• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Hasil Penelitian Sebelumnya

selanjutnya akan ditentukan oleh kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran yang terjadi di bursa efek.

2.1.13. Underperformance

Underperformance adalah penurunan kinerja. Underperformance pada

penelitian ini dimaksudkan terjadi pada kinerja jangka panjang saham IPO. Ritter (1991) mengungkapkan bahwa fenomena underpricing pada jangka pendek akan diikuti dengan fenomena lainnya, yaitu undeperformance pada jangka panjang. Hal itu diindikasikan dengan kinerja saham IPO yang berada di bawah kinerja pasar.

2.2. Hasil Penelitian Sebelumnya

McDonald dan Fisher (1972) yang melakukan penelitian terhadap penerbitan baru dari saham biasa pada kuartal pertama tahun 1969 menemukan adanya initial

rate of return yang positif. Return yang positif ini ditemukan dari hari pertama

penerbitan sampai dengan satu minggu, namun mengalami penurunan setelah satu minggu.

Penelitian yang lebih komprehensif atas fenomena underpricing dilakukan oleh Ibbotson (1975). Dengan menggunakan data IPO bulanan tahun 1960 – 1969 didapatkan bukti adanya initial return yang positif. Namun fenomena ini tidak berlangsung lama. Dari bukti yang ditemukan, baik oleh McDonald dan Fisher (1972), Ibbotson (1975), dan Ritter (1991) diketahui bahwa fenomena underpricing

27

bahwa fenomena underpricing tidak berlangsung lama, karena selama tiga tahun setelah IPO, return saham menurun.

Ernyan dan Husnan (2002), mengukur underprice dengan initial return.

Initial return digunakan karena underpricing hanya dilihat dari capital gain yang

dinikmati oleh pemodal pada hari pertama saham tersebut diperdagangkan di bursa. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada penawaran perdana terdapat fenomena

underpriced karena memberikan initial return yang positif dan signifikan untuk

perusahaan keuangan danperusahaan non keuangan. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi underpricing pada penawaran perdana pada periode tersebut. Selain itu hasil penelitian mereka juga manunjukkan bahwa perusahaan keuangan ternyata memberikan underpricing yang lebih rendah daripadaperusahaan non keuangan, baik tanpa ataupun mengontrol variabel-variabel yang mungkin mempengaruhi

underpricing seperti reputasi penjamin emisi dan umur perusahaan.

Cahyono dan Legowo (2010) melakukan penelitian mengenai fenomena

underpricing antara perusahaan keuangan dan non keuangan di Bursa Efek Indonesia.

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat fenomena underpricing pada perusahaan keuangan dan non keuangan saat IPO serta terdapat perbedaan tingkat underpricing

antara perusahaan keuangan dan non keuangan. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO di BEI tahun 2004-2008.

Alli, et al. (1994) dalam penelitiannya yang berjudul “The Underpricing of

IPOs of Financial Institusions”, menyatakan bahwa terdapat perbedaan underpricing

28

perusahaan yang banyak menghadapi berbagai regulasi yang diterbitkan oleh lembaga yang mengatur sektor keuangan, sehingga dapat dikatakan perusahaan keuangan memiliki ketidakpastian yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan non keuangan.

Penelitian mengenai IPO juga dilakukan oleh Prastiwi dan Kusuma (2001) atas 78 saham perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia mlai bulan Maret 1994 sampai Maret 1997. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pada umumnya harga saham tersebut dalam jangka pendek menghasilkan excess return

yang positif dan dalam jangka panjang kinerja saham tersebut memberikan return yang negatif (mengalami underperformed).

Ritter (1991) mengungkapkan bahwa relatiF banyak investor terlalu optimis terhadap saham IPO sehingga menyebabkan harga saham naik. Beberapa waktu kemudian harga saham akan menyesuaikan ke nilai sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan kinerja saham IPO tersebut mengalami underperformance dalam jangka panjang. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 1.526 perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan penawaran umum perdana antara tahun 1975 dan 1984. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah return rata-rata selama tiga tahun setelah IPO secara signifikan lebih rendah dibanding return rata-rata pasar. Dengan menggunakan metode pengukuran CAR (Cummulative Abnormal Return), ditemukan bahwa kinerja satu, dua dan tiga tahun berturut-turut setelah IPO underperformed

29

Loughran dan Ritter (1995) memperluas temuan Ritter (1991). Loughran dan Ritter (1995) meneliti IPO tahun 1970-1990 dengan sampel 4.753 perusahaan dan menemukan terjadinya underperformance. Mereka mengatakan bahwa setelah IPO

return rata-rata sebesar 5% pertahun selama 5 tahun, sedangkan return pasar 12%

setiap tahun selama lima tahun. Levis (1993) meneliti 712 perusahaan yang melakukan IPO di United Kingdom selama 1980-1988. Ia menemukan

underperformance sebesar antara 8,3%-23%.

Underperformance tidak hanya terjadi di pasar-pasar modal yang maju tetapi

juga terjadi di pasar-pasar modal berkembang. Aggarwal, Leal, dan Hernandez (1993) menemukan bahwa kinerja perusahaan IPO di Brazil mengalami underperformance

sebesar 47% setelah tiga tahun. Sedangkan di Chile, underperformance setelah tiga tahun rata-rata sebesar 23,7%, dan di Mexico underperformance rata-rata sebesar 19,6% setahun setelah IPO.

Manurung dan Soepriyono (2006) meneliti kinerja jangka panjang IPO di Indonesia dengan periode 2000-2002 dengan sampel 71 perusahaan dan mempergunakan perhitungan EWBHAR (Equally Weighted Buy and Hold Abnormal

Returns). Mereka mengungkapkan bahwa performa emiten non privatisasi setelah

satu, dua, dan tiga tahun IPO mengalami underperformance sebesar 8,27%, 26,60%, dan 47,42%. Return pasar yang digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan).

Miller (2000) melakukan penelitian mengenai pengaruh industri keuangan terhadap underperformance yang dijelaskan melalui pendekatan teori divergence of

30

opinion. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan kinerja saham

perusahan industri keuangan dan non keuangan berdasarkan underperformance. Penelitian tersebut menyatakan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan pendapat antar investor terhadap perusahaan industri keuangan karena perusahaan industri keuangan mempunyai regulasi yang paling ketat dibandingkan industri lain dalam menjalankan bisnisnya, sehingga industri keuangan cenderung mempunyai

underperformance yang lebih kecil.

Shawawreh dan Tarawneh (2015) dalam penelitiannya mengenai karakteristik perusahaan dan kinerja jangka panjang perusahaan setelah melakukan IPO, menemukan bahwa terdapat perbedaan kinerja saham perusahaan keuangan dan non keuangan berdasarkan long-term underperformance. Penelitian ini menyatakan bahwa perusahaan keuangan memiliki underperformance yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan lainnya.

Suryantaty (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kinerja

Saham Setelah Penawaran Perdana Perusahaan Keuangan dan Non Keuangan di

Bursa Efek Indonesia”, menemukan bahwa terdapat perbedaan kinerja saham

perusahan keuangan dan non keuangan berdasarkan underperformance pada jangka panjang. Penelitian ini melihat kinerja saham perusahaan keuangan dan non keuangan selama 36 bulan setelah perusahaan melakukan IPO. Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan keuangan dan non keuangan yang mengalami underperformance

Dokumen terkait