• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit klorosis beberapa tahun terakhir ini telah menyerang pertanaman tomat di beberapa negara. Menurut Duffus et al. (1996) dan Wisler et al. (1998b) penyakit klorosis pada tomat disebabkan oleh dua virus, yaitu Tomato chlorosis

virus (ToCV) and Tomato infectious chlorosis virus (TICV).

Gejala penyakit yang diinduksi oleh ToCV tidak dapat dibedakan dengan gejala penyakit yang diinduksi oleh TICV (Dovas et al. 2002). Gejala yang muncul juga akan sama bila kedua virus ini bersama-sama menginfeksi tanaman tomat (Wintermantel et al. 2008). Di lapangan, gejala penyakit kedua virus ini terlihat sama. Gejala ToCV dan TICV pada tanaman tomat yaitu menguningnya daun yang terbatas antara tulang daun tetapi tulang daun tampak terlihat berwarna hijau (Gambar 4). Gejala menguning pada umumnya diikuti dengan perubahan warna daun bagian atas menjadi ungu, sehingga terkadang petani sering menyebutnya sebagai “Penyakit Ungu” (Hartono & Wijonarko 2007).

Gambar 4 Gejala penyakit klorosis pada daun tomat yang disebabkan oleh ToCV dan/atau TICV

Wisler et al. (1998a) menerangkan bahwa gejala menguning awalnya terjadi pada daun tua di bagian bawah yang kemudian secara bertahap akan berkembang ke bagian atas tanaman. Selain klorosis pada daun, gejala lain yang terlihat adalah

nekrosis, daun menggulung ke bawah, dan diikuti dengan masalah pertumbuhan serta penurunan hasil produksi buah tomat. Serangan penyakit ini akan mempengaruhi ukuran buah tomat dan penundaan proses pemasakan buah, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi (Navas-Castillo et al. 2000). Di areal pertanaman tomat, tanaman yang terserang virus ini menyebar dengan pola spot-spot tidak merata di seluruh lahan (Gambar 5).

Gambar 5 Gejala penyakit klorosis akibat infeksi ToCV dan/atau TICV di areal pertanaman tomat di wilayah Cipanas (kiri), Cianjur (tengah), dan Lembang (kanan)

Crinivirus merupakan kelompok virus yang terbatas pada jaringan floem

(Medina et al. 2003) dan terakumulasi pada tingkat rendah pada tanaman yang terinfeksi, sehingga pembuatan antiserum masih sulit untuk dilakukan. Sampai saat ini hanya antiserum poliklonal untuk TICV yang baru tersedia (Duffus et al. 1996), sedangkan antiserum untuk ToCV belum tersedia, sehingga deteksi virus tidak dapat dilakukan melalui uji serologi, terutama deteksi virus ToCV. Oleh karena itu, deteksi kedua virus ini dilakukan melalui pendekatan molekuler terutama Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Deteksi dengan RT-PCR memerlukan sepasang primer yang didesain khusus untuk mendeteksi virus secara terpisah. Primer-primer yang digunakan dalam metode ini, seperti terlihat pada Tabel 3 telah didesain khusus berdasarkan analisa sikuen ToCV dan TICV yang diunduh dari GenBank.

20

Tabel 3 Oligonukleotida primer yang digunakan dalam PCR untuk meng- amplifikasi virus ToCV dan TICV secara terpisah

Primer Sekuen 5’-3’ Ukuran

produk (bp) Lokasi Acc. No

ToCV-CF GTGTCAGGCCATTGT AAACCAAG 360 (RNA 2) 4682-5041 NC007341 ToCV-CR CACAAAGCGTTTCTT TTCATAAGCAGG TICV-CF AATCGGTAGTGACA CGAGTAGCATC 417 (RNA2) 5629-6045 FJ542306 TICV-CR CTTCAAACATCCTCC ATCTGCC

Validasi Pasangan Primer ToCV

Primer ToCV-CF dan ToCV-CR berhasil mendeteksi virus ToCV melalui metode RT-PCR terhadap sampel yang positif terserang ToCV. Berdasarkan isolat NC007341 yang berasal dari USA, Florida (Wintermantel et al. 2005), primer ToCV-CF dengan sekuen GTGTCAGGCCATTGTAAACCAAG terletak pada posisi 4682-4705 dan primer ToCV-CR dengan sekuen CACAAAGCGTTTC TTTTCATAAGCAGG terletak pada posisi 5014-5041. Oleh karena itu, produk PCR adalah sebesar 360 bp. Gambar 6 menunjukkan hasil PCR dengan panjang pita DNA sebesar 360 bp.

Pasangan primer ToCV tunggal terbukti spesifik hanya mendeteksi virus ToCV saja, sedangkan sampel yang positif TICV tidak teramplifikasi oleh primer ini. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 6, lajur 1 dengan sampel yang positif terinfeksi tunggal oleh ToCV, maka pita DNA akan muncul dengan panjang 360 bp. Pada lajur 2 dengan sampel yang positif terinfeksi tunggal oleh TICV, pita DNA tidak muncul karena TICV tidak teramplifikasi oleh pasangan primer ToCV ini. Untuk sampel yang terinfeksi ganda oleh ToCV dan TICV, jika diamplifikasi

dengan pasangan primer ToCV, maka pita DNA yang muncul hanya satu, yaitu pita DNA ToCV saja dan pita DNA TICV tidak terlihat (lajur 3). Hal ini membuktikan pasangan primer ToCV benar-benar spesifik hanya mendeteksi virus ToCV saja. Tanaman yang sehat jika diamplifikasi dengan menggunakan pasangan primer ini, juga tidak akan manghasilkan pita DNA (lajur 4).

M 1 2 3 4

c

360 bp

Gambar 6 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik ToCV-CF dan ToCV-CR terhadap sampel daun tanaman tomat yang positif terinfeksi tunggal oleh ToCV (lajur 1), positif terinfeksi tunggal oleh TICV (lajur 2), dan positif terinfeksi ganda oleh kedua virus ToCV dan TICV (lajur 3). Lajur 4 adalah kontrol negatif dari tanaman sehat dan lajur M adalah marker 100 bp DNA ladder

Validasi Pasangan Primer TICV

Gejala penyakit yang diinduksi, baik oleh ToCV maupun TICV tidak dapat dibedakan keduanya (Dovas et al. 2002). Namun, jika dilakukan deteksi melalui deteksi molekuler dengan menggunakan metode RT-PCR dan PCR, maka akan didapatkan hasil yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, setelah dilakukan amplifikasi, ternyata panjang pita DNA TICV lebih panjang daripada panjang pita DNA ToCV. Pita DNA ToCV berukuran 360 bp, sedangkan pita DNA TICV berukuran 417 bp. Pada Gambar 7 terlihat pita DNA yang muncul dengan panjang 417 bp. Hasil panjang pita DNA tersebut sesuai dengan hasil perhitungan yang telah dilakukan terhadap isolat TICV-CA4 segment RNA2. Berdasarkan isolat FJ542306 yang berasal dari USA (Orilio & Navas castillo 2009), amplifikasi cDNA TICV menggunakan primer TICV-CF dengan sekuen AATCGGTAGTGACACGAGTAGCATC terletak pada posisi 5629-5654 dan

22 primer TICV-CR dengan sekuen CTTCAAACATCCTCCATCTGCC terletak pada posisi 6023-6045, sehingga produk PCR sebesar 417 bp.

Sama halnya dengan pasangan primer ToCV yang hanya mendeteksi virus ToCV, pasangan primer TICV tunggal juga spesifik hanya mendeteksi virus TICV saja. Dalam Gambar 7 terlihat hasil yang berbeda dengan Gambar 6. Sampel tanaman tomat yang positif terinfeksi tunggal oleh ToCV tidak teramplifikasi dengan pasangan primer TICV, sehingga pita DNA tidak muncul (lajur 1). Sedangkan sampel yang positif terinfeksi tunggal TICV menunjukkan pita DNA dalam gel agarose dengan panjang 417 bp (lajur 2). Untuk sampel yang terinfeksi ganda oleh kedua virus ini yaitu ToCV dan TICV, maka pita DNA yang terlihat hanya pita DNA TICV saja, sedangkan pita DNA ToCV tidak terlihat. Hal ini dikarenakan pasangan primer TICV hanya mengamplifikasi sampel yang terinfeksi TICV saja.

Hasil pada Gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa pasangan primer ToCV dan TICV benar-benar spesifik hanya mendeteksi virusnya masing-masing. Primer ToCV hanya menempel pada sikuen DNA ToCV, dan primer TICV menempel pada sikuen DNA TICV.

M 1 2 3 4

417 bp

Gambar 7 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF dan TICV-CR terhadap sampel daun tanaman tomat yang positif terinfeksi tunggal oleh ToCV (lajur 1), positif terinfeksi tunggal oleh TICV (lajur 2), dan positif terinfeksi ganda oleh kedua virus ToCV dan TICV (lajur 3). Lajur 4 adalah kontrol negatif dari tanaman sehat dan lajur M adalah marker 100 bp DNA ladder

Validasi Pasangan Primer ToCV dan TICV

Melalui metode RT-PCR dengan menggunakan pasangan primer ToCV dan TICV ternyata terbukti dapat mendeteksi kedua virus, baik ToCV maupun TICV. Berbeda dengan metode yang digunakan dalam menentukan validitas terhadap pasangan primer ToCV dan TICV dimana pasangan primer masing-masing digunakan secara terpisah, dalam metode ini pasangan primer ToCV dan TICV digunakan secara bersamaan, tercampur bersama komponen-komponen PCR yang lain. Hasil yang didapatkan jika pasangan primer ToCV dan TICV digunakan secara bersamaan terlihat dalam Gambar 8 yang menunjukkan kespesifikan kedua primer tersebut.

Dalam Gambar 8, lajur 1 dimana sampel yang digunakan adalah sampel positif terinfeksi tunggal oleh ToCV, terlihat jika kedua primer ToCV dan TICV dicampur maka pita DNA yang terlihat adalah pita DNA ToCV dengan ukuran 360 bp. Hal ini dikarenakan pasangan primer ToCV hanya mengamplifikasi virus yang spesifik yaitu ToCV saja, sedangkan virus TICV tidak teramplifikasi. Begitu pula jika sampel yang digunakan adalah sampel positif terinfeksi tunggal oleh TICV, maka DNA yang teramplifikasi adalah DNA TICV sehingga yang terlihat dalam gel agarose adalah pita DNA TICV dengan ukuran 417 bp (lajur 2). Pita DNA ToCV tidak muncul karena primer TICV hanya mendeteksi secara spesifik virus TICV saja.

Untuk sampel yang terinfeksi ganda oleh ToCV dan TICV, jika diamplifikasi menggunakan kedua primer tersebut, maka pita DNA yang muncul akan terlihat double seperti terlihat pada Gambar 8, lajur 3. Ketika kedua pasangan primer digunakan secara bersamaan untuk mengamplifikasi sampel yang terinfeksi ganda oleh kedua virus tersebut, maka kedua pasangan primer tersebut akan menempel pada pasangan DNAnya masing-masing. Pasangan primer ToCV akan menempel pada sikuen DNA ToCV dan terbentuk pita DNA ToCV pada gel agarose, dan pasangan primer TICV akan menempel juga pada sikuen DNA TICV sehingga terbentuk pita DNA TICV. Seperti terlihat pada Gambar 8 lajur 3, pita DNA terlihat double dimana pita DNA TICV lebih

24 panjang, berada di bagian lebih atas dengan ukuran 417 bp daripada pita DNA ToCV yang hanya berukuran 360 bp dan berada di bawah pita DNA TICV. Meskipun pita DNA terletak bersamaan dalam satu lajur, namun kedua pita DNA tersebut masih dapat terlihat jelas perbedaannya karena ukuran keduanya memang berbeda.

Dengan metode pencampuran kedua primer ini maka dapat diketahui bahwa kedua primer ToCV dan TICV dapat digunakan untuk mendeteksi kedua virus ini, baik yang terinfeksi tunggal maupun yang terinfeksi ganda. Selain untuk mendeteksi virus, metode RT-PCR dengan kedua pasang primer ini juga dapat diterapkan untuk diagnosis. Tidak hanya diagnosis terhadap sampel hasil penularan saja, tetapi juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis sampel dari lapangan.

M 1 2 3 4

417 bp 360 bp

Gambar 8 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan campuran primer ToCV-CF, ToCV-CR, TICV-CF, dan TICV-CR terhadap sampel daun tanaman tomat yang positif terinfeksi tunggal oleh ToCV (lajur 1), positif terinfeksi tunggal oleh TICV (lajur 2), dan positif terinfeksi ganda oleh kedua virus ToCV dan TICV (lajur 3). Lajur 4 adalah kontrol negatif dari tanaman sehat dan lajur M adalah marker 100 bp DNA ladder

Penerapan Metode RT-PCR untuk Sampel dari Lapangan

Penyakit klorosis saat ini sudah ditemukan di Indonesia. Pertama kali ditemukan di sentra pertanaman tomat di Magelang, Jawa Tengah dan Purwakarta, Jawa Barat (Hartono & Wijonarko 2007). Penyakit klorosis yang disebabkan oleh ToCV dan TICV bahkan sudah menyebar luas di berbagai tempat. Berdasarkan hasil survei Fitriasari (2010), menunjukkan bahwa penyakit

klorosis menyerang areal pertanaman tomat di daerah Bogor, Cianjur, dan Garut dengan persentase kejadian penyakit yang berbeda-beda.

M 1 2 3 4 5 6

417 bp 360 bp

Gambar 9 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan campuran primer ToCV-CF, ToCV-CR, TICV-CF, dan TICV-CR terhadap sampel daun tanaman tomat yang bergejala klorosis dari Lembang (lajur 1 dan 3), Cipanas (lajur 2), Cianjur (lajur 4), Garut (lajur 5). Lajur 6 adalah kontrol negatif dari tanaman sehat dan lajur M adalah marker 100 bp DNA ladder Metode RT-PCR tidak hanya dapat dilakukan terhadap sampel dari hasil penularan saja, tetapi juga dapat diterapkan untuk sampel dari lapangan terhadap individu yang berbeda-beda wilayahnya. Hal ini terbukti dari hasil pada Gambar 9 yang memperlihatkan hasil amplifikasi terhadap beberapa sampel yang berasal dari berbagai wilayah, yaitu Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Metode dilakukan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan terhadap sampel hasil penularan, yaitu melalui metode PCR menggunakan pasangan primer spesifik ToCV dan TICV yang dicampur. Ketika primer ToCV dan TICV hadir dalam campuran reaksi, bersama dengan komponen-komponen PCR yang lain, maka terbukti bahwa pasangan primer ini dapat mendeteksi kedua virus ini, baik yang terinfeksi tunggal oleh ToCV atau TICV saja maupun yang terinfeksi ganda oleh kedua virus tersebut. Seperti yang terlihat pada Gambar 9, berdasarkan hasil amplifikasi terbentuk pita DNA yang terlihat jelas dengan ukuran 360 bp untuk ToCV dan 417 bp untuk TICV.

Sampel yang berasal dari Cianjur dan Cipanas menunjukkan bahwa tanaman yang berada di areal tersebut terinfeksi tunggal oleh ToCV, sedangkan sampel

26 yang berasal dari Lembang terdeteksi terinfeksi tunggal oleh TICV. Terlihat pada Gambar 9 lajur 1 dan 3, pita DNA yang terbentuk berukuran lebih panjang daripada pita DNA yang terbentuk pada lajur 2 dan 4. Hal ini menandakan bahwa RT-PCR yang dilakukan terhadap jaringan daun yang diambil dari tanaman tomat bergejala klorosis di Lembang, positif terinfeksi tunggal oleh TICV, sedangkan sampel dari Cianjur dan Cipanas positif terinfeksi tunggal oleh ToCV. Sampel dari Garut terinfeksi ganda oleh kedua virus tersebut, seperti terlihat pada lajur 5 yang menunjukkan pita DNA double ToCV dan TICV dengan ukuran yang bebeda antara keduanya.

ToCV dan TICV merupakan virus-virus yang tergolong ke dalam genus

Crinivirus, dan telah diketahui bahwa virus-virus dalam genus ini tidak dapat

ditularkan melalui cairan perasan tanaman sakit ataupun melalui benih (Martelli et

al. 2002). Oleh karena itu, yang menjadi agens utama dalam penyebaran penyakit

klorosis di lapangan adalah kutu kebul. Korelasi antara penyebaran penyakit klorosis dengan populasi kutu kebul telah dibuktikan dalam penelitian Navas-Castillo et al. (2000) yang menyatakan bahwa tingkat kejadian penyakit klorosis di lapangan berkorelasi positif dengan tingkat populasi kutukebul. Beberapa spesies kutu kebul yang menjadi agens utama penyebar virus ToCV dan TICV dan telah diteliti oleh beberapa peneliti di berbagai wilayah dunia diantaranya yaitu Bemisia tabaci, Trialeurodes vaporarorium, dan Trialeurodes abutilonea (Hemiptera: Aleyrodidae) (Wisler et al. 1998a). ToCV ditularkan oleh B. tabaci,

T. vaporarorium, dan T. Abutilonea, sedangkan TICV hanya ditularkan oleh T. vaporarorium (Wisler et al. 1998a).

Perbedaan deteksi virus dari berbagai wilayah ini dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat. Hal ini juga bersesuaian dengan keberadaan kutu kebul. Menurut hasil penelitian Fitriasari (2010), diketahui bahwa dari ketinggian 0-1000 mdpl (meter di atas permukaan laut) di dominasi oleh B. tabaci, ketinggian 1000-1200 mdpl di dominasi oleh B. tabaci dan T. vaporarorium, sedangkan ketinggian di atas 1200 mdpl hanya di dominasi oleh T. vaporarorium. Hasil penelitian dalam Gambar 9 sesuai dengan pernyataan tersebut. Di daerah Cianjur dan Cipanas yang wilayahnya terletak pada ketinggian antara 1000-1200 mdpl, terdeteksi terinfeksi tunggal oleh ToCV. Sedangkan di daerah Lembang terinfeksi

tunggal oleh TICV karena wilayahnya berada di ketinggian lebih dari 1200 mdpl. Daerah Garut yang letak wilayahnya berada di ketinggian di atas 1200 mdpl,

terinfeksi ganda oleh kedua virus tersebut. Jika dilihat dari gejalanya, ToCV dan TICV tidak dapat dibedakan. Dalam

penelitian ini, dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer yang didesain khusus untuk ToCV dan TICV pada tanaman tomat, baik yang terinfeksi tunggal maupun yang terinfeksi ganda perbedaan kedua virus dapat dilihat. Perbedaannya dapat terlihat dari besarnya ukuran panjang pita DNA yang terbentuk setelah dilakukan amplifikasi dengan primernya masing-masing.

28

Dokumen terkait