingkan dengan lahan tebu (0,16 %) dan lahan palawija (0,15 %). Artinya semakin tinggi kandungan C-organik tanah memberikan kandungan N-total yang tinggi pula. Hasil akhir dekomposisi bahan organik adalah bentuk-bentuk N yang dapat digunakan tanaman, sehingga apabila C-organik tanah tinggi di dalam tanah, hasil

dekomposisi/mineralisasinya memberikan N-total tanah yang tinggi. Dari rataan N-total pada ke empat jenis penggunaan lahan kandungannya tergolong rendah. (Hardjowigeno, 1995).

Kandungan P-tersedia tanah pada ke empat jenis rotasi penggunaan lahan tergolong sedang. Rataan P-tersedia untuk lahan jati adalah 14,65 ppm dan lahan bera 14,71 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan lahan rotasi tebu yaitu 24,42 ppm dan palawija 23,60 ppm. Hal ini disebabkan karena lahan tebu untuk budidayanya diperlukan hara P yang relatif besar sehingga residu P dari pupuk yang diberikan kemungkinan masih tinggi di dalam tanah. Begitu juga halnya dengan lahan palawija yang berumur singkat sehingga pemupukan dalam setahun lebih banyak. Disamping itu dampak dari pengolahan tanah yang intensif, maka mineral alofan yang ada di dalam tanah akan termineralisasi, sehingga P yang tadinya dijerap oleh mineral ini akan lepas ke dalam larutan tanah yang mengakibatkan P akan besar di dalam larutan tanah (Tan, 1998).

Hasil pengukuran kandungan K-dapat dipertukarkan (K-dd) dari ke empat jenis penggunaan lahan tergolong sangat rendah sampai sedang. Kandungan K-dd rendah bisa dihubungkan dengan kandungan mineral yang ada pada tanah lokasi penelitian. Menurut Puslittanak (1993), tanah di Kebun Klambir Lima mengandung mineral campuran antara mineral 2 : 1 dan alofan sedikit imogolit. Mineral 2 : 1 yang dominan di tanah ini adalah illit, montmorillonit dan mineral lainnya. Diketahui bahwa mineral illit kuat memfiksasi K di antara kisi-kisi mineralnya. Oleh sebab itu walaupun dilakukan pemupukan K, namun K yang dapat dipertukarkan di dalam tanah rendah.

Hasil pengukuran kandungan Ca-dapat dipertukarkan (Ca-dd) dari ke empat jenis penggunaan lahan tergolong rendah sampai sedang dan kandungan Mg-dapat dipertukarkan (Mg-dd) sangat rendah sampai sedang (Hardjowigeno, 1995). Kandungan Ca-dd dan Mg-dd berbeda nyata antar ke empat jenis penggunaan lahan. Kandungan Ca- dd lebih tinggi pada penggunaan lahan bera dan rotasi tebu dan berbeda nyata dengan penggunaan lahan jati dan rotasi palawija. Hal ini erat kaitannya dengan pengapuran yang terus dilakukan pada lahan bera dan rotasi tebu setiap musim tanam tembakau, sedangkan lahan jati yang sudah puluhan tahun tidak dilakukan pengapuran.

Lahan rotasi palawija tidak dilakukan pengapuran, kecuali pada saat akan dimulainya penanaman tembakau setelah itu tidak dilakukan lagi pengapuran. Jenis kapur yang digunakan adalah dolomit dan kiserit. Kandungan Mg-dd juga lebih tinggi pada lahan bero dan rotasi tebu, ini sejalan dengan kandungan Ca-dd tanah.

Hasil pengukuran Na-dd dari masing-masing jenis rotasi penggunaan lahan tergolong rendah (Hardjowigeno, 1995) dimana lahan jati (0,10 me/100 g), bero (0,11 me/100 g), tebu (0,10 me/100 g), palawija (0,11 me/100 g). Kondisi ini sangat sesuai bagi tanaman tembakau. Kandungan natrium yang tinggi juga tidak baik bagi pertumbuhan tembakau. Tidak terlihatnya perbedaan yang nyata pada semua lahan rotasi disebabkan kandungan natrium tergolong rendah.

Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan suatu ukuran kapasitas tanah yang berhubungan dengan kemampuan menyediakan hara kepada tanaman. Sifat ini selalu digunakan sebagai indeks kesuburan tanah. Hasil pengukuran KTK tanah dari ke empat jenis rotasi penggunaan lahan tergolong sangat rendah sampai rendah (Hardjowigeno,

1995). Lahan jati memberikan nilai 16,96 me/100 g, lahan bera 14,08 me/100 g, lahan rotasi tebu 12,44 me/100 g, dan lahan rotasi palawija 11,44 me/100 g. Rendahnya nilai KTK ini adalah disebabkan kandungan bahan organik dari ke empat jenis penggunaan lahan tergolong sangat rendah sampai rendah. Hal ini sejalan dengan KTK tanah dimana kandungan bahan organik tanah berhubungan erat dengan KTK tanah, semakin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah memberikan nilai KTK semakin baik (tinggi).

Dari peubah amatan sifat kimia tanah terlihat bahwa terjadinya penurunan sifat- sifat kimia tanah (degradasi) akibat semakin intensifnya penggolahan tanah yaitu dengan rotasi tebu dan palawija.

Korelasi Kandungan Bahan Organik dengan Sifat Fisika Tanah

Korelasi kandungan bahan organik dengan beberapa sifat fisika tanah berdasarkan korelasi Pearson terdapat hubungan nyata berbeda dari masing-masing peubah yang diukur pada taraf 1 % dan 5 % diuraikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Korelasi Kandungan Bahan Organik dengan Beberapa Sifat Fisika Tanah Berdasarkan Korelasi Pearson

Koefisien Korelasi No Sifat Fisika tanah .05 .01

1. 2. 3. 4. 5. Air tersedia Kekerasan tanah BD TRP Permeabilitas 0,377* - - - - - -0,708** -0,508** 0,479** 0,572**

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa terdapatnya korelasi negatif antar kandungan bahan organik dengan penetrasi akar dan BD tanah artinya semakin tinggi kandungan bahan organik dalam tanah maka kekerasan tanah semakin baik atau semakin mudahnya

akar tanaman masuk ke dalam tanah menembus pori-pori tanah. Begitu juga halnya dengan BD tanah semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka BD tanah semakin kecil. Dari kasus penelitian ini BD tanah dan kekerasan tanah lebih tinggi pada rotasi penggunaan lahan palawija dan rotasi tebu dibandingkan dengan rotasi penggunaan lahan jati dan bera. Hal ini sejalan dengan kandungan bahan organik dari masing-masing lahan dimana kandungan bahan organik rotasi penggunaan lahan jati dan bera lebih tinggi dibandingkan dengan rotasi penggunaan lahan palawija dan tebu.

Terdapat korelasi positif nyata antar kandungan bahan organik dengan persentase pori air tersedia tanah dan korelasi positif sangat nyata dengan TRP dan permeabilitas tanah, artinya semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka persentase pori air tersedia semakin baik. Pada penelitian ini persentase pori air tersedia tanah lebih tinggi pada rotasi penggunaan lahan jati dan bera dibandingkan dengan rotasi penggunaan lahan palawija dan tebu begitu juga halnya dengan TRP dan permeabilitas tanah. Bulk densiti dan kekerasan tanah berkorelasi negatif sangat nyata dengan kandungan bahan organik tanah, maksudnya semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka terjadi penurunan BD dan kekerasan tanah sehingga tanah tersebut semakin gembur.

Dapat disimpulkan bahwa terdapatnya korelasi yang positif antara kandungan bahan organik dengan sifat-sifat fisika tanah.

Korelasi Kandungan Bahan Organik dengan Sifat Kimia Tanah

Korelasi kandungan bahan organik dengan beberapa sifat kimia tanah berdasarkan korelasi Pearson terdapat hubungan nyata berbeda pada taraf 1 % yang diuraikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Korelasi Kandungan Bahan Organik dengan Beberapa Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Korelasi Pearson

No. Sifat Kimia Tanah Koefisien Korelasi .01 1. 2. 3. 4. 5. pH N-total K-dd KTK P-Bray II 0,679** 0,586** 0,738** 0,649** -0,627**

Dari Tabel 8 terdapat korelasi positif antar kandungan bahan organik tanah dengan pH, N-total, K-dd, dan KTK tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka pH tanah semakin baik atau pH tanah yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman. Pada penelitian ini pH tanah lahan rotasi tebu (5,22) dan palawija (5,19) lebih rendah dari pada rotasi penggunaan lahan jati (5,73) dan bero (5,67). Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka N-total tanah, KTK dan K-dd tanah juga semakin tinggi. Dekomposisi bahan organik tanah akan menyumbangkan hara makro dan mikro ke dalam tanah. Hara yang paling besar disumbangkan dari hasil dekomposisi tersebut adalah N-total di dalam tanah diikuti dengan hara P, S, dan K di dalam tanah. Dalam proses dekomposisi bahan organik dalam tanah banyak menyumbangkan muatan negatif ke permukaan koloid tanah sehingga memperbesar KTK dalam tanah. Pada penelitian ini N-total, KTK, dan K-dd lebih tinggi pada rotasi penggunaan lahan jati dan bero dibandingkan dengan rotasi penggunaan lahan palawija dan tebu.

Terdapat korelasi negatif antar kandungan bahan organik tanah dengan P-tersedia dalam tanah. Pada kasus penelitian ini kandungan P-tersedia tanah lebih tinggi pada rotasi penggunaan lahan tebu (24,42 ppm) dan palawija (23,60 ppm) dibandingkan dengan rotasi penggunaan lahan jati (14,65 ppm) dan bera (14,71 ppm). Walaupun hasil dekomposisi bahan organik tanah menyumbangkan P ke dalam tanah tetapi di lapang pemupukan P sangat intensif dilakukan pada lahan rotasi tebu dan palawija sehingga P tersedia tinggi pada ke dua lahan rotasi tersebut. Akibatnya hasil analisis korelasi Pearson menghasilkan hubungan negatif antar kandungan bahan organik dengan P-tersedia tanah.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara kandungan bahan organik dengan semua sifat-sifat kimia tanah kecuali kandungan fosfat yang berkorelasi negatif.

Produksi Tembakau Deli

Lahan yang dirotasi dengan palawija sudah tidak lagi digunakan untuk menanam tembakau deli selam 5 tahun terakhir ini, hal ini kemungkinan hak guna usaha (HGU) akan berakhir. Lahan rotasi jati juga tidak digunakan untuk penanaman tembakau deli karena lahan tersebut diperlukan untuk menahan angin di samping kayunya juga digunakan untuk bangunan bangsal jika tingginya telah lebih dari 15 meter.

Data produksi yang ada pada saat mengumpulkan data primer adalah produksi dari lahan rotasi tebu dan lahan bera. Produksi tembakau deli pada tahun 2006 untuk lahan rotasi tebu dan lahan bera terdapat pada Tabel 9.

Tabel 9. Produksi Tembakau Deli Tahun 2006 pada Lahan Bekas Rotasi Tebu dan Bera di Kebun Klambir Lima PTPN-II

Kongsi Produksi

Dokumen terkait