• Tidak ada hasil yang ditemukan

µ = Rataan umum

HASIL DAN PEMBASAHAN

Pengaruh pemberian silase ransum terhadap persentase bobot hidup, bobot karkas, lemak abdomen, usus halus dan organ dalam ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Bobot Hidup, Persentase Bobot Karkas, Lemak Abdomen, Organ Vital dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler Umur 5 Minggu.

Perlakuan Peubah n

R0 R1 R2

Konsumsi ransum (g/ekor) 120 2168,85A ± 38,39 2011,09B ± 53,74 1897,16C ± 25,13

Bobot Hidup Akhir (g) 120 1468,10 ± 81,20 1402,05 ± 60,60 1400,30 ± 65,00

Karkas (g) 30 1012,20 ± 67,80 979,00 ± 62,80 950,60 ± 38,00

(%) 30 68,88 ± 1,27 68,07 ± 2,32 67,90 ± 1,60

Non Karkas (%) 30 31,12 ± 1,21 31,93 ± 1,58 32,08 ± 1,61

Lemak Abdomen *)(g) 30 22,11A ± 3,10 13,64B ± 1,63 11,45B ± 2,65

(%) 30 1,51A ± 0,17 0,99B ± 0,09 0,81B ± 0,18

Bobot Organ Vital (g) 30 37,69 ± 5,42 40,43 ± 6,57 39,98 ± 4,41

(%) 30 2,57 ± 0,16 2,96 ± 0,30 2,86 ± 0,03

Bobot Usus (g) 30 41,07 ± 4,41 42,74 ± 5,85 38,54 ± 4,78

(%) 30 2,81 ± 0,37 3,14 ± 0,42 2,75 ± 0,28 Keterangan: R0: Ransum komersial tanpa fermentasi; R1: Ransum campuran dengan rasio 50 %

ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial); R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial).

*)

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01).

Bobot Hidup Akhir

Bobot badan akhir merupakan ukuran yang digunakan untuk menilai keberhasilan suatu usaha peternakan. Bobot badan akhir akan menentukan harga jual ternak, sehingga mempengaruhi besar kecilnya pendapatan peternak. Perlakuan ransum tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap bobot hidup ayam broiler umur lima minggu. Hasil ini mengindikasikan bahwa ayam dapat memanfaatkan kandungan nutrisi pada ransum silase seperti halnya ransum komersial, meskipun

21 sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol (2011,09 dan 1897,16 vs 2168,85 gram) (Rahmania, 2006). Hal ini mengindikasikan bahwa ayam broiler yang diberi perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial lebih efisien dalam mencerna zat makanan. Silase dapat menghasilkan asam organik yang bermanfaat bagi tubuh ternak, menurut Gauthier (2002) asam organik tersebut memiliki antibakterial yang kuat, sehingga dapat menekan bakteri patogen didalam saluran pencernaan. Selain itu silase juga mengandung bakteri asam laktat yang dapat berperan sebagai probiotik Menurut Fuller (1992) probiotik dapat meningkatkan pertumbuhan dan penampilan ternak. Buhr et al. (2006) yang menambahkan 0,10 % botanical probiotik (Feed FreeTM) yang terdiri dari Lactobacillus dalam ransum menghasilkan pertumbuhan yang sama dengan ransum basal yang diberi penambahan antibiotik dan Coccsidiostat, juga ditemukannya populasi Lactobacillus yang lebih tinggi.dan populasi Clostridium perfringens yang lebih rendah pada kloaka dengan penambahan 0,10 % botanical probiotik dalam ransum ayam broiler dibandingkan dengan kontrol.

Rendahnya rataan bobot hidup ayam yang diberi perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial diduga disebabkan lebih rendahnya konsumsi ransum ayam yang diberi perlakuan 50 dan 100 % silase ransum (P<0,01) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (2011,09 dan 1897,16 vs 2168,85 gram). Daghir (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan erat dengan konsumsi ransum yang diperkirakan 63% dari penurunan pertumbuhan disebabkan karena menurunnya konsumsi ransum. Menurunnya konsumsi ransum akan mengakibatkan rendahnya konsumsi nutrein atau energi yang dibutuhkan sehingga produktivitas ternak dalam hal ini bobot badan akan terhambat. Penurunan konsumsi ransum tersebut diduga terdapat dua penyebab. Penyebab pertama yaitu karena mekanisme dari beberapa fungsi probiotik (bakteri asam laktat) yaitu memperbaiki saluran pencernaan serta merangsang produksi enzim untuk mencerna ransum, yang menyebabkan proses pencernaan dalam usus menjadi semakin baik (Seifert dan Gessler, 1997), dari hal ini diduga makanan yang dikonsumsi akan lebih lama tinggal di dalam usus atau laju ransum tersebut menjadi lebih lambat sehingga konsekuensinya konsumsi ransum ayam tersebut akan menurun. Penyebab kedua diduga karena rasa asam yang menyengat akibat pH ransum yang rendah yaitu sekitar 3,72 - 4,0 sehingga dapat menurunkan palatabilitas.

Menurut Chruch (1991) bahwa palatabilitas ransum dipengaruhi oleh bentuk, bau, rasa dan tekstur makanan yang diberikan. Menurut Amrullah (2003) lidah unggas juga memiliki sistem perasa berupa gustative or taste buds untuk mengenali rasa makanannya, sementara indera penciumannya kurang berkembang, penerimaan unggas terhadap makanan dipengaruhi oleh rasa dan teksturnya, akibat yang dirasakan setelah makanan ditelan, meskipun jumlah titik perasa lebih sedikit dibandingkan dengan hewan lain akan tetapi sensitifitasnya lebih tinggi. Syaraf- syaraf di bagian kepala menangkap informasi rasa yang mempunyai sensitifitas berbeda terhadap rasa manis, pahit, asam, asin dan rasa lainnya.

Bobot Karkas

Perlakuan ransum tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap bobot karkas ayam broiler umur lima minggu. Hal ini dapat dipahami, karena persentase bobot karkas merupakan perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup, sehingga bobot hidup yang besar akan diikuti pula oleh bobot karkas yang besar pula, dan sebaliknya. Pada bobot hidup yang tidak berbeda umumnya persentase karkas tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahju (1992) bahwa tingginya bobot karkas ditunjang oleh bobot hidup akhir sebagai akibat pertambahan bobot hidup ternak bersangkutan.

Persentase bobot karkas ayam broiler yang diperoleh dari penelitian ini bekisar antara 67,92 - 68,92 % dari bobot hidup. Nilai ini berada pada kisaran hasil yang dilaporkan oleh Pesti et al. (1997) yaitu berkisar antara 60,52 - 69,91 % dari bobot hidup. Persentase bobot karkas yang mendapat perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum kontrol. Hal ini dikarenakan oleh lebih tingginya persentase bobot organ pencernaan, komponen non karkas dan organ vital pada ayam yang diberi perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial (Tabel 3). Menurut Soerparno (1994) persentase karkas biasanya meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup, tetapi persentase bagian non karkas seperti darah dan organ vital menurun.

Salah satu faktor yang mempengaruhi persentase karkas ayam broiler adalah kualitas ransum. Kadar air dari ransum silase lebih tinggi dibandingkan dengan ransum tanpa fermentasi. Data mengenai persentase kadar air ransum dan kadar air

23 Tabel 4. Kadar Air Ransum, Kadar Air Daging Dada dan Kadar Protein

Daging Dada Ayam Broiler Umur Lima Minggu Perlakuan Peubah

R0 R1 R2

Kadar air ransum (%) 13,5 32, 4 51,7

Kadar air daging dada (%) 72,48A ± 0,71 74,99B ± 0,30 76,13B ± 0,57 Kadar protein daging dada (%) 15,42 16,19 17,31

Keterangan : R0: Ransum komersial tanpa fermentasi; R1: Ransum campuran dengan rasio 50 % ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial); R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata

(P<0,01).

Berdasarkan Tabel 4, kadar air daging dada yang diberi perlakuan silase ransum komersial sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (74,99 dan 76,13 % vs 72,48 %). Nilai ini berada pada kisaran hasil yang didapatkan oleh Anggorodi (1980) yaitu berkisar antara 70 – 77 %. Mountney (1976) menyatakan, bahwa otot mengandung sekitar 75 % air (dengan kisaran antara 65-80%) terhadap bobot badan. Kadar air yang tinggi dapat dijadikan indikasi daya mengikat air yang baik. Hal ini berarti bahwa air yang terikat oleh protein lebih banyak pada daging perlakuan silase ransum komersial, sehingga kadar airnya relatif lebih tinggi. Soeparno (1994) menyatakan bahwa kemampuan daging mengikat air salah satunya disebabkan oleh protein otot. Daya mengikat air daging tergantung dari banyaknya gugus reaktif protein. Sekitar 34 % dari protein ini larut dalam air. Tabel 4 menunjukkan bahwa protein daging perlakuan ransum silase relatif lebih tinggi dibanding dengan perlakuan ransum tanpa fermentasi, sehingga diduga DIA daging perlakuan ransum silase lebih tinggi. Semakin tinggi DIA daging maka kualitas daging semakin baik. Berdasarkan hal tersebut maka kualitas daging pada perlakuan silase ransum komersial lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol (ransum komersial tanpa fermentasi).

Lemak Abdomen

Kontrol deposisi lemak abdominal pada ayam broiler bertujuan untuk efisiensi pembentukan jaringan otot atau daging yang lebih menguntungkan. Penurunan lemak abdominal merupakan hal yang menguntungkan, karena akan

memperbaiki kualitas karkas dengan menghasilkan daging yang rendah lemak (Sanz, et.al., 2000).

Perlakuan sangat nyata (P<0,01) berpengaruh terhadap persentase bobot lemak abdominal. Berdasarkan Tabel 3, terlihat penurunan persentase lemak abdominal sejalan dengan meningkatnya pemberian silase ransum sampai taraf 100%. Rataan persentase lemak abdominal perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial nyata (P<0,01) lebih rendah dari perlakuan kontrol (0,81 dan 0,99 % vs 1,51 %). Persentase lemak abdominal paling tinggi pada perlakuan kontrol (R0) yaitu sebesar 1,51 % sedangkan paling rendah yaitu pada perlakuan pemberian silase ransum 100 % (R2) yaitu sebesar 0,81 %. Perlakuan ransum silase dapat menurunkan persentase lemak abdominal jika konsentrasi pemberian ransum silase lebih dari 50%.

Rendahnya persentase lemak abdominal pada ayam broiler yang mendapat perlakuan ransum silase ini mengindikasikan terdapatnya produk metabolisme dari ransum silase yang dapat menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol. Pada silase banyak mengandung asam organik, khususnya asam laktat sebagai hasil dari aktivitas bakteri asam laktat di dalamnya. Asam laktat yang tinggi akan menghambat pembentukan energi khususnya glikolisis yang mengakibatkan penurunan trigliserida dan asetil KoA, padahal energi dan asetil KoA merupakan komponen penting dalam biosintesis lipida tubuh, termasuk juga lemak abdominal sebagai deposit lemak dalam tubuh ayam. Menurut Mohan et al. (1996) dan Santoso (2002) menyatakan bahwa penambahan produk fermentasi dapat menurunkan kadar kolesterol ayam broiler melalui mekanisme penghambatan aktivitas enzim yang berperan dalam biosintesis kolesterol (3-hidroksi 3-metilglutaril KoA reduktase) atau melalui mekanisme peningkatan asam empedu. Peningkatan asam empedu akan meningkatkan ekskresi kolesterol sehingga kadar kolesterol pada jaringan menurun (de Roos dan Katan, 2000).

Menurut Sibuea (2002), mekanisme penurunan kadar kolesterol disebabkan adanya beberapa jenis bakteri menguntungkan diantaranya yaitu bakteri asam laktat yang diduga mampu melakukan metabolisme kolesterol dari makanan dalam usus sehingga tidak diserap dalam usus. Selain itu bakteri asam laktat mampu melakukan dekonyugasi garam empedu dalam usus halus untuk mencegah absorpsi kembali oleh

25 tubuh sehingga merangsang hati untuk mensintesis garam empedu dari kolesterol tubuh. Hal ini menyebabkan menurunnya kandungan kolesterol tubuh secara keseluruhan.

Penurunan persentase lemak abdominal juga diduga disebabkan karena mekanisme fermentasi bakteri asam laktat pada ransum silase yang terjadi didalam intestinal berlangsung dengan intensif, yang selanjutnya produk-produk fermentasi terutama asam laktat ini akan menyebabkan suasana lingkungan usus halus menjadi relatif lebih asam atau memiliki pH yang lebih rendah. Linder (1992) menyatakan bahwa proses pencernaan lemak dalam usus meliputi pemecahan lemak makan menjadi asam-asam lemak, monogliserida dan lain-lain melalui kerja sama antara garam-garam empedu dan lipase di dalam usus terjadi dalam lingkungan dengan pH yang tinggi karena adanya sekresi bikarbonat. Berdasarkan pernyataan tersebut maka diduga proses pencernaan lemak dalam usus broiler yang mengalami perlakuan ransum silase menjadi terhambat karena kondisi lingkungan ususnya memiliki pH yang lebih rendah, sehingga proses penyerapan lemak sebagai sumber energi terbesar ikut terhambat pula, yang selanjutnya jumlah energi berlebih yang dapat dideposit dalam bentuk lemak tubuh akan ikut menurun.

Organ Dalam Ayam Broiler

Organ dalam pada ayam antara lain hati, jantung, limpa dan bursa Fabricius (North dan Bell, 1990). Pengaruh pemberian silase ransum terhadap persentase bobot hati, jantung dan limpa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 5 Minggu

Perlakuan Peubah R0 R1 R2 Hati (g) 31,30 ± 3,91 31,79 ± 5,40 29,23 ± 4,45 (%) 2,00 ± 0,11 2,32 ± 0,28 2,08 ± 0,24 Jantung (g) 6,86 ± 0,24 7,09 ± 0,77 6,70 ± 0,45 (%) 0,50 ± 0,07 0,51 ± 0,03 0,49 ± 0,03 Limpa (g) 1,82 ± 0,26 1,55 ± 0,40 1,76 ± 0,52 (%) 0,12 ± 0,02 0,10 ± 0,01 0,13 ± 0,03

Keterangan: R0: Ransum komersial tanpa fermentasi; R1: Ransum campuran dengan rasio 50 % ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial); R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial)

Bobot Hati

Persentase pemberian silase ransum yang diberikan tidak berpengaruh terhadap persentase bobot hati ayam broiler. Tidak berbedanya persentase bobot hati antar perlakuan menunjukkan bahwa kerja hati pada pemberian silase ransum pada taraf 50-100 % adalah sama, yang mengindikasikan bahwa tidak ada zat anti nutrisi pada silase sehingga aman untuk ayam. Hal ini didukung dengan tidak adanya kelainan fisik yang ditandai dengan tidak adanya perubahan konsistensi serta organ hati berwarna coklat kemerahan. Menurut McLelland (1990), hati yang normal berwarna coklat kemerahan atau coklat terang dan apabila terjadi keracunan warna hati akan berubah menjadi kuning. Kelainan-kelainan hati secara fisik biasanya ditandai dengan adanya perubahan warna hati, pembengkakan dan pengecilan pada salah satu lobi atau tidak adanya kantung empedu. Gejala-gejala klinis pada jaringan hati tidak selalu teramati karena kemampuan regenerasi jaringan hati sangat tinggi (Subronto, 1985).

Persentase bobot hati yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 1,99- 2,32 % (Tabel 5). Nilai ini berada pada kisaran hasil yang dilaporkan oleh Putnam (1991) yaitu berkisar antara 1,7 - 2,8 % dari bobot hidup. Penelitian Hasanah (2002) menghasikan rataan persentase bobot hati dengan pemberian silase ikan-tape ubi kayu pada taraf 30 % adalah 2,88 % dari bobot hidup.

Bobot Jantung

Persentase bobot jantung ayam pada penelitian ini tidak berbeda untuk setiap perlakuan. Rataan persentase jantung yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0,47-0,52 % (Tabel 5). Penelitian Hasanah (2002) menghasikan rataan persentase bobot jantung dengan pemberian silase ikan-tape ubi kayu pada taraf 30% adalah 0,69 % dari bobot hidup.

Persentase bobot jantung pada penelitian ini berada dalam kisaran normal dan tidak terlihat adanya kelainan-kelainan fisik pada jantung. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa pemberian silase ransum sampai taraf 100 % tidak mengandung racun dan zat antinutrisi sehingga tidak menyebabkan kontraksi yang berlebihan pada otot jantung. Frandson (1992) menyatakan bahwa jantung sangat rentan terhadap racun dan zat antinutrisi, pembesaran jantung dapat terjadi karena adanya

27

Bobot Limpa

Pemberian silase ransum tidak berpengaruh terhadap persentase bobot limpa. Hal ini menunjukkan bahwa silase tidak mengandung zat anti nutrisi maupun racun yang dapat menyebabkan penyakit pada ayam. Salah satu fungsi limpa adalah membentuk zat limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi. Limpa akan melakukan pembentukan sel limfosit untuk membentuk antibodi apabila ransum toksik, mengandung zat antinutrisi maupun penyakit. Aktivitas limpa ini mengakibatkan limpa semakin membesar atau bahkan mengecil ukurannya karena limpa terserang penyakit atau benda asing tersebut (Ressang, 1984).

Rataan persentase bobot limpa ayam broiler pada penelitian ini berkisar antara 1,10 - 1,13 % dari bobot hidup (Tabel 6). Nilai ini berada pada kisaran hasil yang dilaporkan oleh Putnam (1991) yaitu berkisar antara 0,18 - 0,23 % dari bobot hidup. Persentase bobot limpa tertinggi yaitu pada pemberian 100 % silase ransum komersial sebesar 1,13 %. Pada pemberian silase ransum pada taraf 100 % (R2) persentase bobot limpa lebih besar bila dibandingkan dengan perlakuan R0 dan R1 meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Pada pemberian 100 % silase ransum komersial, kerja limpa dalam pembentukan antibodi meningkat, hal ini disebabkan kandungan asam organik yang terdapat dalam silase mampu memacu kerja limpa dalam membentuk antibodi. Rahmania (2006) menyatakan bahwa pada perlakuan silase ransum tingkat mortalitas berjumlah satu ekor (0,67 %) dari 120 ekor ayam yang dipelihara selama penelitian. Ternak yang mati bukan disebabkan oleh perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa silase ransum mampu meningkatkan sistem kekebalan ayam broiler. Peningkatan persentase limpa pada pemberian silase ransum 100% juga disebabkan karena sel darah merah banyak tersimpan dalam limpa. Sesuai dengan salah satu fungsi limpa adalah sebagai organ penyaring darah dan penyimpanan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin (Frandson, 1992).

Persentase Bobot dan Ketebalan Saluran Pencernaan ayam Broiler

Saluran pencernaan pada ayam broiler terdiri dari mulut, kerongkongan, tembolok, proventikulus, rempela, usus halus, usus buntu, usus besar, kloaka

dan anus. Pengaruh pemberian silase ransum terhadap persentase bobot rempela, usus halus, usus buntu (seka) dan ketebalan usus halus dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Bobot dan Ketebalan Saluran Pencernaan Ayam Broiler Umur Lima Minggu

Perlakuan Peubah R0 R1 R2 Rempela (g) 23,64 ± 1,40 21,92 ± 2,88 23,69 ± 2,30 (%) 1,61 ± 0,11 1,60 ± 0,13 1,64 ± 0,13 Bobot Usus (g) 41,07 ± 4,41 42,74 ± 5,85 38,54 ± 4,78 (%) 2,81 ± 0,37 3,14 ± 0,42 2,75 ± 0,28 Ketebalan Usus Halus (g/cm) 0,24 ± 0,02 0,24 ± 0,03 0,23 ± 0,01 Bobot Usus Buntu (seka) (g) 7,75 ± 1,37 7,91 ± 1,40 7,42 ± 1,66 (%) 0,45 a ± 0,05 0,53 ab ± 0,08 0,61b ± 0,06

Keterangan: R0: Ransum komersial tanpa fermentasi; R1: Ransum campuran dengan rasio 50 % ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial); R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial)

*)

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Bobot Rempela (Gizzard)

Perlakuan ransum pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap persentase bobot rempela ayam broiler. Rataan persentase bobot rempela ayam broiler yang diperoleh pada penelitian berkisar antara 1,60 - 1,64 % dari bobot hidup. Nilai ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Putnam (1991) yaitu berkisar antara 1,6 - 2,3 % dari bobot hidup.

Tidak adanya perbedaan bobot rempela antar perlakuan R2, R1 dan R0 karena laju pertumbuhan maupun bobot badan akhir broiler yang mendapatkan perlakuan tersebut tidak berbeda. Selain itu, diduga kandungan serat kasar ransum pada setiap perlakuan relatif sama sehingga aktivitas rempela untuk mencerna makanan tidak mengakibatkan penebalan urat daging rempela yang dapat menyebabkan pembesaran ukuran rempela. Proses pemecahan partikel ransum dapat dibantu oleh adanya kerikil (grit) yang ada dalam rempela (Akoso, 1993). Menurut Sturkie (1976) grit mempunyai peranan yang penting untuk mengoptimalkan pencernaan di dalam rempela karena dapat meningkatkan motilitas dan aktivitas menggiling dari rempela dan meningkatkan kecernaan ransum berupa bijian dan

29

Bobot dan Ketebalan Usus Halus

Pemberian silase ransum tidak berpengaruh terhadap persentase bobot usus halus dan ketebalan usus halus ayam broiler. Rataan persentase bobot usus halus yang dihasilkan pada penelitian ini adalah berkisar antara 2,75 - 3,14 % dari bobot hidup dengan ketebalan usus halus berkisar antara 0,229 - 0,239 g/cm. Usus halus ayam broiler yang diberi perlakuan silase ransum lebih tipis dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerapan zat makanan di dalam usus halus ayam broiler yang mendapat perlakuan silase ransum lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hal ini diduga karena mekanisme probiotik yaitu memperbaiki saluran pencernaan serta merangsang produksi enzim untuk mencerna ransum, yang menyebabkan proses pencernaan dalam usus menjadi semakin baik (Seifert dan Gessler, 1997).

Silase dapat menghasilkan asam organik yang bermanfaat bagi tubuh ternak, menurut Gauthier (2002) asam organik memiliki antibakterial yang kuat, sehingga dapat menekan bakteri patogen didalam saluran pencernaan. Hasil penelitian Berchieri (2000) menyatakan bahwa ayam yang diberikan asam organik dalam ransumnya sebesar 0,8 % yang terdiri dari 70 % asam format dan 30 % asam propionat tidak ditemukan bakteri Salmonella dalam usus dan dapat menghambat bakteri patogen dalam saluran pencernaan.

Bobot Usus Buntu (Seka)

Persentase organ seka sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi untuk ayam yang mendapat perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial dibandingkan dengan perlakuan kontrol (0,53 dan 0,61 % vs 0,45 %). Semakin tinggi taraf pemberian silase ransum sampai taraf 100 %, maka persentase bobot seka semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme yang ada dalam silase ransum menstimulir seka untuk berfungsi lebih aktif sehingga zat ransum lebih banyak diserap. Seka berperan dalam pencernaan makanan yang tidak tercerna pada organ pencernaan sebelumnya terutama serat kasar dengan bantuan bakteri (fermentasi) (McLelland, 1990). Rose (1997) menyatakan bahwa proses fermentasi memungkinkan terjadi di seka yang menghasilkan VFA (Volatile Fatty Acid) dan VFA tersebut akan diserap oleh mukosa dan menjadi salah satu sumber energi namun dalam jumlah yang sangat terbatas.

Dokumen terkait