• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian

Dalam dokumen Laporan Riset bahasa (Halaman 24-41)

Tabel 4: Resume Analisis Di Hutan Konservasi Di Hutan Lindung Di Hutan Produksi Di Wilayah lain Luas Konsesi Pertambangan [Ha] 31.623,825 190.561,9328 323.564,8176 856.808,5197

Kerangka kerja analisis “Go” dan “No Go” digunakan untuk menganalisis hasil penelitian yang akan memberikan wawasan baru pada permasalahan konsesi pertambangan dan konservasi hutan di Kalimantan Barat yang ada kini. Tabel 5 di bawah ini menunjukkan analisis

“Go” dan “No Go”. Tabel 5:

Analisis “Go” dan “No Go” Konsesi Pertambangan di Kalimantan Barat

Wilayah Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Kepmen No. 259 Kepmen No. 936 Kepmen No. 259 Kepmen No. 936 Kepmen No. 259 Kepmen No. 936 Perkebunan kelapa sawit [377 konsesi, 4.2 juta ha] 8.433,40 6.859,34 56.299,78 63.922,30 653.473,01 383.484,60 Wilayah hutan [47 konsesi, 2.2 juta ha] 2.258,19 5.090,34 46.734,93 58.022,01 728.294,97 592.735,40 Penebangan [30 konsesi, 1.3 juta ha] 5.176,38 5.894,65 98.452,89 97.713,30 - -Tambang [721 konsesi, Total 5.7 juta ha] 1.035,79 3.517,37 108.939,48 134.519,36 2.313.612,10 1.949.557,72

Dari analisis yang ada, terdapat 31.623,825 ha lahan konsesi berada pada area “No Go”

karena lokasinya yang berada di dalam hutan konservatif. Hal ini menunjukkan pelanggaran atas UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan yang telah dibahas sebelumnya. Selain itu, juga ditemukan 190.561,93 ha lahan konsesi berada di area “No Go” karena lokasinya yang berada di dalam hutan lindung. Meski demikian, masih diperlukan analisis lebih jauh terhadap data yang ada apakah konsesi tersebut untuk aktivitas pertambangan terbuka atau tidak. Dalam kasus dimana konsesi diperuntukkan untuk aktivitas pertambangan terbuka, maka jelas terlihat pelanggaran atas UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan mengingat pertambangan terbuka dilarang berada di dalam hutan lindung. Temuan ini didukung oleh hasil analisis data spasial dimana dapat dilihat lokasi konsesi yang melanggar UU Nomor 41/1999, khususnya ketika konsesi berada di atas hutan konservasi dan hutan lindung (untuk pertambangan terbuka). Dalam peta ini, dapat dilihat area dengan warna merah menunjukkan konsesi berada di atas hutan konservasi dan hutan lindung, dimana dalam laporan ini merujuk pada area “No Go”.

Laporan ini didukung oleh tiga peta sebagai hasil analisis spasial yang diringkas dalam tabel di bawah ini:

Tabel 6:

Daftar Peta, Hasil dari Analisis Spasial

Nama Peta Analisis

Peta konsesi pertambangan di hutan konservasi

No Go

Peta konsesi pertambangan di hutan lindung

No Go [analisis lanjutan untuk pertambangan terbuka atau tidak] Peta konsesi pertambangan di hutan

produksi

Go

Konsesi Pertambangan pada hutan produksi terbatas dan konversi Berdasarkan pada UU Nomor 41/ 1999 tentang kehutanan, aktivitas pertambangan hanya dapat dilaksanakan pada hutan produksi dengan izin peminjaman dan penggunaan dari Kementerian Kehutanan dan persetujuan DPR. Terdapat setidaknya dua tipe hutan produksi: (1) hutan produksi terbatas, (2) hutan produksi konversi. Konsesi pertambangan di hutan produksi mungkin didapatkan di area hutan produksi dengan mengubah fungsi area hutan yang dapat dilakukan melalui penukaran wilayah hutan (forest area swap) (Pasal 7, Peraturan Pemerintah Nomor 10/2010). Perubahan wilayah hutan juga dapat dilakukan melalui “pemberian” wilayah hutan yang hanya dapat diberlakukan di hutan produksi konversi. Pemberian wilayah hutan dapat dilakukan untuk kebutuhan pembangunan terlepas dari aktivitas kehutanan. Akan tetapi, pemberian wilayah hutan ini tidak dapat dilakukan di provinsi dengan kepemilikan wilayah hutan kurang dari 30% dari total wilayah. Berkaitan dengan hal ini, analisis spasial dalam konsesi pertambangan di hutan produksi terbatas dan konversi relevan dengan studi ini.

Tabel 7 di bawah ini menunjukkan luas wilayah dimana konsesi tambang berada di dalam hutan produksi terbatas dan konversi:

Tabel 7:

Konsesi Tambang Dalam Hutan Produksi Terbatas Dan Konversi Konsesi Pertambangan [ha]

Hutan produksi terbatas 256.831,0506

Hutan produksi konversi 90.540,2401

Elaborasi lebih jauh dibutuhkan untuk mengidentiikasi konsesi pertambangan mana yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan dengan persetujuan dari DPR untuk mengidentiikasi analisis “Go” dan “No Go”. Sejauh ini, temuan yang ada memberikan sejumlah pandangan atau wawasan untuk dalam uji transparansi spasial pada industri ekstraktif di Provinsi Kalimantan Barat.

Tumpang Tindih Konsesi Tambang dengan Konsesi Lain

Terlepas dari analisis “Go” dan “No Go”, penting untuk mengidentiikasi tumpang tindih antar konsesi yang berbeda untuk menunjukkan tantangan dan permasalahan transparansi pada industri ekstraktif, khususnya pada dimensi spasial. Tabel 8 di bawah ini menunjukkan tumpang tindih konsesi di Provinsi Kalimantan Barat berkaitan dengan konsesi pertambangan:

Tabel 8:

Tumpang Tindih Konsesi di Kalimantan Barat

Konsesi Pertambangan [ha]

Konsesi kelapa sawit 804.538,843

Konsesi wilayah kehutanan 442.080,456

Konsesi Penebangan 367.224,154

Dari tabel di atas, telah teridentiikasi tumpang tindih konsesi pertambangan dengan konsesi lainnya di Kalimantan Barat. Tumpang tindih antara konsesi pertambangan dengan kelapa sawit merupakan yang terbesar di Kalimantan Barat. Peta yang menunjukkan tumpang tindih ini juga dicantumkan dalam laporan ini.

Studi Empiris

Untuk mendukung studi literatur yang telah dilakukan, dilakukan pula studi empiris melalui sejumlah metode, yaitu observasi, site visit, dan wawancara naratif. Tujuan dari studi empiris ini meliputi: (1) untuk mengumpulkan informasi empiris dan data guna mendukung studi literatur, (2) untuk dijadikan sebagai triangulasi data sekunder yang didapatkan melalui studi literatur, dimana akan dibandingkan dengan informasi dan data yang dikumpulkan dari studi empiris. Diharapkan proses ini dapat menjamin reliabilitas dan kualitas data, sehingga mampu menjamin kualitas analisis penelitian.

Studi empiris ini dilaksanakan di Kecamatan Kandawangan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, tempat dimana perusahaan tambang, yaitu PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM), melakukan ekstrak bauksit. Selain PT HPAM, terdapat perusahaan lain, yaitu PT Putra Alam Lestari, yang juga telah melakukan ekstrak bauksit di area ini. Sebagai bentuk studi empiris, dilakukan delapan wawancara naratif dengan sejumlah warga yang tinggal di tiga desa di sekeliling wilayah pertambangan, termasuk masyarakat lokal yang dipekerjakan oleh perusahaan.

Gambar 4 menunjukkan wilayah pertambangan PT. HPAM yang berlokasi di atas perkebunan kelapa sawit, namun telah diubah kembali menjadi perkebunan kelapa sawit setelah aktivitas pertambangan selesai. Masyarakat lokal sendiri tidak mengetahui perubahan ini dan mereka juga tidak mendapatkan keuntungan akan perubahan yang terjadi.

Gambar 4: Wilayah pertambangan bauksit PT. HPAM setelah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit (Sumber: Zainul Mubarok, 15 Juni 2013)

Gambar 5: Situs pertambangan HPAM di Kendawangan (Sumber: Zainul Mubarok, 17 Juni 2013)

Perusahaan

HPAM merupakan cabang perusahaan dari Cita Mineral Investindo (CMI) yang bergerak pada eksploitasi bauksit. HPAM telah beroperasi sejak tahun 2005 dan mengekspor bauksit langsung ke China. HPAM memiliki 5 konsesi di Kabupaten Ketapang dengan total lahan mencapai 295.605 ha. HPAM memegang IUP yang valid hingga April 2014. Diindikasikan bahwa, aktivitas pertambangan bauksit ini memberikan dampak ke tiga desa yang berada di sekeliling wilayah pertambangan, yaitu meliputi Desa Mekar Utama, Desa Kendawangan Kiri, dan Desa Banjarsari.

Hingga laporan ini diselesaikan, masih terdapat kekurangan data dan informasi dalam volume bauksit mentah yang diekspor setipa bulannya oleh HPAM. Akan tetapi, berdasarlan

laporan inancial CMI, yang notabene menjadi payung perusahaan HPAM, produksi bauksit di Kandawangan (yang dilakukan HPAM) mencapai 3,176 metric ton di tahun 2011. Dengan rata– rata harga bauksit mencapai US$ 29,1 per metric ton, diestimasikan HPAM telah mendapatkan keuntungan sebesar US$ 92 juta hanya di tahun 2012. Salah satu orang yang diwawancara memberikan informasi berkaitan dengan pertambangan bauksit yang dioperasikan oleh HPAM. Informasi yang diberikan dapat dikategorikan sebagai pengetahuan umum masyarakat setempat, mengingat dia juga tidak bekerja di perusahaan.

“...setelah bauksit dikeruk dari perut bumi, kemudian dilakukan pencucian untuk memisahkan tanah dengan batuan bauksitnya. Setelah itu di timbang beratnya, kemudian diangkut menggunakan Dump Truck ke pelabuhan untuk dimasukkan ke tongkang pertama. Tongkang pertama ini mengangkut lagi ke tongkang induk yang berada di laut lepas. Kata orang-orang yang pelabuhan, tongkang utama yang berada di laut lepas itu lebih besar dari lapangan bola dan bisa mengangkut sekitar 300 ribu ton bauksit. Tongkang besar itulah yang membawa langsung eksport bauksit mentah ke China.”

Berkaitan dengan jumlah warga setempat yang dipekerjakan oleh HPAM sendiri masih tidak jelas, akan tetapi data yang dipublikasikan oleh Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Ketapang menyebutkan bahwa terdapat 1870 masyarakat lokal yang dipekerjakan oleh HPAM. Mengikuti Ketetapan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Nomor 7/2012 tentang pelarangan ekspor sumber daya alam, HPAM memberhentikan 866 karyawannya (masyarakat lokal) sebagai bentuk peningkatan eisiensi. Melalui sejumlah lobi, HPAM mampu mendapatkan kembali hak ekspor sumber daya alam mereka dengan sejumlah kondisi: (1) ekspor dengan maksimum volume 900 ton setiap 3 bulan dan (2) pajak 20%.

HPAM sendiri tengah membangun 4 unit smelter (untuk memproses bahan mentah dan meningkatkan nilai tambah). Selain smelter, HPAM juga membangun sejumlah infrastruktur dan fasiliats publik di beberapa dusun, seperti air bersih, masjid dan gereja juga menyediakan generator listrik bagi kelompok lokal tertentu serta memberikan dukungan terhadap masyarakat lokal untuk mengembangkan peternakan, seperti peternakan babi. Program– program ini disalurkan melalui agenda HPAM dalam pembangunan komunitas.

Fakta dan Gambaran Sosio-Ekonomi

Masyarakat lokal yang berasal dari kelompok etnis Melayu dan Dayak telah bergantung pada sumber daya hutan dan melakukan perladangan berpindah, sebuah praktik bertani yang umum di Kalimantan Barat. Dengan praktik ini, masyarakat setempat mampu mendapatkan makanan dan memenuhi kebutuhan sehari–hari. Masyarakat setempat mendapatkan manfaat dari keberadaan hutan dan sumber daya di dalamnya, yaitu (1) pemanfataan kayu untuk kebutuhan rumah tangga dan fasilitas publik, (2) pemanfaatan buah – buahan sebagai bahan makanan, (3) pemanfaatan daun dan akar untuk bahan obat, (4) berburu, (5) penangkapan ikan untuk kebutuhan sehari–hari. Di samping itu, masyarakat setempat juga mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir sebagai bahan makanan. Ketergantungan ini membentuk dinamika sosial masyarakat setempat tersebut. Membuka hutan, budidaya padi serta proses panen dilakukan secara komunal dimana tetangga dan anggota masyarakat

saling membantu. Dinamika ini juga dipengaruhi oleh hukum adat, khususnya dalam menghargai anggota masyarakat lokal juga alam. Salah satu orang yang kami wawancarai menjelaskan bagaimana anggota masyarakat lokal telah mendapatkan manfaat dari hutan dan sumberdaya di dalamnya sebagai sumber mata pencaharian mereka.

Akan tetapi, dia juga menjelaskan bagaimana situasi yang ada telah berubah setelah wilayah menjadi subjek konsesi yang berbeda. Dia menaruh perhatian atas bagaimana situasi ke depan nantinya, mengingat dia sadar desa tempatnya tinggal telah berada di dalam lahan konsesi perusahaan. Dia juga melihat berkembangnya konlik horizontal antar anggota masyarakat lokal karena pengembangan sejumlah konsesi di wilayah mereka. Berikut pernyataannya:

“...Namun, sejak masuknya perusahaan kehidupan masyarakat menjadi berubah. Pemerintah melalui petugas Dinas Kehutanan bilang masyarakat tak boleh membuka ladang dan mengarap lahan di hutan adat. Mereka bilang wilayah hutan adat kami sudah ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Tak lama kemudian kami dengar pula bahwa sebagian dari wilayah hutan adat kami telah diserahkan ke perusahaan HTI PT Kertas Basuki Rahmat (KBR), itu sekitar tahun 1997. Kemudian menyusul lagi perkebunan sawit. Dan sekitar tahun 2002/2003, datang lagi perusahaan tambang melakukan survei. Pada sekitar 2004/2005, perusahaan tambang PT Harita dan PT PAL beroperasi di wilayah kami. Sebagian kecil warga menerima masuknya perusahaan, dan kebanyakan menolak. Tapi yang menolak tak bisa berbuat banyak, umumnya mereka takut cari masalah dengan pemerintah dan perusahaan.”

Di samping itu, ia juga menambahkan:

“...Kami hanya mendengar sekilas apa itu RTRW?. Tapi kami tak pernah tahu apa saja kebijakannya. Kami hanya tahu kehadiran perusahaan HPH, HTI, sawit dan tambang di daerah kami setelah pihak perusahaan dan pemerintah melakukan sosialisasi. Pemerintah bilang perusahaan sudah mendapatkan izin. Kami merasa terpojok dan terpaksa menerima.”

Sementara itu, pihak lain yang kami wawancarai berpendapat:

“...memang ada proses sosialisasi pada saat perusahaan masuk dulu. Tapi yang hadir hanya perwakilan elit-elit desa dan tokoh masyarakat saja. Dan seperti

biasanya, pihak perusahaan penuh dengan janji-janji, terutama soal rekrutmen

tenaga kerja dan pembangunan daerah kami.”

Transparansi

Dari studi yang kami lakukan, hampir semua penduduk desa tidak mendapatkan informasi dan tidak dilibatkan dalam pembangunan PT HPAM. Perusahaan tersebut telah melakukan

public outreach, namun hanya melibatkan elit–elit di desa, pejabat Kecamatan, dan perwakilan dari kepolisian dan militer daerah. Beberapa dari elit menolak pembangunan tersebut, namun terdapat sejumlah elit yang menyetujui pembangunan ini mengingat keuntungan yang dijanjikan perusahaan, yaitu (1) pembukaan lapangan kerja, (2) kontribusi pada pembangunan

lokal dan (3) uang bagi pejabat desa. Salah satu orang yang kami wawancara melaporkan:

“...Para warga sulit menolak masuknya perusahaan tambang, karena hampir semua elit desa, pejabat pemerintah (Bupati dan Camat), bahkan preman sudah dipegang pihak perusahaan. Informasi yang jujur mengenai tambang di sini sulit di dapat dari warga, karena ada yang punya kepentingan dan ada pula yang takut mendapat masalah.”

Selain itu, berkaitan dengan dokumen perencanaan spasial, pihak lain yang kami wawancarai berpendapat:

“...Kami hanya mendengar sekilas apa itu RTRW? Tapi kami tak pernah tahu apa saja kebijakannya. Kami hanya tahu kehadiran perusahaan HPH, HTI, sawit dan tambang di daerah kami setelah pihak perusahaan dan pemerintah melakukan sosialisasi. Pemerintah bilang perusahaan sudah mendapatkan izin. Kami merasa terpojok dan terpaksa menerima.”

Setelah public outreach, PT HPAM mulai berupaya untuk memperoleh tanah. Perusahaan merekrut anggota komunitas yang berpengaruh untuk mendorong penduduk desa memberikan tanah juga kebun mereka. Sebagai timbal baliknya, perusahaan berjanji untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan mengembalikan tanahnya dengan pohon karet dll. (kelapa sawit) setelah aktivitas pertambangan selesai. Kemudian, dilakukan negosiasi untuk harga tanah. Negosiasi ini dilakukan oleh salah satu pegawai perusahaan yang masuk dalam tim pembangunan komunitas. Pada awal mulanya, anggota masyarakat lokal menerima Rp2 juta ha. Akan tetapi, setelah tahun 2010, setiap anggota masyarakat yang memberikan tanahnya, mendapatkan rata–rata Rp10 juta per ha.

Gis Berbasis Web

Hasil dari analisis spasial ditampilkan sebagai GIS berbasis web yang dapat diakses di

http://editor.giscloud.com/map/230430/eispatialtranparency. Platform ini digunakan untuk menyediakan data spasial dan informasi mengenai sektor pertambangan di Kalimantan Barat bagi publik. Pengunjung web dapat melihat konsesi–konsesi dan kondisi hutan di Kalimantan Barat.

Gambar 6 menunjukkan alokasi hutan di Kalimantan Barat berdasarkan Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 259/2000. Akan tetapi, ketetapan menteri ini telah direvisi dan digantikan dengan Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 936/2013 (lihat gambar 7) yang bisa dikatakan melegalkan “aktivitas illegal” (konsesi kelapa sawit di dalam are hutan). Gambar 6 menunjukkan alokasi baru untuk area hutan berdasarkan Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 936/2013 dimana terdapat sejumlah perubahan: (1) dari area hutan menjadi bukan area hutan: 554.137 ha, (2) dari area hatan menjadi area hutan dengan tipe lain (seperti hutang lindung menjadi hutang produksi): 352.772 ha, (3) dari bukan area hutan menjadi area hutan: 52.386 ha. Perubahan–perubahan di atas dapat dilihat di gambar 8. Selain itu, telah diidentiikasi juga bahwa, terdapat 69.292 ha wilayah hutan (hutan konservasi dan lindung) yang telah “berubah” menjadi area untuk penggunaan lain. Sehingga, area hutan ini telah berubah secara dramatis dari hutan dengan kategori “tertinggi” menjadi area area untuk

penggunaan lain. Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 936/2013 ini sendiri akan menjadi bahan pengesehana oleh DPR.

Gambar 9 menunjukkan tumpang tindih area konsesi di area dimana hal ini merupakan pelanggaran atas UU Nomor 41/1999 (seperti konsesi tambang di dalam taman nasional, kelapa sawit di dalam hutan). Gambar 10 menunjukkan tumpang tindih antara konsesi yang berbeda (tambang, kayu, kelapa sawit). Gambar 11 menunjukkan tumpang tindih konsesi dengan area hutan yang berbeda. Kami telah mengidentiikasi 31.623,825 ha konsesi tambang yang berada di dalam hutan konservasi (termasuk taman nasional dan cagar alam). Hal ini menunjukkan pelanggaran atas UU Nomor 41/ 1999 tentang kehutanan dan UU Nomor 5/1990 tentang konservasi.

Di samping itu, hanya ada lima perusahaan tambang yang memegang izin eksplorasi dan survei, dan sepuluh perusahaan tambang yang memegang izin produksi dalam area hutan. Untuk melakukan eksplorasi dan survei juga operasi dalam area hutan, perusahaan tambang harus mendapatkan “izin pinjam pakai” (izin untuk meminjam dan menggunakan) dari Kementerian Kehutanan. Di sisi lain, di Kalimantan Barat sendiri terdapat 721 perusahaan tambang. Melihat situasi ini, tidak mudah untuk menjustiikasi apakah perusahaaan di luar 15 pemilik izin di atas melakukan aktivitas illegal. Akan tetapi, studi kami telah mengindikasikan bahwa beberapa dari mereka melakukan survei atau beroperasi di area hutan tanpa izin.

Studi kami juga telah dijadikan referensi bagi CSOs (Civil Society Organizations) lain di Kalimantan Barat. Tabel 9 menunjukkan beberapa CSOs yang telah mendapatkan manfaat dari studi ini. Akan tetapi, tabel 9 tidak menampilkan seluruh CSOs, melainkan hanya beberapa. Tabel 9:

Daftar CSOs yang mendapatkan manfaat dari studi

No. Nama CSO Area kerja Kontak Bagaimana studi ini

bermanfaat 1. Gemawan Mendorong keadilan sosial-ekologis-politik Laili Khairnur, khairnur@yahoo. com

Studi ini telah menjadi referensi untuk kegiatan advokasi guna menjamin proses dan dokumen perencanaan spasial yang lebih tepat juga menciptakan pengelolaan dan kebijakan komunitas yang berkeadilan 2. Koalisi

masyarakat sipil untuk tata ruang yang adil dan berkelanjutan Mendorong dan menjamin keadilan dalam proses dan dokumen perencanaan spasial di Kalimantan Barat Muhammad Isa isaborneo@gmail. com

Studi ini telah menjadi referensi untuk kegiatan advokasi guna menjamin proses dan dokumen perencanaan spasial yang lebih tepat

3. WWF West Kalimantan

Pengawasan area hutan

Ian M. Hilman Penelitian ini telah bermanfaat untuk mendukung upaya WWF di Kalimantan Barat untuk melakukan pegawasan konsesi wilayah hutan.

Gambar 6: Area Hutan Kalimantan Barat berdasarkan Ketetapan Menteri Nomor 259/ 2000

Gambar 8: Perubahan Status Hutan berdasarkan Ketetapan Menteri Nomor 936/ 2013

Gambar 10: Tumpang Tindih Konsesi di Kalimantan Barat

D

alam bagian ini, akan dipaparkan pembahasan lima isu utama yang berhubungan dengan transaparansi spasial dalam industri ekstraktif di Kalimantan Barat. Dari studi yang kami lakukan berkaitan dengan industri ekstraktif dan konsesi di Kalimantan Barat, dapat dilihat bagaimana transparansi spasial telah menjadi salah satu permasalahan yang harus diatasi untuk mencapai proses dan dokumen perencanaan spasial yang berkeadilan. Pertama – tama, akan dibahas mengenai industri ekstraktif dan transparansi spasial. Selanjutnya, akan diikuti dengan pembahasan mengenai golongan elit yang terlibat dalam pembangunan industri ekstraktif di Kalimantan Barat dan amandemen status dan alokasi wilayah hutan di tahun 2013. Kemudian, akan dibahas hubungan antara transparansi spasial dengan isu perebutan lahan, serta terakhir, akan dibahas hasil perhitungan potensi kehilangan penerimaan negara dan daerah dari jenis pembayaran ‘land rents/iuran tetap’ untuk pertambangan mineral dan batubara.

Transparansi Spasial dan Industri Ekstraktif

Seperti yang telah kami tunjukkan dalam penelitian ini, transparansi spasial, khususnya dalam sektor industri ekstraktif masih menjadi tantangan terbesar untuk mendorong proses perencanaan spasial yang lebih tepat yang akan menghasilkan dokumen spasial yang lebih komprehensif. Selain itu, dapat dilihat pula tumpang tindih antara konsesi tambang dan area hutan, yaitu merujuk pada adanya konsesi yang berada di dalam hutan konservasi. Oleh karena itu, disebutkan bahwa, konsesi ini melanggar UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan dan UU Nomor 5/1990 tentang konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam mendorong transparansi spasial, khususnya dalam industri ekstraktif, menjadi diperlukan untuk mendorong keadilan dalam proses pembangunan. Pengujian transparansi spasial dalam hal ini akan berujung pada proses perencanaan spasial yang lebih adil sehingga menghasilkan dokumen perencanaan spasial yang lebih komprehensif.

4

Gambar 12: Presentasi hasil penelitian di UKP4 Golongan Elit

Penelitian lapangan yang dilakukan telah mendukung penelitian secara keseluruhan dengan adanya wawasan dari masyarakat setempat tentang keberadaan dan pembangunan perusahaan tambang, khususnya berkaitan dengan isu transparansi. Sejauh ini, dapat dilihat bahwa tidak semua anggota masyarakat lokal yang sadar akan rencana pembangunan perusahaan. Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi, yaitu (1) informasi berkaitan dengan perencanaan tidak dapai diakses oleh beberapa anggota masyarakat lokal, (2) perencanaan dan proses pembangunan perusahaan hanya diketahui oleh golongan elit. Golongan elit telah menjadi salah satu karakteristik dari pembangunan aktivitas pertambangan di level lokal. Hal ini juga ditemukan di Kalimantan Barat.

Amandemen Status dan Alokasi Hutan di Tahun 2013

Amandemen alokasi hutan dari Ketetapan Menteri Nomor 259/2000 ke Ketetapan Menteri Nomor 936/ 2013 dapat dilihat sebagai upaya untuk “memutihkan” alokasi hutan. “Pemutihan” merupakan suatu istilah yang umum digunakan oleh aktivis lingkungan di Indonesia untuk menjelaskan proses perubahan status hutan menjadi lahan dengan status penggunaan lain. Hal ini mengacu pada perubahan warna menjadi putih dalam dokumen perencanaan spasial (Dokumen RTRW). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aktivitas ekstraktif dapat dilakukan di lahan non-hutan (perkebunan kelapa sawit). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa, amandemen ini bertujuan untuk memberikan lahan lebih untuk perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, ini juga berdampak pada “pengesahan” aktivitas pertambangan yang sebelumnya dianggap illegal, mengingat ada perubahan status hutan (hutan konservasi -taman nasional- menjadi hutan produksi).

Transparansi Spasial dan Perambahan Lahan (Land Grabbing)

Franco dkk (2013) melaporkan bahwa istilah “land grabbing” (perambahan lahan) berkembang kembali di dunia internasional dalam konteks lonjakan harga pangan global

pada tahun 2007-2008. Akan tetapi, framing ini justru cenderung mengaburkan dibandingkan

Dalam dokumen Laporan Riset bahasa (Halaman 24-41)

Dokumen terkait