PERSENTASE BOBOT KARKAS, LEMAK ABDOMEN DAN
ORGAN DALAM AYAM BROILER DENGAN PEMBERIAN
SILASE RANSUM KOMERSIAL
PERSENTASE BOBOT KARKAS, LEMAK ABDOMEN DAN
ORGAN DALAM AYAM BROILER DENGAN PEMBERIAN
SILASE RANSUM KOMERSIAL
FAISAL NUR IHSAN
D14102032
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PERSENTASE BOBOT KARKAS, LEMAK ABDOMEN DAN
ORGAN DALAM AYAM BROILER DENGAN PEMBERIAN
SILASE RANSUM KOMERSIAL
FAISAL NUR IHSAN D14102032
Skripsi telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan Pada tanggal 22 Agustus 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ir. Rukmiasih, MS Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
NIP. 131 284 604 NIP. 131 625 429
RINGKASAN
FAISAL NUR IHSAN. D14102032. 2006. Persentase Bobot Karkas, Lemak Abdomen dan Organ Dalam Ayam Broiler dengan Pemberian Silase Ransum Komersial. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing utama : Ir. Rukmiasih, MS. Pembimbing anggota : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.
Permasalahan dalam usaha pengembangan peternakan ayam broiler adalah pemenuhan kebutuhan akan pakan yang berkualitas tinggi sampai sekarang masih bergantung pada bahan pakan impor serta penggunaan feed additive berupa antibiotik dapat menimbulkan residu pada produk akhir peternakan. Sehubungan dengan hal diatas maka perlu dicari teknologi alternatif yang dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, salah satunya adalah dengan teknologi silase.
Silase merupakan ransum berkadar air tinggi yang diperoleh dari proses fermentasi secara terkontrol (an-aerob), kemudian akan terjadi proses ensilase yaitu pembentukan asam organik terutama asam laktat oleh bakteri asam laktat. Pengolahan dan pemberian ransum unggas dalam bentuk silase akan memberi beberapa keuntungan. Silase dapat dijadikan sebagai probiotik sehingga dapat memperbaiki keseimbangan mikroorganisme dalam saluran pencernaan. Kandungan asam organik pada silase diduga dapat meningkatkan kualitas karkas, yaitu dapat menurunkan kandungan lemak abdominal ayam broiler. Keuntungan lainnya yaitu dari segi penyimpanan lebih tahan lama karena bakteri-bakteri pembusuk yang tidak tahan terhadap pH rendah akan terhambat pertumbuhannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui taraf pemberian silase ransum yang terbaik serta pengaruhnya terhadap bobot karkas, lemak abdomen, organ dalam dan saluran pencernaan. Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas Laladon dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2005 sampai dengan Januari 2006. Penelitian menggunakan 120 ekor ayam broiler strain Cobb 500, ransum komersial dengan kandungan protein kasar 23,21% dan energi bruto 4.284 Kkal/kg. Ransum dan air minum diberikan ad libitum. Kandang yang digunakan sebanyak 15 petak dengan masing-masing petak berisi 8 ekor ayam yang dilengkapi dengan tempat ransum dan tempat minum. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 taraf perlakuan (ransum komersial tanpa fermentasi (R0); ransum campuran dengan rasio 50% ransum komersial : 50% ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial) (R1); dan ransum komersial yang dibuat silase (100% silase ransum komersial) (R2)) terdiri atas 5 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 8 ekor ayam. Untuk mengetahui perbedaan rataan perlakuan satu dengan yang lainnya dilakukan uji kontras ortogonal. Peubah yang diamati terdiri atas persentase bobot karkas, lemak abdomen, organ dalam (hati, jantung, limpa, dan empedu) dan saluran pencernaan.
pada perlakuan yang diberikan silase ransum komersial (R1 dan R2) sangat nyata lebih rendah daripada perlakuan ransum komersial (0,81 dan 0,99% vs 151%), sedangkan persentase bobot seka pada perlakuan yang diberikan silase ransum komersial (R1 dan R2) sangat nyata lebih tinggi daripada perlakuan ransum komersial (0,53 dan 0,6% vs 0,45%). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian silase ransum komersial sampai level 100% dapat diterima oleh ayam broiler tanpa berpengaruh negatif terhadap bobot karkas dan organ dalam, serta dapat menurunkan lemak abdomen ayam broiler.
ABSTRACT
Percentage of Carcass Weight, Viscera and Abdomen Fat of Broiler Fed Silage Commercial Diet
F. N. Ihsan, Rukmiasih and Nahrowi
The experiment was conducted to evaluate the effect of silage commercial diet on percentage of carcass, abdomen fat and viscera of broiler. The experiment was conducted in Completely Randomized Design using 120 day old chicks (DOC) Cobb 500 strain. The animals were divided into three treatments of rations, namely: R0 (0% silage commercial diet), R1 (50% silage commercial diet) and R2 (100% silage commercial diet). The results showed that there was no significant different among treatments on percentage of carcass weight. The treatments however significantly (P<0.01) influenced percentage abdomen fat weight. The broilers fed silage commercial diet produced lower abdomen fat compared to the broilers fed commercial diet (11.45 and 13.64 vs. 22.11 gram). It is concluded that silage commercial diet could be used up to 100% for broiler ration without negative effect on carcass yields and viscera.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Maret 1985 di Garut Jawa Barat. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Rachmat
Sulaeman dan Ibu Teti Yuningsih.
Pendidikan kanak-kanak diselesaikan di TK Aisiyah 1 pada tahun 1990,
dilanjutkan dengan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 1 dan lulus pada tahun
1996. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di
SLTPN 1 Garut dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun
2002 di SMUN 1 Tarogong, Garut.
Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan di IPB penulis aktif di beberapa kegiatan
kemahasiswaan yaitu di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER)
Fakultas Peternakan IPB tahun 2003-2004, Organisasi Mahasiswa Daerah Garut
(HIMAGA) IPB tahun 2002-2006, Unit Kreativitas Mahasiswa Seni Music
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan dan kemampuanNya yang tidak terhingga kepada penulis
sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar.
Skripsi yang berjudul Persentase Bobot Karkas, Lemak Abdomen dan
Organ Dalam Ayam Broiler dengan Pemberian Silase Ransum Komersial ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan pada
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan dari bulan
Desember sampai Januari 2006. Penelitian ini dilaksanakan di kandang unggas
Laladon, Jalan Bukit Asam Ujung, Kompleks Laladon, Kecamatan Ciomas,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Permasalahan dalam pengembangan peternakan ayam broiler adalah
pemenuhan akan ransum yang berkualitas tinggi yang masih bergantung pada bahan
ransum impor, selain itu penggunaan feed additive berupa antibiotik dapat
menimbulkan residu pada produk akhir peternakan. Silase ransum berbahan baku
pakan lokal diduga merupakan cara tepat yang diharapkan dapat mengatasi
permasalahan – permasalahan tersebut. Laporan hasil penelitian tentang pengolahan
dan pemberian silase ransum dalam menghasilkan kualitas karkas yang baik dan
bebas dari residu antibiotik serta pengaruhnya terhadap lemak abdomen, organ dalam
dan saluran pencernaan ayam broiler sampai sekarang masih sangat terbatas. Untuk
itu perlu dilakukan penelitian pendahuluan menggunakan ransum komersial untuk
mengetahui pengaruh pemberian ransum berbentuk silase terhadap bobot karkas,
lemak abdomen, organ dalam dan saluran pencernaan ayam broiler.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
informasi bagi semua pihak yang memerlukan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas saran dan masukan pada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR ISI
vi
Saluran Pencernaan Ayam Broiler ... 27
Bobot Rempela ... 28
Bobot dan Ketebalan Usus Halus ... 29
Bobot Seka ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 30
Saran ... 30
UCAPAN TERIMA KASIH ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kebutuhan Zat Makanan Ayam Broiler
Umur 2-6 Minggu ... 5
2. Komposisi Kimia Ransum Perlakuan ... 15
3. Rataan Bobot Hidup, Persentase Bobot Karkas, Lemak Abdomen, Organ Vital dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler
Umur 5 Minggu ... 20
4. Kadar Air Daging Dada, Kadar Air Ransum dan Kadar Protein
Daging Dada Ayam Broiler Umur Lima Minggu... 23
5. Rataan Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 5 Minggu... 25
6. Rataan Bobot dan Ketebalan Saluran Pencernaan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Cara Kerja Asam Organik pada Bakteri yang Sensitif
Terhadap Perubahan pH ... 7
2. Cara Kerja Asam Organik pada Bakteri yang Tidak Sensitif
Terhadap Perubahan pH ... 7
3. Sistem Saluran Pencernaan pada Ayam Broiler ... 10
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Ragam Rataan Bobot Hidup ... 37
2. Analisis Ragam Rataan Persentase Bobot Karkas ... 37
3. Analisis Ragam Rataan Persentase Bobot Lemak Abdominal ... 37
4. Analisis Ragam Rataan Persentase Bobot Hati ... 37
5. Analisis Ragam Rataan Persentase Bobot Jantung ... 37
6. Analisis Ragam Rataan Persentase Bobot Limpa ... 38
7. Analisis Ragam Rataan Persentase Bobot Rempela ... 38
8. Analisis Ragam Rataan Persentase Bobot Usus Halus ... 38
9. Analisis Ragam Rataan Ketebalan Usus Halus ... 38
PENDAHULUAN
Latar belakang
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk tentunya kebutuhan
masyarakat terhadap bahan protein yang berasal dari hewan (daging dan telur) juga
meningkat. Ayam broiler merupakan salah satu sumber protein hewani yang
memiliki pertumbuhan yang cepat dan mempunyai konversi pakan yang efisien
sehingga dapat menghasilkan keuntungan dalam waktu yang relatif singkat.
Permasalahan dalam usaha peternakan ayam broiler adalah pemenuhan kebutuhan
akan pakan yang berkualitas tinggi sampai sekarang masih bergantung pada bahan
pakan impor. Berdasarkan data Ditjennak (2005) bahan pakan jagung yang di impor
pada tahun 2004 mencapai 988.500 ton, bungkil kedelai sejumlah 1.779.470 ton serta
tepung daging dan tulang sejumlah 226.900 ton. Hal tersebut menyebabkan harga
pakan cenderung mahal, padahal selama ini Indonesia masih memiliki sumber daya
alam yang potensial, tetapi permasalahan dalam memakai bahan baku lokal adalah
ketersediaan bahan yang tidak kontinyu karena pengelolaan bahan baku pasca panen
yang kurang baik. Kendala lainnya dalam budidaya ayam broiler adalah rendahnya
kualitas karkas karena tingginya kandungan lemak abdominal pada ayam broiler.
Dalam upaya memacu pertumbuhan dan sekaligus mencegah penyakit, penggunaan
feed additive berupa antibiotik merupakan hal yang essensial, namun penggunaan
antibiotik dapat menimbulkan residu pada produk akhir peternakan. Sehubungan
dengan hal di atas maka perlu dicari teknologi alternatif yang dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut.
Silase merupakan teknologi alternatif yang tepat untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut. Pengolahan dan pemberian ransum unggas
dalam bentuk silase akan memberi beberapa keuntungan, selain lebih menghemat
waktu dan biaya pakan karena tidak perlu dikeringkan, silase juga dapat dijadikan
sebagai probiotik sehingga dapat memperbaiki keseimbangan mikroflora dalam
saluran pencernaan. Keuntungan lainnya yaitu dari segi penyimpanan lebih tahan
lama karena bakteri-bakteri pembusuk yang tidak tahan terhadap pH rendah akan
terhambat pertumbuhannya. Hasil penelitian Rahmania (2006) membuktikan bahwa
silase dapat dipakai dalam ransum unggas tanpa berpengaruh negatif terhadap
Laporan hasil penelitian tentang pengolahan dan pemberian silase ransum
dalam menghasilkan kualitas karkas yang baik dan bebas dari residu antibiotik serta
pengaruhnya terhadap lemak abdomen, organ dalam dan saluran pencernaan ayam
broiler sampai sekarang masih sangat terbatas. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
pendahuluan menggunakan ransum komersil untuk mengetahui pengaruh pemberian
silase ransum komersil terhadap bobot karkas, lemak abdomen, organ dalam dan
saluran pencernaan ayam broiler.
Perumusan Masalah
Permasalahan dalam budidaya ayam broiler adalah kualitas karkas yang rendah
karena tingginya kandungan lemak abdominal pada ayam broiler, selain itu
pemenuhan kebutuhan akan pakan yang berkualitas tinggi sampai sekarang masih
bergantung pada bahan pakan impor, sehingga menyebabkan harga pakan cenderung
mahal. Permasalahan lain yaitu penggunaan feed additive berupa antibiotik yang
dapat menimbulkan residu pada produk akhir peternakan. Sehubungan dengan hal
diatas maka perlu dicari teknologi alternatif yang dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut.
Silase merupakan teknologi alternatif yang tepat untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut. Silase mempunyai beberapa keuntungan
diantaranya dapat menghemat waktu dan biaya pakan karena tidak perlu
mengeringkan serta dalam hal penyimpanan lebih tahan lama karena bakteri
pembusuk yang tidak tahan terhadap pH rendah akan terhambat pertumbuhannya.
Silase juga dapat digunakan sebagai probiotik yang dapat menyeimbangkan
mikroorganisme dalam saluran pencernaan. Pemberian silase ransum juga diduga
dapat dapat menghasilkan kualitas karkas yang baik karena memiliki kandungan
lemak abdomen yang rendah serta daging yang bebas dari residu antibiotik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui taraf pemberian silase ransum
komersil yang terbaik serta pengaruhnya terhadap bobot karkas, lemak abdomen,
TINJAUAN PUSTAKA
Silase
Silase adalah suatu hasil pengawetan dari suatu bahan dalam suasana asam
dalam kondisi anaerob (Ensminger, 1992). McDonald et al. (1991) menuliskan
bahwa silase merupakan bahan pakan yang diproduksi secara fermentasi, yaitu
dengan cara pencapaian kondisi anaerob. Ensilase adalah nama dari proses
pembuatannya dan silo nama tempat terjadinya (Bolsen dan Sapienza, 1993). Untuk
meningkatkan kualitas silase, ditambahkan bahan aditif yang dibagi dua yaitu
sebagai stimulan fermentasi dan sebagai inhibitor fermentasi. Stimulan fermentasi
bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi asam segera
tercapai, contoh inokulan bakteri yaitu bakteri asam laktat yang berfungsi untuk
meningkatkan populasi bakteri asam laktat dalam bahan pakan, sedangkan inhibitor
fermentasi digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk
seperti Clostridia sehingga pakan bisa awet, sebagai contoh yaitu asam-asam organik
seperti asam format, propionat, laktat (McDonald et al., 1991). Salah satu
penambahan zat aditif sebagai stimulan fermentasi yaitu dengan bakteri asam laktat
seperti Lactobacillus Plantarum, pediococcus pentosamonas. Silase seperti ini
dinamakan silase laktat, menurut McDonald et al. (1991) silase laktat dapat
didefinisikan dari karakteristik fermentasinya yang ditunjukkan dengan pH rendah
(mendekati 3,7-4,2), mengandung asam laktat dengan konsentrasi cukup tinggi
(sekitar 8-12 %) dan hanya sedikit mengandung asam format, asetat, propionat dan
butirat.
Proses fermentasi dari empat fase: fase aerob, fase fermentasi, fase stabil dan
fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Pada fase aerob terjadi proses
respirasi, yang secara lengkap menguraikan gula-gula menjadi karbondioksida dan
air dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan panas. Sekali kondisi anaerob
tercapai maka beberapa proses mulai berlangsung. Perombakan sel tanaman dimulai
pada kondisi anaerob, kemudian akan menghasilkan gula untuk bakteri penghasil
asam laktat untuk proses fermentasi. Bakteri tersebut akan memfermentasikan gula
menjadi asam laktat. Setelah masa aktif pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat
berakhir, maka proses ensilase memasuki fase stabil. Bila silo ditutup dan disegel
pengeluaran silase terjadi pada saat silo dibuka untuk diberikan silase pada ternak,
oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase yang terbuka tersebut,
sehingga kehilangan bahan kering akan nutrient dapat terjadi karena kerja
mikroorganisme aerob (Bolsen dan Sapienza, 1993).
Bolsen dan Sapienza (1993) menyatakan bahwa proses ensilase berfungsi
untuk mengawetkan komponen nutrien lainnya yang terdapat dalam bahan silase.
Semakin cepat pH turun semakin dapat ditekan enzim proteolitis yang bekerja pada
protein. Rendahnya pH juga menghentikan pertumbuhan bakteri anaerob seperti
enterobacteriaceae, bacelli, clostridia dan listeria. Menurut McDonald et al. (1991)
pada proses ensilase, bakteri asam laktat meningkat dengan cepat. Asam laktat yang
dihasilkan akan cepat menurunkan nilai pH silase. Pada pH kritis (pH 3,8-4), asam
akan menghambat pertumbuhan bakteri lain, bahan yang ada menjadi stabil
sepanjang dalam kondisi anaerob.
Mikroorganisme dalam Silase
Mikroba yang terpenting dalam proses ensilase adalah bakteri penghasil asam
laktat. Bakteri tersebut akan memfermentasikan gula menjadi asam laktat disertai
produksi asam asetat, etanol, karbondiokisida dan lain-lain. Bakteri tersebut terbagi
ke dalam dua kategori yaitu bakteri homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri
penghasil asam laktat homofermentatif hanya menghasilkan asam laktat dari
fermentasi gula dan gula-gula lainnya yang mempunyai enam atom karbon,
sedangkan bakteri penghasil asam laktat heterofermentatif selain menghasilkan asam
laktat juga menghasilkan etanol, asam asetat, dan karbondioksida (McDonald et al.,
1991).
Glukosa 2 asam laktat
2 fruktosa + glukosa asam laktat + asam asetat + CO2 + 2 manitol
Bakteri asam laktat dapat tahan dalam suasana asam walaupun kepekaannya
berbeda-beda. Secara umum bakteri ini tumbuh pada pH 4,0 – 6,8. Bahkan
Lactobacillus dan Pediococcus tumbuh pada pH 3,5. Bakteri asam laktat (BAL) yang
biasa dan dominan ada pada proses ensilase adalah Streptococci dan Lactobacilli,
dengan Lactobacillus plantarum paling sering diisolasi untuk digunakan pada
5 termudah dan cepat membentuk koloni pada fase awal ensilase, tahan bersaing dan
menghasilkan sejumlah asam laktat dengan cepat (McDonald, 1991).
Berbagai spesies bakteri asam laktat mempunyai peranan penting dalam
pengawetan baik secara tradisional maupun modern (Axelsson, 1993). Peranan
bakteri asam laktat ini dalam fermentasi adalah dapat menghambat pertumbuhan
bakteri lain yang tidak dikehendaki. Sifat yang terpenting dalam pembuatan
produk-produk fermentasi dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk
memfermentasi gula menjadi asam laktat, sehingga dapat menurunkan pH,
menghambat aktivitas proteolitik, lipolitik dan patogen lainnya (Fardiaz, 1989).
Ayam Broiler
Ayam broiler merupakan galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki
karakteristik ekonomi dan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging,
konversi ransum rendah, siap dipotong pada usia relatif muda dan menghasilkan
kualitas daging berserat lunak (North dan Bell, 1990), sedangkan menurut Ensminger
(1992) ayam broiler adalah ayam pedaging yang dipasarkan pada umur enam
minggu dengan berat hidup berkisar 1,5-2,5 kg.
Formulasi pakan untuk ayam broiler harus mengandung zat makanan yang
cukup untuk mendapatkan produksi dan efisiensi yang maksimal (Scott etal., 1982).
Kebutuhan zat makanan ayam broiler umur 2-6 minggu berdasarkan Scott et al.
(1982) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Zat Makanan Ayam Broiler Umur 2-6 Minggu
Zat Makanan Jumlah
Strain Cobb merupakan bibit broiler yang paling popular saat ini di dunia,
strain ini adalah produk hasil riset dalam jangka waktu yang cukup lama dengan
Keunggulan yang dimiliki oleh strain Cobb adalah tingkat pertumbuhan yang cukup
tinggi, kualitas daging yang baik, nilai konversi pakan yang rendah (Cobb-Vantress,
2006).
Penggunaan Asam Organik dan Bakteri Asam Laktat dalam Ransum Unggas
Asam organik meliputi seluruh senyawa asam yang terdiri atas rantai karbon
sebagai rantai cabang utama (R-CO-H) atau yang dikenal sebagai golongan asam
karboksilat. Asam-asam karboksilat tersebut umumnya dapat diproduksi oleh
makhluk hidup melalui proses metabolisme tubuh. Asam organik terdiri dari format,
asetat, propionat, butirat, laktat, fumarat, malat dan sitrat. Berbagai asam organik
tersebut memiliki karakteristik kimia yang berbeda. Penggunaan asam organik dalam
pakan ternak telah dikenal sejak awal tahun 1900-an. Asam organik digunakan dalam
proses pembuatan silase dan bahan pengawet (Coelho, 1996).
Beberapa asam organik memiliki sifat anti-bakteri. Prinsip dasar kerja asam
organik sebagai antibakteri adalah asam organik dapat menembus dinding sel bakteri
dan menggangu fisiologi normal beberapa tipe bakteri. Asam organik dapat berfungsi
sebagai growthpromotor yang dapat digunakan untuk menstabilkan mikroflora pada
saluran pencernaan dan meningkatkan performans secara umum pada unggas
(Gauthier, 2002).
Asam organik dalam saluran pencernaan dapat melakukan proses ionisasi
dengan mudah yaitu dengan cara melepaskan hidrogen. Peningkatan jumlah ion
hidrogen tersebut akan menurunkan pH saluran pencernaan sehingga
mikroorganisme yang tidak tahan tehadap kondisi asam akan mengalami
perlambatan pertumbuhan atau mati (Hardy, 2003). Pada bakteri yang sensitif
terhadap perubahan pH, asam organik menembus dinding sel bakteri sehingga asam
organik akan terurai (H+ dan COO-), mengakibatkan pH dalam sel akan turun. Pada
kondisi tersebut bakteri berusaha melepaskan H+ dari dalam sel agar pH dalam sel
menjadi normal, namun proses ini membutuhkan energi yang besar mengakibatkan
bakteri akan berhenti tumbuh dan mati (Gambar 1). Beberapa bakteri memiliki
struktur dinding sel yang berbeda. Dinding sel bakteri yang tidak sensitif terhadap
7 menjadi berkurang, sehingga bakteri tersebut lebih tahan terhadap lingkungan asam
(Gambar 2) (Gauthier, 2002).
Dinding sel bakteri
Gambar 1. Cara Kerja Asam Organik pada Bakteri yang Sensitif Terhadap Perubahan pH (Gauthier, 2002)
Dinding sel bakteri
Gambar 2. Cara Kerja Asam Organik pada Bakteri yang Tidak Sensitif Terhadap Perubahan pH (Gauthier, 2002)
Asam organik apabila ditambahkan dalam ransum akan mempunyai sifat
acidifier, yaitu pengaruh asam organik terhadap pH saluran pencernaan. Efek asam
dapat ditemukan pada lambung dan usus halus, sehingga asam organik berpotensi
menggantikan antibiotik sebagai growth promotor (Canibe et al., 2001). Hasil
penelitian Berchieri (2000) menyatakan bahwa ayam yang diberikan asam organik
dalam ransumnya sebesar 0,8 % yang terdiri dari 70 % asam format dan 30 % asam
propionat tidak ditemukan bakteri Salmonella dalam usus dan dapat menghambat
bakteri patogen dalam saluran pencernaan. Rouse et al. (1988) melaporkan
penggunaan asam organik sebagai bahan pengawet yaitu untuk mengontrol karkas
ayam broiler dari kontaminasi Salmonella. Sementara Byrd etal. (2001) menyatakan
bahwa pembeian asam organik sebesar 0,5 % asam asetat, 0,5 % asam laktat atau
0,5% asam format dalam air minum dapat menurunkan jumlah bakteri patogen
(Salmonella dan Campylobacter).
Penggunaan bakteri asam laktat dalam ransum unggas khususnya sebagai
probiotik telah banyak diteliti. Patterson dan Bulkholder (2003) menyatakan bahwa
mengkonsumsi makanan yang difermentasi dapat meningkatkan kesehatan dan
bakteri asam laktat dapat berfungsi sebagai agen yang dapat meningkatkan
kesehatan. Penelitian Buhr et al. (2006) yang menambahkan 0,10 % botanical
probiotik (Feed FreeTM) yang terdiri dari Lactobacillus dalam ransum menghasilkan
pertumbuhan yang sama dengan ransum basal yang diberi penambahan antibiotik
dan coccidiostat, juga ditemukannya populasi Lactobacillus yang lebih tinggi dan
populasi Clostridium perfringens yang lebih rendah pada kloaka dengan penambahan
0,10 % botanical probiotik dalam ransum ayam broiler dibandingkan dengan kontrol.
Karkas dan Lemak Abdomen
Produksi ternak daging umumnya dinilai dengan menggunakan persentase
karkas. Karkas adalah potongan ayam bersih tanpa bulu, darah, kepala, leher, kaki,
cakar dan organ dalam (Leeson dan Summers, 1980). Persentase bobot karkas
digunakan untuk menilai produksi ternak daging. Bobot karkas ayam broiler umur
lima minggu berkisar antara 60,52-69,91 % dari bobot hidup (Pesti et al., 1997).
Leeson dan Summers (1980) menyatakan bahwa bobot karkas ayam broiler umur
6 minggu sekitar 1.128,4-1.523,2 gram atau 64,7-71,2 %.
Salah satu faktor yang mempengaruhi persentase bobot karkas ayam broiler
9 bobot karkas yang besar pula, dan sebaliknya. Wahju (1992) menyatakan bahwa
tingginya bobot karkas ditunjang oleh bobot hidup akhir sebagai akibat pertambahan
bobot hidup ternak bersangkutan. Menurut Soerparno (1994) persentase karkas
biasanya meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup, tetapi persentase
bagian non karkas seperti darah, usus halus, dan organ vital menurun. Brake et al.
(1993) menyatakan bahwa hasil dari komponen tubuh ayam broiler berubah dengan
meningkatnya umur dan bobot badan. Secara umum persentase dari bagian yang
dimakan meningkat dan persentase yang dibuang semakin berkurang dengan
meningkatnya umur dan bobot badan.
Deposisi lemak ayam broiler umumnya disimpan dalam bentuk lemak rongga
tubuh di bawah kulit. Lemak rongga tubuh terdiri dari lemak abdomen, lemak rongga
dada dan lemak pada alat pencernaan, salah satu bagian tubuh yang digunakan untuk
menyimpan lemak adalah bagian sekitar perut atau abdomen. Persentase lemak
abdomen pada ayam jantan berkisar antara 1,4-2,60 %, sedangkan untuk ayam betina
berkisar antara 3,2-4,8 % dari bobot badan (Leeson dan Summers, 1980). Hal ini
didukung oleh pernyataan Becker et al. (1981) bahwa persentase lemak abdomen
pada ayam betina lebih tinggi dibandingkan jantan. Menurut Fontana et al. (1993)
lemak abdomen akan meningkat pada ayam yang diberi ransum dengan protein
rendah dan energi ransum yang tinggi. Energi yang berlebih akan disimpan dalam
bentuk lemak dalam jaringan-jaringan. Salah satu bagian tubuh yang digunakan
untuk menyimpan lemak oleh ayam adalah bagian sekitar perut (abdomen). Hal ini
juga didukung oleh pendapat Deaton dan Loft (1985) yang menyatakan bahwa
persentase lemak abdomen itu dipengaruhi oleh umur pemeliharaan dan tingkat
energi ransum. Linder (1992) menyatakan bahwa proses pencernaan lemak dalam
usus meliputi pemecahan lemak pakan menjadi asam-asam lemak, monogliserida dan
lain-lain melalui kerja sama antara garam-garam empedu dan lipase di dalam usus
terjadi dalam lingkungan dengan pH yang tinggi karena adanya sekresi bikarbonat.
Menurut Santoso (2002) penambahan produk fermentasi dapat menurunkan
kadar kolesterol ayam broiler melalui mekanisme penghambatan aktivitas enzim
yang berperan dalam biosintesis kolesterol (3-hidroksi 3-metilglutaril KoA
reduktase) atau melalui mekanisme peningkatan asam empedu. Peningkatan
jaringan menurun (de Roos dan Katan, 2000). Menurut Sibuea (2002) mekanisme
penurunan kadar kolesterol disebabkan adanya beberapa jenis bakteri
menguntungkan diantaranya yaitu bakteri asam laktat yang diduga mampu
melakukan metabolisme kolesterol dari makanan dalam usus sehingga tidak diserap
dalam usus. Selain itu bakteri asam laktat mampu melakukan dekonyugasi garam
empedu dalam usus halus untuk mencegah absorpsi kembali oleh tubuh sehingga
merangsang hati untuk mensintesis garam empedu dari kolesterol tubuh. Hal ini
menyebabkan menurunnya kandungan kolesterol tubuh secara keseluruhan.
Saluran Pencernaan Ayam
Saluran pencernaan pada ayam broiler terdiri dari mulut, kerongkongan,
tembolok, proventikulus, rempela, usus halus, usus buntu, usus besar, kloaka dan
anus (North dan Bell, 1990). Sistematis saluran pencernaan pada ayam broiler dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Sistem Saluran Pencernaan pada Ayam Broiler (Gauthier, 2002).
Organ yang berperan dalam pencernaan mekanik pada unggas adalah rempela
(gizzard). Rempela atau gizzard terletak diantara proventrikulus dan usus halus,
terdiri dari otot tebal, berwarna merah dan ditutupi lapisan tanduk. Bagian dalam
rempela terdapat lapisan yang sangat keras dan kuat yang berwarna kuning dan dapat
11 (North dan Bell, 1990). Menurut Pond et al. (1995) rempela berfungsi menggiling
atau memecah partikel makanan supaya ukurannya menjadi lebih kecil. Penggilingan
makanan akan lebih cepat dengan adanya bahan abrasif seperti grit (kerikil), batu dan
pasir yang masuk melalui mulut (North dan Bell, 1990). Bobot rempela dipengaruhi
oleh umur, bobot badan dan makanan. Pemberian makanan yang lebih banyak akan
menyebabkan aktivitas rempela lebih besar untuk mencerna makanan sehingga urat
daging rempela menjadi lebih tebal dan memperbesar ukuran rempela (Prilyana,
1984). Kisaran normal bobot rempela ayam broiler betina menurut Brake et al.
(1993) pada umur lima minggu sekitar 2 % dan pada ayam jantan sekitar 1,8 % dari
bobot badan. Putnam (1991) menyatakan bahwa persentase bobot rempela terhadap
bobot hidup berkisar antara 1,6-2,3 %.
Usus akan menerima makanan yang telah mengalami pencernaan mekanik di
rempela. Usus terdiri dari beberapa bagian yang dimulai dari duodenum yaitu usus
halus di bagian depan dan berakhir di usus besar di bagian paling belakang. Usus
halus berperan dalam proses penyerapan zat-zat makanan. Selain itu juga merupakan
tempat terjadinya pencernaan makanan secara enzimatis. Luas permukaan usus dapat
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah vili usus yang berfungsi untuk
penyerapan zat-zat makanan (Frandson, 1992). Pada usus halus terjadi gerakan
peristaltik yang berperan dalam mencampur digesta dengan cairan pankreas dan
empedu.
Menurut Akoso (1993) usus halus berfungsi sebagai penggerak aliran ransum
dalam usus dan tempat penyerapan sari makanan. Kemampuan ini ditunjang oleh
adanya selaput lendir yang dilengkapi dengan jonjot usus yang menonjol seperti jari
dan bertekstur lembut, sehingga penyerapan zat-zat makanan bisa maksimal.
Perkembangan usus halus dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dalam ransum
yang dikonsumsi.
Usus buntu (seka) merupakan saluran pencernaan setelah usus yang berfungsi
membantu absorpsi air, pencernaan karbohidrat dan protein dengan bantuan
mikroorganisme di dalam usus buntu (seka). Rose (1997) menyebutkan bahwa pada
usus buntu (seka) terdapat bakteri yang membantu proses pendegrasian bahan
makanan melalui proses fermentasi. Produk fermentasi yang dihasilkan akan
dalam jumlah yang terbatas. Moran (1985) menyatakan bahwa proses fermentasi
dapat terjadi pada usus buntu (seka) unggas dan akan menghasilkan VFA (volatile
fatty acid) yang akan diserap oleh sel mukosa dan sekaligus menjadi salah satu
sumber energi bagi pemenuhan kebutuhan zat makanan bagi unggas. Menurut Pond
et al. (1995) sebagian serat dapat dicerna di dalam usus buntu (seka) yang
disebabkan adanya bakteri fermentasi tetapi jumlahnya sangat rendah dibandingkan
pada sebagian spesies mamalia.
Organ Vital Ayam
Organ vital ayam antara lain hati, jantung, limpa dan bursa Fabricius (North
dan Bell, 1990). Hati mempunyai fungsi yang komplek. Menurut Ressang (1984)
hati berperan dalam sekresi empedu, metabolisme lemak, metabolisme protein,
metabolisme karbohidrat, metabolisme zat besi, fungsi detoksifikasi, pembentukan
darah merah serta metabolisme dan penyimpanan vitamin. Kelainan-kelainan hati
secara fisik biasanya ditandai dengan adanya perubahan warna hati, pembengkakan
dan pengecilan pada salah satu lobi atau tidak adanya kantung empedu, meskipun
gejala-gejala klinis gangguan pada jaringan hati tidak selalu teramati karena
kemampuan regenerasi jaringan hati yang tinggi (Subronto, 1985). Putnam (1991)
menyatakan bahwa bobot hati 1,70-2,80% dari bobot hidup dan hanya dipengaruhi
oleh umur. Penelitian Hasanah (2002) menghasilkan rataan persentase bobot hati
dengan pemberian silase ikan-tape ubi kayu pada taraf 30 % adalah 2,88 % dari
bobot hidup. Bobot hati akan menurun seiring dengan bertambahnya umur.
Menurut North dan Bell (1990) jantung unggas mempunyai empat ruang
seperti pada mamalia yaitu dua atrium dan dua ventrikel. Ukuran bobot jantung
bervariasi pada setiap jenis unggas. Pembesaran ukuran jantung biasanya disebabkan
adanya penambahan jaringan otot jantung. Dinding jantung mengalami penebalan,
sedangkan ventrikel relatif menyempit apabila otot menyesuaikan diri pada kontraksi
yang berlebihan (Ressang, 1984). Frandson (1992) menyatakan bahwa jantung
sangat rentan terhadap racun dan zat antinutrisi, pembesaran jantung dapat terjadi
karena adanya akumulasi racun pada otot jantung. Jantung unggas berkisar antara
0,42-0,70 % dari bobot hidup (Putnam, 1976). Penelitian Hasanah (2002)
13 Limpa berwarna merah gelap, terletak di sebelah kanan abdomen yang
terletak antara proventikulus dengan rempela (McLelland, 1990). Putnam (1991)
menyatakan bahwa persentase bobot limpa ayam berkisar antara 0,18-0,23 % dari
bobot badan. Limpa dan bursa Fabricius merupakan organ yang berperan dalam
mendukung sistem kekebalan tubuh unggas. Limpa berfungsi sebagai penyaring
darah dan menyimpan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis
hemoglobin, selain itu limpa juga merupakan salah satu organ yang berperan dalam
sistem sirkulasi yakni sebagai daerah penampungan darah serta ukurannya bervariasi
dari waktu ke waktu tergantung banyaknya darah dalam tubuh (Frandson, 1992).
Menurut Ressang (1984) bahwa selain menyimpan darah, limpa bersama hati dan
sumsum tulang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua serta ikut dalam
metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam urat dan membentuk sel
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2005 sampai dengan
Januari 2006. Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas Laladon dan
Laboratorium ITP (Ilmu dan Teknologi Pakan), Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Ternak dan Ransum
Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah ayam broiler strain Cobb
500 sebanyak 120 ekor. Ayam broiler tersebut dipelihara dari umur satu hari sampai
umur 35 hari.
Ransum yang digunakan adalah ransum komersial tanpa antibiotik berupa
ransum broiler AS 101 yang diproduksi PT Sierad Produce Tbk dengan kandungan
protein kasar sebesar 23,21% dan kandungan energi bruto sebesar 4.284 Kkal/kg.
Komposisi kimia ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Kandang, Perlengkapan dan Vaksin
Kandang yang digunakan adalah kandang dengan sistem litter yang
beralaskan sekam padi dengan ukuran 1 x 0,93 m2 sebanyak 15 petak. Setiap petak
kandang dilengkapi dengan tempat ransum, air minum dan lampu pijar 60 watt
sebagai pemanas. Perlengkapan yang digunakan adalah timbangan digital, karung,
plastik ransum dan perlengkapan untuk pengolahan karkas terdiri dari pisau, pinset,
gunting operasi dan timbangan digital yang berfungsi untuk mengetahui bobot dari
parameter yang diukur. Sanitasi dilakukan terhadap peralatan seperti tempat ransum
dan tempat air minum serta dilakukan penggantian alas kandang (sekam) tiap
minggu. Vaksin diberikan tiga kali selama perlakuan. Vaksin ND I diberikan pada
waktu ternak berumur 3 hari yang diberikan melalui tetes mata. Vaksin gumboro
15 Tabel 2. Komposisi Kimia Ransum Perlakuan
Ransum Perlakuan Zat Makanan
R0 R1 R2
Bahan Kering (%) 86,75 67,53 48,30
Abu (%) 7,27 (8,38) 2) 5,47 (8,10) 3,67 (7,59) Protein Kasar (%) 23,21 (26,75) 17,93 (26,55) 12,65 (26,19) Serat Kasar (%) 1,91 (2,20) 1,45 (2,15) 0,99 (2,05) Energi Bruto (kkal/kg) 4.824 (4.938,2) 3.315,5 (4.909,7) 2.347 (4.859,21)
1)
Hasil analisa Labolatorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2006) 2)
Angka dalam kurung adalah berdasarkan bahan kering Keterangan : R0: Ransum komersial tanpa fermentasi
R1: Ransum campuran dengan rasio 50 % ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial)
R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial)
Rancangan
Perlakuan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 3 taraf perlakuan yaitu :
R0: Ransum komersial tanpa fermentasi
R1: Ransum campuran dengan rasio 50 % ransum komersial : 50 % ransum
komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial)
R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial)
Perlakuan terdiri atas 5 ulangan dimana setiap ulangan terdiri dari 8 ekor ayam.
Model Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) searah dengan tiga taraf perlakuan. Masing-masing taraf perlakuan
terdiri atas lima ulangan. Model matematik menurut Matjik dan Sumertajaya (2002)
Yij = µ +
τ
+
ε
ij
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
τ = Pengaruh pemberian silase ransum komersial ke-i (i = 1, 2, 3)
= µ i - µ
εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j ( j = 1, 2, 3, 4, 5)
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah persentase karkas, persentase
lemak abdomen, persentase saluran pencernaan dan persentase organ dalam yang
diperoleh dengan cara sebagai berikut :
1. Bobot hidup (gram)
Bobot hidup (gram) diperoleh dari hasil penimbangan ayam sebelum
dipotong dan setelah dipuasakan.
2. Persentase bobot karkas (%)
Persentase bobot karkas diperoleh dengan membandingkan bobot ayam
tanpa bulu, darah, kepala, leher, kaki dan organ dalam (gram) dengan bobot
hidup (gram) dikalikan 100%.
3. Persentase bobot lemak abdomen (%)
Persentase bobot lemak abdomen diperoleh dengan membandingkan bobot
lemak abdomen (gram) dengan bobot hidup (gram) dikalikan 100%.
4. Persentase bobot hati (%)
Persentase bobot hati diperoleh dengan membandingkan bobot hati (gram)
dengan bobot hidup (gram) dikalikan 100%.
5. Persentase bobot jantung (%)
Persentase bobot jantung diperoleh dengan membandingkan bobot jantung
(gram) dengan bobot hidup (gram) dikalikan 100%.
6. Persentase bobot limpa (%)
Persentase bobot limpa diperoleh dengan membandingkan bobot limpa
(gram) dengan bobot hidup (gram) dikalikan 100%.
7. Persentase bobot rempela (%)
17 8. Persentase bobot usus halus (%)
Persentase bobot usus halus diperoleh dengan membandingkan bobot usus
tanpa isi (kosong) (gram) dengan bobot hidup (gram) dikalikan 100%.
9. Ketebalan usus halus (g/cm)
Ketebalan usus halus diperoleh dengan membandingkan bobot usus halus
(gram) dengan panjang usus halus (cm).
10.Persentase bobot usus buntu (seka) (%)
Persentase bobot usus buntu (seka) diperoleh dengan membandingkan
bobot usus buntu (seka) tanpa isi (kosong) (gram) dengan bobot hidup
(gram) dikalikan 100%.
Analisa Data
Analisa data yang diperoleh diuji sidik ragamnya dengan ANOVA. Sebelum
dilakukan analisis, data persentase yang nilainya terletak antara 0 dan 20 atau 80 dan
100, ditransformasi terlebih dahulu ke dalam arcsin x. Untuk mengetahui
perbedaan rataan perlakuan satu dengan yang lainnya dilakukan uji kontras ortogonal
(Matjik dan Sumertajaya, 2002).
Prosedur
Pembuatan ransum silase
Ransum dan larutan starter diaduk sampai homogen. Setelah tercampur
bahan dimasukkan ke kemasan plastik kedap udara dan disimpan dalam silo,
dipadatkan dan ditutup rapat untuk mendapatkan suasana anaerob selama 3 minggu.
Starter yang digunakan yaitu Lactobacillus plantarum (104-105 CFU/gram).
Pembuatan silase ransum untuk setiap 100 kg memerlukan bahan starter sebanyak 2
gram yang telah terlarut dalam air sebanyak 76 liter (Gambar 4).
Persiapan kandang
Kandang yang digunakan terlebih dahulu disucihamakan dengan cara
membersihkan kandang menggunakan desinfektan berupa pembersih lantai yang
mengandung desinfektan. Kemudian dilakukan pengapuran pada seluruh dinding
maupun lantai kandang serta penyemprotan formalin pada sekam dengan tujuan
untuk menghambat dan membunuh pertumbuhan bibit penyakit. Tempat ransum dan
Gambar 4. Diagram proses pembuatan silase
Pelaksanaan pemeliharaan
Anak ayam (DOC) yang digunakan sebanyak 120 ekor, dibagi secara acak
dan ditempatkan ke dalam 15 kandang perlakuan sehingga tiap kandang terdiri dari 8
ekor. Masing-masing kandang diberi salah satu dari 3 perlakuan ransum yaitu, R0
(ransum komersial tanpa fermentasi), R1 (50% silase ransum komersial), R3 (100 %
silase ransum komersial). Pemberian silase ransum diberikan sejak umur satu minggu
sampai umur lima minggu. Ransum dan air minum perlakuan diberikan ad libitum.
Pada akhir masa pemeliharaan pengambilan sampel dilakukan pada masing-masing
ulangan sebanyak 25% (dua ekor) berdasarkan rataan bobot hidup ayam broiler
betina terdekat. Ayam dipuasakan selama 12 jam sebelum dipotong, kemudian
ditimbang untuk memperoleh bobot hidup. Ayam yang telah dipotong sebanyak 30
ekor dicelupkan ke dalam air bersuhu 70 0C selama 39 detik untuk mempermudah
dalam pencabutan bulu.
Ransum (100 kg)
Campuran Ransum
Silase
+ Larutan Starter (Lactobacillus plantarum) 104-105 CFU/gram sebanyak 76 liter (dihomogenkan)
19 Ayam yang telah dibului diproses lebih lanjut menjadi karkas dengan
memisahkan kepala, leher, shank dan jeroan. Karkas tersebut ditimbang dan dihitung
persentasenya. Organ dalam dan saluran pencernaan dipisahkan untuk dilakukan
penimbangan. Saluran pencernaan dibersihkan dari lemak, kemudian ditimbang lalu
diukur panjang saluran pencernaan. Setelah itu, saluran pencernaan tersebut dihitung
persentasenya terhadap bobot hidup. Organ dalam yang terdiri dari hati, rempela dan
jantung dibersihkan dari lemak yang menempel kemudian ditimbang bobotnya dan
HASIL DAN PEMBASAHAN
Pengaruh pemberian silase ransum terhadap persentase bobot hidup, bobot
karkas, lemak abdomen, usus halus dan organ dalam ayam broiler dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Bobot Hidup, Persentase Bobot Karkas, Lemak Abdomen, Organ Vital dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler Umur 5 Minggu.
Perlakuan Keterangan: R0: Ransum komersial tanpa fermentasi; R1: Ransum campuran dengan rasio 50 %
ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial); R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial).
*)
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01).
Bobot Hidup Akhir
Bobot badan akhir merupakan ukuran yang digunakan untuk menilai
keberhasilan suatu usaha peternakan. Bobot badan akhir akan menentukan harga jual
ternak, sehingga mempengaruhi besar kecilnya pendapatan peternak. Perlakuan
ransum tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap bobot hidup ayam broiler
umur lima minggu. Hasil ini mengindikasikan bahwa ayam dapat memanfaatkan
21 sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol (2011,09
dan 1897,16 vs 2168,85 gram) (Rahmania, 2006). Hal ini mengindikasikan bahwa
ayam broiler yang diberi perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial lebih
efisien dalam mencerna zat makanan. Silase dapat menghasilkan asam organik yang
bermanfaat bagi tubuh ternak, menurut Gauthier (2002) asam organik tersebut
memiliki antibakterial yang kuat, sehingga dapat menekan bakteri patogen didalam
saluran pencernaan. Selain itu silase juga mengandung bakteri asam laktat yang
dapat berperan sebagai probiotik Menurut Fuller (1992) probiotik dapat
meningkatkan pertumbuhan dan penampilan ternak. Buhr et al. (2006) yang
menambahkan 0,10 % botanical probiotik (Feed FreeTM) yang terdiri dari
Lactobacillus dalam ransum menghasilkan pertumbuhan yang sama dengan ransum
basal yang diberi penambahan antibiotik dan Coccsidiostat, juga ditemukannya
populasi Lactobacillus yang lebih tinggi.dan populasi Clostridium perfringens yang
lebih rendah pada kloaka dengan penambahan 0,10 % botanical probiotik dalam
ransum ayam broiler dibandingkan dengan kontrol.
Rendahnya rataan bobot hidup ayam yang diberi perlakuan 50 dan 100 %
silase ransum komersial diduga disebabkan lebih rendahnya konsumsi ransum ayam
yang diberi perlakuan 50 dan 100 % silase ransum (P<0,01) dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (2011,09 dan 1897,16 vs 2168,85 gram). Daghir (1998)
menyatakan bahwa pertumbuhan erat dengan konsumsi ransum yang diperkirakan
63% dari penurunan pertumbuhan disebabkan karena menurunnya konsumsi ransum.
Menurunnya konsumsi ransum akan mengakibatkan rendahnya konsumsi nutrein
atau energi yang dibutuhkan sehingga produktivitas ternak dalam hal ini bobot badan
akan terhambat. Penurunan konsumsi ransum tersebut diduga terdapat dua penyebab.
Penyebab pertama yaitu karena mekanisme dari beberapa fungsi probiotik (bakteri
asam laktat) yaitu memperbaiki saluran pencernaan serta merangsang produksi enzim
untuk mencerna ransum, yang menyebabkan proses pencernaan dalam usus menjadi
semakin baik (Seifert dan Gessler, 1997), dari hal ini diduga makanan yang
dikonsumsi akan lebih lama tinggal di dalam usus atau laju ransum tersebut menjadi
lebih lambat sehingga konsekuensinya konsumsi ransum ayam tersebut akan
menurun. Penyebab kedua diduga karena rasa asam yang menyengat akibat pH
Menurut Chruch (1991) bahwa palatabilitas ransum dipengaruhi oleh bentuk, bau,
rasa dan tekstur makanan yang diberikan. Menurut Amrullah (2003) lidah unggas
juga memiliki sistem perasa berupa gustative or taste buds untuk mengenali rasa
makanannya, sementara indera penciumannya kurang berkembang, penerimaan
unggas terhadap makanan dipengaruhi oleh rasa dan teksturnya, akibat yang
dirasakan setelah makanan ditelan, meskipun jumlah titik perasa lebih sedikit
dibandingkan dengan hewan lain akan tetapi sensitifitasnya lebih tinggi.
Syaraf-syaraf di bagian kepala menangkap informasi rasa yang mempunyai sensitifitas
berbeda terhadap rasa manis, pahit, asam, asin dan rasa lainnya.
Bobot Karkas
Perlakuan ransum tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap bobot
karkas ayam broiler umur lima minggu. Hal ini dapat dipahami, karena persentase
bobot karkas merupakan perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup, sehingga
bobot hidup yang besar akan diikuti pula oleh bobot karkas yang besar pula, dan
sebaliknya. Pada bobot hidup yang tidak berbeda umumnya persentase karkas tidak
berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahju (1992) bahwa tingginya bobot karkas
ditunjang oleh bobot hidup akhir sebagai akibat pertambahan bobot hidup ternak
bersangkutan.
Persentase bobot karkas ayam broiler yang diperoleh dari penelitian ini
bekisar antara 67,92 - 68,92 % dari bobot hidup. Nilai ini berada pada kisaran hasil
yang dilaporkan oleh Pesti et al. (1997) yaitu berkisar antara 60,52 - 69,91 % dari
bobot hidup. Persentase bobot karkas yang mendapat perlakuan 50 dan 100 % silase
ransum komersial lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum kontrol. Hal
ini dikarenakan oleh lebih tingginya persentase bobot organ pencernaan, komponen
non karkas dan organ vital pada ayam yang diberi perlakuan 50 dan 100 % silase
ransum komersial (Tabel 3). Menurut Soerparno (1994) persentase karkas biasanya
meningkat seiring dengan meningkatnya bobot hidup, tetapi persentase bagian non
karkas seperti darah dan organ vital menurun.
Salah satu faktor yang mempengaruhi persentase karkas ayam broiler adalah
kualitas ransum. Kadar air dari ransum silase lebih tinggi dibandingkan dengan
23 Tabel 4. Kadar Air Ransum, Kadar Air Daging Dada dan Kadar Protein
Daging Dada Ayam Broiler Umur Lima Minggu
Perlakuan
Keterangan : R0: Ransum komersial tanpa fermentasi; R1: Ransum campuran dengan rasio 50 % ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial); R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata
(P<0,01).
Berdasarkan Tabel 4, kadar air daging dada yang diberi perlakuan silase
ransum komersial sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
kontrol (74,99 dan 76,13 % vs 72,48 %). Nilai ini berada pada kisaran hasil yang
didapatkan oleh Anggorodi (1980) yaitu berkisar antara 70 – 77 %. Mountney
(1976) menyatakan, bahwa otot mengandung sekitar 75 % air (dengan kisaran antara
65-80%) terhadap bobot badan. Kadar air yang tinggi dapat dijadikan indikasi daya
mengikat air yang baik. Hal ini berarti bahwa air yang terikat oleh protein lebih
banyak pada daging perlakuan silase ransum komersial, sehingga kadar airnya relatif
lebih tinggi. Soeparno (1994) menyatakan bahwa kemampuan daging mengikat air
salah satunya disebabkan oleh protein otot. Daya mengikat air daging tergantung dari
banyaknya gugus reaktif protein. Sekitar 34 % dari protein ini larut dalam air. Tabel
4 menunjukkan bahwa protein daging perlakuan ransum silase relatif lebih tinggi
dibanding dengan perlakuan ransum tanpa fermentasi, sehingga diduga DIA daging
perlakuan ransum silase lebih tinggi. Semakin tinggi DIA daging maka kualitas
daging semakin baik. Berdasarkan hal tersebut maka kualitas daging pada perlakuan
silase ransum komersial lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol (ransum
komersial tanpa fermentasi).
Lemak Abdomen
Kontrol deposisi lemak abdominal pada ayam broiler bertujuan untuk
efisiensi pembentukan jaringan otot atau daging yang lebih menguntungkan.
memperbaiki kualitas karkas dengan menghasilkan daging yang rendah lemak (Sanz,
et.al., 2000).
Perlakuan sangat nyata (P<0,01) berpengaruh terhadap persentase bobot
lemak abdominal. Berdasarkan Tabel 3, terlihat penurunan persentase lemak
abdominal sejalan dengan meningkatnya pemberian silase ransum sampai taraf
100%. Rataan persentase lemak abdominal perlakuan 50 dan 100 % silase ransum
komersial nyata (P<0,01) lebih rendah dari perlakuan kontrol (0,81 dan 0,99 % vs
1,51 %). Persentase lemak abdominal paling tinggi pada perlakuan kontrol (R0) yaitu
sebesar 1,51 % sedangkan paling rendah yaitu pada perlakuan pemberian silase
ransum 100 % (R2) yaitu sebesar 0,81 %. Perlakuan ransum silase dapat menurunkan
persentase lemak abdominal jika konsentrasi pemberian ransum silase lebih dari
50%.
Rendahnya persentase lemak abdominal pada ayam broiler yang mendapat
perlakuan ransum silase ini mengindikasikan terdapatnya produk metabolisme dari
ransum silase yang dapat menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol. Pada silase
banyak mengandung asam organik, khususnya asam laktat sebagai hasil dari aktivitas
bakteri asam laktat di dalamnya. Asam laktat yang tinggi akan menghambat
pembentukan energi khususnya glikolisis yang mengakibatkan penurunan trigliserida
dan asetil KoA, padahal energi dan asetil KoA merupakan komponen penting dalam
biosintesis lipida tubuh, termasuk juga lemak abdominal sebagai deposit lemak
dalam tubuh ayam. Menurut Mohan et al. (1996) dan Santoso (2002) menyatakan
bahwa penambahan produk fermentasi dapat menurunkan kadar kolesterol ayam
broiler melalui mekanisme penghambatan aktivitas enzim yang berperan dalam
biosintesis kolesterol (3-hidroksi 3-metilglutaril KoA reduktase) atau melalui
mekanisme peningkatan asam empedu. Peningkatan asam empedu akan
meningkatkan ekskresi kolesterol sehingga kadar kolesterol pada jaringan menurun
(de Roos dan Katan, 2000).
Menurut Sibuea (2002), mekanisme penurunan kadar kolesterol disebabkan
adanya beberapa jenis bakteri menguntungkan diantaranya yaitu bakteri asam laktat
yang diduga mampu melakukan metabolisme kolesterol dari makanan dalam usus
sehingga tidak diserap dalam usus. Selain itu bakteri asam laktat mampu melakukan
25 tubuh sehingga merangsang hati untuk mensintesis garam empedu dari kolesterol
tubuh. Hal ini menyebabkan menurunnya kandungan kolesterol tubuh secara
keseluruhan.
Penurunan persentase lemak abdominal juga diduga disebabkan karena
mekanisme fermentasi bakteri asam laktat pada ransum silase yang terjadi didalam
intestinal berlangsung dengan intensif, yang selanjutnya produk-produk fermentasi
terutama asam laktat ini akan menyebabkan suasana lingkungan usus halus menjadi
relatif lebih asam atau memiliki pH yang lebih rendah. Linder (1992) menyatakan
bahwa proses pencernaan lemak dalam usus meliputi pemecahan lemak makan
menjadi asam-asam lemak, monogliserida dan lain-lain melalui kerja sama antara
garam-garam empedu dan lipase di dalam usus terjadi dalam lingkungan dengan pH
yang tinggi karena adanya sekresi bikarbonat. Berdasarkan pernyataan tersebut maka
diduga proses pencernaan lemak dalam usus broiler yang mengalami perlakuan
ransum silase menjadi terhambat karena kondisi lingkungan ususnya memiliki pH
yang lebih rendah, sehingga proses penyerapan lemak sebagai sumber energi terbesar
ikut terhambat pula, yang selanjutnya jumlah energi berlebih yang dapat dideposit
dalam bentuk lemak tubuh akan ikut menurun.
Organ Dalam Ayam Broiler
Organ dalam pada ayam antara lain hati, jantung, limpa dan bursa Fabricius
(North dan Bell, 1990). Pengaruh pemberian silase ransum terhadap persentase bobot
hati, jantung dan limpa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 5 Minggu
Perlakuan
Bobot Hati
Persentase pemberian silase ransum yang diberikan tidak berpengaruh
terhadap persentase bobot hati ayam broiler. Tidak berbedanya persentase bobot hati
antar perlakuan menunjukkan bahwa kerja hati pada pemberian silase ransum pada
taraf 50-100 % adalah sama, yang mengindikasikan bahwa tidak ada zat anti nutrisi
pada silase sehingga aman untuk ayam. Hal ini didukung dengan tidak adanya
kelainan fisik yang ditandai dengan tidak adanya perubahan konsistensi serta organ
hati berwarna coklat kemerahan. Menurut McLelland (1990), hati yang normal
berwarna coklat kemerahan atau coklat terang dan apabila terjadi keracunan warna
hati akan berubah menjadi kuning. Kelainan-kelainan hati secara fisik biasanya
ditandai dengan adanya perubahan warna hati, pembengkakan dan pengecilan pada
salah satu lobi atau tidak adanya kantung empedu. Gejala-gejala klinis pada jaringan
hati tidak selalu teramati karena kemampuan regenerasi jaringan hati sangat tinggi
(Subronto, 1985).
Persentase bobot hati yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara
1,99-2,32 % (Tabel 5). Nilai ini berada pada kisaran hasil yang dilaporkan oleh Putnam
(1991) yaitu berkisar antara 1,7 - 2,8 % dari bobot hidup. Penelitian Hasanah (2002)
menghasikan rataan persentase bobot hati dengan pemberian silase ikan-tape ubi
kayu pada taraf 30 % adalah 2,88 % dari bobot hidup.
Bobot Jantung
Persentase bobot jantung ayam pada penelitian ini tidak berbeda untuk setiap
perlakuan. Rataan persentase jantung yang diperoleh pada penelitian ini berkisar
antara 0,47-0,52 % (Tabel 5). Penelitian Hasanah (2002) menghasikan rataan
persentase bobot jantung dengan pemberian silase ikan-tape ubi kayu pada taraf 30%
adalah 0,69 % dari bobot hidup.
Persentase bobot jantung pada penelitian ini berada dalam kisaran normal dan
tidak terlihat adanya kelainan-kelainan fisik pada jantung. Hal tersebut memberikan
indikasi bahwa pemberian silase ransum sampai taraf 100 % tidak mengandung
racun dan zat antinutrisi sehingga tidak menyebabkan kontraksi yang berlebihan
pada otot jantung. Frandson (1992) menyatakan bahwa jantung sangat rentan
27
Bobot Limpa
Pemberian silase ransum tidak berpengaruh terhadap persentase bobot limpa.
Hal ini menunjukkan bahwa silase tidak mengandung zat anti nutrisi maupun racun
yang dapat menyebabkan penyakit pada ayam. Salah satu fungsi limpa adalah
membentuk zat limfosit yang berhubungan dengan pembentukan antibodi. Limpa
akan melakukan pembentukan sel limfosit untuk membentuk antibodi apabila ransum
toksik, mengandung zat antinutrisi maupun penyakit. Aktivitas limpa ini
mengakibatkan limpa semakin membesar atau bahkan mengecil ukurannya karena
limpa terserang penyakit atau benda asing tersebut (Ressang, 1984).
Rataan persentase bobot limpa ayam broiler pada penelitian ini berkisar
antara 1,10 - 1,13 % dari bobot hidup (Tabel 6). Nilai ini berada pada kisaran hasil
yang dilaporkan oleh Putnam (1991) yaitu berkisar antara 0,18 - 0,23 % dari bobot
hidup. Persentase bobot limpa tertinggi yaitu pada pemberian 100 % silase ransum
komersial sebesar 1,13 %. Pada pemberian silase ransum pada taraf 100 % (R2)
persentase bobot limpa lebih besar bila dibandingkan dengan perlakuan R0 dan R1
meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Pada pemberian 100 % silase ransum
komersial, kerja limpa dalam pembentukan antibodi meningkat, hal ini disebabkan
kandungan asam organik yang terdapat dalam silase mampu memacu kerja limpa
dalam membentuk antibodi. Rahmania (2006) menyatakan bahwa pada perlakuan
silase ransum tingkat mortalitas berjumlah satu ekor (0,67 %) dari 120 ekor ayam
yang dipelihara selama penelitian. Ternak yang mati bukan disebabkan oleh
perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa silase ransum mampu meningkatkan sistem
kekebalan ayam broiler. Peningkatan persentase limpa pada pemberian silase ransum
100% juga disebabkan karena sel darah merah banyak tersimpan dalam limpa. Sesuai
dengan salah satu fungsi limpa adalah sebagai organ penyaring darah dan
penyimpanan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin
(Frandson, 1992).
Persentase Bobot dan Ketebalan Saluran Pencernaan ayam Broiler
Saluran pencernaan pada ayam broiler terdiri dari mulut, kerongkongan,
dan anus. Pengaruh pemberian silase ransum terhadap persentase bobot rempela,
usus halus, usus buntu (seka) dan ketebalan usus halus dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Bobot dan Ketebalan Saluran Pencernaan Ayam Broiler Umur Lima Minggu
Keterangan: R0: Ransum komersial tanpa fermentasi; R1: Ransum campuran dengan rasio 50 % ransum komersial : 50 % ransum komersial yang dibuat silase (50% silase ransum komersial); R2: Ransum komersial yang dibuat silase (100 % silase ransum komersial)
*)
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Bobot Rempela (Gizzard)
Perlakuan ransum pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap persentase
bobot rempela ayam broiler. Rataan persentase bobot rempela ayam broiler yang
diperoleh pada penelitian berkisar antara 1,60 - 1,64 % dari bobot hidup. Nilai ini
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Putnam (1991) yaitu berkisar antara 1,6 - 2,3 %
dari bobot hidup.
Tidak adanya perbedaan bobot rempela antar perlakuan R2, R1 dan R0
karena laju pertumbuhan maupun bobot badan akhir broiler yang mendapatkan
perlakuan tersebut tidak berbeda. Selain itu, diduga kandungan serat kasar ransum
pada setiap perlakuan relatif sama sehingga aktivitas rempela untuk mencerna
makanan tidak mengakibatkan penebalan urat daging rempela yang dapat
menyebabkan pembesaran ukuran rempela. Proses pemecahan partikel ransum dapat
dibantu oleh adanya kerikil (grit) yang ada dalam rempela (Akoso, 1993). Menurut
Sturkie (1976) grit mempunyai peranan yang penting untuk mengoptimalkan
pencernaan di dalam rempela karena dapat meningkatkan motilitas dan aktivitas
29
Bobot dan Ketebalan Usus Halus
Pemberian silase ransum tidak berpengaruh terhadap persentase bobot usus
halus dan ketebalan usus halus ayam broiler. Rataan persentase bobot usus halus
yang dihasilkan pada penelitian ini adalah berkisar antara 2,75 - 3,14 % dari bobot
hidup dengan ketebalan usus halus berkisar antara 0,229 - 0,239 g/cm. Usus halus
ayam broiler yang diberi perlakuan silase ransum lebih tipis dibandingkan dengan
perlakuan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerapan zat makanan di dalam
usus halus ayam broiler yang mendapat perlakuan silase ransum lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hal ini diduga karena mekanisme probiotik
yaitu memperbaiki saluran pencernaan serta merangsang produksi enzim untuk
mencerna ransum, yang menyebabkan proses pencernaan dalam usus menjadi
semakin baik (Seifert dan Gessler, 1997).
Silase dapat menghasilkan asam organik yang bermanfaat bagi tubuh ternak,
menurut Gauthier (2002) asam organik memiliki antibakterial yang kuat, sehingga
dapat menekan bakteri patogen didalam saluran pencernaan. Hasil penelitian
Berchieri (2000) menyatakan bahwa ayam yang diberikan asam organik dalam
ransumnya sebesar 0,8 % yang terdiri dari 70 % asam format dan 30 % asam
propionat tidak ditemukan bakteri Salmonella dalam usus dan dapat menghambat
bakteri patogen dalam saluran pencernaan.
Bobot Usus Buntu (Seka)
Persentase organ seka sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi untuk ayam yang
mendapat perlakuan 50 dan 100 % silase ransum komersial dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (0,53 dan 0,61 % vs 0,45 %). Semakin tinggi taraf pemberian
silase ransum sampai taraf 100 %, maka persentase bobot seka semakin meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme yang ada dalam silase ransum
menstimulir seka untuk berfungsi lebih aktif sehingga zat ransum lebih banyak
diserap. Seka berperan dalam pencernaan makanan yang tidak tercerna pada organ
pencernaan sebelumnya terutama serat kasar dengan bantuan bakteri (fermentasi)
(McLelland, 1990). Rose (1997) menyatakan bahwa proses fermentasi
memungkinkan terjadi di seka yang menghasilkan VFA (Volatile Fatty Acid) dan
VFA tersebut akan diserap oleh mukosa dan menjadi salah satu sumber energi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian silase ransum sampai level 100% dapat diterima oleh ayam broiler
tanpa berpengaruh negatif terhadap bobot karkas dan organ dalam, serta dapat
menurunkan lemak abdominal ayam broiler.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pemberian silase pakan berbahan baku
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah Yang Maha Memberi
Petunjuk, Yang Maha Berilmu karena hanya dengan petunjuk dan ilmu-Nyalah maka
penulis mampu menyelesaikan karya tulis ini.
Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Rukmiasih, MS selaku
pembimbing utama, Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc selaku pembimbing anggota, Ir. Salundik,
MS selaku pembimbing akademik dalam penyelesaian tugas akhir ini. Beliau dengan
penuh kesabaran dan keyakinan memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sumiati,
MS dan Ir. R. Bambang Pangestu M.Si selaku dosen penguji sidang tugas akhir
skripsi.
Rasa terima kasih yang tiada tara dan rasa hormat sepenuh hati penulis
persembahkan buat ayahanda serta ibunda, adikku Muhammad Sofwan dan semua
keluarga besar yang telah memberikan curahan hati, nasihat, motivasi dan yang
terpenting adalah do’a kepada penulis sehingga penulis tabah dan tegar dalam
menghadapi segala hambatan selama penulisan skripsi ini.
Penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan penelitian, Erisya dan Widi.
Terima kasih juga kepada Icha yang telah memberi semangat, inspirasi dan
menghilangkan kejenuhan. Untuk sahabatku Fida, Ison, Ipunk, yang telah
memberikan fasilitas selama proses penulisan skripsi, kita makan dari dapur yang
sama, tidur dalam satu atap, mandi di kamar mandi yang sama, kita adalah keluarga,
kita saudara. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman
seperjuanganku, TPT 39, Adam, Zaky, Jajat, ’Fai dan masih banyak lagi yang tidak
mungkin dituliskan satu persatu. Hutang jasa ini tidak akan terbayar dengan apapun,
tapi kenangan persahabatan jauh lebih berharga dari sekedar materi.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia
pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amalan shaleh. Amin
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR PUSTAKA
Akoso. B. T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor.
Anggorodi, R. 1980. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Axelsson. 1993. Lactic Acid Bacteria. Chapman and Hall, New York
Becker, W. A., J. V. Spencer., L. W. Mirish and J. A. Verstrate. 1981. Abdominal and carcass fat in five body strain. Poultry Science. 60: 693-697.
Berchieri, A. 2000. Prevention of Salmonella infection by contact using intestinal flora of adult bird and / or a mixture of organic acid. Brazillian Journal of Mikrobiology. 31 : 116-120.
Bolsen, K.K., Sapienza, 1993. Teknologi Silase. Penanaman, Pembuatan dan Pemberiannya pada Ternak. Alih Bahasa : Rini B.S Martoyoedo. Pioner-Hi-Berd International, Inc. Kansas State University.
Brake, J., G. B. Havenstein. S. E. Schidelet, P. R. Ferket. D. V. River. 1993. Relationship of sex, age and body weight to broiler carcass yield and offal production. Poultry Science. 70: 680-688.
Buhr, R.J. A. Hinton J.R., A.C. Murry J.R. 2006. Effect of botanical probiotic containing Lactobacilli on growth performance and population bacteria in the ceca, cloaca, and carcass rinse of broiler chickens. International Journal of Poultry Science. 5 (4) : 344-350.
Byrd, J.A., B.M. Hargis., D.J. Cardwell., R.H. Bailley., K.L McReynolds and R.L. Brewe. 2001. Effect of lactic acid administation in the drinking water during preslaughter feed withdrawl on Salmonella and Campylobacter contamination of broiler. Poultry Science. 80 : 278-283.
Canibe, N., S.H. Steinen., M. Overland and B.B. Jensen. 2001. Effect of K-diformat in starter diets on acidity, microbiota and the amount of organic acid in the digestive tract of piglets and on gastric alterations. Journal Animal Science. 79 : 2123-2133.
Church, D.C. 1991. Livestock Feeds and Feeding. 3rd Edition. Prentice_Hall International Inc, New Jersey.
Cobb Vantress. 2006. What is Cobb 500 and Cobb 700. http://www.cobbvantres.com/. [14 Februari 2006].
Coelho, M.B. 1996. Comparative Efficacy of Mold Inhibitors. Technical Services. BASF Corporation. Mount Olive. New Jersey.