HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan tentang hubungan peran perawat dengan
kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Prov. Sumatera Utara Medan. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah 40 orang responden yang sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan oleh peneliti.
5.1.1.Analisa Univariat
Analisa Univariat pada penelitian ini menggambarkan karakteristik
demografi dan peran perawat yang digambarkan dalam tabel distribusi frekuensi.
a. Karakteristik demografi
Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan yang memiliki
masa kerja di atas 3 tahun. Adapun karakteristik yang digambarkan seperti
usia, jenis kelamin, agama, suku, dan tingkat pendidikan.
Data yang ditampilkan menunjukkan bahwa rata – rata usia perawat yang
bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara adalah 36 tahun,
dengan usia terbanyak yaitu 35 tahun (10%) dan usia terkecil yaitu 23 tahun
(50%), mayoritas responden bersuku batak toba yaitu sebanyak 13 orang
(32,5%), dan rata – rata tingkat pendidikan yang dimiliki responden
D3-Keprawatan sebanyak 21 orang (52,5%).
Hasil penelitian tentang karakteristik demografi lebih jelas dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 5.1 : karakteristik perawat berdasarkan umur (n=40)
Data demografi Mean Median Standar
deviasi
Minimum Maximal
Umur 36 35 8 23 54
Tabel 5.2. : Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik perawat berdasarkan jenis kelamin, agama, suku, dan tingkat pendidikan
(n = 40)
karakteristik frekuensi Persentase (%)
Jenis kelamin Perempuan Laki – laki 33 7 82.5 17.5 Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik 20 19 1 50 47.5 2.5 Suku Batak toba Batak mandailing Batak karo Jawa Melayu Aceh Lainnya 13 5 9 5 2 2 4 32.5 12.5 22.5 12.5 5.0 5.0 5.0 Tingkat pendidikan D3 – Kep S1 – Kep 21 19 52.5 47.5 b. Peran Perawat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 orang responden
dengan baik sebanyak 38 responden (95%), dan yang menjalankan perannya
sebagai seorang perawat dengan cukup sebanyak 2 responden (5%),
sedangkan perawat yang menjalankan perannya dengan buruk sebanyak 0
responden (0%). Jadi, secara umum perawat yang bekerja di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan menjalankan perannya dengan
baik.
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Peran Perawat di Rumah sakit jiwa daerah prov. Sumatera utara medan (n=40)
Peran Perawat Frekuensi Persentase (%)
Baik 38 95
Cukup 2 5
Buruk _ _
c. Kemampuan Bersosialisasi
Hasil penelitian ini menunjukkan dari 40 responden bahwa pasien isolasi
sosial yang memiliki kemampuan bersosialisasi baik sebanyak 14 responden
(35%), dan pasien isolasi sosial yang memiliki kemampuan bersosialisasi
cukup sebanyak 23 responden (57.5%), sedangkan pasien isolasi sosial yang
memiliki kemampuan bersosialisasi buruk sebanyak 3 responden (7.5%).
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Kemampuan Bersosialisasi pasien Isolasi Sosial (n=40)
Kemampuan bersosialisasi Frekuensi Persentase (%)
Baik 14 35
Cukup 23 57.5
5.1.2.Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan yang
signifikan antara dua variabel yang diteliti. Analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji spearman rho’. Uji spearman ini bertujuan untuk melihat hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi
sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Prov. Sumatera Utara Medan, ternyata terdapat hubungan yang signifikan
antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial.
Berdasarkan tabel penafsiran korelasi menurut Dahlan (2008) dapat dikatakan
bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dengan arah
yang positif dimana nilai yang diperoleh adalah 0.004 ( p – 0.05) dan dengan
kekuatan korelasi sedang (0.449).
Tabel 5.5. : hasil Uji korelasi Spearman rho’ antara peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien isolasi sosial di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan (n=40)
Variabel 1 Variabel 2 R P - Value Keterangan
Peran Perawat Kemampuan
bersosialisasi
0.449 0.004 Terdapat hubungan yang
bermakna positif antata dua variabel yang diuji, dengan kekuatan korelasi sedang.
5.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh maka akan dilakukan
pembahasan atas pertanyaan penelitian tentang hubungan peran perawat dengan
5.2.1.Peran Perawat
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari tabel distribusi frekuensi
dan persentase peran perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara
bahwa 38 responden (95%) yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa tersebut telah
menjalankan perannya dengan baik dan 2 responden (5%) lainnya telah
menjalankan perannya dengan cukup baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
secara keseluruhan perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov.
Sumatera Utara telah menjalankan perannya sebagai sorang perawat dengan baik.
Menurut (Hidayat, 2007) Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukannya
dalam suatu sistem. Peran dalam bidang keperawatan adalah suatu cara dalam
melakukan pelaksanaan praktik pelayanan kesehatan (Kozier Barbara, 2011).
Peran perawat itu sendiri ialah berupa suatu cara untuk menyatakan aktivitas
perawat dalam melakukan pelaksanaan praktik pelayanan perawatan.
Perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara
Medan telah melakukan perannya sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang
ada. Dari penelitian ini ditunjukkan bahwa sebanyak 95% perawat yang bekerja di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan telah menjalankan
peranny sebagai seorang perawat dengan baik. Hal ini sesuai dengan tingkat
pendidikan yang dimiliki oleh perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa tersebut
yang mayoritas mempunyai pendidikan D3 – Keperawatan yaitu sebanyak 21
semakin banyak pula pengetahuan yang dimilki. hal ini juga didukung dengan
tingkat usia perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa tersebut yang mayoritas
berusia 35 tahun, dimana usia tersebut merupakan usia produktif dalam bekerja.
Menurut badan statistika dikatakan bahwa usia proktif untuk bekerja adalah antara
15 – 50 tahun (Prianti, 2011).
5.2.2.Kemampuan Bersosialisasi
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari tabel distribusi frekuensi
dan persentase kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial didapati 14 orang
responden (35%) menjawab bahwa klien isolasi sosial memilki kemampuan
bersosialisasi secara baik, 23 responden (57.5%) menjawab bahwa klien isolasi
sosial memilki kmampuan bersosialisasi secara cukup baik, sedangkan 3
responden (7.5%) lainnya menjawab bahwa klien isolasi sosial memiliki
kemampuan bersosialisasi yang buruk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan klien isolasi sosial yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov.
Sumatera Utara Medan telah memiliki kemampuan bersosialisasi cukup baik
dengan lingkungan sekitarnya.
Sosialisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup dimana
seorang individu mempelajari kebiasaan – kebiasaan yang meliputi cara – cara
hidup, nilai – nilai dan norma sosial yang terdapat di dalam masyarakat agar dapat
diterima oleh masyarakat sekitarnya (Purba, 2009). Sedangkan kemampuan
bersosialisasi adalah kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam menjalankan
hubungan saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain atau
Klien yang mengalami gangguan sosialisasi memiliki kesulitan dalam
melakukan interaksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Klien
mungkin merasa dirinya ditolak sehingga klien menarik diri dari lingkungannya.
Biasanya individu yang mengalami isolasi sosial akan memiliki dampak negatif
dari lingkungan tempat tinggalnya, sehingga hal ini dapat memperburuk kondisi
klien tersebut. Dalam hal penanganan klien isolasi sosial ini dibutuhkan waktu
yang cukup lama agar dapat berinteraksi secara langsung. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Keliat, 2009) bahwa dalam melakukan penanganan terhadap klien
isolasi sosial dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam berinteraksi. Terlebih
dahulu sebaiknya membina hubungan saling percaya dengan klien karena klien
isolasi sosial itu sendiri sangat sulit untuk mempercayai orang lain.
Berdasarkan hal penanganan klien isolasi sosial penting bagi perawat untuk
membuat pertemuan terjadwal dengan klien untuk mengatasi masalah yang
dihadapinya. Bentuk pertemuan yang dapat dilakukan oleh perawat ialah dengan
memberikan intervensi kepada klien isolasi sosial tentang pentingnnya
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan melatih klien untuk berkenalan
dengan teman – teman disekitarnya. Dengan melakukan pendekatan yang baik
dan pemberian intervensi yang konsisten pada klien isolasi sosial maka hal
tersebut dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi klien tersebut.
5.2.3.Hubungan peran perawat dengan kemampuan bersosialisasi pada pasien
isolasi sosial
dengan nilai p – value adalah 0.004 dimana jika nilai p < 0.05 maka terdapat
hubungan yang searah antara dua variabel tersebut. Kekuatan korelasi yang
ditunjukkan adalah 0.499 dimana jika nilai r berada pada 0.40 – 0.599 maka
kekuatan korelasi tersebut sedang, hal ini mungkin dapat dipengaruhi oleh faktor
usia dan tingkat pendidikan perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Prov. Sumatera Utara Medan yang secara keseluruhan memiliki jenjang
pendidikan d-3, dan pada pasien isolasi sosial sendiri yang masih sulit untuk
melakukan interaksi dengan perawat yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Prov. Sumatera Utara Medan. Arah korelasi yang diperoleh berdasarkan hasil
penelitian tersebut ialah positif, dimana semakin tinggi peran perawat yang
dilakukan maka semakin tinggi pula kemampuan bersosialisasi klien isolasi sosial
tersebut.
Hasil penelitian diperoleh bahwa perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Prov. Sumatera Utara Medan telah melakukan perannya sebagai seorang
perawat dengan baik sesuai dengan standar asuhan keperawatan dan klien isolasi
sosial yang berada di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan
memiliki kemampuan bersosialisasi yang cukup baik. Berdasarkan hasil tersebut
dapat dilihat bahwa semakin baik peran perawat yang dilakukan maka semakin
baik pula kemampuan bersosialisasi klien isolasi sosial tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat (Viedebeck,2008) bahwa di Indonesia
sendiri penanganan gangguan jiwa telah menangani peningkatan karena perawat
telah berperan secara langsung dalam melakukan tindakan kepada klien gangguan
mendalam kepada klien isolasi sosial tersebut agar perawat dapat mengetahui
masalah yang dialami klien sehingga dapat diberikan intervensi kepada klien
isolasi sosial tersebut agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Keliat (2009) juga berpendapat bahwa perawat juga tidak mungkin secara
drastis dapat mengubah kebiasaan dari klien isolasi sosial itu sendiri, karena klien
isolasi sosial itu sendiri sangat sulit percaya kepada orang lain. Oleh karena itu
perawat harus bersikap terapeutik secara konsisten kepada klien isolasi sosial,
misalnya seperti menepati janji dengan klien. Pada awalnya klien isolasi sosial
hanya akan akrab dan melakukan interaksi dengan perawat saja, namun dengan
bantuan dari perawat secara bertahap klien isolasi sosial akan mampu berinteraksi
dengan lingkungan disekitarnya.
Klien isolasi sosial yang tidak memiliki kemampuan bersosialisasi ialah
cenderung menarik diri, tidak mendengarkan intruksi yang diberikan, tidak
mampu menunjukkan apa yang dirasakan oleh hati dan pikirannya. Dengan
dilakukannya pendekatan secara bertahap, maka klien isolasi sosial akan mampu
memahami instruksi yang diberikan dan mampu menunjukkan apa yang dirasakan
oleh hati dan pikirannya. Dari aspek tingkah laku sosial nya klien isolasi sosial
telah mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya misalnya seperti menegur
sapa teman – temannya. Hal ini dapat terwujud jika perawat tetap berperan secara
langsung dalam penangan klien isolasi sosial.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Hipotesa alternatif (Ha) diterima,
dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa terdapat hubungan
BAB 6