• Tidak ada hasil yang ditemukan

MORFOMETRI DAN SIKLUS HIDUP ULAT SUTERA

HASIL PENELITIAN Siklus Hidup C trifenestrata

Siklus hidup untuk setiap sub populasi berlangsung pada waktu yang tidak bersamaan. Siklus hidup I umumnya dengan dua kelompok telur, artinya hanya dua pasang imago. Tetapi pada siklus berikutnya jumlah kelompok telur umumnya lebih banyak. Lama satu siklus bervariasi beberapa hari. Variasi tersebut disebabkan oleh variasi lama setiap tahap perkembangan. Bahkan selama penelitian ada kecenderungan pergeseran waktu awal siklus, bergantung lokasi dan mikroklimat dimana populasi ulat alpukat ditemukan. Telur pertama kali ditemukan di tahun 2009 pada

minggu ke-3 bulan Januari di Lapangan parkir GWW dan awal Februari di kompleks pemakaman Bara, dan di samping kandang kambing Kampus IPB Gunung Gede.

Di lapangan parkir GWW dan kompleks pemakaman Bara, siklus berulang sampai bulan April 2009 (dua generasi dalam satu tahun), sedangkan di samping kandang kambing kampus IPB G.Gede, siklus terhenti pada instar dua disebabkan oleh karena pemangsa berupa tawon, menghabiskan larva. Di Komplek Perumahan Bukit Asri Ciomas, terjadi satu siklus, dan berakhir pada bulan April 2009, tanpa diikuti siklus ke-2. Di kandang C, ditemukan satu siklus pada bulan Desember tahun 2009 yang berlanjut sampai bulan April 2010. Dari hasil pengamatan per tahap perkembangan, nampak bahwa antar sub populasi memiliki perbedaan waktu maupun durasi tahap perkembangan ( Tabel 5).

Tabel 5 Perbedaan waktu fase perkembangan per siklus hidup C. trifenestrataantar sub populasi

Sub Populasi

Siklus Ke

Tahap Perkembangan

Telur Larva Pupa Imago

GWW 1 23-25 Januari 2009 6 - 28 Februari 2009 1 Maret 2009 18 Maret 2009 II 20-23 Maret 2009 30 Maret s/d 24 April 2009 - -

KM Bara 1 1 Februari 2009 11Februari s/d 9

Maret 09 8-13 Maret 2009 1 April 2009 II 2-3 April 2009 8 s/d 31 April 2009 1-18 Mei 2009 10-15 Mei 2009 KDG C 1 1 Desember 2009 9 Desember 2009 s/d 3 Januari 2010 4 s/d 24 Januari 2010 25-30 Januari 2010 II 27 Januari 2010 5-28 Februari 2010 1 s/d 21 Maret 2010 22 s/d 30 Maret 2010

C. trifenestrata menghabiskan waktu sekitar 51.0 ± 7.3 hari untuk satu generasi. Variasi terjadi disebabkan oleh variasi lama waktu untuk setiap fase perkembangan. Daya hidup bervariasi sesuai dengan fase perkembangan (Tabel 6).

Tabel 6 Rata-rata lama fase siklus hidup dan daya hidupC. trifenestrata Tahap perkembangan Waktu (hari) ± s.d Daya hidup (%) ± s.d

Telur 9.5 ± 2.1 96.8 ±2.0 Larva : Instar I 5.5 ± 0.7 52.9 ± 5.2 Instar II 5.5 ± 0.7 89.0 ± 16.7 Instar III 4.0 ± 1.4 66.8 ± 16.3 Instar IV 4.0 ± 1.4 84.0 ±12.9 Instar V 5.5 ± 3.5 86.8 ± 14.2 Pupa 19.0 ± 2.8 62.8 ± 14.7 Imago 7.5 ± 3.5 100 ± 0 Total waktu 51.0 ± 7.3

Telur dan Perilaku Peletakan Telur C. trifenestrata

Telur C. trifenestrataberbentuk lonjong dan agak gepeng. Pada ujung tumpulnya terdapat stilus yang nampak sebagai bintik hitam, tempat larva keluar ketika menetas. Ketika diletakkan (oviposition), telur berwarna kuning pucat. Warna ini berasal dari cairan perekat telur dikeluarkan oleh induknya. Telur akan berwarna putih tulang setelah kering. Pada telur fertil, warna akan berubah dari warna putih tulang menjadi putih abu-abu menjelang menetas (Gambar 19).

Induk betina C. trifenestrata meletakkan telur dengan gerakan maju sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, untuk menjaga keseimbangan. Setelah satu deret memenuhi pinggiran daun, induk betina akan memulai

C

Gambar 19 Perilaku peletakan telur C. trifenestrata(A), ukuran telur ±1 x 1,5 s/d 2 mm (B), deretan telur pada pinggir daun menunjkkan posisi stilus mengarah ke tepi daun (C).

peletakan telur di tempat awal, mengulang perilaku yang sama, sampai peletakan telur berakhir

Perilaku Pembuatan Kokon

Perilaku pembuatan kokon disajikan pada Gambar 20.

Struktur berlubang pada kokon C. trifenestrata disebabkan oleh karena cara merajut kokon tersebut berbeda dengan cara merajut kokon pada ulat sutera lainnya. PadaC. trifenestratasebelum merajut kokon, maka lebih dahulu dibuat kerangka dasar berupa serat tungggal yang memanjang dari satu bagian substrat ke bagian yang berlawanan. Melalui kerangka tersebut,

1 jam

6 jam 12 jam

24 jam 48

Gambar 20 Ringkasan pembentukan kokon padaC. trifenestrata.

1 jam

6 jam 12 jam

C. trifenestrata merajut kokon dengan cara membungkuk (tubuh melengkung), sambil mengeluarkan benang sutera. Benang tadi selanjutnya menyentuh kaki toraks. Selanjutnya kaki toraks membantu menyatukan benang demi benang yang akhirnya membentuk kokon utuh.C. trifenestrata menghabiskan waktu ±12 jam untuk membuat selapis kokon dengan sempurna (Gambar 20).

Perilaku Eklosi

Gambar 21 menunjukkan ringkasan perilaku eklosiC. trifenestrata.

A B

C D E

F

Gambar 21 Eklosi padaC. trifenestrata;(A-C), imago keluar dari kokon (± 1 menit), (D) Mengantung untuk merentangkan sayap (± 15 menit), (E) sayap terentang ke arah punggung, (F) sayap terentang sempurna (± 15 menit).

Pada sekelompok kokon/pupa, umumnya eklosi terjadi dua hari lebih awal pada imago jantan dibandingkan imago betina. Lama waktu eklosi relatif sama antara imago jantan dan betina, yaitu sekitar satu sampai dua menit keluar dari pupa, selanjutnya menggantung untuk merentangkan sayap ke arah dorsal ±15 menit, kemudian merentangkan ke arah lateral ±15 menit (Gambar 21).

Hasil Analisis Statistik Parameter Morfometri

Hasil uji kesamaan rata-rata kelompok dari sub populasi C. trifenestrata pada semua parameter yang diamati menunjukkan adanya signifikansi (p<0.05). Hal ini berarti bahwa karakter berat kokon (BK), berat kokon tanpa pupa (BKTP), panjang kokon (PK), lebar kokon (LK), berat pupa (BP), panjang pupa (PP), lebar pupa (LP), panjang dada (PD) dan bentang sayap (BTGS) mampu membedakan sub populasi GWW, sub populasi Kompleks Makam Bara, dan sub populasi Kandang C (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil uji kesamaan rata-rata kelompok sub populasiC. trifenestrata Parameter Wilks' Lambda F df1 df2 Sig.

BK .368 279.339 2 326 .000 BKTP .866 25.304 2 326 .000 PK .672 79.543 2 326 .000 LK .406 238.440 2 326 .000 BP .371 276.486 2 326 .000 PP .497 164.823 2 326 .000 LP .908 16.431 2 326 .000 PD .787 44.101 2 326 .000 BTGS .406 238.403 2 326 .000

Hasil uji diskriminan diringkas pada Tabel 8. Eigenvalue, prosentase keragaman, dan nilai korelasi Canonical untuk masing-masing fase perkembangan C. trifenestrata menunjukkan bahwa fungsi 1 mampu menggambarkan keragaman populasi lebih besar pada setiap fase perkembangan yang diamati. Pada fase kokon, fungsi 1 dapat mengambarkan keragaman populasi sebesar 70.56%, 69.22% pada fase pupa dan 71.91% pada fase imago.

Tabel 8 Fungsi diskriminan, Eigenvalue, prosentase keragaman, dan korelasi canonical sub populasiC. trifenestrata

Parameter Kokon Pupa Imago

Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 1 Fungsi 2

BK 1.947 -4.864 BKTP 4.873 24.391 PK -.179 .184 LK .751 .679 BP 2.585 -3.124 PP .260 .418 LP -.602 .067 PD -.961 1.067 BTGS .264 -.068 Konstanta -6.242 -10.635 -4.253 -6.951 -10.528 -4.017 Eigenvalue 2.401 1.177 2.243 0.099 2.552 0.119 Keragaman (%) 67.1 32.9 95.8 4.3 95.6 4.4 Korelasi Canonical 0.840 0.735 0.832 0.302 0.848 0.326

Persamaan masing masing fungsi adalah: Pada fase kokon:

Fungsi 1 : -6,242 + 1,947BK + 4,873BKTP – 0,179 PK+ 0,751 LK Fungsi 2 : -10.635 - 4,684 BK + 24,391 BKTP + 0,184 PK + 0.679 LK. Pada fase pupa:

Fungsi 1 : -4.253 + 2.585 BP + 0.260 PP – 602 LP Fungsi 2: -6.951 -3.124 BP + 0.418 PP +0.67 LP Pada fase imago:

Fungsi 1 : -10.528 -0.961 PD + 0.264 BTGS Fungsi 2 : -4.017 + 1.067 PD – 0.068 BTGS

Parameter pembeda utama untuk masing-masing fase perkembangan adalah BK (kokon), BP (pupa) dan BTGS (imago). Hal tersebut didasarkan oleh besarnya korelasi absolut antara variabel dengan fungsi yang dibentuknya (Tabel 9).

Tabel 9 Matriks korelasi absolute nilai parameter yang diamati pada populasi C. trifenestrata

Parameter Fungsi 1 Fungsi 2

BK .779(*) -.466 LK .775(*) .127 PK .439(*) -.148 BKTP .163 .279(*) BP .869(*) -.165 PP .655 .691(*) LP .178 .547(*) BTGS .743(*) .669 PD .250 .968(*)

*Nilai korelasi absolut terbesar antara masing-masing variabel dengan fungsi diskriminannya.

Hasil analisis data dengan uji diskriminan menunjukkan bahwa semua parameter baik pada fase kokon, pupa maupun imago memberi sumbangan bermakna sebagai pembeda antara populasi C. trifenestrata. Hal ini berarti jika ingin menentukan ciri populasi dengan parameter kokon, pupa maupun imago, maka berat, panjang dan lebar (ciri morfologi) dapat dipergunakan sebagai penciri populasi. Pada fase kokon, parameter pembeda utama adalah berat kokon, artinya berat kokon dapat mewakili parameter kokon lainnya sebagai penciri populasi. Demikian juga dengan pupa, dan imago.

Pengelompokan C. trifenestrata berdasarkan lokasi populasi dan ketepatan prediksinya disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 22. Pada Tabel 10 terlihat bahwa, pada fase kokon terdapat satu dari 121 anggota sub populasi Kompleks Makam Bara, berada pada sub populasi GWW, dan 12 berada pada sub populasi Kandang C. Sebaliknya dari 180 anggota sub populasi Kandang C, dua berada di sub populasi Makam Bara. Jadi terdapat daerah tumpang tindih antar sub populasi. Daerah tumpang tindih antar sub populasi juga terjadi pada fase imago, baik dari sub populasi GWW, Kompleks Makam Bara maupun Kandang C. Meskipun demikian, ketepatan prediksi pengelompokan antar sub populasi sangat besar, yaitu > 80%.

Tabel 10 Hasil pengelompokan populasiC. trifenestrataberdasarkan asal populasi dengan parameter kokon, pupa, dan imago

Anggota kelompok yang diprediksi

Kokon Pupa Imago

Populasi Lap. Parkir GWW Kompleks Makam Bara Kandang C Lap. Parkir GWW Kompleks Makam Bara Kandang C Lap. Parkir GWW Kompleks Makam Bara Kandang C Total ∑ Lap.parkir GWW 28 0 0 28 0 0 17 0 11 28 Kom.Makam Bara 1 108 12 0 119 2 4 115 2 121 Kandang C 0 8 172 0 53 127 2 5 173 180 % Lap.parkir GWW 100.0 .0 .0 100.0 .0 .0 60.7 .0 39.3 100.0 Kom.Makam Bara .8 89.3 9.9 .0 98.3 1.7 3.3 95.0 1.7 100.0 Kandang C .0 4.4 95.6 .0 29.4 70.6 1.1 2.8 96.1 100.0 4 4

Gambar 22 Plot pengelompokan sub populasiC. trifenestrata berdasarkan fase perkembangan kokon (A), pupa (B), dan imago (C). F u n g s i 2 F u n g s i 2 F u n g s i 2

Fungsi 1 Fungsi 1 Fungsi 1

A B C

4

Gambar 1 Plot pengelompokan populasiC. trifenestrata berdasarkan fase perkembangan kokon (a), pupa (b), dan imago (c).

(a) (b) (c)

PEMBAHASAN

Siklus Hidup, Viabilitas dan PerilakuC. trifenestrata

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa peletakan telur (oviposisi) pada C. trifenestrata sangat spesifik, yaitu telur diletakkan secara berjejer, pada tepi daun, dengan frekuensi hanya sekali, berlangsung ±30 menit. Sekali meletakkan telur, maka seekor betina akan memaksimalkan proses tersebut, hanya akan berhenti jika ada gangguan dan tidak akan bertelur lagi. Hal ini sangat berbeda dengan model peletakan telur pada A. atlas atau kupu-kupuHelena helena, dimana telur diletakkan satu demi satu dan pada hari yang berbeda. Spesifitas cara dan durasi peletakan telur bervariasi antar serangga. Hal ini ditentukan oleh induk betina, sebab induk betina dapat menentukan di tempat mana harus meletakkan telur, dan berapa banyak telur yang harus diletakkan. Induk betina juga memiliki kemampuan untuk mendeteksi substrat tempat meletakkan telur yang meyakinkan bahwa keturunannya akan tumbuh secara maksimal (Fanara et al. 1999; Monique & Simmonds 2001; Fugo & Arisawa 1992; Cappucino 2000).

Dari sudut pandang kesintasan suatu organism dimuka bumi ini, ada kecenderungan bahwa organisme (hewan) yang memiliki banyak keturunan, memiliki fase yang sangat sensitif terhadap faktor lingkungan, sehingga daya hidup juga berhubungan dengan jumlah keturunanya yang dihasilkan, bahkan pada hewan tersebut, ukuran populasinya sangat dinamis. Fenomena ini ditemukan pada C. trifenestrata. Pada semua populasi yang diamati, umumnya siklus I berawal dengan dua pasang imago (dua kelompok telur), tetapi tidak pernah ditemukan larva kehabisan pakan, sebab ukuran populasi kecil. Artinya jika seekor C. trifenestrata mampu menghasilkan ± 300 telur, maka siklus I akan menghasilkan ± 600 imago yang dapat mengawali siklus hidup II, tetapi kenyataanya viabilitas dari telur sampai imago < 50% (Tabel 6). Pada penelitian ini, imago yang ditemukan bertelur pada siklus II, hanya 2-11 pasang. Dengan demikian kekhasan peletakan telur pada C. trifenestrata merupakan suatu mekanisme untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Hal lain yang mendasari

fenomena tersebut adalah usaha menjaga integritas populasi. Hewan memiliki penanda khusus pada relungnya, yang dipertahankan dan dikenali oleh hewan lain, dari spesies yang sama. Dengan demikian jika seekor betina telah menempati sehelai daun untuk meletakkan telur, maka betina lainnya akan mencari daun lain untuk bertelur.

Viabilitas atau daya hidup larva sangat rendah di instar ke-1. Diduga faktor yang menyebabkan adalah bahwa pada fase ini, larva membutuhkan waktu beradaptasi untuk makan, sebab ditemukan banyak larva kering/mati dan tidak menunjukkan adanya aktivitas makan sebelumnya. Kematian terbesar kedua disebabkan oleh predator dan atau kehabisan pakan, terjadi pada instar ke-4 dan ke-5. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang menjelaskan bahwa terdapat mekanisme-mekanisme dasar yang merupakan pengendali populasi, misalnya predator, parasitoid, dan persaingan mempergunakan sumber daya yang sama. Mantyla et al.(2008) menjelaskan bahwa burung pemakan serangga menggunakan penglihatan dan penciuman sebagai petunjuk untuk mendeteksi kerusakan tanaman (hutan) oleh mangsanya. Berdasarkan petunjuk tersebut, maka burung dapat berlaku sebagai pengendali populasi hama di hutan.

Pupa terlindung oleh kokon di balik daun atau ranting tanaman inang maupun tanaman lain. Bagaimanapun bentuk dan strukturnya, kokon harus melindungi pupa, sebab pupa bersifat sesil sehingga peka terhadap pengaruh lingkungan. Sebab itu perilaku pupasi juga spesifik. Hal ini sejalan perilaku pupasi pada serangga lain, misalnya A. atlas yang membangun pupa pada helaian daun tanaman inangnya. Selain itu kokon biasanya dibangun pada bagian tanaman yang terlindung, tetapi masih memungkinkan pertukan udara dan gas dengan lingkungan luar.

Durasi dan timing siklus hidup pada serangga bersifat spesifik. Hal tersebut disebabkan oleh karena setiap tahap perkembangan sangat sensitif terhadap faktor lingkungan (mikroklimat) (Nijhout 2003; Withman & Agrawal 2009). Faktor lingkungan fisik misalnya suhu dan cahaya umumnya mempengaruhi produksi dan titer hormon pengatur metamorphosis (Moczek & Nijhout 2002). Selain itu, pakan (Braendle et

al.2005), dan interaksi pemangsa (Nosil & Crespi 2006). Dengan demikian pada mikroklimat yang berbeda, durasi dan timing siklus hidup akan bervariasi.

Pengelompokan Berdasarkan Lokasi Sampel C. trifenestrata

Semua parameter morfologi yang dipergunakan sebagai variabel, memberi sumbangan bermakna bagi pengelompokan sub populasi C. trifenestrata pada masing-masing fase perkembangannya. Hal ini diduga karena morfologi, merupakan karakter yang terkait langsung dengan keberadaan suatu serangga. Morfologi dapat mencerminkan status biokimia, fisiologi, dan perkembangan suatu hewan. Bentuk dan ukuran suatu karakter terkait dengan fungsinya. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang kompleks antara satu karakter dengan karakter lainnya, yang berkembang secara dinamis, tetapi dipertahankan sebagai ciri yang membedakan serangga satu dengan serangga lainnya.

Beberapa penelitian yang mendukung hal tersebut di atas adalah: Vishalakshi & Singh (2008), menemukan bahwa rata-rata panjang sayap dan rasio panjang toraks populasi Drosophila ananasae lebih besar dibandingkan dengan D. pallidosa, yang mengindikasikan bahwa meskipun terdapat sebagai populasi simpatri, tetapi D. annasae bersifat kosmopolit. Dengan kata lain, rasio panjang sayap dan panjang toraks yang besar menunjukkan daerah jelajah yang luas. Selain itu Norberg & Leimar (2002), menemukan adanya perbedaan rasio massa toraks terhadap massa tubuh pada kupu-kupu Melitaea cinxia, yang hidup pada tempat yang berbeda. Keena et al. (2007), menunjukkan bahwa betina ngengat Lymantria dispar juga menunjukkan perbedaan kemampuan terbang berdasarkan sub populasi masing-masing. Jadi parameter morfologi sebagai variabel, tegas dapat menjadi pembeda antar individu dan menjadi pengenal spesies, serta menunjukkan adanya isolasi reproduksi. Meskipun demikian, variasi morfologi misalnya pola dan warna sayap, ada tidaknya sayap, ukuran kepala, tanduk dll dapat mencerminkan adanya adaptasi musiman (Moczek & Nijhout 2002; Nijhout 2003), yang tentu saja tidak memisahkan populasi

secara reproduksi. Variasi morfologi merupakan fenomena adanya interaksi, baik antar individu dalam populasi, antar mangsa dan pemangsa, dan dapat juga mengawali isolasi reproduksi (Nosil & Crespi 2006; Vishalakshi & Singh 2008).

Pembeda utama pada fase kokon adalah berat kokon. Hal ini dapat dijelaskan bahwa C. trifenestrata menghasilkan serat sutera untuk membangun kokon, sebagai pelindung pupa. Karena itu, sifat-sifat yang ada pada kokon terkait langsung dengan pupa. Demikian juga pada fase pupa, berat pupa adalah pembeda terbaik. Hal ini disebabkan karena fase pupa merupakan fase peralihan dari ulat (larva) menjadi ngengat (imago), dengan karakter morfologi yang sangat berbeda. Pada fase ini, terjadi perubahan yang drastis dalam proses biokimia, fisiologi, dan perkembangan untuk mengakomodasi pembentukan kaki, dada, sayap, organ reproduksi dll. Oleh karena itu, parameter berat dapat mewakili parameter lainnya. Berdasarkan parameter ini setiap sub populasi tegas sebagai suatu kelompok, berarti bahwa C. trifenestrata berkembang sesuai dengan kondisi masing-masing lokasi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nosil & Crespi (2006); Vishalakshi & Singh (2008); Kawecki & Albert (2004).

Ketika dewasa (imago) C. trifenestrata menghabiskan waktunya hanya untuk kegiatan reproduksi, yaitu kawin dan bertelur (khusus pada serangga betina). Pada fase ini bentang sayap merupakan pembeda terbesar antar sub populasi C. trifenestrata (Tabel 9). Hal ini disebabkan oleh karena parameter sayap merupakan sifat yang berhubungan erat dengan kegiatan reproduksi. Penentuan lokasi kawin, pemilihan pasangan, percumbuan dan peletakan telur bagi serangga merupakan aktifitas yang berhubungan langsung dengan penggunaan sayap untuk terbang. Perilaku tersebut sangat spesifik bagi C. trifenestrata. Terbang merupakan aktifitas yang berhubungan dengan penggunaan energi. Oleh karena itu, variasi ukuran sayap dan atau hubungannya dengan karakter lain dipergunakan untuk mengkaji perilaku serangga migran (Begin & Roff 2002; Norber & Leimar 2002; Keenaet al. 2007; Roff & Fairbairn 2007).

Plot populasi yang dibuat berdasarkan parameter kokon dan pupa menunjukkan bahwa sub populasi di Lapangan Parkir GWW terpisah cukup jauh dengan dua sub populasi lainnya, tetapi masih terdapat tumpang tindih pada parameter imago. Sub populasi Kompleks Makam Bara memiliki tumpang tindih dengan sub populasi pada Kandang C untuk semua parameter yang diamati. Sesuai dengan prinsip penggunaan analisis diskriminan, fenomena ini disebabkan oleh beberapa observasi pada sub populasi yang memiliki kesamaan sehingga dimasukkan pada kelompok yang sama. Observasi yang seharusnya masuk ke kelompok Kompleks Makam Bara, tetapi masuk ke kelompok sub populasi Kandang C, demikian pula sebaliknya observasi pada Kandang C masuk ke kelompok Kompleks Makam Bara. Disamping itu jumlah sampel dari sub populasi di Lapangan Parkir GWW relatif lebih sedikit dibandingkan dengan dua sub populasi lainnya. Jika ditinjau dari sudut pandang genetika populasi, populasi di Lapangan parkir GWW nampak mengelompok sendiri artinya populasi tersebut memiliki ciri yang berbeda dengan dua sub populasi lainnya, mirip dengan model populasi yang telah mengalami bottlenecking dan atau founder effect.

Meskipun data tidak menunjukkan adanya kedua fenomena tersebut di atas (jarak antar populasi masih dekat, kecuali ketersediaan pakan, tidak ada guncangan yang menyebabkan populasi terpisah), namun terbuka peluang untuk terjadinya bottlenecking dan atau founder effect pada populasi C. trifenestrata, disebabkan oleh lama dan timing siklus hidup serta ketersediaan pakan. Hasil penelitian menunjukkan variasi durasi dan timing siklus hidup C. trifenestrata (Tabel 5). Sub populasi di Lapangan parkir GWW, telah memasuki instar ke-4, ketika sub populasi di Kompleks Makam Bara masih instar pertama, sehingga jika setiap instar rata-rata dilewati dalam waktu lima hari, maka perbedaan tersebut diikuti dengan perbedaan matang kelamin atau dengan kata lain, imago pada sub populasi di Lapangan Parkir GWW telah mati ketika imago di Kompleks Makam Bara baru eklosi. Dengan demikian tidak ada peluang untuk kawin antar sub populasi. Selain itu, dalam sekali siklus hidup jika faktor lingkungan

mendukung, sumber pakan sudah habis sebelum siklus hidup berakhir, akibatnya sebagian besar anggota sub populasi mati karena kekurangan pakan. Anggota sub populasi yang bertahan hidup, tentu saja tidak membawa semua alel populasi awal, sehingga variasi genetik jadi berkurang.

Plot sub populasi Kandang C dan Kompleks Makan Bara, manunjukkan adanya tumpang tindih pada kedua sub populasi, yang mengindikasikan bahwa masih adanya aliran gen antar sub populasi. Beberapa anggota masing-masing sub populasi mengembangkan karakter yang sama. Selain itu nampak bahwa sebaran sub populasi di Kandang C cukup besar, dapat diartikan ekspansi sub populasi tersebut juga cukup besar. Hal ini sejalan dengan penelitian lain yang menujukkan bahwa daya ekspansi dan daerah jelajah suatu serangga berhubungan dengan kamampuan terbangnya. Besarnya daerah jelajah berhubungan dengan jarak sumber daya dan aktivitas kawin, dan terdapat korelasi positif antara rasio panjang toraks dengan panjang sayap (Vishalakshi & Singh 2008), juga adanya korelasi posisitif rasio berat toraks dengan massa total tubuh (Norberg & Leimar 2002). Hal ini mudah difahami oleh karena, terbang merupakan aktivitas yang berhubungan dengan penggunaan energi. Sehingga makin jauh jarak yang ditempuh atau makin besar aktifitas terbang (Srygley & Robert 2008).

Keberadaan sub populasi C. trifenestrata sangat terkait dengan relungnya, dan diantara empat fase dalam siklus hidupnya yang menyolok adalah fase larva. Pada fase larvaC. trifenertatamenghabiskan waktu hanya untuk makan dan ganti kulit. Meskipun demikian penentuan relung bagi larva ditentukan oleh induk betinanya. Sekali mendapatkan relung, maka larva akan berkembang sampai ke fase berikutnya. Kesuksesan perkembangan pada fase berikutnya, sangat kompleks karena terkait dengan interaksi antara ketersediaan pakan, predasi, parasitoid dan faktor lingkungan fisik. Implikasi dari fenomena ini, menyebabkan sub populasi C. trifenestrata tidak berukuran besar pada siklus I, dibandingkan dengan

siklus II. Fenomena ini merupakan suatu tantangan dalam usaha konservasi sekaligus pemanfaatan serangga ini untuk kemaslahatan manusia.

Oleh karena adanya relung yang spesifik antar sub populasi C. trifenestrata, strategi pengembangan (konservasi) yang dapat dilakukan antara lain meyediakan lahan tanaman inang potensil, dimana faktor lingkungan homogen antar tanaman inang, sehingga adaptasi yang berlaku hanya adaptasi terhadap tanaman inang. Dengan demikian tanaman inang cukup beragam (dalam hubungan dengan ketersediaan sumber daya mineral dalam tanah, juga ketersediaan tanaman alternatif). Jika hal tersebut telah berhasil, maka secara perlahan usaha pegembangan C. trifenestrata diarahkan untuk mengadaptasikan (mengatur) siklus hidup (kelimpahan populasi dalam hal ini mengatur ketersediaan bibit dan kokon). Diharapkan bahwa jika hal tersebut berhasil, maka usaha selanjutnya yang dapat di lakukan adalah mengkondisikan lingkungan alam dengan kondisi laboratorium, untuk fase telur dan larva instar I dengan tujuan akhir semidomestikasi atau produksi massal.

SIMPULAN

C. trifenestrata membutuhkan waktu 51.0 ± 7.3 hari untuk satu siklus hidup. Viabilitas terbesar terdapat pada fase pupa, mencapai 100%, sedangkan viabilitas terkecil terdapat pada fase larva instar I (52%). Perilaku khasC. trifenestrata adalah pada peletakan telur dan pembentukan kokon.

Semua parameter morfologi berpengaruh nyata terhadap pengelompokan berdasarkan lokasi pada setiap fase perkembangan. Besarnya ketepatan prediksi pengelompokan untuk parameter kokon, pupa dan imago berturut-turut adalah 93.6%, 83.3%, dan 92.7% dengan pembeda terbesar masing-masing: BK, BP, dan BTGS. Ketiga sub populasi mengelompok dengan jelas. Pada fase kokon dan pupa, sub populasi di GWW mengembangkan ciri tersendiri, tetapi pada fase imago, beberapa ciri berkembang bersama antar sub populasi, yang menandakan masih adanya aliran gen antar sub populasi.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat diaplikasikan dalam usaha domestikasi adalah:

Dokumen terkait