• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 4.1.Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi %

Laki-laki 92 81,4

Perempuan 21 18,6

Total 113 100

Mayoritas pasien yang terlibat dalam penelitian ini adalah laki-laki sebanyak 92 orang pasien (81,4%) dan pasien berjenis kelamin perempuan sebanyak 21 orang (18,6%).

Tabel 4.2. Statistik Deskriptif Usia dan Lama Perawatan Pasien Variabel Rerata Simpangan

Baku Minimum Maksimum 95%CI

Usia 36 18,11 2 78 32,63-39,37

Lama

perawatan 9,33 5,3 1 25 8,34-10,32

Rerata usia pasien yang dirawat adalah 36 tahun (SB=18,11 tahun) dengan usia termuda 2 tahun dan tertua 78 tahun. Rerata lama perawatan adalah selama 9,33 hari dengan lama perawatan tersingkat selama 1 hari dan terlama 25 hari.

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Jenis Trauma

Jenis Trauma Frekuensi %

Trauma Tajam 28 24,8

Trauma Tumpul 85 75,2

Total 113 100

Dari hasil penelitian diperoleh sebanyak 85 kasus terkena trauma tumpul (75,2%) dan 28 kasus (24,8%) terkena trauma tajam.

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Morbiditas Morbiditas Frekuensi % ARDS 7 6,2 Atelektasis 1 0,9 Sepsis 3 2,7 Septic shock 1 0,9

Septic shock, gagal nafas, leukositosis, trombositosis

1 0,9

Septic shock dan gagal nafas 1 0,9

Tidak ada 99 87,6

Total 113 100

Berdasarkan ada tidaknya morbiditas diperoleh sebanyak 99 orang pasien (87,6%) tidak mengalami morbiditas. Morbiditas terbanyak yang dialami pasien adalah ARDS terjadi pada 7 orang pasien (6,2%) diikuti oleh sepsis yang dialami oleh 3 orang pasien (2,7%).

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Mortalitas

Mortalitas Frekuensi %

Ya 11 9,7

Tidak 102 90,3

Total 113 100

Berdasarkan ada tidaknya mortalitas pada pasien yang dirawat diperoleh bahwa umumnya pasien tidak meninggal terjadi pada 102 orang pasien (90,3%) sedangkan yang meninggal hanya sebanyak 11 orang pasien (9,7%).

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Penyebab Kecelakaan

Jenis Trauma Frekuensi %

Kecelakaan kerja 20 17,7

Kecelakaan lalu lintas 74 65,5

Kriminal 19 16,8

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh penyebab kecelakaan terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada 74 kasus (65,5%), diikuti oleh kecelakaan kerja yang terjadi pada 20 kasus (17,7%).

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Diagnosis

Diagnosis Frekuensi Kontusio paru 20 Hematotoraks 30 Tension Pneumotoraks 9 Pneumotoraks 30 Hematopneumotoraks 27 Fraktur Iga 30

Emphysema sub kutis 6

Flail Chest 4 Effusi Pericard 1 Ruptur Diafragma 3 Peritonitis 3 Eviscerasi Omentum 2 Fraktur Klavikula 5 Lacerated Wound 5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diagnosis terbanyak pasien bedah yang dirawat adalah pasien hematotoraks, pneumotoraks dan fraktur iga masing-masing sebanyak 30 kasus diikuti pasien hematopneumothorak sebanyak 27 kasus.

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Organ Terkait Yang Cedera

Organ Terkait Yang Cedera Frekuensi %

Otot 12 6,5

Iga 34 18,3

Perikardium 1 0,5

Pleura 72 38,7

Paru 20 10,7

Arteri mammaria interna 34 18,3

Diafragma 3 1,6 Gaster 2 1 Spleen 2 1 Duodenum 2 1 Ileum 1 0,5 Hepar 1 0,5 Omentum 2 1

Struktur terkait yang paling banyak mengalami cedera dalam penelitian ini adalah pleura sebanyak 72 kasus (38,7%) diikuti oleh iga dan arteri mammaria interna sebanyak 34 kasus (18,3%).

Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Jenis Terapi

Jenis Terapi Frekuensi

Torakostomi dan WSD 65

Konservatif trauma tumpul toraks 38

Torakotomi 13

Needle Insertion 9

Plester tiga posisi 28

Laparotomi 5

Jahit luka 5

Konservatif trauma tumpul abdomen 1

Jenis terapi terbanyak pada pasien-pasien bedah yang dirawat adalah torakostomi dan WSD sebanyak 65 kasus. Berikutnya dengan terapi konservatif trauma tumpul toraks dengan jumlah 38 kasus.

Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Kombinasi Terapi

Kombinasi Terapi Frekuensi

Torakostomi, WSD, dan Torakotomi 6

Torakostomi, WSD, dan Laparotomi 5

Torakostomi, WSD, dan Konservatif Trauma Tumpul Abdomen 1

Torakostomi dan Omentektomi 2

Jenis kombinasi terapi yang paling banyak dilakukan adalah torakostomi, WSD dan torakotomi sebanyak 6 kasus.

Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Indikasi Operasi Torakotomi

Indikasi Operasi Torakotomi Frekuensi %

Hematotoraks masif 6 42,9

Ruptur diafragma 2 14,3

Evakuasi hematoma 1 7,1

Evakuasi corpus alienum intra torakalis 5 35,7

Jenis indikasi operasi torakotomi yang paling banyak dilakukan adalah hematotoraks masif sebanyak 6 kasus (42,9%).

BAB 5 PEMBAHASAN

Trauma toraks adalah trauma yang mengenai rongga toraks. Trauma toraks dapat berupa trauma tumpul dan trauma tajam. 80% dari cedera toraks dapat ditangani secara nonbedah dengan tindakan torakostomi disertai WSD (water sealed drainage), analgesia yang tepat dan terapi pernapasan agresif. (Veysi, 2008)

Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 15-44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1.2 juta pertahun) adalah kecelakaan lalu lintas. Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas mendudukiperingkat ketiga dalam penyebab kematian dinidan kecacatan(Peden, 2004).

Pada penelitian ini dijumpai 116 kasus trauma toraks yang datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan periode Januari 2012 sampai dengan Desember 2014. Tiga pasien tidak dimasukkan kedalam penelitian ini karena rekam medis yang tidak lengkap, dengan demikian pasien yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 113 pasien. Data demografi subjek penelitian meliputi jenis kelamin laki-laki pada penderita trauma toraks sebanyak 92 (81,4%) orang, dan wanita sebanyak 21 (18,6%) orang dengan rata-rata usia penderita trauma toraks adalah 36 tahun (SB 18,11). Pada Essa M AlEassa (2013) dijumpai frekuensi jenis kelamin laki-laki sebanyak 425 sampel dan wanita sebanyak 49 sampel. Berdasarkan penelitian Wulandari AS (2008) dalam Evaluasi Penatalaksanaan Kasus Trauma Torakoabdominalis dijumpai penderita trauma toraks pada laki-laki 89 orang dan 11 orang pada wanita. Pada penelitian Mefire (2010) dalam Analysis of epidemiology, lesions, treatment, and outcome of 354 consecuitive cases of blunt and penetrating trauma to chest in an African setting dijumpai penderita trauma toraks berjenis kelamin laki-laki sebanyak 286 jiwa.

Pada penelitian ini trauma tumpul terjadi pada 85 kasus (75,2%) kasus trauma toraks, 28 kasus (24,8%) terjadi pada trauma tajam. Pada penelitian Mefire (2010) dijumpai 231 (65.3%) kasus merupakan trauma tumpul.

Dari hasil penelitian ini sekitar 65% (74 kasus) trauma toraks disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, 17,7% (20 kasus) disebabkan kecelakaan kerja dan 16,8% (19 kasus) disebabkan oleh kriminal. Pada penelitian Mefire (2010) penyebab trauma toraks terdiri dari kecelakaan lalu lintas sebanyak 226 (63.8%) kasus, 39 kasus jatuh, 19 kasus kecelakaan domestic, 70 kasus karena tindakan kriminal. Sedangkan pada penelitian Ibrahim Al-Koudmani (2012) penyebab trauma 41% kekerasan, dan 33% karena trauma, 23% karena jatuh. Sedangkan pada penelitian Essa M AlEassa (2013) penyebab terbanyak kasus trauma toraks disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (66%) diikuti oleh karena pasien terjatuh (23.4%). Pada penelitian Wulandari AS (2008) penyebab tersering kecelakaan adalah perkelahian besar 53%, kecelakaan lalu lintas 33% selebihnya karena kecelakaan sepeda motor, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan kerja, dan bencana alam.

Penanganan trauma toraks dapat berupaTorakostomi + WSD, Torakotomi, VATS, Penjahitan luka ataupun konservatif. Sebagian besar trauma toraks cukup ditatalaksana dengan Torakostomi + WSD. Hanya 1/3 diantaranya yang memerlukan terapi kombinasi (Mefire, 2010). Tindakan Torakostomi + WSD dilakukan pada 65 kasus, Torakotomi dilakukan pada 13 kasus, terapi konservatif trauma tumpul toraks 38 kasus. Sedangkan yang memerlukan tindakan kombinasi terapi Torakostomi + WSD + Torakotomi dilakukan pada 6 kasus, Torakostomi + WSD + Laparatomi dilakukan pada 5 kasus, Torakostomi + WSD + Omentektomi dilakukan pada 2 kasus dan Torakostomi + WSD + Konservatf trauma tumpul abdomen dilakukan pada 1 kasus.

Pada penelitian Wulandari AS (2008) penanganan yang dilakukan pada trauma toraks WSD-Laparotomi sebanyak 18 kasus, WSD – konservatif trauma tumpul abdomen sebanyak 9 kasus, Laparotomy – Torakotomi sebanyak 8 kasus, WSD – Torakotomi sebanyak 4 kasus, Laparotomy - WSD sebanyak 2 kasus, WSD – Laparotomi – Torakotomi sebanyak 2 kasus, WSD – Torakotomi –

Struktur terkait toraks yang paling sering cedera adalah pleura. Robekan pada pleura ini dengan mudah diatasi dengan pemasangan Torakostomi + WSD.

Cedera lain adalah fraktur iga dan paru.

Dari 113 kasus trauma toraks dijumpai 3 kasus dengan ruptur diafragma, baik secara trauma tumpul maupun trauma tajam. Trauma tajam yang mencederai diafragma biasanya disebabkan oleh trauma langsung yang menembus diafragma. Pada kasus Trauma tajam yang mengenai toraks bagian bawah dan abdomen bagian atas dengan hemodinamik stabil, terapi konservatif mulai dianut (Friese RS. J Trauma 2005; Kawahara N. J Trauma 1998).

Namun terapi konservatif ini mempunyai konsekuensi ruptur diafragma yang tidak terdeteksi, hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya hernia diafragma traumatika karena tekanan negatif intra torakalis akan menghisap organ intra abdominalis yang berpotensi terjadi strangulasi (Hirshberg A, J Trauma, 1995;Morales CH, Arch Surg, 2001; Rachmad KB, 2002). Untuk itu diperlukan tindakan yang lebih agresif untuk menegakkan diagnosis adanya ruptur diafragma. Pemeriksaan foto toraks bisa dipakai sebagai screening untuk menegakkan diagnosis ruptur diafragma akibat trauma tumpul toraks. Jika pada pemeriksaan pertama ruptur diafragma tidak terlalu jelas, dapat dilakukan pemeriksaan serial dalam jarak 6 jam, tanda yang paling jelas adalah kenaikan diafragma, iregulitas diafragma dan gambaran udara saluran cerna intra torakalis(Asensio JA, World J Surg 2002;Rachmad KB, 2002).

Pada trauma tumpul hal ini disebabkan oleh adanya hepar disisi kanan yang dapat meredam energi kinetik yang mengarah ke dome diafragma. Mekanisme terjadinya ruptur diafragma pada trauma tumpul karena perbedaan tekanan antara intraabdominalis dan intratorakalis, tekanan kuat pada daerah abdomen akan menyebabkan robekan pada diafragma, dan menyebabkan herniasi organ intraabdominalis. Diameter trauma tumpul lebih besar dibandingkan pada trauma tajam.

Pada penelitian ini organ yang sering cedera pada trauma toraks adalah pleura sebanyak 72 kasus (38.7%). Hal ini serupa dengan penelitain Wulandari AS (2008) yaitu organ yang sering cedera pada trauma toraks adalah pleura sebanyak 63 kasus. Pada penelitian ini juga ditemukan trauma toraks yg disertai

dengan trauma abdominal dan disertai dengan kombinasi terapi penatalaksanaannya. Struktur organ intra abdominalis yang paling sering cedera adalah hepar, diikuti oleh gaster dan spleen. Pada penelitian ini dijumpai juga 2 kasus dengan Eviscerasi Omentum, dan tidak dilakukan laparatomi hanya dilakukan omentektomi. Berdasarkan ATLS (2012) pada trauma tumpul abdomen organ yang sering terjadi cedera adalah spleen dan liver, sedangkan pada trauma tajam organ yang sering terjadi cedera adalah liver 40%, small bowel 30%, dan colon 15 %.

Pada penelitian ini diperoleh morbiditas terbanyak yang dialami pasien adalah ARDS terjadi pada 7 orang (6,2%), dan diikuti dengan sepsis terjadi pada 3 orang (2,7%). Pada penelitian Wulandari AS (2008) komplikasi yang sering terjadi adalah empyema (2 kasus), fistula bronkopleuralis (2 kasus), infeksi luka operasi (2 kasus).

Tingkat mortalitas pada pasien penelitian ini yaitu 9,7% (11 orang). Sebab kematian adalah ARDS, gagal sirkulasi dan sepsis. Pada penelitian Wulandari AS (2008) mortalitas terjadi pada 11 kasus dengan penyebab kematian gagal sirkulasi (8 orang), sepsis (2 orang), ARDS (1 kasus).Berdasarkan Kenneth L Mattox tingkat mortalitas trauma toraks di Amerika Serikat lebih dari 16.000. Kunci keberhasilan penanganan trauma toraks adalah penanganan awal berupa primary survey, tindakan resusitasi, perawatan perioperatif dan prosedur bedah yang tepat (Kia,2009).

BAB 6

Dokumen terkait