• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan adalah salah satu kelurahan yang terdapat di Kecamatan Medan Sunggal. Secara geografis, Kelurahan Tanjung Rejo mempunyai area seluas 3,50 km2. Di sebelah utara Tanjung Rejo berbatas dengan Kelurahan Desa Barbura Kecamatan Medan Baru, di sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kelurahan Sei Sikambing B Kecamatan Tanjung Rejo. Kecamatan ini memiliki 3593 rumah dan terbagi ke dalam 24 lingkungan.

5.1.2 Karakteristik Sampel

Dari 3593 rumah, sebanyak 100 rumah diikutsertakan dalam penelitian. Dari 100 rumah, didapati 52 rumah terdapat larva nyamuk.

5.1.3 Distribusi Karakteristik Sampel

Dari keseluruhan sampel, dapat diperoleh gambaran mengenai karakteristik larva nyamuk berdasarkan jenis larva nyamuk yang ditemui, cuaca saat ditemukan larva nyamuk, jenis wadah tempat larva nyamuk ditemukan dan indeks indeks larva nyamuk.

31

Tabel 5.1 Persentase Jumlah Rumah yang Ditemukan Larva di Lokasi Penelitian

No Rumah Jumlah Persentase (%)

1 Ada larva 52 52

2 Tidak ada larva 48 48

Total 100 100

Dari tabel 5.1, rumah yang ditemukan larva nyamuk adalah 52% dan yang tidak ada larva nyamuk adalah 48%.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Wadah

No Jenis Wadah Jumlah(Ekor) Persentase (%)

1 Wadah alami 0 0

2 Wadah artifisial 53 89.8

3 Selokan 6 10.2

Total 59 100

Dari tabel 5.2, terdapat 89.8% larva nyamuk yang dijumpai pada wadah artifisial dan 10.2% larva nyamuk dijumpai pada selokan.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Cuaca Penelitian

No Cuaca Jumlah (Ekor) Persentase (%)

1 Cuaca hujan 23 39

2 Tidak hujan 36 61

Total 59 100

Dari tabel 5.3, 39% ditemukan larva nyamuk pada cuaca hujan dan 61% larva nyamuk pada cuaca tidak hujan.

32

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan pH Air

No pH Air Jumlah (Ekor) Persentase (%)

1 pH < 6 0 0

2 pH 6-7 59 100

3 pH > 7 0 0

Total 59 100

Dari tabel 5.4, semua larva nyamuk (100%) dijumpai di air yang mempunyai pH antara 6-7.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Larva

No Jenis Larva Jumlah (Ekor) Persentase (%)

1 Aedes sp 53 89.8

2 Anopheles sp 0 0

3 Culex sp 6 10.2

4 Mansonia sp 0 0

Total 59 100

Dari tabel 5.5, terdapat 53 larva Aedes sp (89.9%) dan 6 Culex sp (10.2%) ditemukan dalam penelitian.

Tabel 5.6 Persentase Indeks Kepadatan Larva Nyamuk di Lokasi Penelitian

No Indeks Larva Persentase (%)

1 Angka Bebas Larva (ABL) 48

2 House Index (HI) 52

3 Container Index (CI) 18

33

Tabel 5.7 Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Morfologi

Morfologi

Organ Jumlah N Persentase

2 baris 17 28.8 Combs scale 3 baris 36 61

4 baris 6 10.2

1 pasang 53 89.8

2 pasang 0 0

Segmen Siphonic tufts 3 pasang 0 0

VIII 4 pasang 4 6.8

5 pasang 2 3.4

Siphon 4x lebar basal 53 89.8 5x lebar basal 6 10.2 Pecten <4 6 10.2 >4 53 89.8 Saddle Ada 59 100 Tidak Ada 0 0 Segmen Midfrontal 2-4 53 89.8 Kepala hair 5-7 6 10.2 Innerfrontal 2-4 53 89.8 hair 5-8 6 10.2

34

Tabel 5.7 Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Morfologi

Morfologi

Organ Jumlah Wadah Wadah Genangan Total alami artifisial air tanah

2 baris 0 17 0 17 Combs scale 3 baris 0 36 0 36 4 baris 0 0 0 0

1 pasang 0 53 0 53 2 pasang 0 0 0 0 Segmen Siphonic tufts 3 pasang 0 0 0 0 VIII 4 pasang 0 0 4 4 5 pasang 0 0 2 2

Siphon 4x lebar basal 0 53 0 53 5-6x lebar basal 0 0 6 6 Pecten <4 0 0 6 6 >4 0 53 0 53 Saddle Ada 0 53 6 59 Tidak Ada 0 0 0 0 Segmen Midfrontal 2-4 0 53 0 53 Kepala hair 5-7 0 0 6 6 Innerfrontal 2-4 0 53 0 53 hair 5-8 0 0 6 6

35

5.2 Pembahasan

5.2.1 Gambaran Distribusi Larva Nyamuk pada Kelurahan Tanjung Rejo

Pada penelitian ini, jumlah sampel seluruhnya adalah 100 rumah. Jumlah rumah yang ada larvanya adalah 52 rumah (52%) dan jumlah rumah yang tidak ada larva nyamuk adalah sebanyak 48 rumah (48%) sesuai hasil yang didapat pada tabel 5.1. Larva yang ditemukan di kelurahan ini berasal dari tempat penampungan air, ember yang tidak dikuras, dan juga di selokan yang airnya tenang. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Stanley (2014) di kecamatan Medan Baru, terdapat 44 rumah (44%) yang berlarva dari 100 rumah yang diperiksa. Larva dalam penelitian tersebut juga ditemukan pada tempat penampungan air seperti ember dan selokan yang airnya tergenang tenang.

5.2.2 Gambaran Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Jenis Wadah

Menurut hasil yang didapat dari tabel 5.2, ditemui larva nyamuk paling banyak pada wadah artifisial, yaitu sebanyak 53 wadah (89.8%), sedangkan pada selokan, hanya ditemui sebanyak 6 wadah (10.2%). Pada wadah alami, larva nyamuk tidak ditemukan. Wadah artifisial paling banyak ditemukan larva karena banyaknya barang bekas seperti ban, plastik, kaleng, dan tempat sampah yang dapat menampung air. Selain itu, ember yang tidak dikuras dan juga bak mandi sering dibiarkan tergenang berlama-lama. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tulungagung, Kota Malang, dan Kota Kediri, Indonesia di mana wadah aritifisial merupakan jenis wadah yang banyak ditemukan larva nyamuk (Joharina and Widiarti, 2014).

5.2.3 Gambaran Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Cuaca Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada musim hujan (Oktober dan Nopember 2015), selama 10 hari dalam masa 2 bulan. Sebanyak 23 larva (39%) ditemukan pada cuaca hujan dan 36 larva (61%) yang ditemukan pada cuaca tidak hujan (Tabel 5.3). Hanya 6 larva Culex sp ditemui dalam penelitian ini karena mereka hanya dapat berkembangbiakan di selokan ketika tidak berhujan. Hal ini karena pada

36

hari hujan, air yang tergenang di selokan akan terus mengalir sehingga larva nyamuk yang berada dalam air tersebut akan ikut mengalir.

5.2.4 Gambaran Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan pH Air

Hasil pH air tempat ditemukan larva nyamuk dapat dilihat dari tabel 5.4 yang berkisar antara 6-7. Larva nyamuk mungkin hanya bisa hidup dalam air yang berkisar antara pH 6-7. Penelitian Salit et al (1996) di Kuwait menunjukkan pH yang paling ideal untuk berkembangnya larva nyamuk adalah antara 6.27-9.78. Menurut Clark et al, nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang menjadi pupa pada pH antara 4-11. Perkembangannya lebih cepat ketika pada pH 7 daripada pH 4 dan pH 11.

5.2.5 Gambaran Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Jenis Larva

Species larva nyamuk yang ditemukan dalam penelitian ini adalah larva nyamuk Aedes sp sebanyak 53 ekor (89.8%) dan larva nyamuk Culex sp sebanyak 6 ekor (10.2%)(tabel 5.5). Larva nyamuk Aedes sp banyak ditemukan di ember yang tidak dikuras dan sampah seperti plastik, kaleng dan ban yang dibiarkan tergenang berlama-lama. Larva nyamuk Culex sp ditemukan di selokan.Hal ini sejalan dengan penelitian serupa pada Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kotamadya Medan, dimana larva nyamuk Aedes sp ditemukan paling banyak (69.6%), diikuti dengan larva nyamuk Culex sp (30.3%) (Susanti, 2013). Dalam penelitian Susanti, larva nyamuk Aedes sp ditemui pada wadah artifisial dan Culex sp ada pada genangan air tanah.

5.2.6 Gambaran Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Indeks Larva

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan persentase Angka Bebas Larva (ABL) 48%, persentase House Index (HI) 52%, persentase Container Index (CI) 18.04%, dan persentase Breteau Index (BI) 59% (Tabel 5.6). Untuk ABL, HI, dan BI menunjukkan angka penularan penyakit yang tinggi. CI menunjukkan angka penularan penyakit yang rendah karena sebanyak 327 wadah yang diperiksa hanya

37

terdapat 59 (18.04%) yang mempunyai larva nyamuk. Secara keseluruhannya, Kelurahan Tanjung Rejo mempunyai resiko penularan penyakit yang tinggi, karena ABL < 50% ; HI dan BI > 50%.

5.2.7 Gambaran Distribusi Larva Nyamuk Berdasarkan Morfologi

A. Comb Scale

Aedes sp memiliki 2-3 deret comb scale, sedangkan Culex sp memiliki 4 deret comb scale (Breeland and Loyless, 1982). Dari hasil penelitian, ditemukan sebanyak 53 larva (89.8%) memiliki 2-3 deret comb scale dan 6 larva (10.2%) memiliki 4 deret comb scale.

B. Siphonic tufts

Larva Culex sp mempunyai 4-5 pasang siphonic tufts, sedangkan Larva Aedes sp memilliki sepasang siphonic tuft (Utrio, 1976). Dari hasil penelitian, ditemukan sebanyak 53 larva (89.8%) memiliki sepasang siphonic tufts dan 6 larva (10.2%) memiliki 4-5 pasang siphonic tufts. C. Siphon

Larva Aedes sp mempunyai siphon dengan panjang 4x dari lebar sedangkan larva Culex sp mempunyai siphon dengan panjang 5-6x dari lebar (Breedland and Loyless, 1982). Dari hasil penelitian, ditemukan sebanyak 53 larva (89.8%) memiliki panjang siphon 4x lebar basal dan 6 larva (10.2%) memiliki panjang siphon 5-6x lebar basal.

D. Pecten

Larva Aedes sp memiliki >4 pecten sedangkan Culex sp memiliki <4 pecten (Utrio, 1976). Dari hasil penelitian, ditemukan 53 larva (89.8%) memiliki >4 pecten dan 6 larva (10.2%) memiliki <4 pecten.

E. Saddle

Larva Aedes sp dan Culex sp mempunyai saddle. Dari hasil penelitian, didapati 59 larva (100%) memiliki saddle.

F. Midfrontal hairs

Aedes sp memiliki 2-4 cabang midfrontal hair sedangkan larva Culex sp memiliki 5-7 cabang midfrontal hairs. Dari hasil penelitian, dijumpakan

38

53 larva (89.8%) yang memiliki 2-4 cabang midfrontal hairs, sedangkan 6 larva (10.2%) yang memiliki 5-7 cabang midfrontal hairs.

G. Innerfrontal hair

Larva Aedes sp memiliki 2-4 cabang innerfrontal hairs, sedangkan larva Culex sp memiliki 5-8 cabang innerfrontal hairs (Utrio, 1976). Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 53 larva (89.8%) yang memiliki 2-4 cabang innerfrontal hairs dan sebanyak 6 larva (10.2%) yang memiliki 5-8 cabang innerfrontal hairs.

39

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan spesies, ditemukan 53 larva Aedes aegypti (89.8%) dan 6 larva Culex sp (10.2%).

2. Wadah yang paling banyak ditemukan nyamuk adalah wadah artifisial yaitu sebanyak 53 wadah (89.8%), diikuti selokan sebanyak 6 wadah (10.2%).

3. Angka Bebas Larva (ABL) nyamuk adalah 48%, House Index (HI) adalah 52%, Container Index (CI) adalah 18% dan Breteau Index (BI) adalah 59%. Untuk ABL, HI dan BI menunjukkan resiko penularan penyakit oleh nyamuk yang tinggi.

4. Kepadatan larva nyamuk di Kelurahan Tanjung Rejo masih tinggi dan kelurahan ini mempunyai resiko penularan penyakit oleh nyamuk yang tinggi.

5. Penelitian ini dilakukan pada musim hujan (Oktober-Nopember 2015). Terdapat 23 larva nyamuk (39%) yang ditemukan pada cuaca hujan dan 36 larva nyamuk (61%) yang ditemukan pada cuaca tidak hujan.

6. Dalam penelitian ini, air yang ditemui dengan adanya larva nyamuk mempunyai pH yang berada di antara 6-7.

40

6.2 Saran

Dari penelitian ini, saran yang dapat diberikan adalah:

1. Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa Kelurahan Tanjung Rejo mempunyai resiko tinggi untuk perkembangbiakan larva nyamuk. Hal ini karena dijumpai banyak sampah dan air yang dibiarkan tergenang di lingkungan rumah. Masyarakat di kelurahan ini harus lebih menjaga kebersihan dan tempat yang membolehkan air tergenang sebagai pencegahan perkembangbiakan nyamuk.

2. Tindakan PSN 3M (menguras, menimbun, dan mengubur) dan ditambah plus (bubuk larvasida, obat nyamuk, kelabu saat tidur, mengatur cahaya dan ventilasi, memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk) haruslah diajari dan dilakukan oleh warga supaya resiko penularan penyakit oleh nyamuk dapat dikurangi. Oleh karena itu, dinas kesehatan setempat harus memberi penyuluhan untuk PSN 3M plus.

3. Penduduk di Kelurahan Tanjung Rejo haruslah melakukan pencegahan diri dengan menggunakan repellent atau cara lain-lain supaya dapat menghindari dari gigitan nyamuk.

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengenalan nyamuk

Nyamuk tergolong dalam ordo Diptera, famili Culicidae yang mempunyai jumlah spesies yang sebanyak 3546 (Ralph 2008). Famili nyamuk diklasifikasi kepada tiga subfamilies: Toxorhynchitinae, Anophelinae (anophelines) dan Culicinae (Culicines) (Mike 2003).

Distribusi nyamuk terdapat pada seluruh dunia, tapi lebih sering dijumpai pada daerah tropikal dibandingkan dengan daerah dingin. Tempat yang tanpa nyamuk hanya ada pada Antartika. Nyamuk bisa ditemui sampai pada ketinggian 5500 meter di atas permukaan laut dan sampai 1250 meter di bawah permukaan laut (Mike 2003).

Nyamuk yang sering diperhatikan adalah dari genera Anopheles, Culex, dan Aedes. Nyamuk dari genera tersebut merupakan vektor bagi penyakit malaria, filariasis, deman kuning, dengue, virus encephalitis dan banyak jenis arboviruses (Mike 2003).

Beberapa factor yang mempegaruh distribusi larva nyamuk, yaitu pergerakan air, kondisi air seperti air bersih atau air kotor, suhu air, pH air, sumber air, pengaruh binatang dan lainnya. Tempat untuk nyamuk bertelur juga dapat dibagi kepada beberapa katagori, “container habitats”(axil tanaman, lubang kayu, daun yang jatuh, bamboo natural), “artificial container”(roda ban, botol, cawan), dan “ground water habitats”(sungai, danau, rawa) (Rattanarithikul dan Harrison, 2005)

Nyamuk betina mempunyai jarak terbang yang berbeda dan sepsifik untuk spesiesnya. Ada spesies yang akan terbang pada jarak yang pendek dari habitat larvanya, (biasanya Aedes sp). Ada yang terbang beberapa kilometer dari habitat larvanya untuk mencari sumber darah seperti Anopheles sp dan Culex sp (Rattanarithikul dan Harrison, 2005). Kebanyakan spesies menunjukkan dua

6

aktivitas mengigit yang tinggi dalam 24 jam (jam 0800 dan jam 1700) (Clements 2013).

2.2 Siklus Hidup Nyamuk

Nyamuk mengalami empat tahap perkembangan yang terpisah dan berbeda dari siklus hidupnya : Telur, Larva, Pupa, dan Dewasa. Empat tahap tersebut mempunyai penampilan yang khusus (AMCA 2015).

2.2.1 Telur

Nyamuk betina akan bertelur setelah menghisap darah dan melakukan persetubuhan dengan nyamuk jantan. Kebanyakan nyamuk akan meletakkan telurnya di dalam air pada malam hari, kecuali pada beberapa spesies Aedes yang akan bertelur pada tempat yang kering dimana air akan terkumpul kemudian. Terdapat beberapa patrun telur akan diletakkan tergantung pada jenis spesies nyamuknya. Telur Culex adalah seperti rakit, dimana spesies Aedes dan Anopheles akan bertelur satu-bersatu pada permukaan air. Telur nyamuk akan menetas di dalam air sahaja, dan masa untuk perkembangan telur tergantung pada dua faktor, yaitu suhu dan jenis spesies. Kebanyakan telur akan berkembang dalam 3 hari jika berada pada suhu perkembangan yang optimum(Mike, 2003). Tergantung kepada spesiesnya, 30 hingga 300 telur dapat dihasilkan sekali nyamuk betina bertelur (WHO, 1997).

2.2.2 Larva

Larva nyamuk akan berkembang dengan melewati 4 tahapan (insta) yang berbeda setelah menetas. Pada instar pertama larva berukuran panjang sekitar 1,5 mm, sedangkan instar yang keempat berukuran sekitar 10 mm. Larva memiliki kepala dan tunuh yang dilapisi dengan ranbut tetapi tidak memiliki kaki. Pergerakaan ada seperti menyapu oleh tubuhnya. Sifon dapat ditemui pada ujung abdomen sebagai organ pernafasan kepada larva nyamuk. Ketika larva berada pada situasi yang bahaya atau sedang mencari makanan, mereka akan menyelam untuk masa yang singkat. Larva Mansonia dapat memasukkan sifon ke dalam

7

tumbuhan dan mendaoatkan oksigen tanpa keluar ke permukaan air. Larva Anopheles bernafas dan makan secara horizontal dengan permukaan air (WHO 1997).

Makanan larva di dalam air merupakan jamur, bakteri, dan organisme akuatik kecil (20-100 µm). Anopheline larva dan culicine larva mendapatkan makanan di bawah permukaan air dengan menyapu partikel dengan sikat mulut mereka (Agoes, 2009)

2.2.3 Pupa

Larva biasanya akan berlangsung sebanyak 4-7 hari jika pada iklim yang hangat dan sampai ke 6 bulan jika pada kondisi yang tidak ideal. Ketika kekurangan makanan, larva memerlukan masa yang lebih panjang untuk menjadi pupa. Larva instar 4 akan menjadi megalosephalik kurfa pupa yang seperti huruf koma. Pupa akan dihancurkan oleh kekeringan dan pembekuan. Tahap pupa yang tidak memerlukan makanan dapat berlangsung sebanyak 2-5 hari dan dapat diperpanjangkan ke 10 hari dengan suhu yang rendah. Tidak akan ada perkembangan pada pupa jika suhu berada di bawah 10 oC (Agoes, 2009).

2.2.4 Dewasa

Dalam proses pupa menetas, kulit pupal akan mengalami rupture yang disebabkan daripada vesikel udara supaya nyamuk dewasa dapat melepaskan diri (David, 1958). Nyamuk yang baru keluar akan mengeringkan tubuhnya dengan berhenti di atas permukaan air supaya sayapnya dapat dikembangkan (Sembel, 2009).

8

Gambar 2.1 Karakteristik untuk membedakan nyamuk (WHO, 1997)

2.3 Nyamuk dan Penyakit

Beberapa jenis penyakit seperti malaria, demam berdarah, filarasis dan demam kuning dapat ditular oleh nyamuk kepada manusia. Penyakit-penyakit tersubut dapat disebar dengan cepat dengan mempunyai lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan nyamuk. Berikut adalah beberapa jenis penyakit yang sering ditularkan oleh nyamuk kepada manusia.

2.3.1 Malaria

Parasit malaria dapat disebarkan hanya dengan nyamuk. Malaria sering ditular oleh nyamuk spesies Anopheles. Laju perkembangan plasmodium adalah sepadan dengan suhu dan kelembaban udara. Di bawah 15oC sporozoit tidak akan

9

dihasilkan. Manusia akan terinfeksi dengan malaria jika sporozoit diinjeksi daripada gigitan nyamuk (CDC, 2012(a)).

Infeksi malaria biasa ditandai dengan 3 tahap. Tahap yang merasakan kedinginan, tahap yang merasakan kepanasan dan tahap yang mengeluarkan keringant. Infeksi makaria yang parah akan menyebabkan kegagalan organ dan kelainan dalam darah dan metabolisme penderita (CDC, 2010).

2.3.2 Deman Darah Dengue

Demam darah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini biasanya ditular oleh nyamuk Aedes aegypti, tetapi juga bias ditular oleh A. albopoctus, A. pseudoscutelaris, A. scutellaris, A. hebrideus, A. taeniorhyncus, dan Armigeres obturbans. Virus dengue memerlukan masa sebanyak 8-10 hari sebelum nyamuk tersebut menjadi infektif (CDC, 2014).

Beberapa gejala dapat dijumpai pada penderita demam darah dengue. Penderita akan mengalami sakit pada kepala, mata(belakang mata), nyeri sendi, nyeri pada otot, ruam pada badan, perdarahan ringan (hidung, gusi), dan juga rendah jumlah sel darah putih (CDC, 2012(b)).

2.3.3 Filariasis

Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit Wuchereria bancrofti dan Wuchereria malayi. Dijumpai 25 spesies dari Anopheles, 9 dari Aedes, 8 dari Culex, dan 6 dari Mansonia yang menunjukkan perkembangan W. bancrofti yang sempurna (Agoes, 2009).

Filariasis ini dapat menyebabkan lymphedema dan kaki gajah. Pembengkakann pada daerah kaki sering dijumpai kerana kegagalan fungsi sistem limpatik (CDC 2013).

10

2.3.4 Demam Kuning

Demam Kuning merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus demam kuning. Virus tersebut mempunyai ukuran 17 hinga 25 μm pada diameternya. Penyakit ini mempunyai periode incubasi yang asimptomatik selama 3 hingga 6 hari. Setelah itu penderita akan mengalami malaise parah, nyeri kepala yang parah, nyeri otot, dan peningkatan suhu badan sehingga 39-40 oC. Albumine dalam urin dapat dijumpai pada hari yang kedua dan perdarahan gusi juga mungkin ditemui. Pada hari yang ke-2 hingga ke-4, suhu tubuh akan turun dan gejalah-gejalah tersebut akan berkurang tetapi demam tersebut akan kembali kemudian dan disertai dengan gejala jaundice, hemorrhage dan albumin dalam urin. Pulsasi juga akan turun hingga 40 per menit dan ekstensif hematemesis akan berlaku (Agoes, 2009).

2.3.5 Chikungunya

Chikungunya yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV) dapat ditransmisikan melalui gigitan nyamuk. CHIKV merupakan anggota dari family Togaviridae, genus Alphavirus .Vektor untuk penyakit ini adalah nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus (CDC 2015).

2.4 Identifikasi Larva Nyamuk

2.4.1 Survei Larva

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012), survei larva dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui ada tidaknya larva.

2. jika pada penglihatan pertama tidak menemukan larva, tunggu kira-kira ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada larva.

3. Gunakan senter untuk memeriksa larva di tempat gelap atau air keruh. Metode survei jentik:

1. Metode Single larva

Cara ini dilakukan dengan mengambil satu larva di setiap tempat genangan air yang ditemukan larva untuk diidentifikasi lebih lanjut.

11

2. Metode Visual

Dilakukan dengan melihat ada tidaknya larva di setiap genangan air tanpa melakukan pengambilan larva. Survei ini bertujuan untuk mengukur kepadatan larva.

Kemudian, survei larva dilakukan dengan mengukur indeks maupun skala berikut : 1. Angka Bebas Larva (ABL)

2. House Index (HI) 3. Container Index (CI) 4. Breteau Index (BI)

2.4.2 Morfologi Umum Larva Nyamuk

Larva nyamuk mempunyai empat tahap dalam perkembangannya. Waktu perkembangan larva tergantung pada ketersediaan makanan, suhu dan tempat larva itu tersebut. Waktu yang diperlukan oleh telur menetas hingga menjadi nyamuk dewasa adalah kira-kira 7 hari sedangkan pada suhu yang rendah waktu yang dibutuhkan akan diperpanjangkan sehingga beberapa minggu. Larva nyamuk akan mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut-turut disubutkan instar I, II, III dan IV (Depkes RI, 2003)

a) Larva instar I

Tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri pada dada(thorax) belum begitu jelas dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam.

b) Larva instar II

Tubuhnya bertambah besar, ukuran 2,5-3.9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar II mendapatkan oksigen dari udara, dengan meletakkan corong udara (siphon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut dengan suhu permukaan air sekitar 30oC, larva instar II dalam bergerak tidak terlalu aktif. Khusus untuk larva Anopheles sp tidak mempunyai siphon.

12

c) Larva instar III

Tubuhnya lebih besar sedikit dari larva instar II dan lebih aktif. d) Larva instar IV

Struktur anatominya telah lengkap dan tubuhnya dapat dibagi jelas kepada bagian kepala (chepal), dada (thorax) dan perut (abdomen). Larva ini berukuran paling besar 5 mm. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negative dan waktu. Temperatur optimal untuk perkembangan larva ini adalah 25oC – 30oC (Stanley, 2014)

Gambar 2.2 Siklus hidup nyamuk (West Umatilla Mosquito Control District 2015)

13

2.4.3 Morfologi Larva Nyamuk Berdasarkan Spesies Larva Anatomi

Gambar 2.3 Larva Nyamuk (Cutwa and O’meara 2015)

Gambar 2.4 Kepala Larva Nyamuk (Cutwa and O’meara 2015)

1 2 3 4 5 6 7 8

14

Gambar 2.5 Abdomen (Cutwa and O’meara 2015)

Gambar 2.6 Segmen terminal (Cutwa and O’meara 2015)

`

15

Gambar 2.8 Siphon (Cutwa and O’meara 2015)

Gambar 2.8 Siphon (Cutwa and O’meara 2015)

16

A. Aedes sp (Cutwa and O’meara 2015)

Segmen anal yang tidak semua dikelilingi oleh saddle

Siphon dengan adanya pecten

atu hair tuft di depan pectin

17

B. Anopheles sp (Cutwa and O’meara 2015)

Dijumpai plamate hairs pada sisi abdomen

Tanpa siphon

18

C. Culex sp (Cutwa and O’meara 2015)

Lebih dari 1 comb scale

Lebih dari satu hair tuft di depan pectin Siphon dengan

adanya pecten

19

2.5 Pengaruh pH Air Terhadap Perkembangbiakan Larva Nyamuk

pH air dapat menganggu perkembangbiakan nyamuk dengan menghambat pertimbuhan telur serta larva menjadi dewasa. Penurunan pH air dapat menyebabkan pembentukan enzim sitokrom oksidase di dalam tubuh larva. Sitokrom oksidase ini bertanggungjawab dalam proses metabolisme. Pada keadaan asam, kadar oksigen yang terlarut di dalam air akan lebih tinggi berbanding dengan keadaan basa. Pembentukan enzim tersebut akan dipengaruh oleh kadar oksigen yang terlarut di air tersebut. Sementara itu, dalam keadaan asam pertumbuhan mikroba akan menjadi makin cepat sehingga oksigen yang terlarut di dalam air berkurang. Keadaan ini diduga dapat menyebabkan pembendukan enzume sitokrom oksidase sehingga pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk terpengaruh (Artha, 2011).

Larva nyamuk yang berbeda spesies mempunyai torelansi dan regulatory pH yang berbeda. Ditemui adanya larva nyamuk di dalam air yang mempunyai pH antara 6.27 – 9.78 (Salit et al, 1996).

Gambar 2.14 pH dan salinitas air terhadap keberadaan larva nyamuk (Salit et al, 1996)

20

Gambar 2.15 Sifat kimiawi air di tempat-tempat keberadaan larva nyamuk (Salit et al, 1996)

21

2.6 Pencegahan Larva Nyamuk

Kontrol nyamuk memerlukan pengetahuan pada kebiasaan spesies yang tertentu, iklim di tempat tersebut, dan rasial serta status sosial ekonomi populasi di

Dokumen terkait