• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang hasil temuan data dan analisa dalam penyelesaian kasus force majeure terhadap produk pembiayaan yang dilakukan bank syariah meliputi bentuk-bentuk force majure dalam produk pembiayaanpada bank syariah, model-model penyelesaian force majeure dalam produk pembiayaanpada bank syariah, serta analisis penyelesaian force majeure

BAB V Penutup

Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan jawaban atas pokok permasalahan yang telah diajukan serta memberikan saran antisipatif mengenai penyelesaian kasus force majeure untuk produk pembiayaan murabahah dan

25

A. Force majeure

1. Pengertian Force majeure

Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep keadaan memaksa lebih banyak dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini.

a) R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkankarena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian1

b) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir Dr. H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar

1

kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).2

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.

2. Dasar Hukum Force majeure

a) Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 280

إو اك و ةر سع ةرظ ف ىلإ ، ةرس ي أو اوق صت ر يخ كل إ ك ت و عت

Artinya : "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."

b)Al Hadist

Kalau kamu menagih seseorang yang sedang kesulitan, maka

bebaskanlah utangnya, semoga Allah juga kelak akan

membebaskan kita (dari dosa-dosa kita). Maka ketika ia berjumpa

dengan Allah, maka Allah pun benar-benar membebaskannya.”

(HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah).

2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A”,(Jogjakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm.20

َإ لظ َ وي هش رع لظ ت حت ة ايق لا وي َ ه ظأ هل عضو وأ اًرس ع رظ أ ه ظ

“Barang siapa yang mau memberi tangguhan kepada orang yang

sedang kesulitan atau bahkan membebaskannya, maka Allah akan

menaunginya di bawah naungan „Arsy-Nya di hari tiada naungan

selain naungan-Nya.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah

radhiallahu anhu dan dishahihkan Al Albani dalam Shahihut Targhib no. 909)

c) Ketentuan Perundang-undangan

Dasar hukum force majeure di Indonesia diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan seperti KUH Perdata Pasal 1244-1245, KUH Perdata 1444-1445, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 07/DSN -MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran.

3. Macam–macam Force majeure

Pada pendapat lain Force majeureini juga dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

a) Force majeure menurut jenisnya

(1) Force majeure objektif

Force majeure objektif ini disebutjuga dengan istilah physical

impossibility. Yang dimaksudkan adalah bahwa force majeure

tersebut, sehingga prestasi tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak debitur, Misalnya, benda yang menjadi objek dari kontrak terbakar atau disambar petir.

(2) Force majeure subjektif

Pada force majeure subjektif, peristiwa yang terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari kontrak yang bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau kemampuan dari debitur itu sendiri. Misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi.3

b) Force majeure menurut pelaksanaannya

(1) Force majeure absolut

Force majeure absolut adalah suatu keadaan dimana debitur sama

sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar4.

(2) Force majeure relatif

Force majeurerelatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan

dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin dilakukan.Misalnya terhadap kontrak ekport-impor, di mana setelah

3 Mustafa Kamal Rokan, Pengantar Hukum Bisnis”, diakses dari

https://awalbarri.wordpress.com/2009/03/23/pengantar-hukum-bisnis/, pada tanggal 17 November 2015 pukul 17 : 51 WIB

4 Oemiy, “Keadaan Memaksa (Overmatch) Dalam Hukum Perdata”, diakses dari

https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-hukum-perdata/, pada tanggal 17 November 2015 pukul 17 : 30 WIB

kontrak dibuat, terdapat larangan impor atas barang tersebut atau PHK masal pada pekerja suatu perusahaan yang pailit.

c) Force majeure menurut jangka waktu berlakunya

(1) Force majeure permanen

Force majeureini mengakibatkan tidak dapat terlaksananya prestasi

sampai kapan pun sebagai pemenuhan dari suatu kontrak.Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan salah satu pihak.

(2) Force majeure temporer

Dimana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, dengan kata lainsetelah hilang efek dari terjadinya peristiwa tertentu maka prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.Misalnya, jika barang yang menjadi objek kontrak tersebut tidak mungkin dikirim karena terjadi pergolakan sosial.Akan tetapi, pada saat kondisi sudah aman, maka barang tersebut dapat dikirim kembali.5

4. Teori Force majeure

a. Teori force majeure menurut kaidah fiqih Islam

Karakterisitik force majeure merupakan suatu bencana atau musibah adalah sebuah keadaan darurat yang secara hukum akan berimplikasi kepada munculnya berbagai aturan untuk menghilangkan

5Dewo Broto Joko Putranto, “Penyusunan Kontrak Dan Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003”, diakses dari http://justitia-indonesia.blogspot.co.id/2006/09/penyusunan-kontrak-dan-aspek-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 42 WIB

ataupun setidaknya mengurangi kondisi darurat tersebut. Dalam hal force

majeure ini misalnya, seorang kreditur tidak layak membebankan debitur

yang tertimpa musibah berat dengan beban yang sama saat debitur belum mengalami musibah itu. Bahkan jika dianggap perlu, kontrak dapat dibatalkan untuk menghilangkan beban tambahan bagi debitur dalam keadaan darurat tersebut.

Ada beberapa kaidah Islam yang sesuai dengan definisi keadaan

force majeure ini, diantara lain :6

ريسيتلا ب جت هقش لا Artinya : “Kemudharatan itu menarik kemudahan

Sumber pengambilan kaidah diatas diperkuat dari Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah : 185

رسعلا كب يري َو رسيلا كب َ يري Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki

kesempitan bagimu

Kaidah diatas ini menjadi sumber adanya keringanan dalam menjalankan tuntutan syari’at diantara nya seperti keringanan yang diberikan karena keadaan terpaksa serta unsur kurang mampu dan kesukaran umum yang menjadi akibat dari terjadinya force majeure.7

Dalam praktik perbankan, proses penyelesaian kasus force majeure

harus melewati beberapa ketentuan dan prosedur tertentu, salah satunya

6 Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, (Bandng : PT.Al Ma’arif), h. 503

7

adalah pembuktian berita terjadinya force majeure yang menimpa nasabah kepada pihak perbankan. pembuktian berita terjadinya force majeure

diperlukan untuk memastikan apakah benar nasabah mengalami keadaan memaksa sehingga nasabah tidak dapat melakukan pengembalian kewajiban atau membutuhkan keringanan. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam fiqih Islam, yaitu :8

كشلاب طا ت َ صخرلا Artinya : “keringanan itu tidak dapat disangkutpautkan dengan keraguan

Kaidah diatas menjelaskan bahwa keringanan yang diberikan tidak boleh ada unsur keragu-raguan. Pihak bank yang memberikan keringanan haruslah yakin dengan pembuktian nasabah yang mengalami force

majeure.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa force majeure

dipandang dari perspektif kaidah fikih telah memenuhi nilai -nilai yang diinginkan dalam kaidah-kaidah tersebut.

b. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkheid)

Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a) Teori ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolute

onmogelijkheid) Adalah ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur Volmar menyebutnya

absolute overmacht. Dasarnya adalah ketidakmungkinan

(impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah.9

b) Teori ketidakmungkinan relatif atau subjektif (relative onmogelijkheid)

Adalah ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.Perikatan tidak berhenti (tidak batal), hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi, pemenuhan prestasi diteruskan. Akan tetapi, jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, perikatan itu gugur.

Perbedaan antara perikatan batal dan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi.Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi).Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat

9 Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari

http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB

dibatalkan.Persamaanya adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai tujuan.10

c. Teoripeniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld)

Teori penghapusan atau peniadaan ini mengartikan bahwa dengan adanya overmatch maka terhapuslah kesalahan deb itur. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak bias dipertangungjawabkan.

5. Akibat Force majeure

Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi.Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus. Beberapa pakar membahas akibat hukum dari keadaan memaksa sebagai berikut

A.R. Setiawan merumuskan bahwa suatu keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu11

a) kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi

10 Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari

http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB

b) debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai,13 dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi

c) risiko tidak beralih kepada debitur

d) pada persetujuan timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang menyitir Dr. H.F.A Vollmar.

Overmacht harusdibedakan apakah sifatnya sementara ataukah

tetap.Dalam hal overmacht sementara, hanya mempunyai daya menangguhkan dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali jika dan sesegera faktor overmacht itu sudah tidak ada lagi, demikian itu kecuali jika prestasinya lantas sudah tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur. Dalam hal terakhir ini, perutangannya menjadi gugur (misalnya taksi yang dipesan untuk membawa seseorang ke stasiun karena ada kecelakaan lalu lintas, tidak dapat datang pada waktunya, dan ketika lalu lintas sudah aman kembali, kereta api sudah tidak dapat dicapai lagi).12

Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa yang bersifat objektif dan subjektif. Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset).13

Salim H.S., mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu14

12

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit, h. 22.

13Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perikatan” (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), h..28 -31

14Salim H.S, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)” (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,

a) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata); b) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa

sementara;

c) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

Ketiga akibat tersebut lebih lanjut dibedakan menjadi dua macam, yaitu pada akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat butir a dan c,dan akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat butir b. Namun, Perlu digarisbawahi bahwa hak kreditur dalam force majeure sama sekali tidak dihilangkan, hanya saja jangka waktu pemenuhan hak tersebut diperpanjang untuk memberi kolonggaran bagi pihak debitur.

B. Force Majeure dalam Hutang Piutang

Dalam sektor keuangan, pemecahan kasus force majeure sendiri telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, salah satunya ketentuan-ketentuan yang mengatur penyelesaian kasus force majeure dalam dunia perbankan, yaitu :

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244

Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan suatu hal yang

tak terduga, pun tak dapat dipertanggungkan kepadanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245

Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila dikarenakan keadaan memaksa atau karena suatu kejadian tak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau dikarenakan hal - hal yang sama telah melakukan perbuatan yang dilarang.

c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444

i. Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

ii. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.

iii. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.

iv. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali -kali

membebaskan orang yang mencuri barang dari

kewajibannya mengganti harganya

d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445

Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.

2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia

a) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan

Murabahah

Menetapkan : FATWA TENTANG PENJADWALAN KEMBALI

TAGIHAN MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Penyelesaian

LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa

menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:

1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;

2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;

3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

dua : Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya

.

b) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)

Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)

Pertama : Ketentuan Pembiayaan:

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari'ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

10.Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:

1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola

(mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharibuntuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad. c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus

dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabahadalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi

(nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan.

Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat

dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan

pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari'ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi

kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga : Ketentuan lain:

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.

2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.

3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad

al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja,

kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

c) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran

Menetapkan : FATWA TENTANG SANKSI ATAS NASABAH

MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN

Pertama : Ketentuan Umum:

1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu

membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.

2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran

dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan

agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau

Dokumen terkait