• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Hijauan Tropis

Hasil analisis proksimat, Van Soest, dan tanin hijauan tropis yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Calliandra callothyrsus dan Melastoma candidum merupakan hijauan tropis yang digunakan sebagai perlakuan pada media cairan rumen, dan jenis hijauan lainnya adalah bahan pakan hijauan yang digunakan pada percobaan in vitro dan in sacco. Kandungan tanin yang dimiliki pada berbagai hijauan tersebut bervariasi. Umiyasih (2007) melaporkan bahwa kualitas suatu bahan pakan ditentukan oleh kandungan zat nutrien atau komposisi kimianya, serta tinggi rendahnya zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya.

Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat, Van Soest, dan Tanin (% BK)

Hijauan tropis BK Abu PK

1 SK1 LK2 NDF2 ADF2 Tanin3 GE2 % %BK Kal/g P. purpureum 18,66 7,72 11,66 26,40 3,08 73,76 59,29 0,40 3439 B. decumbens 19,36 5,15 5,49 31,22 2,47 77,84 65,62 0,12 3392 C. kyllinga 16,20 4,85 10,58 25,96 3,74 77,99 64,28 0,39 3336 L. leucocephala 33,42 6,58 23,69 15,11 6,45 69,50 57,78 0,67 3387 A. heterophyllus 39,25 8,02 15,08 19,64 3,54 70,17 58,02 0,40 3368 M. sepientum 24,80 11,43 17,07 19,54 6,73 70,33 52,52 0,04 3205 D. suffruticosa 35,24 8,13 9,44 19,05 1,72 73,48 64,53 4,81 3353 M. malabathricum 36,52 7,59 9,06 22,87 1,80 77,11 63,33 2,17 3097 S. baccatum 38,04 5,44 9,85 17,73 6,93 65,20 45,71 3,58 3206 Keterangan: 1Hasil analisis Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati, 2009

2Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, 2009 3Hasil analisis Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2009

Hasil evaluasi 9 jenis hijauan bahan pakan secara kimiawi menunjukkan bahwa kandungan protein terendah pada hijauan Brachiaria decumbens dan tertinggi pada hijauan Leucaena leucocephala. Kandungan serat kasar terendah pada hijauan Leucaena leucocephala dan tertinggi pada hijauan Brachiaria decumbens. Pakan yang mengandung ADF/NDF tinggi akan mengalami kecernaan yang rendah dibandingkan yang mengandung ADF/NDF rendah. Sapium baccatum memiliki kandungan ADF/NDF yang rendah dan Ciperus kyllinga memiliki kandungan ADF/NDF tertinggi.

21 Dari sembilan jenis hijauan pakan yang diuji, kandungan tanin terendah terdapat pada hijauan Musa sapientum dan tertinggi pada hijauan Dilenia suffruticosa.

Percobaan In Vitro Produksi Gas Total

Gas test adalah sebuah metode uji alternatif yang dapat dipilih untuk mengukur kecernaan pada hewan ruminansia dengan hasil relatif lebih cepat serta tidak memerlukan hewan percobaan. Prinsip dasar dari metode gas test merupakan pengembangan dari in vitro. Metode ini mencoba menyempurnakan sistem kerja dari metode in vitro sebelumnya, dengan mengukur volume gas yang dihasilkan sebagai parameter untuk menilai kecernaan. Kelebihan metode ini selain dapat menghitung kecernaan bahan, juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi termetabolis (EM) serta dapat pula untuk menghitung produksi asam lemak atsiri (volatile) atau VFA yang merupakan asam lemak penentu produksi dan kualitas susu dan daging (Sofyan dan Jayanegara, 2008).

Kelebihan lain dari metode gas test ini adalah dapat mengetahui aktivitas zat antinutrisi yang merupakan zat yang dapat menghambat proses pencernaan bahan pakan, seperti halnya pengujian pakan hijauan dari legum (kacang-kacangan) yang memiliki kadar tanin yang relatif tinggi. Dalam proses pencernaan, tanin menghambat proses penguraian bahan-bahan yang mengandung protein tinggi. Penambahan PEG (polyethylene glycol) sebagai zat yang dapat mengikat tanin, diharapkan dapat meningkatkan pola degradasi bahan kering (DBK). Cone et al. (1997) melaporkan bahwa level tertinggi produksi gas terjadi pada 2 jam pertama proses inkubasi yang disebabkan oleh kecepatan fraksi fermentasi dari bahan pakan (protein larut dan glukosa).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hijauan tropis, media cairan rumen, dan penambahan PEG berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total produksi gas (Tabel 3). Produksi gas tertinggi diperoleh pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) dan yang terendah pada hijauan Musa sapientum. Media cairan rumen yang telah terpapar tanin tehidrolisa menghasilkan total produksi gas yang tertinggi. Penambahan PEG juga mampu meningkatkan total produksi gas untuk semua sampel hijauan tropis yang difermentasi selama 24 jam.

22

Tabel 3. Hasil Total Produksi Gas

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum

- superskrip huruf kapital XYZ pada baris yang sama menunjukkan hubungan antar perlakuan yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital PQR pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital MN pada baris yang sama merupakan hubungan tanpa dan dengan PEG yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).

23 Ada interaksi antara jenis hijauan dengan media rumen yang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total produksi gas (Gambar 15). Produksi gas tertinggi diperoleh pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) pada media cairan rumen yang terpapar tanin tehidolisa. Hal ini berarti media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa mampu meningkatkan persentase DBK Artocarpus heterophylus (Ah) yang tercermin dari tingginya produksi gas total. Media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa mampu menghasilkan produksi gas yang lebih tinggi karena sifat tanin ini mudah terhidrolisis dan mempunyai ikatan molekul yang tidak sekuat tanin terkondensasi. Ada 6 jenis hijauan dengan pola produksi gas yang lebih tinggi pada media B3 dibanding media kontrol dan B2 yaitu Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum, Ciperus kyllinga, Pennisetum purpureum dan Artocarpus heterophyllus. Sebaliknya pada media cairan rumen yang mengandung tanin terkondensasi tidak menghasilkan produksi gas yang lebih tinggi dibandingkan dengan media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisis, ini diduga karena salah satu sifat tanin terkondensasi mempunyai ikatan yang cukup kuat dengan senyawa yang diikat dan tidak mudah larut.

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum

Gambar 15. Grafik Efek Media Cairan Rumen terhadap Total Produksi Gas

0 10 20 30 40 50 60 70 80 To tal G as

Jenis Hijauan Tropis

B1

B2

24 Tiemann et al. (2007) melaporkan bahwa Brachiaria decumbens tanpa penambahan tannin terkondensasi yang diinkubasi selama 24 jam menghasilkan gas 21,8 ml, Calliandra calothyrsus dengan penambahan tanin 25 mg/g DM menghasilkan gas 27,7 ml, sedangkan Leucaena leucocephala dengan penambahan tanin 25 mg/g DM menghasilkan gas 24,8 ml.

Gambar 16. Grafik Pengaruh Penambahan PEG terhadap Total Produksi Gas

PEG merupakan suatu zat yang sengaja ditambahkan untuk menekan aktivitas tanin. Indikasi tanin dapat menghambat kecernaan dapat dilihat dari penurunan produksi gas jika bahan pakan tidak ditambahkan PEG. Ada interaksi antara jenis hijauan dengan pemberian dan tanpa PEG (Gambar 16). Total produksi gas tertinggi terdapat pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) yang diberikan penambahan PEG. Ini membuktikan bahwa penambahan PEG pada proses fermentasi pakan yang mengandung tanin dapat menekan aktivitas tanin sehingga meningkatkan produksi gas yang menjadi indikator terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba dengan cukup baik. Ini sejalan dengan Tiemann et al. (2007) menyatakan bahwa penambahan level PEG meningkatkan produksi gas pada Calliandra calothyrsus dan F. macrophylla.

0 10 20 30 40 50 60 70 To tal Gas

Jenis Hijauan Tropis

PEG

25 Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hijauan tropis, media cairan rumen dan penambahan PEG berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhdap persen DBK (Tabel 4). Artocarpus heterophylus (Ah) mempunyai DBK tertinggi, dan persentase DBK terendah yaitu jenis hijauan D. suffruticosa (Ds). Media cairan rumen kontrol (B1) memiliki persen DBK tertinggi yang diikuti oleh media cairan rumen yang terpapa tanin terhidolisa dan media caian rumen yang terpapar tanin tekondensasi. Penambahan PEG juga dapat meningkatkan DBK.

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol

B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum

Gambar 17. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan dengan DBK 9 Jenis Hijauan Tropis Secara In Vitro

Interaksi antara media cairan rumen dengan sembilan jenis hijauan tropis (faktor A dan B) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase DBK (Gambar 17). Persentase DBK tertinggi terjadi pada hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) di dalam media cairan rumen B3 dan persen DBK terendah terjadi pada hijauan Dillenia suffruticosa (Ds) pada media cairan rumen kontrol. Ini menggambarkan bahwa hijauan tropis yang mengandung sedikit tanin mampu menghasilkan persen DBK yang tinggi jika berada pada media cairan rumen yang telah terpapar tanin terhidrolisa (B3). 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 P.p Musa sp B.d C.k L.l S.b M.mal D.s A.h B1 B2 B3

26

Tabel 4. Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Vitro

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum - superskrip huruf kapital MN pada baris yang sama merupakan hubungan antar perlakuan yang berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital PQR pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital XY pada baris yang sama merupakan hubungan tanpa dan dengan PEG (P<0,01) yang berbeda sangat nyata(P<0,01).

-superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01).

27 Hal ini disebabkan oleh kandungan tanin yang dimiliki oleh setiap jenis hijauan berbeda serta pengaruh dari kandungan serat kasar masing-masing hijauan tropis.

Gambar 18. Grafik Pengaruh Penambahan PEG pada Percobaan secara In Vitro

Interaksi antara penambahan PEG terhadap 9 jenis hijauan tropis berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persen DBK (Gambar 18). Persen DBK tertinggi pada hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) yang ditambah PEG dan persen DBK terendah pada hijauan Dillenia suffruticosa (Ds) yang diberi penambahan PEG yang diperlihatkan pada Gambar 4. Ini membuktikan bahwa penambahan PEG mampu meningkatkan persen DBK hijauan tropis. Tiemann et al. (2007) mengatakan bahwa suplementasi PEG cukup berpengaruh dalam pengikatan tanin terkondensasi. Nunez-Hernandez et al. (1991)melaporkan bahwa efek tanin terkondensasi pada Mountain mahogany dapat ditekan dengan penggunaan PEG.

Perbedaan kandungan tanin yang dimiliki oleh setiap jenis hijauan serta pengaruh dari kandungan serat kasar masing-masing hijauan tropis akan mempengaruhi persen DBK. Menurut Makkar et al. (1995), tanin yang rendah dapat berpotensi dalam peningkatan fermentasi rumen dan memaksimalkan sintesis protein mikroba. Pada penelitian ini A. heterophylus mengandung protein kasar 15,08% dan kadar tanin 0,40%. Pernyataan ini didukung oleh Wiryawan et al. (2000) yang melaporkan bahwa perbedaan sumber protein dan peningkatan kadar tanin sangat

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 P.p Musa sp B.d C.k L.l S.b M.mal D.s A.h

28 nyata berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan terlihat adanya interaksi antara tanin dengan sumber protein.

Korelasi antara total produksi gas dengan degradasi bahan kering (DBK) secara in vitro dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai koefisien korelasi antara total produksi gas dengan DBK in vitro yaitu 0,89. Ini berarti bahwa terdapat hubungan secara linear antara total produksi gas dengan degradasi bahan kering secara in vitro.

Gambar 19. Korelasi antara Total Produksi Gas dengan Degradasi Bahan Kering secara In Vitro

y = 0.895x - 0.647 R² = 0.713 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 60 70 DB K I n V itr o

29 Percobaan Pengukuran Degradasi Bahan Kering In Sacco

Pengukuran DBK selain dengan percobaan secara in vitro, juga dilakukan percobaan secara in sacco dengan menggunakan kantong nilon yang dimasukkan ke dalam rumen domba yang berfistula. Salah satu perbedaan proses in vitro dan in sacco yaitu pada percobaan secara in sacco masih terjadi proses fisiologis sedangkan secara in vitro proses fisiologis kurang sempurna.

Pada pengukuran DBK secara in sacco terdapat perbedaan 9 jenis hijauan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase DBK (Gambar 20). Berdasarkan hasil sidik ragam, DBK hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) paling tinggi dibanding DBK hijauan tropis lainnya. Sedangkan, Cyperus kyllinga (Ck) memiliki persentase DBK yang paling rendah.

Media cairan rumen yang digunakan memberi pengaruh terhadap DBK, media cairan rumen yang terpapar tanin terhidolisa (B3) menghasilkan DBK paling tinggi, sedangkan media cairan rumen yang terpapar tanin terkondensasi (B2) mempunyai DBK terendah (P<0,01).

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum

Gambar 20. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan DBK 9 Jenis Hijauan Tropis secara In Sacco

0 10 20 30 40 50 60 70 P.p Musa sp B.d C.k L.l S.b M.mal D.s A.h B1 B2 B3

30

Tabel 5. Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Sacco

Keterangan: - superskrip huruf kapital PQR pada baris yang sama merupakan hubungan antar perlakuan yang berbeda sangat nyata (P<0,01)

- superskrip huruf kapital KLM pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01)

- superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01)

31 Interaksi antara hijauan tropis dengan media cairan rumen berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase DBK, yaitu hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) pada media cairan rumen B3 menghasilkan persentase DBK tertinggi sedangkan persen DBK terendah yaitu hijauan Ciperus killynga pada media cairan rumen B2 yang ditampilkan pada Tabel 5. Hasil tersebut mengisyaratkan bahwa media cairan rumen yang telah dipapar tanin terhidrolisa memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan DBK sedangkan media cairan rumen yang dipapar tanin terkondensasi tidak memberikan efek yang baik terhadap persentase DBK. Ini disebabkan oleh pengaruh tanin terkondensasi yang mengikat protein sehingga menurunkan DBK. Tiemann et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan level tannin terkondensasi 100 mg/g DM yang berasal dari Calliandra calothyrsus mampu menurunkan DBK dari 760 mg/g hingga 350 mg/g campuran rumput B. Humidicola dan legume Vigna unguiculata. Ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh McDonald et al., (1994) bahwa komposisi kimia bahan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat degradasi dan kecernaan bahan makanan dalam rumen.

Dokumen terkait