• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

penelitian ini ada 2 yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini merupakan cara untuk mengembangkan pembelajaran kontekstual dengan komponen dan media yang mendukung proses pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis yang rendah.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti:

1. Memberikan wawasan mengenai inovatif pembelajaran yaitu salah satunya dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang nantinya dapat diterapkan ketika mengajar.

2. Memberikan pengetahuan mengenai cara meingkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa.

3. Penelitian ini merupakan cara peneliti untuk belajar, berlatih, dan mengembangkan pembelajaran kontekstual dengan menerapkan pengetahuan peneliti selama melakukan penelitian.

b. Bagi siswa:

1. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika pembelajaran. 2. Meningkatkan hasil belajar dan berpikir kritis siswa.

c. Bagi Guru:

Penelitian dengan menggunakan pembelajaran kontekstual ini diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi guru untuk menaikkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis matematika.

F. Definisi Operasional

1. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah melakukan serangkaian proses belajar yang berupa 3 aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penelitian ini hanya mengukur dari aspek kognitif atau pengetahuan saja.

2. Berpikir kritis adalah sebuah usaha untuk dapat memecahkan masalah dan membuat sebuah keputusan sehingga dapat mendapatkan hasil yang lebih akurat melalui sebuah proses yang sistematis.

3. Matematika adalah ilmu yang mempelajari mengenai simbol-simbol, pengukuran dan bilangan yang diolah menggunakan rumus tertentu.

4. Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) adalah kumpulan bilangan yang sama dan terkecil yang merupakan kelipatan dari dua buah bilangan atau lebih.

5. Faktor Persektuan Terbesar (FPB) adalah faktor-faktor atau angka pembagi yang paling besar dari beberapa bilangan.

6. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mengaitkan materi dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II LANDASAN TEORI

Landasan teori dalam BAB II ini berisikan mengenai kajian pustaka yang memuat teori yang mendukung dan hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir serta hipotesis tindakan. Keempat hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

A. Kajian Pustaka

Peneliti akan membahas mengenai teori belajar, hasil belajar, berpikir kritis, matematika, KPK dan FPB, serta pembelajaran kontekstual atau

Contextual Teaching and Learning. 1. Hasil Belajar

Dalam sub bab hasil belajar akan dijelaskan mengenai hakikat belajar dan hakikat hasil belajar.

a. Hakikat Belajar

Robbins (dalam Trianto, 2009: 15) mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah dipahami dan sesuatu (pengetahuan) yang baru. Brunner (dalam Trianto, 2009: 15) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman/ pengetahuan yang sudah dimilikinya. Mahon (dalam Trianto, 2009: 16) mengemukakan bahwa pandangan konstruktivisme „belajar‟ bukanlah hanya menstransfer pengetahuan yang ada di luar

dirinya, tetapi belajar lebih pada bagaimana proses dan menginterpretasikan pengalaman yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dalam format yang baru.

Proses belajar akan menghasilkan suatu perubahan pada diri seseorang, seperti halnya yang diungkapkan oleh Gagne (dalam Thobroni, 2015: 18) bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus dapat mempengaruhi siswa sehingga perbuatannya berubah dari kondisi sebelum ia menerima stimulus. Perubahan yang terjadi tersebut diantaranya adalah perubahan pada tiga ranah yaitu kogntif, afektif, dan psikomotorik.

Abdillah (dalam Aunurrahman, 2011: 35) belajar adalah suatu usaha yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui pelatihan dan pengalaman yang menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu. Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses dimana seseorang memadukan pengalaman dan pengetahuan yang sudah ada pada dirinya dengan pengetahuan baru untuk menghasilkan suatu perubahan.

b. Hakikat Hasil Belajar

Suprijono (dalam Thobroni, 2015: 20), mengemukakan bahwa hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian- pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Widoyoko (2009: 1), berpendapat bahwa hasil belajar terkait dengan pengukuran,

kemudian dilanjutkan dengan penilaian dan evaluasi baik menggunakan tes maupun non-tes. Menurut Sudjana (2005: 5) bahwa hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dan umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar. Persamaan pengertian tersebut terletak pada penilaian sebagai hasil dari proses belajar yang juga ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku pada diri siswa.

Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Gagne (dalam Dimyati, 2006: 11) berpendapat bahwa hasil belajar merupakan kapasitas siswa yang terdiri dari:

1) Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.

2) Keterampilan intelek adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang.

3) Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktifitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.

4) Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tertentu.

Menurut Bloom (dalam Mustaqim, 2008: 36) mengemukakan bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga ranah (domain) atau daerah sasaran pendidikan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Klasifikasi hasil belajar tersebut dijelaskan oleh Bloom (dalam Sudjana, 2005: 22) sebagai berikut:

1) Ranah Kognitif

Evaluasi aspek kognitif, mengukur pemahaman konsep yang terkait dengan percobaan yang dilakukan untuk aspek pengetahuan evaluasi dapat dilakukan melalui tes tertulis yang relevan dengan materi pokok tersebut. Aspek kognitif dapat berupa pengetahuan dan keterampilan intelektual yang meliputi: pengamatan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan evaluasi.

2) Ranah Afektif

Evaluasi aspek afektif berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau penolakan terhadap suatu objek. Evaluasi aspek afektif dalam hal ini digunakan untuk penilaian kecakapan hidup meliputi kesadaran diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, dan kecakapan akademis. Aspek ini belum ada patokan yang pasti dalam penilaiannya.

3) Ranah Psikomotorik

Pengukuran keberhasilan pada aspek psikomotor ditunjukkan pada keterampilan dalam merangkai alat keterampilan kerja dan ketelitian dalam mendapatkan hasil. Evaluasi dari aspek keterampilan yang dimiliki oleh siswa bertujuan untuk mengukur sejauh mana siswa menguasai teknik praktikum. Aspek ini menitik beratkan pada unjuk kerja siswa.

Berdasarkan beberapa pengertian dari para ahli tersebut, peneliti menarik kesimpulan bahwa hasil belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah melakukan serangkaian proses belajar. Hasil belajar tersebut berupa 3 ranah yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut akan saling berkaitan dan berhubungan sehingga dapat diketahui hasil belajar dari seorang siswa. Namun dalam penelitian ini hanya berfokus pada ranah kognitif atau pengetahuan saja.

2. Berpikir Kritis

Paul (Kasdin dan Febiana, 2012: 5) menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah proses disiplin secara intelektual dimana seseorang secara aktif dan terampil memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan dan mengevaluasi berbagai informasi yang dia kumpulkan atau yang dia ambil dari pengalaman, pengamatan, refleksi yang dilakukannya, penalaran atau komunikasi yang dilakukannya. Selanjutnya Anggelo (dalam Achmad, 2007) juga menjelaskan bahwa berpikir kritis

adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Kedua pendapat tersebut terdapat kesamaan yang menekankan pada penyelesaian masalah dengan proses yang sistematis seperti menganalisis, mensintesis, dan menganalisis sebuah masalah

Menurut Johnson (2002: 183) berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Tujuan berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Sedangkan menurut Ennis (dalam Sunaryo, 2011: 19) berpikir kritis merupakan berpikir wajar dan reflektif serta fokus dalam menentukan apa yang harus dipercaya atau dilakukan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kegiatan tingkat tinggi dengan mengenal dan memecahkan masalah yang kemudian dapat mengambil suatu keputusan, menganalisis informasi yang didapatkan, dan dapat membuat suatu kesimpulan dari penelitiannya. Indikator keterampilan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui aspek-aspek perilaku yang diungkapkan dalam definisi berpikir kritis. Angelo (dalam Achmad, 2007: 138) mengidentifikasi lima indikator yang sistematis dalam berpikir kritis, yaitu sebagai berikut:

a. Keterampilan Menganalisis

Keterampilan menganalisis merupakan keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir kritis, diantaranya: memerinci, menyusun diagram, membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasikan, menyimpulkan, menunjukkan, menghubungkan, memilih, memisahkan, dan membagi (Arikunto, 2010: 138).

b. Keterampilan Mensintesis

Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadankan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit didalam bacaannya. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir sintesis, diantaranya: mengategorikan, mengombinasikan, mengarang, menciptakan, menjelaskan, mengorganisasikan, menyusun, menghubungkan, merevisi, menuliskan kembali dan menceritakan (Arikunto, 2010:138).

c. Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah

Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola

sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini adalah agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan mengenal dan memecahkan masalah diantaranya: mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, mengoperasikan, meramalkan, menyiapkan, menghasilkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan dan menggunakan.

d. Keterampilan Menyimpulkan

Keterampilan menyimpulkan menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai informasi secara keseluruhan. Jadi kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru. Kata-kata operasional yang mengindikasikan kemampuan menyimpulkan adalah: menjelaskan, memerinci, menghubungkan, mengategorikan, memisah dan menceritakan.

e. Keterampilan mengevaluasi atau menilai

Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu. Dalam taksonomi Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa dituntut agar ia mampu menilai sebuah fakta atau konsep dengan

asperk kognitifnya. Kata-kata operasional yang mengindikasikan kemampuan mengevaluasi atau menilai adalah: menilai, membandingkan, menyimpulkan, mengkritik, mendiskrisikan, menafsirkan, menerangkan, memutuskan (Arikunto, 2010:138).

Sunaryo (2012: 198) menjelaskan berpikir kritis menjadi beberapa indikator sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi fokus masalah, pertanyaan, dan kesimpulan. 2. Menganalisis argumen

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi atau tantangan. 4. Mengidentifikasi istilah keputusan dan menangani sesuai alasan. 5. Mengamati dan menilai laporan observasi.

6. Menyimpulkan dan menilai keputusan.

7. Mempertimbangkan alasan tanpa membiarkan ketidaksepakatan atau keraguan yang mengganggu pemikiran (berpikir yang disangka benar).

8. Mengintegrasikan kemampuan lain dan disposisi dalam membuat dan mempertahankan keputusan.

Menurut Ennis (dalam Riyadi, 2008: 21) terdapat 12 indikator berpikir kritis yang terangkum dalam 5 kelompok keterampilan berpikir, yaitu memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), membangun keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan (interfence), membuat penjelasan lebih lanjut (advance clarification), serta strategi dan taktik (strategy and tactics). Kemudian

12 indikator tersebut dijabarkan dalam beberapa sub indikator seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Keterampilan Berpikir Kritis

Keterampilan berpikir

kritis Sub Keterampilan berpikir kritis

Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification) 1. Memfokuskan pertanyaan. 2. Menganalisis argumen

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang

Membangun Keterampilan dasar

(basic support).

4. Mempertimbangkan kredibilitas (kriteria) suatu sumber.

5. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi.

Menyimpulkan

(inference)

6. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi

7. Membuat induksi dan mempertimbangkan induksi.

8. Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan.

Membuat penjelasan lebih lanjut

(advanced

clarification)

9. Mendefinisikan istilah, mempertimbang kan definisi 10. Mengidentifikasi asumsi. Strategi dan taktik (strategies and tactics).

11. Memutuskan suatu tindakan. 12. Berinteraksi dengan orang lain

Berdasarkan indikator dari tiga ahli tersebut, peneliti menuliskannya ke dalam tabel untuk melihat kesamaan yang nantinya akan diambil sebagai indikator dalam penelitian.

Tabel 2.2 Persamaan Indikator dari Tiga Ahli Angelo (dalam

Achmad, 2007 : 138)

Sunaryo (2012:198) Ennis (dalam Riyadi, 21: 2008)

Keterampilan menganalisis

Mengidentifikasi fokus masalah, pertanyaan, dan kesimpulan.

Memfokuskan pertanyaan.

Keterampilan mensintesis

Menganalisis argumen Menganalisis argumen Keterampilan

mengenal dan

memecahkan masalah

Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi atau tantangan.

Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang

menantang Keterampilan

menyimpulkan

Mengidentifikasi istilah keputusan dan menangani sesuai alasan.

Mempertimbangkan kredibilitas (kriteria) suatu sumber.

Keterampilan mengevaluasi dan menilai

Mengamati dan menilai laporan observasi.

Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi (ikut terlibat dalam menyimpulkan) Menyimpulkan dan

menilai keputusan.

Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi

Mempertimbangkan alasan tanpa membiarkan ketidaksepakatan atau

keraguan yang

mengganggu pemikiran (berpikir yang disangka benar).

Membuat induksi dan mempertimbangkan induksi.

Mengintegrasikan

kemampuan lain dan disposisi dalam membuat dan mempertahankan keputusan. Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan. Mendefinisikan istilah,mempertimbangkan definisi Mengidentifikasi asumsi. Memutuskan suatu

tindakan (mendefinisikan masalah)

Berinteraksi dengan orang lain

Berdasarkan tiga indikator tersebut, peneliti menggunakan 6 indikator sebagai fokus penelitian, yaitu:

1. Menganalisis argumen, sumber: Angelo (dalam Achmad. 2007: 138), Sunaryo (2012:198), Ennis (dalam Riyadi, 2008: 21).

2. Mampu bertanya, sumber: Angelo (dalam Achmad. 2007: 138), Sunaryo (2012:198), Ennis (dalam Riyadi, 2008: 21).

3. Mampu menjawab pertanyaan, sumber: Angelo (dalam Achmad. 2007: 138), Sunaryo (2012:198), Ennis (dalam Riyadi, 2008: 21). 4. Memecahkan masalah, sumber: Angelo (dalam Achmad. 2007: 138),

Sunaryo (2012:198), Ennis (dalam Riyadi, 2008: 21).

5. Membuat kesimpulan, sumber: Angelo (dalam Achmad. 2007: 138), Sunaryo (2012:198), Ennis (dalam Riyadi, 2008: 21).

6. Keterampilan mengevaluasi dan menilai hasil dari pengamatan,

sumber: Angelo (dalam Achmad. 2007: 138), Sunaryo (2012:198), Ennis (dalam Riyadi, 2008: 21).

3. Matematika

Peneliti akan menjabarkan definisi matematika, ciri matematika, dan tujuan matematika dalam subbab ini.

a. Definisi Matematika

Johnson dan MyKlebust (Rostina Sundayana, 2015: 2) mengemukakan bahwa matematika merupakan bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan-hungan kuantitatif dan keruangan. Fowler (dalam Rostina Sundayana, 2005: 3) berpendapat bahwa matematika adalah ilmu abstrak mengenai ruang dan bilangan. Menurut Sudojo (2001: 45) matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir.

Menurut James (dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2006: 4), matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Selanjutnya Schoenfeld (dalam Heris Hendriana, 2004: 5) mengemukakan bahwa berpikir matematis berarti: a) mengembangkan pandangan terhadap matematika: menilai proses matematisasi dan abstraksi dan memiliki kecenderungan menerapkannya, dan b) mengembangkan kompetensi berkenaan dengan alat matematika, menggunakannya untuk mencapai tujuan memahami struktur matematika, dan menyajikan sesuatu yang masuk akal. Berdasarkan pengertian matematika dari beberapa ahli tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu yang mempelajari ruang, bilangan, bentuk, dan susunan besaran, sebagai alat untuk mengembangkat cara berpikir.

b. Ciri-ciri Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Pembelajaran matematika di SD selalu berbeda-beda, namun memiliki ciri-ciri secara umum dalam pembelajarannya. Menurut Suwangsih (2006: 25) ciri-ciri pembelajaran matematika di SD yaitu: 1) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral

Pendekatan spiral merupakan pendekatan pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu dikaitkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya dapat digunakan untuk memahami topik baru dalam matematika, sedangkan topik baru merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya.

2) Pembelajaran matematika bertahap

Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu mulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sulit.

3) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif

Materi yang dipelajari dalam metematika dimulai dengan mengenalkan contoh-contoh yang konkret sehingga siswa dapat memahami konsep yang ada dalam materi tersebut.

4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi

Kebenaran dalam matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya.

5) Pembelajaran matematika hendaknya bermakna

Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan. Dalam pembelajaran bermakna siswa harus mempelajari matematika mulai dari proses terbentuknya suatu konsep kemudian berlatih menerapkan dan memanipulasi konsep pada situasi baru. c. Tujuan Matematika

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 tahun 2006 tentang Standar Isi, disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan supaya siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BNSP: 2006) tujuan matematika adalah untuk mencapai kompetensi matematika, salah satunya yaitu berpikir kritis. Suherman (dalam Pertiwi, 2011: 2) menyebutkan bahwa tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal, yaitu:

a. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien.

b. Mempersiapkan siswa agar dapat mempersiapkan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan.

4. KPK dan FPB

1. Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK)

Ditinjau dari namanya, istilah kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dalam operasi hitung matematika merupakan persekutuan (kumpulan) bilangan yang sama dan terkecil yang merupakan kelipatan dari dua buah bilangan atau lebih. Jauntar (2003:7) mengemukakan bahwa kelipatan persekutuan terkecil (KPK) adalah perkalian faktor-

faktor prima yang bilangan pokoknya berbeda dan mempunyai pangkat terbesar. Kelipatan adalah hasil jumlah dari bilangan yang sama. Kelipatan persekutuan terkecil dapat dicari dengan cara mengalikan faktor-faktor yang berbeda. Jika ada fakor yang sama diambil yang berpangkat terbesar.

Penentuan KPK dari bilangan tertentu dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya adalah di bawah ini:

a) Menuliskan kelipatan dari setiap bilangan dan menentukan persekutuannya

Contoh:

Berapakah KPK dari bilangan 5 dan 7? Jawab:

Kelipatan dari 5= 10, 15, 20, 25, 30, 35 , 40 , 45, 50, 55, 60, 65, 70,.. Kelipatan dari 7 = 14, 28, 35 , 42 , 49, 56, 63, 70 , …

Bilangan yang bersekutu atau saling bertemu adalah 35 dan 70. Bilangan terkecil dari bilangan yang bersekutu adalah 35. Dengan demikian, jelas nampak bahwa KPK dari bilangan 5 dan 7 adalah 35. b) Menentukan KPK dengan menggunakan faktorisasi prima

Cara ini merupakan cara penentuan KPK yang lebih praktis, namun memerlukan ketelitian. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah ketika melakukan perkalian angka dan pangkatnya dari hasil faktorisasi prima.

Caranya:

Faktorisasi 12 = 2 x 2 x 3 = 22 x 3 Faktorisasi 30 = 2 x 3 x 5

Kalikan semua bilangan yang ada (2, 3, 5) jika ada yang sama (22 dan 2) maka ambil pangkat yang paling besar yaitu 22, sehingga diperoleh: 22 x 3 x 5 = 60. Jadi KPK dari 12 dan 30 adalah 60.

2. Faktor Persekutuan Terbesar (FPB)

Supardja (2004:10) menyatakan bahwa faktor persekutuan terbesar adalah bilangan terbesar yang habis membagi dua bilangan atau lebih. Utomo dan Arijanny (2009: 33) juga menyebutkan bahwa Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) dari dua bilangan adalah bilangan terbesar yang habis membagi kedua bilangan tersebut. Kata persekutuan mempunyai arti bilangan yang saling bertemu. Cara untuk menentukan FPB adalah sebagai berikut:

1. Menentukan atau mencari semua faktor perkalian dari bilangan- bilangan tersebut kemudian menentukan faktor terbesar yang bersekutu dari bilangan itu:

2. Menentukan atau mencari faktorisasi prima dari bilangan-bilangan tersebut kemudian menentukan FPB nya.

Faktor persekutuan terbesar (FPB) juga dapat dicari dengan menggunakan pohon faktor sebagai berikut:

5. Pembelajaran Kontekstual

Subbab ini peneliti akan membahas mengenai pengertian, karakteristik, komponen, langkah, dan kelebihan dari pembelajaran kontekstual.

a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL)

Hamdayama (2014: 53) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL) adalah konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2007: 14) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. Menurut Depdiknas (dalam Tukiran Taniredja 2014: 49) pembelajaan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dalam penerapannya alam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama

pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).

Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching Learning adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam menggunakan kemampuannya dan berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata atau dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran Kontekstual memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning to do) sehingga dapat berlangsung pembelajaran yang aplikatif.

b. Karakteristik Contextual Teaching Learning (CTL)

Menurut Johnson (dalam Hosnan, 2014: 277), terdapat delapan utama yang menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual.

1) Melakukan hubungan yang bermakna. 2) Mengerjakan pekerjaan yang berarti. 3) Mengatur cara belajar sendiri. 4) Bekerja sama.

5) Berpikir kritis dan kreatif.

6) Mengasuh atau memelihara pribadi siswa. 7) Mencapai standar yang tinggi.

8) Menggunakan penilaian yang sebenarnya.

Pembelajaran yang dilaksanakan dengan CTL, menurut Priyatni (dalam Hosnan, 2014: 278), memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang autentik, artinya pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam

Dokumen terkait