• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arenga pinnata

Ggk,

Mengoverlay peta Kec. Munthe, Desa Kutambaru dengan peta sebaran aren

Potensi Tumbuhan Aren

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi tumbuhan aren di hutan adat Bentayan Desa Kutambaru dengan luas 2 Ha memiliki kerapatan 50 batang/Ha. Kerapatan aren di lokasi penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Lay et al. (2004) yang memperoleh aren 100 batang/Ha. Menurut Muhaemin (2012) jarak tanam ideal aren adalah 9 m x 9 m, dalam satu Ha aren yang ditanam sekitar + 123 batang. Tumbuhan aren yang diinventarisasi didominasi oleh anakan. Aren yang tidak produktif adalah yang paling sedikit ditemui di lapangan. Tabel 2 menunjukkan potensi tumbuhan aren di Desa Kutambaru.

Tabel 2. Potensi aren di Desa Kutambaru

No Jenis Jumlah Persentase (%)

1 Anakan 51 50,49

2 Produktif 38 37,63

3 Tidak Produktif 12 11,88

Total 101 100

Sumber : Analisis data primer,2014

Berdasarkan data yang diperoleh tumbuhan aren yang ditemui di lapangan ketersedian anakan lebih banyak jika dibandingkan dengan aren produktif dan tidak produktif. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut perkembangbiakan aren terjadi secara suksesi alam. Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dan Subahar (1995) apabila tumbuhan yang berusia muda lebih banyak maka pertumbuhan populasi akan meningkat dan menyebabkan kerapatan tinggi.

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan tumbuhan aren yang produktif memiliki ciri-ciri seperti daun bagian apikal masih terbentuk, memproduksi ijuk, memiliki bunga jantan dan bunga betina. Sedangkan aren yang tidak produktif bagian pucuk daun mati, ijuk tidak ada, bunga betina berguguran

dan bunga jantan tumbuh pada pangkal batang. Aren mulai produktif pada umur 12 – 50 tahun, apabila umur diatas 50 tahun maka aren tidak produktif. Hal ini sesuai dengan penelitian Aritonang (2013), Baharuddin dan Ira (2009) yang menyatakan bahwa tumbuhan aren akan memproduksi bunga pada umur 12 – 50 tahun dan merupakan aren yang produktif. Pada umur diatas 50 tahun aren mengalami masa pascareproduktif dimana aren tidak memproduksi bunga dan buah sehingga disebut aren tidak produktif. Gambar 4 menunjukkan perbedaan tumbuhan aren yang produktif dan tidak produktif.

(a) (b)

Gambar 4. (a) Aren produktif, (b) Aren tidak produktif

Tumbuhan aren yang dijumpai di lapangan tumbuh menyebar secara berkelompok. Hal ini didukung oleh penelitian Baharuddin dan Ira (2009), Muhaemin (2012) yang menyatakan bahwa penyebaran aren terjadi secara alami dengan bantuan binatang luwak (Paradoxurus hermaphroditua). Menurut Muhtar (2000) aren tumbuh berkelompok karena perilaku musang yang merupakan satwa malam hidup di atas pohon sehingga kotoran musang berada dibawah pohon dan berakibat pada penyebaran pertumbuhan aren di bawah naungan pohon. Anakan aren banyak dijumpai di sekitar tumbuhan produktif karena biji sebagai sumber benih akan jatuh disekitar aren sebagai tumbuhan baru dalam menjaga

ketersediaan aren. Gambar 5 menunjukkan anakan aren yang tumbuh secara alami.

(a) (b)

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan sebaran aren banyak dijumpai pada daerah berlereng yang dekat dengan aliran air. Hal ini sesuai dengan penelitian Sunanto (1993) yang mengatakan bahwa aren banyak dijumpai di daerah perbukitan yang lembab dan tumbuh secara individu maupun berkelompok di daerah tepian sungai. Menurut LIPI (1978) aren menyukai tempat dekat aliran sungai atau tempat terbuka dengan penyinaran matahari penuh. Gambar 6 menunjukkan sebaran aren yang ada di Desa Kutambaru.

Gambar 6. Sebaran aren di Desa Kutambaru

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, ditemukan tumbuhan aren yang tidak memiliki bunga betina. Hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa tumbuhan aren tanpa bunga betina memiliki kualitas nira rendah karena kadar gula rendah tetapi produksinya lebih tinggi. Aren tanpa bunga betina tidak disadap oleh masyarakat karena produk olahannya tidak laku di pasaran. Gambar 7 menunjukkan tumbuhan aren dengan bunga betina dan bunga jantan.

Gambar 7. Jenis bunga aren (a) Bunga betina, (b) Bunga jantan

Bunga betina muncul pertama kali pada ruas batang di ketiak pelepah daun dan bunga betina belum diserbuki oleh tepung sari bunga jantan karena bunga jantan belum tumbuh. Bunga jantan berbentuk panjang seperti peluru dengan panjang 1,2 – 1,5 cm dan berwarna ungu. Bunga jantan tumbuh di bawah bunga betina.

Pemanfaatan Tumbuhan Aren oleh Masyarakat

Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa pemanfatan aren di Desa Kutambaru belum optimal dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan aksesibilitas yang kurang baik dan topografi curam. Sehingga masyarakat lebih memilih memanfaatkan aren disekitar ladang mereka.

Masyarakat memanfaatkan aren hanya sebagai pekerjaan sampingan dan bersifat musiman. Masyarakat akan menyadap aren ketika tandan jantan ada dan berhenti menyadap setelah tandan habis.

Bagian tumbuhan aren yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kutambaru adalah daun, akar, ijuk dan air nira yang dihasilkan dari tandan bunga jantan. Air nira diolah menjadi minuman tradisional yang disebut dengan nama tuak atau diolah menjadi gula aren. Masyarakat Desa Kutambaru lebih banyak memanfaatkan air nira menjadi tuak karena dianggap lebih efisien, efektif dan lebih menguntungkan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yakni ada 2 responden yang mengolah nira menjadi tuak. Pengolahan nira lebih efektif karena waktu fermentasi yang diperlukan untuk membuat tuak hanya 14 jam. Dianggap lebih efisien karena tidak memerlukan kayu bakar dalam pengolahannya. Pengolahan nira menjadi tuak dianggap lebih menguntungkan karena permintaan konsumen yang tinggi.

Proses produksi nira

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyadapan aren dilakukan pada tandan bunga jantan. Tahap awal penyadapan adalah kegiatan persiapan penyadapan yang meliputi pembersihan tandan bunga dan pemukulan tandan agar diperoleh nira yang banyak. Masyarakat Desa Kutambaru menyadap bunga jantan dengan ciri-ciri bunga berwarna ungu dan jika dibelah maka benang sari didalamnya berwarna kuning. Gambar 8 merupakan bunga jantan yang siap untuk disadap.

Pembersihan tandan dilakukan pada bunga jantan yang belum pecah. Pembersihan dariijuk dan pelepah dilakukan untuk memudahkan penyadapan. Hal ini sesuai dengan penelitian Baharuddin dan Ira (2009) yang menyatakan bahwa tahapan dalam penyadapan adalah pembersihan tandan dari ijuk dan pelepah. Gambar 9 menunjukkan pembersihan tandan aren yang dilakukan penyadap aren.

Gambar 9. Pembersihan tandan aren dari ijuk

Setelah pembersihan selesai maka dilakukan pengayunan tandan 30–100 kali. Setelah itu dilakukan pemukulan menggunakan palu dari kayu atau masyarakat lokal menyebutnya pembalbal. Bentuk palu bulat panjang dengan panjang lebih kurang 35 cm dan berdiameter kira-kira 10 cm. Gambar 10 merupakan alat pemukul tandan yang digunakan dalam penyadapan nira.

Pemukulan dilakukan pada bagian batang dan tangan tandan bunga jantan. Pemukulan bagian batang dilakukan sebanyak empat kali dan bagian tangan tandan satu kali. Tujuannya melonggarkan pembuluh tapis dalam tangkai agar air keluar dengan lancar. Frekuensi pemukulan tandan yang dilakukan penyadap nira tidak sesuai dengan penelitian Baharuddin dan Ira (2009) yang menyatakan frekuensi pemukulan tandan dilakukan sebanyak 250 kali.

Pengayunan dan pemukulan dilakukan dua kali sehari pada pagi hari pukul 08.00 – 09.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 – 17.00 WIB. Pengayunan dan pemukulan dilakukan selama tiga minggu secara berturut-turut. Hal ini sesuai dengan penelitian Baharuddin dan Ira (2009) yang menyatakan bahwa pemukulan dan pengayunan dilakukan dua kali sehari selama tiga minggu. Gambar 11 merupakan tahap pengayunan dan pemukulan bunga jantan aren.

Setelah pengayunan dan pemukulan selama tiga minggu maka bunga jantan akan bermekaran. Pada tahap inilah dilakukan pemotongan tandan bunga aren berkisar + 10 cm dari tangkai bunga paling atas. Pemotongan tandan bunga jantan dapat dilakukan apabila bunga telah dikerumuni oleh lebah, bunga merekah dan mengeluarkan aroma nira. Gambar 12 menunjukkan tandan bunga jantan yang siap untuk dipotong.

Gambar 12.Bunga jantan siap dipotong

Tandan yang telah dipotong diberikan batang keladi dan kemiri yang telah dihaluskan,dengan cara mengoleskan dibagian bekas potongan tandan. Tujuan pemberian batang keladi dan kemiri untuk merangsang air nira.Penggantian batang keladi dan kemiri dilakukan dua kali dalam sehari bersamaan saat pengirisan tandan. Ukuran tandan yang diiris 0,1–0,3 cm tergantung pada banyak tidaknya air nira yang keluar. Jika produksi air nira yang dihasilkan banyak maka pengirisan setipis mungkin, tetapi jika produksi sedikit maka pegirisan tandan lebih tebal. Penelitian ini sesuai dengan Sunanto (1993) yang menyatakan bahwa setiap penyadapan dilakukan pengirisan pada tongkol agar air keluar dengan lancar karena pembuluh kapiler terbuka. Pada tahap ini nira tidak ditampung selama tiga hari karena kualitasnya belum baik. Menurut wawancara yang

dilakukan penampungan nira yang berkualitas baik dapat dilakukan ketika busa berwarna putih sudah keluar dari tandan hasil pemotongan.

Air nira ditampung dengan menggunakan jerigen, sebagai pengganti bumbung dari bambu yang sudah sulit untuk diperoleh. Sebelum menampung nira hasil sadapan, maka terlebih dahulu jerigen dimasukkan batang tuba (Derris eliptica) atau masyarakat setempat menyebutnya raru ndupar sepanjang 5– 7 cm dengan diameter 1 – 2 cm yang telah dimemarkan sebelumnya. Tujuan pemasukan Derris eliptica adalah untuk mengawetkan nira yang disadap agar tidak menjadi asam. Hal ini sesuai penelitian Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa sebelum penampungan nira jerigen diberi Derris eliptica untuk mencegah pertumbuhan jamur atau bakteri yang menyebabkan nira menjadi asam. Derris eliptica mengandung zat rotenone yang bersifat racun. Gambar 13 menunjukkan tumbuhan Derris eliptica yang digunakan penyadap nira di Desa Kutambaru.

Gambar 13.Tumbuhan Derris eliptica

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nira yang diolah menjadi gula aren menggunakan Derris eliptica yang dimemarkan, sedangkan untuk pengolahan nira menjadi tuak menggunakan Derris eliptica yang sudah dilarutkan dalam air.

Gambar 14 menunjukkanbahan pengawetyang digunakan saat menyadap nira di Desa Kutambaru.

(a) (b)

Gambar 14. Bahan pengawet nira (a) Derris eliptica gula aren, (b) Derris eliptica tuak Produksi nira pada pagi hari lebih banyak daripada sore hari. Penyadapan nira pada pagi hari menghasilkan nira sebanyak 5 liter dalam masa sadap selama 17 jam. Penyadapan sore hari menghasilkan nira sebanyak 3 liter dan lama penyadapan yang dilakukan 7 jam. Nira hasil sadapan lebih banyak pada pagi hari daripada sore hari karena perbedaan lama waktu penyadapan dan keadaan linkungan. Suhu udara penyadapan nira pada pagi hari lebih rendah dibandingkan suhu udara penyadapan sore hari sehingga penguapan lebih tinggi pada sore hari. Gambar 15 menunjukkan penampungan nira hasil sadapan pada pagi hari.

Gambar 15. Penampungan nira hasil sadapan pagi hari

Bumbung yang berisi nira hasil sadapan akan diturunkan dari batang aren kemudian dilakukan pengirisan tandan. Tandan yang baru diiris diberi sabun atau

kemiri yang fungsinya untuk merangsang peningkatan produksi nira. Gambar 16 merupakan pemberian sabun bagian tandan yang selesai diiris.

Setelah pengirisan selesai tandan dibungkus dengan daun atau plastik agar serangga tidak menghisap nira hasil sadapan. Sebelum mengolah hasil sadapan nira terlebih dahulu dilakukan penyaringan agar nira yang dihasilkan bersih. Gambar 17 merupakan proses penyaringan hasil sadapan nira.

(a)

Gambar 17. (a) Penyaringan nira, (b) Sisa saringan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tandan bunga jantan dapat disadap 3 – 4 bulan. Hal ini sesuai dengan penelitian Baharuddin dan Ira (2009) yang menyatakan bahwa pemanenan dapat dilakukan 3–4 bulan dalam 1 tandan bunga jantan. Penyadapan awal menghasilkan sedikit air nira kemudian produksinya

Gambar 16. Pemberian sabun pada tandan aren

akan meningkat pada pertengahan masa sadap dan mengalami penurunan pada masa akhir sadap.

Berdasarkan hasil wawancara dengan penyadap aren maka dalam satu hari petani mampu memproduksi 6–8 liter nira per batang. Produktivitas nira di Desa Kutambaru tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Lay et al. (2004) yang melakukan penelitian di Minahasa-Sulawesi Utara dimana hasil penelitiannya menunjukkan produksi nira 10 – 20 liter nira per batang per hari. Faktor yang menyebabkan kurangnya produktivitas aren adalah tempat tumbuh. Tumbuhan aren di Desa Kutambaru berada pada ketinggian 920 – 1080 m dpl, berdasarkan penelitian Sunanto (1993) aren akan berproduksi secara optimal dan tumbuh subur pada ketinggian 500 – 800 m dpl. Sedangkan pada daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 dan lebih dari 800 m dpl tumbuhan aren tetap tumbuh namun kurang berproduksi dengan baik.

Menurut pengalaman responden yang diwawancara, banyak tidaknya air nira yang dihasilkan tergantung pada diameter batang, tinggi batang dan jarak antar pelepah. Selain itu produktivitas nira juga dipengaruhi oleh cuaca dimana pada musim penghujan produksi nira meningkat akan tetapi kualitas menurun, sebaliknya musim kemarau produktivitas menurun kualitas meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Caliman (1998) yang menyatakan bahwa pertumbuhan aren hampir sama dengan sawit yaitu pada bulan kering terjadi penurunan produksi.

Untuk menjaga kualitas nira maka bumbung yang digunakan haruslah steril. Cara yang digunakan penyadap nira adalah dengan mencuci bumbung dengan nira yang sudah mendidih untuk pengolahan gula aren, sedangkan untuk

tuak dicuci menggunakan sabun dan air panas sampai bersih. Hal ini sesuai dengan penelitian Baharuddin dan Ira (2009) yang menyatakan bahwa kerusakan nira dapat dicegah dengan mencuci bumbung dengan air panas atau mengasapinya. Jika bumbung yang digunakan tidak bersih maka kualitas nira akan menurun. Nira dengan kualitas rendah jika diolah menjadi gula aren maka gula tidak dapat memadat, dan jika diolah menjadi tuak rasanya asam.

Pembuatan tuak

Pengolahan nira menjadi tuak terjadi karena adanya proses fermentasi. Proses fermentasi akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi kimia nira terutama kandungan sukrosa menjadi gula reduksi yaitu fruktosa atau glukosa. Menurut Sherve (1956) dalam Marzoeki (1993) monosakarida dalam bentuk fruktosa atau glukosa (C6H12O6) dapat langsung terfermentasi, tetapi disakarida seperti sukrosa (C12H22O11) harus dihidrolisis menjadi fruktosa dan glukosa. Reaksi kimia yang terjadi pada fermentasi nira adalah sebagai berikut :

C12H22O11+ H2O enzim invertase C6H12O6(glukosa dan fruktosa) C6H12O6 ragi C2H5OH (etilalkohol) + CO2 C2H5OH + O2 CH3COOH (asam asetat) + H2O

Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran yang digunakan dalam pembuatan tuak adalah niri batu (Xylocarpus moluccensis) atau dalam bahasa lokal disebut dengan raru sibolga. X. moluccensis dibeli dari Sumbul dengan harga Rp. 200.000,- per ikat. Satu ikat X. moluccensis dapat digunakan selama 2 bulan. X. moluccensis digunakan satu kali pemakaian dalam pembuatan tuak. Gambar 18 adalah pohon X. moluccensis yang digunakan sebagai bahan pengawet

Gambar 18. Morfologi Xylocarpus moluccensis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara pembuatan tuak yang dilakukan masih tradisional yakni dengan mencampurkan nira hasil sadapan dengan tuak yang murni. Perbandingan nira dengan tuak murni adalah 20 : 3. Waktu yang diperlukan untuk fermentasi tuak adalah 14 jam. Jika waktu fermentasi ditambah maka kandungan alkohol semakin tinggi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka dalam 1 hari penjual tuak melakukan pengolahan nira menjadi tuak sebanyak 2 kali yakni pada pagi hari pukul 09.00 WIB dan malam hari pukul 20.00 WIB. Gambar 19 menunjukkan proses pengolahan nira menjadi tuak.

(c) (d)

Gambar 19. Proses pembuatan tuak (a) Pemasukan Xylocarpus moluccensis, (b) Penuangan nira, (c) Penambahan tuak murni, (d) Pengadukan

Tuak yang sudah jadi, disimpan dalam wadah penyimpanan berupa tong yang bersih, agar tuak tidak terserang oleh Acetobacter sp. dan Saccharomyces sp. Hal ini sesuai dengan pendapat Baharuddin dan Ira (2009) yang menyatakan bahwa kontaminasi tuak dengan mikroorganisme Acetobacter sp. dan Saccharomyces sp. mengakibatkan tuak terasa sangat masam. Berdasarkan pengalaman responden, lamanya tuak yang sudah jadi dapat disimpan selama satu minggu, dengan syarat kebersihannya harus tetap dijaga. Apabila wadah yang digunakan tidak bersih maka tuak cepat mengalami kerusakan. Gambar 20 merupakan wadah penyimpanan tuak.

Gambar 20.Wadah penyimpan tuak

Berdasarkan wawancara dengan produsen dan konsumen tuak, penambahan kulit batang X. malaccensis mampu meningkatkan kadar alkohol dalam tuak.

Menurut Heyne (1987) kulit batang X. malaccensis berfungsi sebagai bahan pengawet agar tuak tahan lama, mencegah terbentuknya rasa asam dan menimbulkan cita rasa sepat/kelat serta dapat menutupi rasa asam nira.

Menurut Wibowo (2006) kemampuan mengawetkan nira dan rasa kelat terjadi karena X. malaccensis mengandung zat penyamak (tanin) yang mampu mengendapkan protein dan mengikat ion logam yang menghambat aktivitas enzim mikroorganisme. X. moluccensis mengandung tanin 24,38 – 27,19%. Selain itu X. moluccensis dapat dipakai sebagai obat penguat lambung dan penambah nafsu makan. Apabila tidak ada upaya pengawetan nira setelah pembentukan tuak, maka fermentasi akan terus berlangsung yang menghasilkan asam asetat, sehingga tuak terasa sangat asam. Asam asetat dihasilkan oleh aktivitas bakteri dari genus Acetobacter, dimana kondisi optimal pertumbuhannya pada konsentrasi alkohol encer 5% –10% suhu 30oC– 35oC. Kondisi tersebut sesuai dengan kondisi tuak yang mengandung alkohol encer 4%–5%.

Pemasaran tuak di Desa Kutambaru dilakukan dengan menjual langsung ke konsumen. Tuak sebanyak 2 liter dijual ke konsumen dengan harga Rp. 6.000,-. Dalam satu hari tuak yang terjual mencapai 40 liter. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang cukup tinggi maka produsen tuak membeli nira ke penyadap aren dengan harga Rp. 3.000,- per liter. Permasalahan yang dihadapi penjual tuak adalah kurangnya produksi nira dimana dalam satu hari nira yang disadap 8 liter, sedangkan kebutuhan konsumen 40 liter/hari. Cara mengawetkan tuak yang sudah jadi agar lebih tahan lama juga menjadi permasalahan apabila terjadi penurunan konsumen sehingga tuak tidak dapat habis terjual sebagaimana mestinya.

Pembuatan gula

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengolahan nira menjadi gula dilakukan berdasarkan keterampilan dan pengetahuan secara turun-temurun. Menurut Baharuddin dan Ira (2009) karena adanya fermentasi oleh Saccharomyces sp. maka nira hasil sadapan harus segera diolah paling lambat 90 menit setelah diambil dari batang aren. Nira dituang sambil disaring kedalam wajan di atas tungku perapian untuk segera dipanasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pengolahan nira menjadi gula aren dilakukan 3 hari sekali. Hal ini dilakukan agar gula aren yang diproduksi dalam jumlah banyak. Untuk mengantisipasi fermentasi oleh Saccharomyces sp. maka nira hasil sadapan pagi hari dipanasi selama 1 jam yaitu sampai mendidih dan digabungkan dengan hasil sadapan sore hari.

Berdasarkan penelitian Wibowo (2006) bahan pengawet yang digunakan adalah batang tuba (Derris eliptica) dalam bahasa lokal disebut raru ndupar yang tumbuh alami di hutan. Tumbuhan ini merupakan liana yang merambat pada pohon dengan panjang mencapai 20 m dan berdiameter 10 cm. Akar berwarna coklat kemerahan. Batang yang digunakan berdiameter 5 – 7 cm, dimemarkan kemudian dimasukkan ke dalam bumbung sebelum penyadapan dilakukan.

Tumbuhan tuba mengandung zat rotenone yang bersifat racun terhadap jamur dan bakteri. Meskipun mengandung rotenone yang bersifat racun belum pernah ditemui kasus keracunan pada manusia akibat mengkonsumsi gula aren. Diduga zat rotenone terurai akibat suhu tinggi pada saat pemasakan nira yang mencapai 110 – 1200C. Penggunaan tuba tidak disarankan pada minuman tuak,

karena dikhawatirkan dapat menyebabkan keracunan. Hal ini dapat terjadi karena pembuatan tuak tidak melalui proses pemanasan tetapi langsung dikonsumsi.

Pemanasan yang dilakukan dalam pengolahan nira menjadi gula arenselama 3–4 jam. Buih-buih yang ada saat pemanasan dibuang agar gula aren yang diperoleh tidak terlalu hitam dan kering. Menurut penelitian Baharuddin dan Ira (2009) pemasakan nira menjadi gula aren akan baik apabila dilakukan pada suhu lebih dari 100oC dan tidak melebihi 120oC. Gambar 21 menunjukkan pengolahan nira menjadi gula aren.

( c) (d)

(e)

Gambar 21. Proses pengolahan gula aren (a) Pemanasan 1½ jam, (b) 2½ jam, (c) 3 jam, (d) 4 jam, (e) Pendinginan 15 menit

Pada pemanasan 3½ jam ditambahkan kemiri 5 buah dengan cara diiris menggunakan pisau. Tujuan pemberian kemiri supaya gula aren yang dihasilkan berwarna menarik dan berminyak. Setelah pemanasan 3½ jam dilakukan pengadukan terus-menerus sampai gula siap untuk dicetak. Indikator gula siap dicetak yaitu jika sebagian gula diambil menggunakan pengaduk lalu dituangkan kembali, jatuhnya tidak terputus-putus seperti benang.

Gula aren yang sudah matang diangkat dari tungku perapian dan dibiarkan selama 15 menit sambil diaduk-aduk untuk proses pendinginan. Setelah itu dilakukan pencetakan. Sebelum melakukan pencetakan terlebih dahulu media cetak dibersihkan agar gula aren tidak lengket dengan media cetak. Gambar 22 merupakan proses pencetakan gula aren.

Pelepasan media cetak dilakukan setelah gula aren didinginkan kira-kira 15 menit setelah proses pencetakan selesai. Selanjutnya dilakukan pengepakan gula menggunakan pelepah batang pisang yang sudah kering. Gambar 23 menunjukkan gula yang siap untuk dikepak.

(a) (b)

Gambar 23. (a) Pelepasan alat cetak, (b) Pengepakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaduk dan alat cetak gula aren yang digunakan terbuat dari bambu. Masyarakat Desa Kutambaru menyebut alat cetak dengan nama tagan-tagan. Ukuran cetakan yang digunakan adalah ½ kg gula aren. Sendok yang digunakan dengan ukuran lebar 5 cm dan panjang 50 cm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan 30 liter nira akan menghasilkan 12 kg gula aren. Hal ini tidak sesuai bila dibandingkan dengan penelitian Mondoringin (2000) yang menyatakan konversi nira 10 liter akan menghasilkan gula aren sebanyak 1 kg. Untuk mengolah nira menjadi gula aren sebanyak 10– 12 kg membutuhkan kayu bakar 0,25 m3sama sama dengan penelitian Lay et al. (2004).

Berdasarkan penelitian Baharuddin dan Ira (2009) pengolahan gula aren dapat mengalami kegagalan. Hal ini dapat disebabkan oleh temperatur yang sangat tinggi melebihi 120oC dimana gula akan menjadi gosong yang ditandai dengan warna tua sampai hitam dan mengeluarkan aroma karamel. Faktor yang

kedua adalah nira yang diolah telah mengalami fermentasi dan berasa asam sehingga gula yang terbentuk tidak dapat menjadi padat. Gambar 24 merupakan bagan pembuatan gula aren.

Gambar 24. Bagan pembuatan gula aren

Dokumen terkait