• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah percepatan getaran tanah maksimum (PGA) dan intensitas gempa di kawasan jalur sesar Sungai Oyo yang memiliki arah barat laut – tenggara, yang kemudian divisualisasikan dengan mikrozonasinya. Dalam penelitian ini, hasil pengukuran mikrotremor di lapangan berupa data transient sinyal seismik berdomain waktu, dianalisis menggunakan metode HVSR untuk memperoleh kurva H/V. Kurva H/V akan memberikan informasi tentang frekuensi predominan dan faktor amplifikasi, dimana frekuensi predominan akan digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini. Metode HVSR yang digunakan pada saat pengolahan data hasil pengukuran mikrotremor di lapangan dinilai efektif untuk mengkaji karakteristik dinamis lapisan bawah permukaan tanah penyebab terjadinya local site effect saat gempabumi (Nakamura

et al., 2000).

Berdasarkan peta geologi lembar Yogyakarta (1995), lokasi penelitian berada di tiga formasi batuan, yaitu formasi Nglanggran, formasi Sambipitu, dan formasi Wonosari. Secara administratif lokasi penelitian terletak di Kabupaten Bantul (Kecamatan Imogiri dan Kecamatan Dlingo) serta Kabupaten Gunungkidul (Kecamatan Playen dan Panggang).

62 1. Periode Predominan

Gelombang seismik pada saat menjalar terjebak dalam lapisan tanah lunak, sehingga fenomena multi refleksi terjadi yang menghasilkan getaran tanah yang sama dengan periode predominan tanah. Periode predominan juga diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan gelombang mikrotremor untuk merambat melewati lapisan endapan sedimen permukaan atau mengalami satu kali pemantulan terhadap bidang pantulnya ke permukaan, dimana bidang pantul tersebut merupakan batas antara lapisan sedimen dengan batuan dasar (Marjiono et al., 2007). Tanah atau batuan yang lunak dan lepas akan mempunyai periode predominan getaran yang panjang (frekuensi rendah) begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, semakin dalam bidang pantul menunjukkan bahwa nilai periode predominan semakin tinggi dan lapisan sedimen di lokasi tersebut semakin tebal (Marjiono et al, 2014).

Nilai periode predominan didapatkan dari pembagian satu dengan nilai frekuensi predominan. Dalam kurva H/V, frekuensi predominan ditunjukkan oleh nilai sumbu horizontal pada puncak kurva H/V. Nilai periode predominan yang didapatkan di setiap titik pengamatan ditampilkan pada peta pemodelan (mikrozonasi) periode predominan seperti ditunjukkan oleh Gambar 19 dan Gambar 20.

63

Gambar 19. Peta Pemodelan Periode Predominan di-Overlay dengan Peta Geologi di Lokasi Penelitian.

Gambar 20. Peta Pemodelan Periode Predominan di-Overlay dengan Peta Administrasi di Lokasi Penelitian.

64

Dari hasil analisis dan peta pemodelan pada Gambar 19 dan Gambar 20, periode predominan di lokasi penelitian memiliki nilai minimum 0,07 sekon dan nilai maksimum 1,56 sekon yang tersebar di 24 titik pengamatan, bersesuaian dengan frekuensi predominan yang memiliki nilai 0,64 Hz hingga 13,56 Hz. Berdasarkan Gambar 19, lokasi penelitian dengan nilai periode predominan relatif lebih tinggi berada pada formasi Wonosari, sedangkan lokasi penelitian dengan periode predominan relatif lebih rendah berada pada formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu.

Periode predominan dengan nilai relatif lebih tinggi terdapat pada formasi Wonosari dengan nilai berkisar antara 0,45 sekon hingga 1,56 sekon. Mengacu pada Lampiran 4, klasifikasi tanah oleh Kanai menyebutkan bahwa periode predominan dengan nilai lebih dari 0,40 sekon termasuk dalam klasifikasi tanah jenis IV yang tersusun atas batuan alluvial yang terbentuk dari sedimentasi delta, top soil, lumpur, tanah lunak, humus, endapan delta atau endapan lumpur, yang tergolong ke dalam tanah lembek, dengan kedalaman 30 m atau lebih. Sehingga pada rentang nilai periode predominan 0,45 sekon hingga 1,56 sekon diketahui bahwa lokasi penelitian yang berada pada formasi Wonosari dengan periode predominan yang relatif lebih tinggi memiliki lapisan sedimen yang sangat tebal. Berdasarkan Gambar 20, formasi Wonosari pada lokasi penelitian berada di Kabupaten Gunungkidul (Kecamatan Panggang bagian Utara dan sebagian wilayah Kecamatan Playen bagian Barat daya) hingga Kabupaten Bantul (beberapa lokasi di wilayah Kecamatan Imogiri bagian Tenggara dan beberapa lokasi di wilayah Kecamatan Dlingo bagian Selatan).

65

Pada formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu, periode predominan memiliki nilai relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan formasi Wonosari yaitu berkisar antara 0,07 sekon hingga 0,16 sekon. Berdasarkan Lampiran 4, formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu didominasi oleh jenis tanah tipe I dengan nilai periode predominan berada pada rentang 0,05 – 0,15 sekon, dimana tanah tersusun atas batuan berumur tersier atau lebih tua yang terdiri dari batuan pasir berkerikil keras (hard sandy gravel), sehingga ketebalan sedimen permukaan di kedua formasi ini sangat tipis karena didominasi oleh batuan keras. Pada kedua formasi ini juga dijumpai dua lokasi dengan jenis tanah tipe II yang berada pada rentang periode 0,15 – 0,25 sekon dimana tanah tersusun atas batuan alluvial dengan ketebalan lebih dari 5 m yang terdiri dari pasir berkerikil (sandy gravel), lempung keras berpasir (sandy hard clay), tanah liat, lempung (loam), sehingga kedua lokasi tersebut memiliki ketebalan sedimen dengan kategori menengah.

Hal di atas sesuai dengan kondisi geologi di kedua formasi tersebut dimana formasi Nglanggran merupakan formasi yang tersusun atas breksi vulkanik dengan fragmen andesit dan basalt, tuf, dan aglomerat, sedangkan Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batu pasir dan serpih bersifat karbonat, batulanau, konglomerat dan tuf, dimana kedua formasi terbentuk pada zaman tersier (Sudarno, 1997).

Formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu memiliki nilai periode predominan pada rentang yang sama, yaitu lokasi penelitian dengan nilai periode predominan relatif rendah berkisar antara 0,07 – 0,16 sekon, sehingga kedua formasi ini juga tergolong dalam klasifikasi tanah yang sama yaitu jenis I dan II.

66

Hal ini disebabkan karena formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras dengan formasi Nglanggran. Di atas formasi Nglanggran terdapat formasi Sambipitu yang menunjukkan ciri- ciri turbidit yaitu endapan dengan proses sedimentasi yang dipengaruhi oleh aliran air dan gravitasi. Pengikisan batuan breksi pada formasi Nglanggran kemungkinan terseret ke kawasan formasi Sambipitu, mengingat di antara kedua formasi tersebut terdapat aliran sungai (Daniel, 2011).

Berdasarkan Gambar 20, formasi Nglanggran pada lokasi penelitian berada di Kabupaten Bantul yaitu Kecamatan Imogiri bagian timur dan Dlingo bagian Barat. Sementara itu, formasi Sambipitu pada lokasi penelitian berada di Kabupaten Gunungkidul tepatnya Kecamatan Playen bagian Barat.

2. Ketebalan Sedimen

Frekuensi alami (frekuensi predominan) merepresentasikan banyaknya gelombang yang terjadi dalam satuan waktu (Nakamura, 2000). Frekuensi alami dipengaruhi oleh besarnya kecepatan rata-rata pergeseran dan ketebalan sedimen bawah permukaan. Berdasarkan persamaan (23) frekuensi alami berbanding terbalik dengan ketebalan sedimen dan berbanding lurus dengan kecepatan pergeseran rata-rata. Dengan demikian periode alami (periode predominan) akan berbanding terbalik dengan kecepatan pergeseran rata-rata dan berbanding lurus dengan ketebalan sedimen. Secara empiris lokasi dengan nilai periode predominan yang tinggi akan memiliki endapan sedimen yang tebal.

67

Menurut Sungkono dan Santosa (2011), kerusakan bangunan akibat getaran gempabumi terjadi pada daerah dengan geologi lapisan sedimen tebal atau lapisan permukaan berupa soft sediment. Hal tersebut disebabkan karena endapan lunak akan memperkecil frekuensi getaran tanah dan memperpanjang durasinya, sehingga akan menambah efek kerusakan yang ditimbulkan. Gelombang seismik pada saat menjalar, terjebak dalam lapisan tanah lunak dan terperangkap dalam durasi yang lebih lama. Inersia besar yang dimiliki oleh material lunak penyusun lapisan sedimen akan menyebabkan lokasi tersebut akan sukar berhenti saat goncangan gempabumi terjadi. Semakin besar inersia suatu benda, semakin sulit membuat benda itu bergerak. Sebaliknya, benda yang bergerak juga sulit dihentikan jika inersianya besar (Banjarnahor, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2016), ketebalan sedimen di lokasi penelitian dapat ditunjukkan pada Gambar 21 dan Gambar 22. Pada lokasi penelitian, lapisan sedimen di formasi Wonosari lebih tebal bila dibandingkan dengan lapisan sedimen di formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu.

68

Gambar 21. Peta Pemodelan Ketebalan Sedimen di-Overlay dengan Peta Geologi di Lokasi Penelitian (Kurniawati, 2016).

Gambar 22. Peta Pemodelan Ketebalan Sedimen di-Overlay dengan Peta Administrasi di Lokasi Penelitian (Kurniawati, 2016).

69

Ketebalan sedimen tidak memiliki hubungan dengan faktor amplifikasi, namun ketebalan sedimen dapat mengamplifikasi getaran yang terjadi pada lapisan sedimen tersebut. Nakamura (2000) menyatakan bahwa amplifikasi berkaitan dengan perbandingan kontras impedansi lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya. Apabila perbandingan kontras impedansi kedua lapisan tersebut tinggi maka nilai amplifikasi juga tinggi, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa amplifikasi getaran gempa terjadi di daerah yang permukaannya tersusun atas sedimen lunak dengan bedrock yang keras, karena pada geologi tersebut kontras (perbedaan antara lapisan sedimen dan bedrock) impedansinya besar (Sungkono dan Santosa, 2011).

Jika mengkorelasikan data periode predominan, amplifikasi, dan ketebalan sedimen dengan data formasi geologi, maka pada formasi Wonosari (meliputi Kabupaten Gunungkidul (Kecamatan Panggang bagian utara dan sebagian wilayah Kecamatan Playen bagian barat daya) hingga Kabupaten Bantul (beberapa lokasi di wilayah Kecamatan Imogiri bagian tenggara dan beberapa lokasi di wilayah Kecamatan Dlingo bagian selatan)) akan lebih rawan terhadap goncangan gempabumi karena daerah tersebut memiliki lapisan sedimen yang lebih tebal dan akan cenderung mengalami penguatan gelombang sehingga daerah tersebut lebih rawan kerusakan bangunan akibat goncangan gempabumi dibandingkan dengan formasi Nglanggran yang berada berada di Kabupaten Bantul yaitu Kecamatan Imogiri bagian timur dan Dlingo bagian Barat serta formasi Sambipitu yang berada di Kabupaten Gunungkidul tepatnya Kecamatan Playen bagian Barat.

70

Lokasi dengan ketebalan sedimen lebih tipis akan memiliki frekuensi predominan lebih tinggi dan inersia yang lebih kecil sehingga lokasi tersebut cenderung lebih responsif terhadap gelombang. Saat getaran terjadi, lokasi tersebut akan dengan cepat merespon gelombang dan dalam waktu yang sama akan mencapai kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi dengan lapisan sedimen yang tebal. Perubahan kecepatan dalam durasi waktu yang sama pada lokasi dengan ketebalan sedimen yang berbeda akan menyebabkan percepatan getaran tanah di lokasi tersebut juga berbeda. Lokasi dengan ketebalan sedimen lebih tipis dengan kecenderungan lebih responsif akan cenderung memiliki getaran tanah yang lebih cepat namun dalam durasi singkat, begitupun berlaku sebaliknya. Dengan demikian, formasi Wonosari akan memiliki nilai percepatan getaran tanah yang lebih rendah dibandingkan dengan formasi Nglanggran dan Sambipitu.

3. Percepatan Getaran Tanah dan Intensitas Gempabumi

Secara empiris, periode predominan mempengaruhi besarnya nilai percepatan getaran tanah di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan karena periode predominan tanah merupakan salah satu parameter selain jarak hiposenter, episenter, kedalaman dan magnitudo gempabumi yang digunakan dalam metode Kanai (1966) untuk menghitung besarnya nilai percepatan getaran tanah maksimum di lokasi tersebut seperti tertera pada persamaan (54). Dari analisis yang telah dilakukan pada Lampiran 7 dan ditampilkan pada Gambar 23, berdasarkan 21 event gempa yang pernah terjadi di Yogyakarta pada kurun waktu Mei 2006 sampai Januari 2016, diperoleh bahwa percepatan getaran tanah maksimum di lokasi

71

penelitian terjadi pada event gempa Yogyakarta 27 Mei 2006. Gempabumi tersebut berepisenter di 8,03° LS – 110,32° BT pada kedalaman 12 km dengan kekuatan 5,9 SR. Berdasarkan kedalamannya, gempabumi ini termasuk gempabumi dengan kedalaman dangkal, yaitu kurang dari 30 km. Semakin dangkal kedalaman gempabumi maka kerusakan yang ditimbulkan akibat gempabumi akan semakin tinggi. Selain itu, magnitudo gempabumi yang besar juga menyebabkan dampak gempabumi yang besar.

Gambar 23. Grafik Nilai Percepatan Getaran Tanah di Setiap Titik Penelitian dari 21 Data Event Gempa Yogyakarta.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 5 10 15 20 25 30 PGA (c m /s^ 2) titik pengamatan Serie s1 Serie s2 Serie s3 Serie s4 Serie s5 Serie s6 Serie s7 Serie s8 Event Gempabumi

72

Berdasarkan Gambar 23, nilai percepatan getaran tanah dapat dikelompokkan berdasarkan formasi batuannya untuk mengetahui respon setiap formasi batuan terhadap nilai percepatan getaran tanah yang dihasilkan oleh setiap

event gempa yang pernah terjadi seperti ditunjukkan pada Gambar 24.

Gambar 24. Grafik Sebaran Nilai Percepatan Getaran Tanah untuk 21 Event Gempa Berdasarkan Formasi Batuan di Lokasi Penelitian.

73

Analisis percepatan getaran tanah menggunaan metode Kanai menghasilkan nilai PGA akibat gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 sebesar 84,74 – 363,1 cm/s² yang tersebar di 24 titik pengamatan seperti tertera pada peta pemodelan (mikrozonasi) percepatan getaran tanah maksimum pada Gambar 25 dan Gambar 26. Formasi Wonosari memberikan nilai percepatan getaran tanah maksimum yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu. Respon tersebut berlaku sama untuk 21 event gempabumi yang pernah terjadi seperti tertera pada Gambar 24.

Gambar 25. Peta Pemodelan PGA di-Overlay dengan Peta Geologi di Lokasi Penelitian.

74

Gambar 26. Peta Pemodelan PGA di-Overlay dengan Peta Administrasi di Lokasi Penelitian.

Nilai PGA yang didapat pada Lampiran 10 kemudian digunakan untuk menganalisis intensitas gempa menggunakan persamaan Wald (1999). Intensitas gempabumi yang diperoleh kemudian dikonversikan ke dalam skala MMI dengan standard konversi skala MMI yang tertera pada Tabel 2 Bab II. Hasil perhitungan besarnya intensitas gempabumi di lokasi penelitian berkisar pada skala VI-VIII MMI (Lampiran 11). Berdasarkan data pada Lampiran 11, dapat dilakukan peta pemodelan skala MMI sebagai pemetaan tingkat resiko rawan terhadap gempabumi di lokasi penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 27 dan Gambar 28. Skala MMI pada Gambar 27 dan Gambar 28 menunjukkan bahwa lokasi penelitian memiliki tiga skala MMI yaitu VI, VII, dan VIII MMI yang termasuk dalam tingkat resiko rawan gempabumi kategori menengah.

75

Gambar 27. Peta Tingkat Kerawanan Terhadap Gempabumi Berdasarkan Peta Geologi di Lokasi Penelitian

Gambar 28. Peta Tingkat Kerawanan Terhadap Gempabumi Berdasarkan Peta Administrasi di Lokasi Penelitian

76

Berdasarkan Gambar 27, Formasi Wonosari memberikan respon PGA yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu. PGA pada formasi Wonosari memiliki rentang nilai 84,74 – 165,8 cm/s², dimana berdasarkan skala tingkat kerawanan terhadap gempabumi berada pada rentang skala VI MMI. Berdasarkan Gambar 28, kondisi tersebut secara administratif dialami oleh lokasi penelitian yang berada di Kabupaten Gunungkidul (Kecamatan Panggang bagian Utara dan sebagian wilayah Kecamatan Playen bagian Barat daya) serta Kabupaten Bantul (beberapa lokasi di wilayah Kecamatan Imogiri bagian Tenggara dan beberapa lokasi di wilayah Kecamatan Dlingo bagian Selatan). Lokasi – lokasi tersebut akan merasakan efek gempa seperti getaran yang dirasakan oleh semua penduduk, kebanyakan terkejut dan lari ke luar, kadang-kadang meja kursi bergerak, plester dinding dan cerobong asap pabrik rusak, dan terjadi kerusakan ringan.

Sementara itu, formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu memiliki PGA pada rentang nilai 232,6 – 363,1 cm/s², relatif lebih tinggi dibandingkan dengan formasi Wonosari. Berdasarkan skala tingkat kerawanan terhadap gempabumi, nilai PGA formasi Nglanggran dan formasi Sambipitu berada pada rentang skala VII dan VIII MMI. Skala VII MMI akan memberikan efek gempa seperti semua orang ke luar rumah, kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik, cerobong asap pecah atau retak-retak, dan goncangan terasa oleh orang yang naik kendaraan. Sedangkan skala VIII MMI memberikan efek gempa seperti kerusakan ringan pada bangunan-bangunan dengan konstruksi yang kuat; retak-retak pada bangunan yang kuat; banyak kerusakan pada bangunan yang tidak kuat;

77

dinding dapat lepas dari kerangka rumah; cerobong asap pabrik-pabrik dan monumen-monumen roboh; meja kursi terlempar; air menjadi keruh; serta orang naik sepeda motor terasa terganggu. Berdasarkan Gambar 28, fenomena-fenomena di atas dialami oleh lokasi penelitian yang berada di formasi Nglanggran yang secara administratif berada di Kecamatan Imogiri bagian timur dan Dlingo bagian Barat (Kabupaten Bantul) serta formasi Sambipitu dalam administrasi Kabupaten Gunungkidul tepatnya Kecamatan Playen bagian Barat. Formasi Sambipitu juga memiliki satu titik pengamatan dengan nilai PGA 100,18 cm/s² dalam rentang skala VI MMI yang berada pada Kecamatan Dlingo bagian selatan (Kabupaten Bantul). Hal ini disebabkan karena parameter episenter lebih berpengaruh terhadap nilai PGA di titik tersebut, dimana titik pengamatan tersebut memiliki jarak episenter paling jauh ke-dua dari titik pengamatan yang lainnya yaitu 18,07 km dan merupakan episenter paling jauh pada formasi Nglanggran dan Sambipitu.

Lokasi dengan nilai PGA lebih tinggi mengindikasikan bahwa apabila terjadi gempabumi yang berepisenter di sekitar episenter gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 pada masa akan datang, maka pergerakan tanah di lokasi tersebut akan terjadi lebih cepat dengan durasi yang singkat, begitupun berlaku sebaliknya. Menurut Burton et al (2003), formasi batuan merupakan parameter yang penting dan berpengaruh terhadap nilai percepatan getaran tanah di suatu wilayah. Setiap formasi memiliki litologi batuan yang berbeda yang dapat diwakili oleh densitas batuan sebagai salah satu karakter fisis dari satuan batuan penyusun. Nilai densitas dipengaruhi oleh kedalaman batuan terpendam dan lama waktu terpendamnya (umur). Nicholas Steno pada tahun 1669 mengemukakan hukum superposisi yang

78

menyatakan bahwa dalam kondisi normal (belum mengalami deformasi), perlapisan suatu batuan yang berada pada posisi paling bawah merupakan batuan yang pertama terbentuk dan tertua dibandingkan dengan lapisan batuan di atasnya, sehingga batuan yang terpendam makin dalam merupakan batuan yang memiliki umur yang lebih tua. Semakin dalam batuan tersebut maka akan semakin terbebani oleh material di atasnya sehingga batuan tersebut akan semakin kompak dan memiliki nilai densitas yang semakin besar.

Menurut Suyoto (1994), pada kolom stratigrafi Pegunungan Selatan, formasi Nglanggran merupakan formasi batuan yang paling tua di antara formasi Sambipitu dan Wonosari. Formasi Nglanggran terbentuk pada kala miosen awal sampai miosen tengah. Pada perkembangan selanjutnya, di atas formasi Nglanggran diendapkan formasi Sambipitu pada miosen tengah. Sementara itu, pengendapan formasi Wonosari berlangsung pada kala miosen tengah sampai miosen atas. Hal ini menyebabkan satuan batuan pada formasi Nglanggran akan memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan formasi Sambipitu dan Wonosari, sehingga kondisi batuan di formasi Nglanggran lebih kompak dan membuat PGA di formasi tersebut lebih besar. Formasi Wonosari dengan densitas batuan paling kecil di antara ketiga formasi memiliki PGA yang paling rendah pula. Namun pada kenyataannya, setiap jenis batuan pada daerah tertentu akan memiliki nilai densitas yang tertentu pula, jenis batuan yang sama pada daerah yang berbeda dapat memiliki nilai densitas yang berbeda.

Secara garis besar, lokasi yang memiliki nilai PGA rendah adalah lokasi dengan lapisan sedimen tebal (tinggi), memiliki periode predominan tanah tinggi,

79

dan densitas batuan penyusun pada lokasi tersebut rendah. Hal ini sesuai dengan data penelitian yang peneliti peroleh dimana formasi Wonosari dengan nilai periode predominan tinggi, memiliki lapisan sedimen yang tebal dengan densitas batuan yang rendah, menghasilkan nilai PGA yang rendah. Lapisan sedimen yang lebih tipis menyebabkan PGA pada formasi Nglanggran dan Sambipitu lebih tinggi dan apabila terjadi gempabumi lokasi tersebut akan mengalami goncangan yang lebih cepat namun dalam durasi yang lebih singkat. Sementara itu, lapisan sedimen yang lebih tebal akan menyebabkan PGA pada formasi Wonosari lebih rendah, dengan goncangan yang terasa lebih lambat namun kuat (teramplifikasi) dan berlangsung dalam durasi yang lebih lama dan dapat menyebabkan kerusakan parah pada bangunan.

Persebaran nilai PGA mengikuti pola formasi batuan di lokasi tersebut dan tidak menunjukkan keterkaitan dengan keberadaan sesar geser minor ber-arah barat laut – tenggara di lokasi tesebut. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena

local site effect lebih berpengaruh terhadap nilai PGA dan penyebab gempabumi

Yogyakata 27 Mei 2006 bukan berasal dari pengaruh langsung sesar tersebut, sehingga dalam penelitian ini, sesar tersebut tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap hasil perhitungan nilai PGA.

Meskipun peta tingkat kerawanan akibat gempabumi yang diperoleh berdasarkan persamaan Wald pada Gambar 27 dan Gambar 28 menunjukkan bahwa lokasi dengan nilai PGA tinggi akan lebih rawan terhadap goncangan gempabumi, namun PGA yang rendah juga bukan menjadi jaminan suatu lokasi lebih aman saat terjadi gempabumi. Hal ini disebabkan karena lokasi dengan PGA rendah juga

80

dapat mengalami kerusakan berat akibat gempabumi, mengingat kecenderungan lokasi tersebut mengamplifikasi goncangan saat terjadi gempabumi akibat dari tebalnya lapisan sedimen. Selain itu, PGA juga bukan satu-satunya parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap gempabumi.

81 BAB V

Dokumen terkait