• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampel diperoleh dari anak diare yang berobat ke Puskesmas Tiga Balata Kecamatan Jorlang Hataran. Diperoleh sampel 73 anak yang menderita diare cair akut dengan derajat dehidrasi yang berbeda, dimana 8 anak dieksklusikan dari penelitian karena: 4 anak menderita gizi buruk, 2 anak dengan dehidrasi berat, dan 2 anak tidak mendapat persetujuan dari orang tua. Dari 65 anak diare yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi dua kelompok secara acak terbuka, yaitu 36 anak mendapat selenium dosis pada usia 6 sampai 12 bulan sebesar 15 µg/ hari dan usia >1tahun sampai 2 tahun sebesar 20µg/ hari yang diberikan satu kali secara oral selama 7 hari dan 29 anak mendapat plasebo dosis yang sama dengan selenium. Kedua kelompok masing-masing dipantau sampai sembuh (Gambar 4.1).

xlviii Gambar 4.1. Profil penelitian

Kedua kelompok memiliki gambaran karakteristik dasar sampel yang sama. Dimana rerata usia subyek adalah 13 bulan. Rerata, frekuensi diare, konsistensi tinja dan lama diare sebelum pemberian terapi pada kedua kelompok berturut-turut adalah 3-5 kali per hari, bersifat cair, lamanya 1-2 hari dan tidak dijumpai darah dalam tinja. Sebelum diberikan terapi, lebih banyak ditemukan anak dengan tanpa dehidrasi (rata-rata 75%) daripada dengan dehidrasi ringan sedang (rata-rata 25%) pada kedua kelompok.

73 anak penderita diare

8 orang dieksklusikan: 4 menderita gizi buruk 2 dehidrasi berat

2 tidak disetujui orang tua ikut dalam penelitian

65 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Selenium 15 mikrogram/ hari (n=19) 20 mikrogram/ hari (n=17) Plasebo 15 mikrogram/ hari (n=16) 20 mikrogram/ hari (n=13)

Mengikuti penelitian dan pemantauan dilakukan sampai sembuh

(n = 36)

Mengikuti penelitian dan pemantauan dilakukan sampai sembuh

xlix Karakteristik diare sebelum terapi pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai P > 0.05 (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Karakteristik dasar sampel

Karakteristik Responden Kelompok Intervensi Selenium (n=36) Plasebo (n=29) Jenis Kelamin, n (%) Laki-Laki 19 (52.8) 17 (58.6) Perempuan 17 (47.2) 12 (41.4)

Usia, mean (SD), tahun 12.22 (5.5) 13.66 (6.3) Berat Badan, mean (SD), kg 8.29 (1.5) 8.34 (2.1) Panjang Badan, mean (SD), cm 71.03 (5.7) 71.17 (8.3) BB/PB, mean (SD) 92.67 (3.4) 93.45 (4.9) Lama diare, n (%) <1 hari 13 (36.1) 8 (27.6) 1–2 hari 15 (41.7) 16 (55.2) 3– 4 hari 5 (13.9) 5 (17.2) >4 hari 3 (8.3) 0 Frekuensi diare 3-5x/hari 28 (77.8) 24 (82.8) 6-10x/hari 5 (13.9) 4 (13.8) >10x/hari 3 (8.3) 1 (3.4) Konsistensi tinja, n (%) Cair 36 (100) 29 (100) Derajat dehidrasi, n (%) Tanpa dehidrasi 27 (75) 22 (75.9) Dehidrasi ringan-sedang 9 (25) 7 (24.1) Darah dalam tinja, n (%)

Tidak ada 36 (100) 29 (100)

Riwayat konsumsi selenium, n (%)

Tidak ada 36 (100) 29 (100)

Pemantauan keparahan diare pada kedua kelompok dilakukan setiap hari selama 7 hari. Dengan menggunakan uji Mann Whitney diperoleh perbedaan bermakna rata-rata frekuensi diare per hari pada kelompok selenium dibandingkan dengan kelompok plasebo sejak pemantauan hari kedua sampai hari keempat ( P < 0.05 ). ( Gambar 4.2 ). Sedangkan, pada hari

l pertama setelah pemberian terapi belum ditemukan perbedaan yang bermakna untuk rerata frekuensi diare (P=0.709). Pada hari kelima pengobatan, rerata frekuensi diare telah mencapai < 2 kali/hari pada kelompok yang mendapat selenium dan plasebo

Gambar 4.2. Frekuensi diare per hari setelah diterapi

Pada hari pertama setelah pemberian terapi, kedua kelompok memilliki konsistensi tinja yang cair. Dari kedua kelompok intervensi, konsistensi tinja yang normal sudah mulai tampak pada hari ketiga pengobatan, dimana kelompok responden yang memperoleh selenium lebih banyak dibandingkan plasebo yaitu 6 berbanding 1 responden dan setelah hari ketujuh seluruh responden sudah memiliki konsistensi tinja yang normal.

li Sejak hari kedua pengobatan, konsistensi tinja untuk kedua kelompok telah mempunyai perbedaan yang signifikan (P= 0.034) dimana responden yang mengalami konsistensi tinja yang cair telah menjadi 75% atau sebanyak 27 responden yang mendapat selenium sedangkan pada kelompok plasebo masih 96.6% yang tinjanya masih cair. Begitu juga untuk pengobatan di hari keempat sampai hari kelima, masih terdapat perbedaan yang bermakna untuk konsistensi tinja dari kedua kelompok intervensi (P< 0.05) ( Tabel 4.2) Tabel 4.2. Konsistensi tinja setelah terapi

Konsistensi Tinja Selenium (n=36) Plasebo (n=29) P OR IK 95 % Hari Pertama, n (%) Cair 36 (100) 29 (100) - - Lembek 0 0 Normal 0 0 Hari Kedua, n (%) Cair 27 (75) 28 (96.6) 0.034a 0.107 0.013-0.904 Lembek 9 (25) 1 (3.4) Normal 0 0 Hari Ketiga, n (%) Cair 9 (25) 14 (48.3) 0.349b - Lembek 21 (58.3) 14 (48.3) Normal 6 (16.7) 1 (3.4) Hari Keempat, n (%) Cair 3 (8.3) 6 (20.7) 0.006b - Lembek 14 (38.9) 20 (68.9) Normal 19 (52.8) 3 (10.4) Hari Kelima, n (%) Cair 3 (8.3) 0 0.028b - Lembek 5 (13.9) 17 (58.6) Normal 28 (77.8) 12 (41.4) Hari Keenam, n (%) Cair 0 0 0.51a 0.239 0.057-1.002 Lembek 3 (8.3) 8 (27.6) Normal 33 (91.7) 21 (72.4) Hari Ketujuh, n (%) Cair 0 0 - - Lembek 0 0 Normal 36 (100) 29 (100) a

Fisher Exact, bKolmogorov- Smirnov

Dengan menggunakan uji Mann Whitney didapatkan perbedaan bermakna pada durasi diare sejak pemberian terapi hingga diare sembuh

lii antara kedua kelompok dimana kelompok selenium ditemukan durasi diare yang lebih singkat dibandingkan dengan kelompok plasebo, dengan nilai median masing-masing adalah 60 jam (2.5 hari) dan 72 jam (3 hari). Bila diamati sejak hari pertama diare sampai diare sembuh, maka juga didapatkan perbedaan bermakna pada lama diare antara kedua kelompok, dimana kelompok selenium lebih cepat sembuh dibanding kelompok plasebo dengan nilai rerata masing-masing 108 jam (4.5 hari) dan 120 jam (5 hari) (Tabel 4.3)

Tabel 4.3. Durasi diare

Lama diare (jam) Selenium (n= 36) Plasebo (n=29) P

median Min - maks Median Min –maks

Obat - sembuh 60 18 - 120 72 36 – 132 0.001

Awal diare - sembuh

108 60 -132 120 48 - 132 0.009

Pada penelitian ini, efek samping yang dinilai meliputi mual, muntah, rambut rontok, dan napas berbau bawang putih. Pada kedua kelompok tidak dijumpai adanya efek samping.

liii

BAB 5. PEMBAHASAN

Diare akut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang.15 Telah diketahui bahwa defisiensi mikronutrein tertentu seperti selenium diduga memiliki peranan dalam proses diare akut namun penelitian mengenai hubungan diare akut dengan selenium sangat sedikit.6 Studi ini mencoba untuk mendapatkan penanganan diare cair akut yang lebih baik dengan menilai efektivitas selenium dalam mengurangi keparahan diare cair akut pada anak.

Pada studi ini didapati anak yang menderita diare akut cair memiliki rerata usia 13 bulan dan diduga disebabkan oleh virus. Penyebab diare tersering pada anak usia dibawah lima tahun adalah rotavirus.19 Hal ini sesuai dengan yang ditemukan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Agustus 2002 saat terjadi wabah diare. The United States Naval Medical Research Unit No. 2 (U.S.NAMRU-2) di Jakarta melaporkan terjadi lebih dari 2000 kasus diare dan 12 kematian akibat diare, dan dari hasil pemeriksaan specimen tinja pasien ditemukan rotavirus yang merupakan penyebab diare tersering pada anak usia dibawah lima tahun.53

Penelitian tentang peranan selenium terhadap diare sampai saat ini sangat sedikit. Ini merupakan uji klinis pertama yang menilai efektivitas selenium dalam mengurangi keparahan diare cair akut pada anak dengan

liv ditemukan frekuensi diare yang lebih rendah, durasi diare yang lebih singkat, serta perbaikan konsistensi tinja yang lebih cepat pada kelompok selenium dibandingkan kelompok plasebo. Penelitian di Turkei menemukan kadar serum selenium lebih rendah pada kelompok yang menderita diare cair akut dibandingkan dengan kelompok kontrol pada saat masuk rumah sakit. Setelah diare berakhir terjadi peningkatan secara signifikan level selenium serum pada kelompok yang menderita diare cair akut dibandingkan kelompok normal.6 Penelitian di New York menjelaskan tikus yang diare mengalami penurunan enzim Selenium Dependent Glutathione Peroxidase ( GPx 1 dan GPx2) sebanyak 40 sampai 50%. Hal ini menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh di saluran pencernaan.42

Penelitian di New Zealand, didapatkan lembu yang mengalami defisiensi selenium terjadi diare berat, sementara pemberian suplementasi selenium dapat mencegah dan mengobati diare tersebut.43 Tiega dkk, menemukan bahwa babi yang mendapat diet selenium yang cukup memiliki masa inkubasi yang lebih panjang seperti munculnya gejala penyakit, lama diare yang lebih singkat dan kuman yang lebih sedikit pada tinja dibandingkan dengan babi yang mendapatkan diet selenium yang kurang.44- 46

lv Penelitian di Inggris pada tahun 1994, didapatkan bahwa pada pasien yang mengalami diare kronis memiliki kadar selenium plasma dan aktivitas enzim GPx yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.54

Pada diare cair akut karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga pemberian antibiotik tidak dianjurkan. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan.15 Pada studi ini seluruh subyek penelitian tidak diberikan antibiotik selama intervensi

Efek samping suplementasi selenium ditemukan bila diberikan melebihi dosis rekomendasi. Efek samping dapat berupa bau nafas seperti bawang putih, rambut rontok, gangguan gastrointestinal (mual, muntah).29 Namun pada penelitian ini tidak ditemukan efek samping selama pemberian intervensi.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna dan banyak dijumpai keterbatasan, diantaranya yaitu tidak dilakukannya ketersamaran ganda dalam pemberian terapi, tidak dilakukannya pengukuran kadar selenium sampel sebelum dan sesudah pemberian terapi, tidak dilakukan penilaian ada tidaknya hubungan timbal balik diare dan defisiensi selenium, serta ketidakmampuan peneliti mengamati setiap harinya

lvi kesembuhan pasien dan hanya berdasarkan keterangan orangtua atau pengasuh sehingga bisa menyebabkan bias pengukuran.

Keterbatasan lainnya adalah tidak diketahuinya jenis mikroorganisme penyebab diare, karena tidak dilakukan kultur feses pada semua sampel dan tidak dilakukannya analisa terhadap faktor lain seperti sarana air bersih, serta kondisi lingkungan pasien yang dapat mempengaruhi kesembuhan diare akut.

lvii

Dokumen terkait